Tingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau
menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq)
selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan
sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau
mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin
menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa
Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’inhlm. 14). Jadi Islam yang
dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat,
puasa, zakat dan haji.
Tingkatan Iman
Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah
engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-
Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik
maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-
perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah
pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan
secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan
anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan
tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja)
maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Alloh Ta’ala, “Dan
Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam
di sini sudah mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).
Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau
beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu
tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa
dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia
menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan,
seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya,
dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa
mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua
yaitu: menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan
cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu
tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu
tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan
ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.
Kesimpulan
Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya
pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah
dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in;
generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana
disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan penjelasan
sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah
berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka
bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka
tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi
yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang
tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim).
Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim
dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan
orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at. Wallohu
a’lam.
***