Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK DI PANTI SOSIAL

TRESNA WERDHA (PSTW) BUDI MULIA 1 CIPAYUNG

Makalah
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas stase Keperawatan Gerontik

Disusun Oleh:

Dea aulivia 1035181003


Dela okto intan agape 1035181027
Luvita nurwidiasmara 1035181011
Lutfiah 1035181010
Santya dila sari 1035181019
Siti annisa nur andani 1035181029

PROGRAM STUDI NERS


UNIVERSITAS MUHAMMAD HUSNI THAMRIN
JAKARTA, 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur terhadap kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ” Asuhan Keperawatan
Gerontik Pada Ny. S Dengan Diagnosa Diabetes Mellitus Di Panti Sosial Tresna
Werdha Budi Mulia 1 Cipayung”. Adapun maksud dilaksanakannya penulisan
makalah ini, tidak lain adalah untuk memenuhi tugas keperawatan Gerontik yang
ditugaskan kepada penulis, sehingga penulis dan pembaca lebih memahami
tentang hal tersebut.

Melalui kesempatan ini, kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak, terutama kepada orangtua yang telah
memberi dukungan baik secara moril dan materiil, serta kepada teman-teman
kami.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu,
para pembaca diharapkan memberikan masukan dan saran sehingga makalah ini
dapat lebih sempurna. Dan sebelumnya penulis memohon maaf jika ada
kesalahan penulisan atau bahasa yang kurang baku dalam makalah ini. Oleh
karena itu, penulis berharap semoga isi makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi siapa saja yang memerlukannya di masa yang akan datang.

Jakarta, 19 Juli 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1. Latar Belakang……………………………………………………….1
1.2. Tujuan Penulisan……………………………………………………..5
BAB 2 TINJAUAN TEORI....................................................................................7
2.1 Definisi ....................................................................................................
2.2 Etiologi ...................................................................................................
2.3 Tanda dan gejala......................................................................................
2.4 Intervensi .................................................................................................
BAB 3 TINJAUAN KASUS.................................................................................
3.1. Pengkajian…………………………………………………………...
3.2. Diagnosa…………………………………………………………….
3.3. Intervensi……………………………………………………………
3.4. Implementasi………………………………………………………...
3.5. Evaluasi……………………………………………………………...
BAB 4 PEMBAHASAN.......................................................................................
BAB 5 PENUTUP……………………………………………………………….
A. Kesimpulan………………………………………………………….
B. Saran………………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
LAMPIRAN………………………….
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keberhasilan pembangunan meningkatkan derajat kesehatan dan gizi masyarakat
berpengaruh terhadap meningkatnya usia harapan hidup dan jumlah lanjut usia.
Semakin meningkatnya tuntutan kebutuhan ekonomi, khususnya di kota-kota
besar, menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dalam keluarga. Keadaan seperti
ini mengarah kepada semakin berkurangnya perhatian keluarga terhadap lanjut
usia karena keterbatasan waktu yang tersedia. Kondisi ini menurut pemerintah
daerah untuk memberikan pelayanan sosial kepada para lanjut usia sehingga dapat
menghindarkan mereka dari keterlantaran dari berbagai aspek.

PSTW Budi Mulia 1 merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas Sosial
Provinsi DKI Jakarta dalam melaksanakan kegiatan pelayanan kesejahteraan
sosial lanjut usia terlantar. Dibangun pada tahun 1968 di atas lahan seluas 9.999
m2 yang dikukuhkan menjadi Panti Werdha 1 Cipayung melalui SK Gubernur
DKI Jakarta No. CA11/29/1/1972. Selanjutnya mengalami pergantian nama
menjadi Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung melalui SK
Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 736 Tahun 1996.

Dengan berlakunya perda No. 3 tahun 2001 tentang organisasi dan tata kerja
perangkat daerah dan sekretaris DPRD, SK gubernur DKI Jakarta No. 41 tahun
2002 tentang struktur organisasi dan tata kerja dinas bina mental spiritual dan
kesejahteraan sosial provinsi DKI Jakarta, Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Mulia 1 Cipayung, dikukuhkan kembali berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta
No. 163 tahun. 2002 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja unit pelaksana
teknis di lingkungan dinas bintal dan kesos provinsi DKI Jakarta, dan peraturan
gubernur No. 57 tahun 2010 tentang organisasi tata kerja PSTW Budi Mulia 1.
Peningkatan angka harapan hidup (AHH) di Indonesia merupakan salah satu
indikator keberhasilan bangunan di Indonesia. AHH tahun 2014 pada penduduk
perempuan adalah 72,6 tahun dan laki-laki adalah 68,7 tahun. Kondisi ini akan
meningkatkan jumlah lanjut usia di Indonesia yaitu 18,1 juta jiwa (7,6% dari total
penduduk). Pada tahun 2014, jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia menjadi
18,781 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2025, jumlahnya akan mencapai 36
juta jiwa. Usia lanjut akan menimbulkan masalah kesehatan karena terjadi
kemunduran fungsi tubuh apabila tidak dilakukan upaya pelayanan kesehatan
dengan baik (Kholifah, 2016).

Proses penuaan tentu berdampak pada berbagai aspek kehidupan, baik sosial,
ekonomi dan terutama kesehatan. Semakin bertambahnya usia, fungsi organ tubuh
akan semakin menurun baik faktor alamiah maupun karena penyakit. Salah satu
masalah kesehatan yang paling umum terjadi pada kelompok lansia adalah
diabetes mellitus (Suci, Listari. 2014).

Saat ini penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan


angka insidensi dan prevalensi diabetes mellitus di berbagai penjuru dunia, badan
kesehatan dunia World Health Organization (WHO) memprediksi adanya
peningkatan jumlah penyandang diabetes mellitus yang menjadi salah satu
ancaman kesehatan global (PERKENI, 2015). Menurut International Diabetes
Federation (2015) terdapat 415 juta orang mengalami diabetes mellitus di dunia
pada tahun 2015 dan tahun 2040 diperkirakan akan meningkat mencapai 642 juta
orang. Dari data yang didapatkan tersebut menunjukkan 193 juta kasus dengan
diabetes mellitus tidak terdiagnosis dan diabetes melitus menyebabkan kematian 5
juta jiwa pada tahun 2015.
Berdasarkan banyaknya jumlah penderita diabetes mellitus, Indonesia berada di
posisi ke-7 di dunia dengan jumlah penderita dewasa sebanyak 10 juta jiwa (IDF,
2015). Menurut data dari (Riskesdas, 2013) menunjukan jumlah kasus diabetes
mellitus di Indonesia tahun 2010 sebesar 8,43 juta orang dan di perkirakan akan
meningkat mencapai 21,25 juta di tahun 2035 dan penyakit diabetes berada
diurutan ke 4 dari penyakit kronis di Indonesia. DKI Jakarta menempati peringkat
pertama sebagai kota dengan angka prevalensi diabetes melitus (DM) tertinggi di
Indonesia. Angkanya sebesar 3,4 persen. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2018 menyebutkan, persentase prevalensi diabetes melitus tersebut naik dalam
kurun waktu lima tahun dari data Riskesdas 2013 sebesar 2,5 persen dan angka itu
melonjak pada 2018 hingga mencapai 8,5 persen.

Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur merupakan
salah satu panti sosial milik negara berada di bawah kepengurusan Departemen
Sosial RI. Panti ini berfungsi sebagai sarana pelayanan kesejahteraan bagi para
lanjut usia yang mengalami masalah sosial yang disebabkan oleh kemiskinan,
ketidakmampuan secara ekonomi untuk diberikan pembinaan pelayanan sosial
serta perlindungan agar lansia dapat hidup secara wajar. Data 2019 menunjukkan
jumlah lansia yang berada di panti ini adalah 250 orang dan 20% lansia di wisma
Asoka terkena diabetes mellitus. Lansia yang tinggal di panti ini juga memiliki
masalah kesehatan akibat dari penurunan fisiologis yang terjadi. Salah satu
masalah kesehatan yang terjadi adalah diabetes mellitus.

Maka berdasarkan data diatas perawat memiliki peran penting dalam memberikan
pelayanan kesehatan dengan menggunakan pendekatan meliputi:
1. Upaya promotif yaitu bisa kita lakukan penyuluhan kesehatan tentang
diabetes mellitus, penyuluhan kesehatan pada penderita diabetes mellitus
merupakan suatu hal yang amat penting dalam regulasi gula darah penderita
DM yang dapat mencegah atau menghambat munculnya penyakit kronik
ataupun akut.
2. Upaya preventif yaitu perawat mengedukasi dan memotivasi lansia untuk
membiasakan diri untuk hidup sehat seperti berolahraga secara teratur.
Mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan. Dilakukannya Pemeriksaan kadar
gula darah secara berkala, untuk mencegah terjadinya diabetes.
3. Upaya kuratif yaitu promosi kesehatan untuk mencegah penyakit menjadi
lebih parah melalui pengobatan.
4. Upaya rehabilitatif yaitu berusaha untuk mengembalikan penderita seperti
keadaan semula atau mengembalikan penderita pada keadaan yang dipandang
sesuai dan mampu melangsungkan fungsi kehidupannya. Lansia memperoleh
perbaikan fisik semaksimal-maksimalnya.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi hasil pengelolaan asuhan keperawatan gerontik pada klien
dengan diabetes mellitus selama 3 hari di Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Mulia 1 Cipayung.

1.2.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus dari penulisan laporan ini adalah :
a. Mengidentifikasi pengkajian status kesehatan pada klien dengan diabetes
mellitus.
b. Mengidentifikasi intervensi keperawatan pada klien dengan diabetes
mellitus.
a. Mengidentifikasi implementasi keperawatan pada klien dengan diabetes
mellitus.
b. Mengidentifikasi evaluasi asuhan keperawatan pada klien dengan diabetes
mellitus.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang bersifat kronik, ditandai
dengan meningkatnya kadar glukosa darah sebagai akibat dari adanya gangguan
penggunaan insulin, sekresi insulin, atau keduanya (American Diabetes
Association, 2013).

DM adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya (PERKENI, 2015).

2.2 Etiologi
Menurut Nurarif (2015), terdapat beberapa etiologi dari diabetes yaitu sebagai
berikut:
1. DM Tipe 1: Faktor genetik, Faktor imunologi, Factor lingkungan (virus atau
toksin ).
2. DM Tipe 2: Dapat terjadi karena kerusakan sel beta dan resistensi insulin,
Faktor resiko tidak bisa dimodifikasi : Ras dan Etnik, Riwayat keluarga
dengan DM, Usia, Riwayat Kelahiran (Nurarif, 2015).

2.3 Klasifikasi
a. DM Tipe 1: Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut.
a) Autoimun
b) Idiopatik
b. DM Tipe 2: Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin.
c. Tipe lain:
a) Defek genetik fungsi sel beta
b) Defek genetik kerja insulin
c) Penyakit eksokrin pankreas
d) Endokrinopati
e) Karena obat atau zat kimia
f) Infeksi
g) Sebab imunologi yang jarang
h) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
d. Diabetes mellitus gestasional (PERKENI, 2015).

2.4 Tanda dan Gejala


Beberapa gejala umum yang dapat ditimbulkan oleh penyakit DM diantaranya :
1. Pengeluaran urin (Poliuria)
Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam meningkat
melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala DM dikarenakan kadar
gula dalam tubuh relatif tinggi sehingga tubuh tidak sanggup untuk
mengurainya dan berusaha untuk mengeluarkannya melalui urin. Gejala
pengeluaran urin ini lebih sering terjadi pada malam hari dan urin yang
dikeluarkan mengandung glukosa.
2. Timbul rasa haus (Polidipsia)
Polidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar glukosa
terbawa oleh urin sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan asupan.
3. Timbul rasa lapar (Polifagia)
Pasien DM akan merasa cepat lapar dan lemas, hal tersebut disebabkan
karena glukosa dalam tubuh semakin habis sedangkan kadar glukosa dalam
darah cukup tinggi
4. Peyusutan berat badan
Penyusutan berat badan pada pasien DM disebabkan karena tubuh terpaksa
mengambil dan membakar lemak sebagai cadangan energi (PERKENI, 2015).
2.5 Faktor risiko DM
1. Faktor risiko yang dapat diubah
a. Gaya hidup
Gaya hidup merupakan perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam aktivitas
sehari-hari. Makanan cepat saji, olahraga tidak teratur dan minuman bersoda
adalah salah satu gaya hidup yang dapat memicu terjadinya DM tipe 2.
b. Diet yang tidak sehat
Perilaku diet yang tidak sehat yaitu kurang olahraga, menekan nafsu makan,
sering mengkonsumsi makan siap saji
c. Obesitas
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko utama untuk terjadinya penyakit
DM. Obesitas dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (resisten
insulin). Semakin banyak jaringan lemak pada tubuh, maka tubuh semakin
resisten terhadap kerja insulin, terutama bila lemak tubuh terkumpul didaerah
sentral atau perut (central obesity).

Perhitungan berat badan ideal sesuai dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)
menurut WHO (2014), yaitu:

d. Tekanan darah tinggi


Tekanan darah tinggi merupakan peningkatan kecepatan denyut jantung,
peningkatan resistensi (tahanan) dari pembuluh darah dari tepi dan
peningkatan volume aliran darah (American Diabetes Association, 2013).
2. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
a. Usia
Semakin bertambahnya usia maka semakin tinggi risiko terkena diabetes tipe
2. DM tipe 2 terjadi pada orang dewasa setengah baya, paling sering setelah
usia 45 tahun. Meningkatnya risiko DM seiring dengan bertambahnya usia
dikaitkan dengan terjadinya penurunan fungsi fisiologis tubuh.

b. Riwayat keluarga diabetes melitus


Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM orang tua. Biasanya,
seseorang yang menderita DM mempunyai anggota keluarga yang juga
terkena penyakit tersebut (Ehsa, 2010). Fakta menunjukkan bahwa mereka
yang memiliki ibu penderita DM tingkat risiko terkena DM sebesar 3,4 kali
lipat lebih tinggi dan 3,5 kali lipat lebih tinggi jika memiliki ayah penderita
DM. Apabila kedua orangtua menderita DM, maka akan memiliki risiko
terkena DM sebesar 6,1 kali lipat lebih tinggi.

c. Ras atau latar belakang etnis


Risiko DM tipe 2 lebih besar terjadi pada hispanik, kulit hitam, penduduk asli
Amerika, dan Asia.

d. Riwayat diabetes pada kehamilan


Mendapatkan diabetes selama kehamilan atau melahirkan bayi lebih dari 4,5
kg dapat meningkatkan risiko DM tipe 2 (American Diabetes Association,
2013).

2.6 Patofisiologi
1. Patofisiologi diabetes tipe 1
Pada DM tipe 1, sistem imunitas menyerang dan menghancurkan sel yang
memproduksi insulin beta pankreas (ADA, 2014). Kondisi tersebut merupakan
penyakit autoimun yang ditandai dengan ditemukannya anti insulin atau antibodi
sel antiislet dalam darah (WHO, 2014). National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Diseases (NIDDK) tahun 2014 menyatakan bahwa
autoimun menyebabkan infiltrasi limfositik dan kehancuran islet pankreas.
Kehancuran memakan waktu tetapi timbulnya penyakit ini cepat dan dapat
terjadi selama beberapa hari sampai minggu. Akhirnya, insulin yang dibutuhkan
tubuh tidak dapat terpenuhi karena adanya kekurangan sel beta pankreas yang
berfungsi memproduksi insulin. Oleh karena itu, diabetes tipe 1 membutuhkan
terapi insulin, dan tidak akan merespon insulin yang menggunakan obat oral.

2. Patofisiologi diabetes tipe 2


Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan insulin namun tidak mutlak. Ini berarti
bahwa tubuh tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan yang ditandai dengan 15 kurangnya sel beta atau defisiensi insulin
resistensi insulin perifer (ADA, 2014). Resistensi insulin perifer berarti terjadi
kerusakan pada reseptor-reseptor insulin sehingga menyebabkan insulin menjadi
kurang efektif mengantar pesan-pesan biokimia menuju sel-sel (CDA, 2013).
Dalam kebanyakan kasus diabetes tipe 2 ini, ketika obat oral gagal untuk
merangsang pelepasan insulin yang memadai, maka pemberian obat melalui
suntikan dapat menjadi alternatif. 3) Patofisiologi diabetes gestasional
Gestational diabetes terjadi ketika ada hormon antagonis insulin yang berlebihan
saat kehamilan. Hal ini menyebabkan keadaan resistensi insulin dan glukosa
tinggi pada ibu yang terkait dengan kemungkinan adanya reseptor insulin yang
rusak (NIDDK, 2014 dan ADA, 2014)
2.7 Pathway

(Nurarif, 2015)

2.8 Komplikasi
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang dapat menimbulkan
berbagai macam komplikasi, antara lain :
1. Komplikasi metabolik akut
Kompikasi metabolik akut pada penyakit diabetes melitus terdapat tiga
macam yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa
darah jangka pendek, diantaranya:
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia (kekurangan glukosa dalam darah) timbul sebagai komplikasi
diabetes yang disebabkan karena pengobatan yang kurang tepat (Smeltzer &
Bare, 2010).
b. Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) disebabkan karena kelebihan kadar glukosa
dalam darah sedangkan kadar insulin dalam tubuh sangat menurun sehingga
mengakibatkan kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia,
asidosis dan ketosis.
c. Sindrom HHNK (koma hiperglikemia hiperosmoler nonketotik)
Sindrom HHNK adalah komplikasi diabetes melitus yang ditandai dengan
hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih dari 600 mg/dl.

2. Komplikasi metabolik kronik


Komplikasi metabolik kronik pada pasien DM dapat berupa kerusakan pada
pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) dan komplikasi pada pembuluh darah
besar (makrovaskuler) diantaranya:
a. Komplikasi pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) Komplikasi pada
pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) yaitu :
a) Kerusakan retina mata (Retinopati) Kerusakan retina mata
(Retinopati) adalah suatu mikroangiopati ditandai dengan kerusakan
dan sumbatan pembuluh darah kecil.
b) Kerusakan ginjal (Nefropati diabetik) Kerusakan ginjal pada pasien
DM ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24jam atau
>200 ih/menit) minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6
bulan. Nefropati diabetik merupakan penyebab utama terjadinya
gagal ginjal terminal.
c) Kerusakan syaraf (Neuropati diabetik) Neuropati diabetik
merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan pada pasien
DM. Neuropati pada DM mengacau pada sekelompok penyakit yang
menyerang semua tipe saraf.
b. Komplikasi pembuluh darah besar (makrovaskuler) Komplikasi pada
pembuluh darah besar pada pasien diabetes yaitu stroke dan risiko
jantung koroner.

a. Penyakit jantung koroner


Komplikasi penyakit jantung koroner pada pasien DM disebabkan
karena adanya iskemia atau infark miokard yang terkadang tidak
disertai dengan nyeri dada atau disebut dengan SMI (Silent
Myocardial Infarction).
b. Penyakit serebrovaskuler
Pasien DM berisiko 2 kali lipat dibandingkan dengan pasien non-
DM untuk terkena penyakit serebrovaskuler. Gejala yang
ditimbulkan menyerupai gejala pada komplikasi akut DM, seperti
adanya keluhan pusing atau vertigo, gangguan penglihatan,
kelemahan dan bicara pelo (Smeltzer & Bare, 2010).

2.9 Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam setelah TTGO.
2. Pemeriksaan kadar HbA1c.
3. Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High Density Lipoprotein
(HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan trigliserida.
4. Tes fungsi hati
5. Tes fungsi ginjal: Kreatinin serum dan estimasi-GFR
6. Tes urin rutin
7. Albumin urin kuantitatif
8. Rasio albumin-kreatinin sewaktu.
9. Elektrokardiogram.
10. Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakit jantung kongestif).
Pemeriksaan kaki secara komprehensif (PERKENI, 2015).
2.10 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,


tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif.
Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus
1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting
dari pengelolaan DM secara holistik. Perilaku hidup sehat bagi penyandang
Diabetes Melitus adalah memenuhi anjuran:
a. Mengikuti pola makan sehat.
b. Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur
c. Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara
aman dan teratur.
d. Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan.
e. Melakukan perawatan kaki secara berkala.
f. Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit
akut dengan tepat.
g. Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau
bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak
keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang DM.
h. Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

2. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila
tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan
jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama
sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan
tidak lebih dari 2 hari berturut-turut (A). Dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar glukosa
darah 250 mg/dL (PERKENI, 2015).

Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
a) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan
peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada
pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati,
dan ginjal).
b) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping
yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
a) Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2.
Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(GFR 30- 60 ml/menit/1,73 m2 ).

b) Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat
antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan
perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-
IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada
gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara
berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:


Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada
keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2 , gangguan faal hati yang berat,
irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa
bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan
flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan
dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah
(glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan
Linagliptin.

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal
ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat
yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin.

Tabel obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia


Konsep asuhan keperawatan
Asuhan keperawatan pada tahap pertama yaitu pengkajian. Dalam pengkajian
perlu di data biodata pasiennya dan data-data lain untuk menunjang diagnosa.
Data-data tersebut harus yang seakurat-akuratnya, agar dapat di gunakan dalam
tahp berikutnya. Misalnya meliputi nama pasien, umur, keluhan utama, dan
masih banyak lainnya.

a. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang :
Biasanya klien masuk ke RS dengan keluhan nyeri, kesemutan pada
ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah, dan bola mata
cekung, Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah otot,
disorientasi, letargi, koma dan bingung. Riwayat kesehatan lalu Biasanya klien
DM mempunyai Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti Infart miokard
Riwayat kesehatan keluarga Biasanya Ada riwayat anggota keluarga yang
menderita DM.

b. Pengkajian Pola Gordon


1. Pola persepsi Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan persepsi
dan tata laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak
gangren kaki diabetuk sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap
dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan
perawatan yang lama, lebih dari 6 juta dari penderita DM tidak menyadari
akan terjadinya resiko Kaki diabetik bahkan mereka takut akan terjadinya
amputasi (Debra Clair, journal februari 2011).
2. Pola nutrisi metabolik Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya
defisiensi insulin maka kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga
menimbulkan keluhan sering kencing, banyak makan, banyak minum, berat
badan menurun dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi
status kesehatan penderita. Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor
kulit jelek, mual/muntah.
3. Pola eliminasi Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis
osmotik yang menyebabkan pasien sering kencing (poliuri) dan pengeluaran
glukosa pada urine ( glukosuria ). Pada eliminasi alvi relatif tidak ada
gangguan.
4. Pola aktivitas dan latihan Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot,
gangguan istirahat dan tidur, tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan
aktivitas dan bahkan sampai terjadi koma. Adanya luka gangren dan
kelemahan otot – otot pada tungkai bawah menyebabkan penderita tidak
mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah
mengalami kelelahan.
5. Pola tidur dan istirahat Istirahat tidak efektif Adanya poliuri, nyeri pada kaki
yang luka , sehingga klien mengalami kesulitan tidur.
6. Kognitif persepsi Pasien dengan gangren cenderung mengalami neuropati /
mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya nyeri. Pengecapan
mengalami penurunan, gangguan penglihatan.
7. Persepsi dan konsep diri Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan
menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Luka yang
sukar sembuh, lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan
pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran
pada keluarga ( self esteem ).
8. Peran hubungan Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau menyebabkan
penderita malu dan menarik diri dari pergaulan.
9. Seksualitas Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi sek, gangguan kualitas
maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme.
Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan terjadi
impoten pada pria. risiko lebih tinggi terkena kanker prostat berhubungan
dengan nefropati.(Chin-Hsiao Tseng on journal, Maret 2011).
10. Koping toleransi Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang
kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi
psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan
lain – lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang konstruktif / adaptif.
11. Nilai keprercayaan Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi
tubuh serta luka pada kaki tidak menghambat penderita dalam melaksanakan
ibadah tetapi mempengaruhi pola ibadah penderita.

c. Pemeriksaan Fisik
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan dan
tanda – tanda vital.
1. Kepala dan leher Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran
pada leher, telinga kadang-kadang berdenging, adakah gangguan
pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah
goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah penglihatan kabur / ganda,
diplopia, lensa mata keruh.
2. Sistem integumen Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman
bekas luka, kelembaban dan shu kulit di daerah sekitar ulkus dan gangren,
kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
3. Sistem pernafasan Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada
penderita DM mudah terjadi infeksi.
4. Sistem kardiovaskuler Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau
berkurang, takikardi/bradikardi, hipertensi/ hipotensi, aritmia, kardiomegalis.
5. Sistem gastrointestinal Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare,
konstipasi, dehidrase, perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen,
obesitas.
6. Sistem urinary Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau
sakit saat berkemih.
7. Sistem muskuloskeletal Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn
tinggi badan, cepat lelah, lemah dan nyeri, adanya gangren di ekstrimitas.
8. Sistem neurologis Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi,
mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi.
Pengkajian Keperawatan
Pemeriksaan Fisik
1. Pengukuran tinggi dan berat badan.
2. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik.
3. Pemeriksaan funduskopi.
4. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
5. Pemeriksaan jantung.
6. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
7. Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular, neuropati,
dan adanya deformitas).
8. Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi,
necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan bekas lokasi penyuntikan insulin).
9. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain (PERKENI,
2015).

Diagnosa keperawatan
1. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual
muntah.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan osmotic diuresis.
3. Resiko ketidakstabilan gula darah berhubungan dengan hiperglikemi
4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kematian jaringan.
5. Resiko injury berhubungan dengan gangguan penglihatan (Nurarif, 2015)

Intervensi keperawatan
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan
untuk memasukan atau mencerna nutrisi oleh karena factor biologis, psikologis
atau ekonomi
Ds:
1. Nyeri abdomen
2. Muntah
3. Kejang perut
4. Rasa penuh tiba-tiba setelah makan
Do:
1. Diare
2. Rontok rambut yang berlebih
3. Kurang nafsu makan
4. Bising usus berlebih
5. Konjungtiva pucat
6. Denyut nadi lemah

Tujuan dan KH
NOC
A. Nutritional status adequacy of nutrient
B. Nutritional status : food and bfluid intake weight control
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam nutrisi teratasi dengan
indicator :
1. albumin serum
2. pre albumin serum
3. hematocrit
4. hemoglobin
5. total iron binding capacity
Intervensi
NIC
1. Ajarkan pasien bagaimana catatan makanan harian
2. memonitor turgor kulit
3. Monitor kekeringan. rambut kusam, total protein, Hb dan kadar Ht
4. monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva

2. Defisit Volume Cairan


Ds: Haus
Do:
1. Penurunan turgor kulit/lidah
2. Membrane mukosa/kulit
3. Peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah, penurunan volume/
tekanan nadi
4. Pengisian vena menurun
5. Perubahan status mental
6. Konsentrasi urine meningkat
7. Temperatur tubuh meningkat
8. Kehilangan berat badan secara tiba-tiba

Tujuan dan KH
NOC:
1. Fluid balance
2. Hydration
3. Nutritional status : food and fluid intake
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam deficit volume cairan
teratasi dengan Kriteria hasil :
1. Memempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine
normal
2. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
3. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membrane
mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
4. Orientasi terhadap waktu dan tempat baik
5. Jumlah dan irama

NIC
1. pertahankan catatan intake dan output yang akurat
2. Monitor status hidrasi (kelembaban membrane mukosa, nadi adekuat, tekanan
darah ortostatik (jika diperlukan).
3. Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN, hnt, osmolalitas
urin, albumin, total protein).
4. Monitor vital sign setiap 15 menit-1 jam.
5. Kolaborasi pemberian cairan IV
6. Monitor status nutrisi
7. Berikan cairan oral
8. Berikan penggantian nasogatrik sesuai output (50-100cc/jam)
9. Dorong keluaarga untuk membantu pasien makan
10. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul memburuk
11. Atur kemungkinan tranfusi

Evaluasi keperawatan
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan
klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.
Dalam evaluasi keperawatan menggunakan SOAP atau data subjektif, objektif,
analisa dan planning kedepannya. Jika masalah sudah teratasi intervensi tersebut
dapat dihentikan, apabila belum teratasi perlu dilakukan pembuatan planning
kembali untuk mengatasi masalah tersebut.

Evaluasi Keperawatan pada Pasien Diabetes Mellitus


Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan diabetes mellitus adalah sebagai
berikut.
1. Kondisi tubuh pasien stabil, tidak terjadi gangrene, tidak terjadi nyeri
2. Turgor kulit normal, tidak terjadi lesi atau integritas jaringan
3. Tanda-tanda vital normal
4. Berat badan dapat meningkat dengan nilai laboratorium normal dan tidak ada
tanda-tanda malnutrisi.
5. Cairan dan elektrolit pasien diabetes normal.
6. Infeksi dan komplikasi tidak terjadi
7. Rasa lelah atau keletihan berkurang/penurunan rasa lelah
8. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi nya yang menderita
diabetes melitus, efek prosedur dan proses pengobatan.

Evaluasi ini merupakan evaluasi terhadap pasien dengan diabetes mellitus dan
apabila dari poin satu sampai dengan poin 8 tersebut sudah tercapai oleh seorang
pasien, maka dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut sudah sehat dan dapat
meninggalkan rumah sakit. Tetapi pasien tetap harus memperhatikan kadar gulu
dalam darahnya, dengan cara makan makanan yang sehat, bergizi dan rendah
gula.
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
Dalam melakukan asuhan keperawatan tahap awal yang penulis lakukan adalah
mengumpulkan data tentang status sehat-sakit pasien. Proses pengumpulan data
tentang status sehat-sakit pasien dengan menggunakan pendekatan wawancara,
pemeriksaan fisik, studi dokumentasi (pemeriksaaan penunjang). Data tentang
status sehat-sakit pasien dapat dikategorikan menjadi data subjektif dan data
objektif. Data subjektif diperoleh dengan menggunakan pendekatan wawancara.
Berdasarkan sumber data, data dibedakan menjadi data primer dan data sekunder.
Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber asli (pasien), sedangkan
data sekunder merupakan data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung
melalui orang ketiga (perawat wisma).

Klien berinisial Ny. S berumur 72th beragama Islam dengan riwayat penyakit
Diabetes Melitus dan Hipertensi. Pengkajian yang dilakukan pada tanggal 16 Juli
2019 adalah sebagai berikut:
Keluhan Ny. S adalah adanya luka pada tangan dan kaki yang tidak kunjung
sembuh, serta leher dan tengkuk sering terasa tegang dan merasa pusing. Luka
yang dialami pada tangan berawal dari gatal-gatal akibat getah dari sayuran labu
siam saat kien masih berada di wisma cempaka. Klien mengatakan merawat
lukanya dengan cara dioleskan menggunakan soffel (lotion anti nyamuk).

Riwayat penyakit dahulu: Ny. S mengatakan sebelumnya pernah dirawat ± 4


tahun yang lalu dengan keluhan diare. Klien mengatakan tidak mempunyai
riwayat alergi. Riwayat penyakit keluarga: Ny. S mengatakan mengatakan
kakaknya juga menderita hipertensi. Klien merupakan anak ke 9 dari 15
bersaudara. Pola Nutrisi : Ny.S mengatakan biasa makan 3x sehari dan terkadang
memiliki memiliki makanan tambahan seperti roti atau pun gorengan. Minuman
yang disukai Ny. S adalah kopi Ny.S mengatakan jika dalam sehari Ny. S wajib
menghabiskan kopi 1 gelas yaitu pada pagi hari, turgor kulit tidak elastis dan
kering.

Pola Eliminasi: Ny.S mengatakan BAB 1x/hari pada pagi hari dan tidak
mengalami keluhan. Pasien juga mengatakan jika dirinya sering BAK di malam
hari ± 4x sehingga mengganggu tidur. Pola Personal hygiene: klien mengatakan
mandi 2x sehari menggunakan sabun, keras 2 hari 1 kali menggunakan shampo,
sikat gigi 3x sehari menggunakan pasta gigi dan menggunting kuku 1 minggu
sekali secara mandiri. Pola istirahat dan tidur: klien mengatakan tidur malam 5-6
jam sering terbangun karena ingin BAK dan tidur siang ±1 jam.

Saat dilakukan pemeriksaan fisik klien dalam kesadaran: composmentis, dengan


TD: 150/80 mmHg, N: 92x/menit RR: 20x/menit, BB: 40kg, TB: 148cm. Dari
pengkajian head to toe didapatkan data, kepala bentuk mesocepal, rambut putih,
mata: konjungtiva ananemis, sklera anikterik, pupil RCL (+/+) RCTL (+/+),
telinga: simetris, bersih, tidak ada penurunan fungsi pendengaran, mulut: mukosa
lembab, gigi tidak lengkap. Dada : dada simetris, tidak tampak penggunaan otot
bantu pernafasan, irama nafas reguler 20x/ menit, suara nafas vesikuler +/+,
bunyi jantung SI SII, tidak ada nyeri dada. Abdomen: perkusi: thympani, bising
usus 7x/menit, tidak ada nyeri tekan. Ektemitas atas, kekuatan otot 5555│5555,
terdapat luka pada tangan kanan, kulit kering, ekstremitas bawah, kekuatan otot
5555│5555 terdapat luka pada digiti 1 dextra, kulit kering, sering kram pada saat
tidur. Tulang belakang kifosis.

Hasil pengkajian khusus, masalah kesehatan kronis: tidak ada masalah kesehatan
kronis, Fungsi kognitif: tidak ada gangguan, Status fungsional: mandiri, status
psikologis: depresi sedang.

Hasil pemeriksaan GDP:101 mg/dl, GDS: 181 mg/dl. Ny. S mendapatkan terapi
obat amlodipine 10mg 1x1, metformin 500mg 2x1, allopurinol 2x1, paracetamol
2x1, ranitidine 2x1 captopril 25mg 1x1, vitamin B complek 2x1.
B. Analisa Keperawatan
Diagnosa keperawatan ditegakan berdasarkan data-data yang dikaji dimulai
dengan menetapkan masalah, penyebab, dan data pendukung. Masalah
keperawatan yang ditemukan adalah :
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan nekrosis jaringan yang
ditandai dengan klien mengatakan terdapat luka pada tangan yang tidak
kunjung sembuh sejak klien berada di wisma cempaka, dan luka terasa gatal,
luka tampak kering, derajat I, luka tidak berbau dan tidak ada pus. Hasil
GDP: 101 mg/dl, GDS:181 mg/dl, ttv: TD: 150/80 mmHg, N: 92x/menit, RR:
20x/menit.
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan proses penyakit
DM yang ditandai dengan terdapat luka pada tangan yang tidak kunjung
sembuh sejak klien berada di wisma cempaka, klien mengatakan sering kram
pada saat tidur, CRT 2 detik, tidak ada kemerahan, panas pada ektresmitas,
tidak ada parestesia. GDP: 101 mg/dl, GDS: 181 mg/dl.

C. Diagnosa Keperawatan
Masalah keperawatan yang ditegakan adalah
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan nekrosis jaringan
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan proses penyakit
DM

D. Intervensi Keperawatan
Dalam tahap perencanaan disesuaikan dengan teori yang terdiri dari outcome, Noc
dan Nic. Perencanaan yang dibuat adalah
1. Pada diagnosa pertama kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
nekrosis jaringan, outcome untuk diagnosa ini adalah setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan kondisi luka membaik
dengan kriteria hasil: integritas kulit yang baik, luka tidak bertambah lebar,
perfusi jarigan baik, mampu melindungi kulit dan mempertahankan
kelembaban kulit dan perawatan alami. NIC yang dibuat adalah kaji area
luka. Pertahankan kebersihan dan kekeringan luka. Mengajarkan kklien
tentang cara perawatan luka yang benar.
2. Pada diagnosa ke 2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan
dengan proses penyakit DM, outcome untuk diagnosa ini adalah setelah
dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan masalah
ketidakefektifan perfusi jaringan perifer teratasi dengan kriteria hasil: tidak
ada rasa kebas/ parestesia, akral hangat CRT < 3 detik. NIC yang dibuat
adalah lakukan penilaian sirkulasi secara komperhensif. Monitor panas,
kemerahan, nyeri, parestesia pada ektremitas. Ajarkan klien klien cara
perawatan kaki, luka dan kuku. Ajarkan senam kaki diabetik. Anjurkan
menggunakan pelembab pada kulit yang kering, monitor tanda dan gejala
hiperglikemia, kolaborasi pemberian antihiperglikemi oral metformin 500mg
2x1.

E. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan setelah perencanaan dirancang dengan baik. Tindakan
keperawatan mulai dilakukan tanggal 16-18 Juli 2019.

Untuk diagnosa Kerusakan integritas kulit berhubungan denga nekrosis jaringan


yang dilakukan pada tanggal 16 Juli 2019, mengkaji karakteristik luka, hasil:
lokasi luka diantara digiti 1 dan 2 ektremitas atas dextra, luka cenderung kering
warna dasar luka merah, klien mengatakan luka ada sejak berada di wisma
cempaka, dan kalau musim panas begini kaki saya kerig jadi luka.
Mempertahankan kebersihan luka, hasil : luka bersih dan kering.

Untuk diagnosa Ketidakefektif perfusi jaringan perifer berhubungan dengan


penyakit DM, dilakukan pada tanggal 16 Juli 2019, melakukan penilaian sirkulasi
secara komperhensif, hasil CRT 2 detik terdapat luka pada tangan yang sudah ada
sejak klien berada di wisma cempaka. Monitor panas, kemerahan parestesia pada
ektremitas, hasil: klien mengatakan sering kram pada malam hari, tidak ada
kemerahan dan panas pada area ektremitas. Mengajarkan klien melakukan
perawatan kaki dan kuku, hasil: klien mengerti jika harus menggunakan sandal,
menjaga kaki tetap lembab dengan menggunakan lotion. Memonitor GDS: 181
mg/dl.
F. Evaluasi Keperawatan
Hari pertama (Selasa, 16 Juli 2019).
Diagnosa 1. S: klien mengatakan luka pada tangan tidak sembuh- sembuh sejak
berada di wisma cempaka. Klien mengatakan kalau musim panas gini kaki saya
kering jadi ada luka ini. O: terdapat luka pada tangan kanan, terdapat warna dasar
luka merah, luka kering, tidak ada bau, GDP: 101 mg/dl GDS: 181 mg/dl, A:
masalah belum teratasi. P: lanjutkan intervensi.

Diagnosa 2. S: klien mengatakan sering kram pada malam hari pada bagian kaki.
O: TD: 150/80 mmHg, N: 92x/menit RR: 20x/menit, CRT 2 detik, terdapat luka,
tidak ada kemerahan pada ektremitas. GDS: 181 mg/dl. A: masalah belum
teratasi. P: intervensi dilanjutkan.
BAB IV
PEMBAHASAN

1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap pertama yang penulis lakukan di dalam proses
perawatan. Pengkajian ini melalui pengkajian pola fungsional menurut
Gordon, pemeriksaan fisik dengan metode head to toe, dan pengumpulan
informasi atau data – data ini diperoleh dari wawancara dengan pasien,
melakukan observasi, catatan keperawatan, dan pemeriksaan fisik.

Menurut NANDA (2012 - 2014) tanda gejala yang dapat muncul pada
pasien Ulkus Diabetes Melitus yaitu pola eliminasi terutama pada pola
BAK malam hari lebih sering, gula darah di atas normal dengan rentan
normal (80 – 100 g/ dL), terdapat perlukaan, panjang x lebar x kedalaman
luka tersebut, terjadi infeksi atau tidak. Berdasarkan hal tersebut
penulismelakukan pengkajian tidak berbeda jauh jika dibandingkan
dengan tinjauan teori yang ada. Hanya saja saat dilakukan pengkajian pola
BAK pasien sudah mulai normal dan maksimal hanya satu kali terbangun
untuk BAK pada malam hari., dalam roses pengumpulan data penulis
menggunakan metode wawwancara dengan Ny.S observasi secara
langsung tentang status sehat – sakit pasien dengan menggunakan
pemeriksaan fisik, studi dokumentasi (pemeriksaaan penunjang).

Diabetes Melitus merupakan kelainan metabolik dengan etiologi


multifaktorial. Penyakit ini ditandai oleh hiperglikemia kronis dan
mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Patofisiologi
Diabetes Melitus akan ditemukan dengan berbagai gejala, seperti poliuria
(banyak berkemih), polidipsia (banyak minum), dan polifagia (banyak
makan) dengan penurunan berat badan. Hiperglikemia dapat tidak
terdeteksi karena penyakit Diabetes Melitus tidak menimbulkan gejala
(asimptomatik) dan menyebabkan kerusakan vaskular sebelum penyakit
terdeteksi (Gibney, dkk., 2008).

Walaupun Diabetes Melitus merupakan penyakit kronik yang tidak dapat


menyebabkan kematian secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila
pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan Diabetes Melitus memerlukan
penanganan secara multidisiplin yang mencakup terapi non-obat dan terapi
obat. Penyakit Diabetes Melitus memerlukan perawatan medis dan
penyuluhan untuk self management yang berkesinambungan untuk
mencegah komplikasi akut maupun kronis.

Pada saat ini penyakit tidak menular seperti hipertensi dan Diabetes
Melitus merupakan penyakit yang sering terjadi di masyarakat sehingga
perlu dilakukan tindakan intervensi dalam kegiatan Program PPTM
(Penanggulangan Penyakit Tidak Menular). Dengan memperbanyak
skrining, penyuluhan kesehatan, perencanaan makan, rutin melakukan
olahraga serta penyiapan logistiknya terutama obat diharapkan penderita
diabetes dalam kondisi stabil.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu keputusan klinik yang diberikan
kepada pasien mengenai respon individu untuk menjaga penurunan
kesehatan, status, dan mencegah serta merubah. (NANDA, 2011).
Berdasarkan hal tersebut penulis dalam kasus asuhan keperawatan pada
pasien dengan post debridement ulkus diabetes melitus menegakkan
sebanyak dua diagnosa dan ada dua diagnose yang tidak penulis tegakkan.

1. Diagnosa yang muncul


Berdasarkan data pengkajian yang diperoleh, Menurut NANDA (2013)
Diagnosa pertama yang muncul yaitu kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan post debridement ulkus dm. kerusakan integritas
kulit merupakan kerusakan yang terjadi pada jaringan kulit dan dapat
meningkat dari epidermis sampai jaringan subkutan jika tidak dilakukan
perawatan secara multidisiplin (Sunaryo, 2011). Alasan penulis
menegakkan kerusakan integritas kulit ini karena tindakan debridement
dilakukan dengan pengangkatan jaringan mati pada luka ulkus dan
otomasi dilakukan berupa sayatan untuk menghilangkan bagian jaringan
mati tersebut dan hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh
Sunaryo, 2011.

Dampak yang timbul akibat penanganan diabetes melitus yang tidak tepat
adalah ketoasidosis diabetik dan sindrom hiperglikemik hyperosmolar non
ketosis (HHNK). Hiperglikemia jangka panjang dapat menunjang
terjadinya komplikasi mikrovaskuler kronis (penyakit ginjal dan mata)
serta komplikasi neoropatik. Diabetes juga berkaitan dengan suatu
peningkatan kejadian makrovaskuler, termasuk infark miokard,stroke dan
penakit vascular perifer (Baughman, 2000).

Berdasarkan hal di atas, diagnosa yang muncul ada dua dan untuk
diagnosa kedua dan overlap, dimana hanya memerlukan dignosa yang
kedua saja karena kedua diagnosa yaitu resiko infeksi berhubungan
dengan post debridement ulkus dm teratasi maka diagnose kedua yang
merupakan kerusakan integritas kulit juga akan teratasi, seharusnya
diagnosa yang perlu muncul adalah kurang pengetahuan berhubungan
dengan kurang informasi mengenai penyakit kronis yang diderita. Karena
hal ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada pasien supaya
mengetahui tanda gejala infesi, keterbukaan dalam mendapatkan
perawatan, dan lain sbagainnya. Namun penulis tidak memunculkan
diagnosa ini dikarenakan data – data yang tidak begitu kuat untuk
menegakkan diagnosa ini.

2. Diagnosa yang tidak mucul


Pada kasus pasien post debridement ulkus diabetes melitus, penulis tidak
memunculkan diagnosa sesuai dengan tinjauan teori dikarenakan data
yang diperoleh tidak menunjukkan adanya tanda – tanda yang mendukung
diagnosa ini dimunculkan. Diagnose yang tidak muncul pada kasus ini
antara lain :

Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri akut pada kaki .


Mobilitas merupakan kemampuan seorang individu dalam menjalani
aktifitas secara maksimal atau keterbatasan pergerakan fisik secara
mandiri oleh sesorang (Carpenito, 2006). Diagnosa ini tidak penulis
tegakkan karena Ny. S mampu melakukan aktifitas secara normal, mampu
berjalan, duduk, bangun dari tempat tidur secara mandiri terkadang juga
dibantu keluarga untuk memegangi saja.

Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri akut pada kaki.


Mobilitas fisik merupakan kemampuan seorang individu dalam menjalani
aktifitas secara maksimal atau keterbatasan pergerakan fisik secara
mandiri oleh sesorang (Carpenito, 2006). Diagnosa ini tidak penulis
tegakkan karena Ny.S mampu melakukan aktifitas secara normal, mampu
berjalan, duduk, bangun dari tempat tidur secara mandiri terkadang juga
dibantu keluarga untuk memegangi saja.

Diagnosa kedua yang tidak penulis munculkan yaitu ketidakstabilan kadar


glukosa dalam darah berhubungan dengan penurunan berat badan (Nanda,
2013). Ketidakstabilan glukosa dalam darah merupakan kenaikan glukosa
dalam darah karena glukosa tidak mampu masuk kedalam sel jadi
mengganggu kestabilan kadar glukosa dalam darah. Untuk mengatasi
ketidakstabilan glukosa dalam darah penulis memberikan terapi insulin
Novorapid. Dalam pemeberian terapi insulin Novorapid harus diperhatikan
5 benarpmberian obat antara lain ; benar obat, benar dosis, benar pasien,
benar waktu, benar.
3. Intervensi keperawatan
Pada tahap ini penulis membuat prioritas urutan diagnosa keperawatan
gerontik yang telah dibuat, kemudian merumuskan tujuan dan kriteria hasil
dengan jelas, dapat diukur, dapat dicapai, realistis dan ketentuan waktu
yang sesuai dengan tujuan sehingga memungkinkan tercapai. Penulis
membuat intervensi dengan landasan teoritis yang disesuaikan dengan
kondisi pasien. Namun dalam hal ini penulis tidak dapat mencantumkan
seluruh rencana tindakan yang ada dalam teori mengingat keterbatasan
pengetahuan penulis serta keterbatasan waktu dalam pelaksanaannya
kemudian

Kebutuhan Ny. S dalam waktu perawatan yang diberikan dalam perawatan


pada kasus Ny. S. Semua perencanaan secara teori disusun ke dalam
perencanaan tindakan kepada Ny. S, hal ini disesuaikan dengan tingkat
kemampuan klien, fasilitas sarana dan prasarana di Panti serta waktu
sehingga perencanaan dibuat atau disusun sedemikian rupa agar
perencanaan yang telah dibuat dapat dilaksanakan kepada Ny. S.

Faktor pendukung yang penulis rasakan pada tahap ini yaitu adanya
kemampuan penulis dalam menyusun rencana intervensi yang terkait
dengan konsep asuhan keperawatan jiwa secara teoritis, dan kemampuan
perawat dalam menentukan tujuan dan kriteria hasil berdasarkan buku
Asuhan Keperawatan Jiwa (Damaiyanti, 2014).

4. Implementasi
Menurut Effendy (2015) implementasi adalah pengelolaan dan
perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap
perencanaan. Sebelum melakukan tindakan keperawatan yang telah di
rencanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana
tindakan masih sesuai dan dibutuhkan pasien sesuai kondisinya saat ini
atau here and now. Implementasi keperawatan yang dilakukan penulis
disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan yang telah disusun.
tindakan keperawatan yang penulis lakukan kepada pasien sesuai dengan
intervensi, sehingga kebutuhan pasien dapat terpenuhi (wilkinson, 2011).

Implementasi keperawatan yang dilakukan pada Ny. S dimulai pada


tanggal 16-18 Juli 2019. Implementasi keperawatan untuk diagnosa
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan nekrosis jaringan dan
Ketidakefektif perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penyakit DM,
peneliti melakukan rencana tindakan keperawatan yang telah disusun
sebelumnya berdasarkan keadaan klien.

Pelaksanaan tindakan asuhan keperawatan disesuaikan dengan rencana


tindakan keperawatan berdasarkan teori (NIC) diagnosa Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan nekrosis jaringan yaitu : mengkaji
karakteristik luka, hasil: lokasi luka diantara digiti 1 dan 2 ektremitas atas
dextra, luka cenderung kering warna dasar luka merah, Ny. S mengatakan
luka ada sejak berada di wisma cempaka, dan kalau musim panas begini
kaki saya kerig jadi luka. Mempertahankan kebersihan luka, hasil : luka
bersih dan kering.

Menurut (Smeltzer, 2008: 1245) gejala tersebut sering bersifat ringan dan
dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka yang lama
sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur, seperti yang di alami
pada ny.S terdapat luka pada tangan yang tidak kunjung sembuh sejak Ny.
S berada di wisma cempaka, dan luka terasa gatal, luka tampak kering,
derajat I, luka tidak berbau dan tidak ada pus. Hasil GDP: 101 mg/dl,
GDS:181 mg/dl, ttv: TD: 150/80 mmHg, N: 92x/menit, RR: 20x/menit.

Hal ini sesuai menurut (Tarwoto, 2012: 228). penyembuhan luka harus
dikaji dan dimanajemen, multidisplin untuk mencapai tujuan yang optimal
pada ulkus kaki diabetik. Beberapa komorbiditi yang mempengaruhi
penyembuhan luka meliputi hiperglikemia dan penyakit vaskuler.

Pelaksanaan tindakan asuhan keperawatan disesuaikan dengan rencana


tindakan keperawatan berdasarkan teori (NIC) diagnose Ketidakefektif
perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penyakit DM yaitu :
melakukan penilaian sirkulasi secara komperhensif, hasil CRT 2 detik
terdapat luka pada tangan yang sudah ada sejak Ny. S berada di wisma
cempaka. Monitor panas, kemerahan parestesia pada ektremitas, hasil: Ny.
S mengatakan sering kram pada malam hari, tidak ada kemerahan dan
panas pada area ektremitas. Mengajarkan Ny. S melakukan perawatan kaki
dan kuku, hasil: Ny. S mengerti jika harus menggunakan sandal, menjaga
kaki tetap lembab dengan menggunakan lotion. Memonitor GDS: 181
mg/dl

Menurut Benbow etiologi ulkus diabetik biasanya memiliki banyak


komponen meliputi neuropati sensori perifer, trauma, deformitas, iskemia,
pembentukan kalus, infeksi, dan edema. Sedangkan menurut Oguejiofor,
Oli, dan Odenigbo selain disebabkan oleh neuroati perifer (sensorik,
motorik, otonom) dan penyakit pembuluh darah perifer (makro dan mikro
angiopati) faktor lain yang berkontribusi terhadap kejadian ulkus kaki
adalah deformitas kaki (yang dihubungkan dengan peningkatan tekanan
pada plantar), gender laki-laki, usia tua, kontrol gula darah yang buruk,
hiperglikemia yang berkepanjangan dan kurangnya perawatan kaki
(Tandra, 2009: 73)

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk memperbaiki proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan,
rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Melalui
evaluasi perawat untuk memonitor kealpaan yang terjadi selama tahap
pengkajian, analisa, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan keperawatan
(Nursalam, 2010). Evaluasi ini dilakukan dengan menggunakan komponen
SOAP. Adapun hasil evaluasi yang diperoleh dari Ny. S adalah sebagai
berikut : Hari pertama (Selasa, 16 Juli 2019)
Diagnosa 1. S: klien mengatakan luka pada tangan tidak sembuh- sembuh
sejak berada di wisama cempaka. Klien mengatakan kalau musim panas
gini kaki saya kering jadi ada luka ini. O: terdapat luka pada tangan
kanan, terdapat warna dasar luka merah, luka kering, tidak ada bau,
GDP: 101 mg/dl GDS: 181 mg/dl, A: masalah belum teratasi. P: lanjutkan
intervensi.

Diagnosa 2. S: klien mengatakan sering kram pada malam hari pada


bagian kaki. O: TD: 150/80 mmHg, N: 92x/menit RR: 20x/menit, CRT 2
detik, terdapat luka, tidak ada kemerahan pada ektremitas. GDS: 181
mg/dl. A: masalah belum teratasi. P: intervensi dilanjutkan.

Anda mungkin juga menyukai