tp
s:
//b
an
te
n.
bp
s.
go
.id
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
Analisis Sosial Ekonomi Provinsi
Banten 2018
ISSN : 2622-1160
No. Publikasi: 36550.1907
Katalog: 3101014.36
.id
Jumlah Halaman: xii + 103 halaman
o
.g
Naskah:
ps
Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik BPS Provinsi Banten
b
Penyunting:
n.
Penerbit:
tp
Pencetak:
CV. Dharmaputra
Publikasi analisis ini menyajikan data dan informasi terkini mengenai kondisi perekonomian,
.id
ketenagakerjaan, kemiskinan, ketimpangan pembangunan, dan kualitas pertumbuhan
ekonomi, serta berbagai hal yang berkaitan dengannya, seperti inflasi, investasi, ekspor-
o
.g
impor, produksi tanaman padi, nilai tukar petani, dan upah pekerja.
ps
Diharapkan publikasi analisis sosial ekonomi ini dapat dijadikan sebagai bahan yang
b
memperkaya literatur, sekaligus alat evaluasi pembangunan sosial ekonomi Banten.
n.
Akhirnya, kami menghaturkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
e
membantu terbitnya publikasi ini. Kritik dan saran, sangat kami harapkan untuk perbaikan
nt
.id
1. Kondisi Perekonomian .............................................................................. 1
o
Ekonomi Banten Tumbuh Menguat dan Lebih Cepat Dibandingkan Nasional 3
.g
Pertumbuhan Ekonomi Banten Lebih Banyak Ditopang Oleh Lapangan
b ps
Usaha yang Mengalami Perlambatan Pertumbuhan ................................... 7
Struktur Ekonomi Semakin Didominasi Oleh Sektor Tersier ........................ 9
n.
Halaman
.id
Kualitas SDM Penduduk Miskin Sangat Rendah ......................................... 47
o
.g
Penduduk Miskin, Antara Penganggur dan Pekerja Sektor Informal ............ 48
4.
ps
Ketimpangan Pembangunan .....................................................................
b
51
n.
Tengah .................................................................................................. 56
//b
Halaman
o .id
.g
b ps
e n.
a nt
//b
s:
tp
ht
.id
Laju dan Sumber Pertumbuhan Ekonomi Banten
Tabel 1.4
o
Menurut Pengeluaran
.g
Tahun 2017-2018 (Persen) ……………………………………………………….. 13
Tabel 1.5 ps
Struktur Ekonomi Banten Menurut Pengeluaran
Tahun 2017-2018 (Persen) ………………………………………………..……… 14
b
e n.
Tabel 2.1 TPAK Banten Menurut Jenis Kelamin dan Daerah Tempat Tinggal
nt
Tabel 2.2 TPT Banten Menurut Jenis Kelamin dan Daerah Tempat Tinggal
//b
Tabel 2.3 Penduduk Banten yang Bekerja Menurut Jenis Kelamin dan
tp
Tabel 3.1 Garis Kemiskinan Banten Menurut Daerah Tempat Tinggal dan
Kelompok Pengeluaran
September 2017-2018 ……….……………………………………………………. 39
Tabel 3.2 Komposisi Garis Kemiskinan Banten Menurut Komoditas dan
Daerah Tempat Tinggal
September 2018 ……….……………………….……………………………………. 41
Tabel 3.3 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Banten
Menurut Daerah Tempat Tinggal
September 2017-2018 ……….……………………………………………………. 44
Tabel 5.1 Indikator Kualitas Pro Job dari Pertumbuhan Ekonomi Banten
Tahun 2012-2018 ……………………………………………………………………. 73
Tabel 5.2 Indikator Kualitas Pro Poor dari Pertumbuhan Ekonomi Banten
Tahun 2012-2018 ……………………………………………………………………. 75
o .id
.g
b ps
e n.
a nt
//b
s:
tp
ht
.id
Gambar 2.1 Jumlah Angkatan Kerja dan TPAK Banten
Agustus 2012-2018 ................................................................... 20
o
Gambar 2.2 Distribusi Persentase Angkatan Kerja Banten
.g
Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan
b ps
Agustus 2017 2018 .................................................................. 23
Gambar 2.3 Jumlah Penganggur dan TPT Banten
n.
.id
Menurut Pembagian Daerah
o
Tahun 201 .............................................................................. 57
.g
Gambar 4.4 Perbandingan Indeks Williamson (IW) Total dan IW Tanpa
Industri Pengolahan Banten
ps
Tahun 2018 (Persen) …………....................................................
b
59
Gambar 4.5 Perkembangan Indeks Gini Banten
n.
Perekonomian
Kondisi
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
Kondisi
Perekonomian 1
o .id
Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan harus dievaluasi, agar dapat diketahui sejauh
.g
mana keberhasilan atau prestasi yang telah dicapai dan apa saja yang perlu diperbaiki.
ps
Salah satu indikator yang umum digunakan untuk mengukur prestasi pembangunan
b
ekonomi suatu negara adalah Produk Domestik Bruto (PDB). Adapun alat ukur prestasi
n.
pembangunan ekonomi untuk tingkat wilayah, yang selaras dengan PDB adalah Produk
e
PDRB merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah yang tercipta akibat timbulnya
//b
berbagai aktivitas ekonomi di suatu wilayah. Dari sisi supply, PDRB menggambarkan
s:
kemampuan suatu wilayah dalam mengelola sumber daya alam, tenaga kerja dan teknologi
tp
yang dimilikinya, untuk melakukan proses produksi yang menghasilkan barang dan jasa.
Produk barang dan jasa yang dihasilkan ini, selanjutnya digunakan untuk memenuhi
ht
demand. Oleh karena itu dari sisi demand, PDRB mencerminkan jumlah permintaan akhir
yang dilakukan oleh berbagai institusi ekonomi, termasuk permintaan dari luar atau ekspor.
Semakin kuat dan cepat interaksi antara supply dan demand tersebut, akan semakin tinggi
pula pertumbuhan ekonomi yang dihasilkannya.
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, tekanan eksternal dari luar negeri yang dihadapi
Ekonomi Banten selama tahun 2018 tidak begitu berat. Hal ini karena kondisi ekonomi
global secara umum sudah semakin membaik, meskipun sedikit mengalami pelemahan
pertumbuhan akibat adanya perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok.
Demikian pula dengan kondisi negara-negara mitra dagang utama, yang terus mengalami
perbaikan (IMF-World Economic Outlook April 2019).
Imbasnya, permintaan luar negeri terhadap produk barang dan jasa Banten mengalami
kenaikan. Kondisi yang demikian ditandai oleh naiknya ekspor dari 11,3 miliar US$ pada
tahun 2017 menjadi 11,9 miliar US$ pada tahun 2018. Selain itu, kecuali pada bulan
Fabruari, Maret, Juni, dan Desember, nilai ekspor bulanan selama tahun 2018 selalu lebih
tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
Hanya saja, terlalu bergantungnya struktur industri pengolahan Banten terhadap pasokan
bahan baku impor, membuat impor luar negeri bertambah 1,8 miliar US$ hingga menjadi
12,9 miliar US$ pada tahun 2018. Akibatnya, neraca perdagangan luar negeri menurun
drastis, yaitu dari surplus 0,21 miliar US$ di tahun 2017 menjadi defisit 0,95 miliar US$
(BPS Provinsi Banten-BRS Perkembangan Ekspor dan Impor Banten, Keadaan Januari-
Desember 2018).
.id
Betapapun juga, bertambahnya impor menjadi penanda bahwa ekonomi Banten selama
o
.g
tahun 2018 memang sedang menggeliat. Hal ini karena barang impor, terutama impor
ps
bahan baku biasa digunakan untuk keperluan produksi barang dan jasa. Adapun impor
barang modal, dipakai untuk meningkatkan kapasitas produksi barang dan jasa.
b
n.
Selain tekanan luar negeri yang tidak begitu berat, sisi domestik juga mendorong adanya
e
perbaikan kondisi ekonomi. Kondisi ini setidaknya diketahui dari realisasi penanaman modal
nt
di Banten selama tahun 2018, yang secara keseluruhan mengalami peningkatan. Dengan
a
//b
peningkatannya berasal penanaman modal dalam negeri (PMDN), yang meningkat dari
15,14 triliun rupiah menjadi 18,64 triliun rupiah. Sementara penanaman modal luar negeri
s:
(PMA) justru mengalami penurunan dari 3,05 miliar US$ menjadi 2,83 miliar US$
tp
(nisw.bkpm.go.id).
ht
Disamping itu, pengeluaran pemerintah selama tahun 2018 juga meningkat, baik untuk
belanja pemerintah daerah maupun belanja pemerintah pusat yang dikeluarkan di Banten.
Belanja Pemerintah Provinsi Banten dan Pemerintah Kabupaten/Kota se Banten, masing-
masing meningkat sebesar 9,78 persen dan 9,04 persen dibandingkan tahun 2017. Adapun
belanja pemerintah pusat yang dibelanjakan di Banten, setidaknya dapat diketahui dari
APBN 2018 yang bertambah 87,3 triliun rupiah hingga menjadi 2.220,7 triliun rupiah
(www.kemenkeu.go.id).
TNI/Polri juga lebih tinggi, karena terdiri dari gaji pokok dan komponen gaji lainnya, plus
tunjangan kinerja.
Ketiga, kenaikan upah buruh informal, yang setidaknya ditandai oleh rata-rata upah/gaji/
pendapatan bersih sebulan pekerja sektor konstruksi yang meningkat 4,52 persen (BPS,
2018a). Keempat, upah buruh tani yang naik 6,45 persen. Sementara nilai tukar petani
(NTP) rata-rata yang turun 0,06 persen (BPS Provinsi Banten-Perkembangan Nilai Tukar
Petani dan Harga Produsen Banten Januari-Desember 2017 dan Januari-Desember 2018).
.id
rupiah pada Desember 2018 (Statistik Ekonomi dan Keuangan Daerah-Desember 2018,
www.bi.go.id).
o
.g
ps
Gambar 1.1. PDRB Nominal dan Pertumbuhan Ekonomi Banten
Tahun 2012-2018
b
e n.
nt
700 10
a
614,9
//b
600 563,5 8
6,83
s:
6,67
518,3
5,51 5,45
tp
500 6
ht
300 2
200 0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Disamping itu, rendahnya volatilitas harga berbagai jenis barang dan jasa yang
diperdagangkan, membuat laju inflasi selama tahun 2018 hanya sebesar 3,42 persen, jauh
lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 3,98 persen (BPS Provinsi
Banten, BRS Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi, Desember 2017 dan
Desember 2018). Rendahnya laju inflasi ini menjadi penopang bagi naiknya daya beli
masyarakat serta mendorong terjadinya peningkatan konsumsi rumahtangga domestik.
Dari sisi suplai, pembangunan dan perbaikan fasilitas infrastruktur jalan dan bangunan sipil
lainnya yang dilakukan selama tahun 2018, juga memberi peluang bagi perbaikan kondisi
ekonomi. Dalam hal ini, termasuk juga pembangunan infrastruktur di desa yang sumber
dananya berasal dari dana desa, yang untuk Banten nilainya mencapai 0,94 triliun rupiah
(datin.kemendesa.go.id).
Sayangnya, program upaya khusus (Upsus) peningkatan produksi, untuk tahun 2018 tidak
lagi terfokus pada tanaman padi. Akibatnya, produksi tanaman padi (GKG) hanya tumbuh
2,27 persen. Meskipun demikian, tanaman jagung yang dipilih menjadi fokus Upsus 2018,
.id
produksinya meningkat 174,5 persen.
o
.g
Tabel 1.1. Perbandingan Agregat PDRB Banten dan PDB Indonesia
ps
Tahun 2017-2018
b
n.
e
X) XX)
Uraian 2017 2018
nt
1. Banten
s:
2. Indonesia
Di tengah tekanan dan peluang yang dihadapi, ekonomi Banten terlihat jauh lebih
berkembang dibandingkan tahun sebelumnya. Level ekonomi bertambah sebesar 51,4
triliun rupiah, hingga menjadi 614,9 triliun rupiah pada tahun 2018. Seiring dengan naiknya
level ekonomi, pendapatan per kapita yang didekati dengan PDRB per Kapita juga
bertambah dari 45,3 juta rupiah menjadi 48,5 juta rupiah. Meskipun demikian, angka
pendapatan per kapita ini masih tetap di bawah rata-rata Nasional yang mencapai 56 juta
rupiah (Tabel 1.1).
Secara riil pun, ekonomi Banten mampu tumbuh 5,81 persen, lebih cepat atau mengalami
percepatan pertumbuhan dibandingkan tahun 2017 yang hanya tumbuh 5,73 persen.
Bahkan angka pertumbuhan ekonomi ini, berada di atas Nasional yang tumbuh 5,17
persen. Hanya saja, percepatan pertumbuhan ini tidak membuat share ekonomi Banten
terhadap Nasional menjadi bertambah.
.id
Pertumbuhan Ekonomi Banten Lebih Banyak Ditopang Oleh Lapangan Usaha
o
.g
yang Mengalami Perlambatan Pertumbuhan
ps
Akselerasi atau percepatan pertumbuhan ekonomi Banten pada tahun 2018, dari sisi supply
b
disebabkan oleh penguatan yang terjadi pada sebagian lapangan usaha yang ada. Dalam
n.
konteks ini, terutama adalah percepatan pertumbuhan pada lapangan usaha perdagangan
e
besar-eceran dan reparasi mobil-motor, lapangan usaha jasa keuangan dan asuransi, dan
nt
Kondisi tersebut diperkuat oleh lapangan usaha konstruksi, lapangan usaha real estate,
s:
lapangan usaha transportasi dan pergudangan, serta lapangan usaha informasi dan
tp
tumbuh minimal 7,35 persen. Bahkan, diperkuat pula oleh lapangan usaha industri
pengolahan serta lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan, yang masing-
masing juga melambat dan hanya tumbuh sebesar 3,61 persen dan 3,58 persen.
Kedua, akan mempengaruhi serapan tenaga kerja, karena industri pengolahan selama ini
dikenal sebagai lapangan usaha dengan tingkat elastisitas kesempatan kerja tertinggi
dibandingkan lapangan usaha lainnya. Ketiga, merupakan kelanjutan dari implikasi kedua,
yakni bukan hanya akan memperlambat kecepatan pengentasan kemiskinan, malah
mungkin dapat menaikkan insiden kemiskinan.
Sumber
Laju Pertumbuhan
Pertumbuhan
Lapangan Usaha
X) XX) X) XX)
2017 2018 2017 2018
.id
3. Industri Pengolahan 3,70 3,61 1,33 1,27
o
.g
4. Pengadaan Listrik, Gas 0,50 7,20 0,01 0,07
16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8,16 6,85 0,10 0,08
Sementara itu pertumbuhan ekonomi Banten sendiri lebih banyak ditopang oleh lapangan
usaha yang justru mengalami perlambatan pertumbuhan. Khususnya, lapangan usaha
.id
industri pengolahan, lapangan usaha konstruksi, lapangan usaha real estate, lapangan
o
usaha transportasi dan pergudangan, serta lapangan usaha informasi dan komunikasi.
.g
Kelima lapangan usaha ini mampu menyumbang 3,60 persen poin dari total pertumbuhan
ps
ekonomi Banten yang mencapai 5,81 persen. Adapun sumbangan yang diberikan oleh
b
lapangan usaha perdagangan besar-eceran dan reparasi mobil-motor terhadap
n.
Adanya perbedaan kinerja pertumbuhan antar lapangan usaha, merupakan hal yang biasa
tp
terjadi dalam proses pembangunan ekonomi di suatu wilayah. Perbedaan kinerja ini, dalam
ht
jangka pendek hanya akan menggeser struktur ekonomi atau komposisi masing-masing
lapangan usaha dalam pembentukan PDRB nya. Namun bila terus berlangsung, dalam
jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya perubahan yang fundamental dalam
struktur ekonomi wilayah tersebut atau yang lebih dikenal sebagai perubahan struktural.
Perubahan struktural, secara teoritis merupakan peralihan struktur ekonomi dari sektor
primer yang tradisional dengan pertanian sebagai lapangan usaha utama, kepada sektor
tersier yang lebih didominasi oleh penyediaan jasa-jasa. Perubahan ini berlangsung dalam
dua tahap, yaitu dari sektor primer menuju sektor sekunder, dengan industri pengolahan
berteknologi produksi increasing return to scale (IRS) yang dinamis sebagai motor utama
penggerak pertumbuhan ekonomi. Selajutnya, dari sektor sekunder kepada sektor tersier,
dimana industri pengolahan menjadi penunjang utama berkembangnya penyediaan jasa-
jasa (Wiess dalam Tambunan, 2001).
X) XX)
Lapangan Usaha 2017 2018
.id
1. Industri Pengolahan 31,93 31,20
o
.g
2. Konstruksi 10,30 10,61
Daur Ulang
e
12,29 12,49
Sepeda Motor
//b
Struktur ekonomi Banten sendiri, sejak tahun 2015 lalu sudah didominasi oleh sektor tersier
(BPS Provinsi Banten, 2019). Bahkan, share nya terus meningkat hingga menjadi 49,55
persen pada tahun 2018 (Tabel 1.3). Secara eksplisit, hal ini menandakan bahwa
perubahan struktural yang terjadi dalam perekonomian Banten, berada pada tahap kedua.
Kondisi yang demikian itu, terutama dapat terjadi karena rendahnya pertumbuhan
lapangan usaha industri pengolahan. Meskipun demikian, share nya dalam perekonomian
masih sangat besar, yakni mencapai 31,20 persen.
Selain industri pengolahan, lapangan usaha lain yang mendominasi perekonomian Banten,
secara berurutan masing-masing adalah lapangan usaha perdagangan besar-eceran dan
reparasi mobil-sepeda motor, lapangan usaha transportasi dan pergudangan, lapangan
usaha konstruksi, lapangan usaha real estate, serta lapangan usaha pertanian, kehutanan
.id
dan perikanan. Adapun lapangan usaha informasi dan komunikasi yang pada tahun 2018
o
ini menjadi salah satu penopang percepatan pertumbuhan ekonomi Banten, hanya
.g
menduduki peringkat 7 dari 17 lapangan usaha yang ada.
b ps
n.
Sejak berdiri pada tahun 2000, struktur ekonomi Banten selalu didominasi oleh lapangan
a
//b
usaha industri pengolahan. Namun dengan semakin rendahnya laju pertumbuhan, share
lapangan usaha industri pengolahan dalam perekonomian terus mengalami penurunan.
s:
Bahkan selama periode 2010-2018, hanya pada tahun 2013 saja yang share nya sedikit
tp
menurun (Gambar 1.2). Selebihnya menurun cukup drastis, sehingga angka penurunannya
ht
selama periode tersebut rata-rata mencapai 1,01 persen poin per tahun. Fenomena seperti
ini mengemuka juga di Indonesia, sehingga banyak orang yang percaya bahwa telah terjadi
proses deindustrialisasi. Benarkah?
Mengacu kepada pendapat Rowthorn dan Ramaswamy (1997), selama periode 2010-2018
sepertinya belum terjadi deindustrialisasi pada lapangan usaha industri pengolahan
Banten. Hal ini karena saat share nya menurun di tahun 2011, 2014 dan 2017, pangsa
tenaga kerjanya justru meningkat (Gambar 1.2). Dengan kata lain, terjadi inefisiensi usaha,
karena ada penambahan tenaga kerja pada saat nilai tambah menurun. Dalam konteks ini,
pada tahun-tahun tersebut malah terdapat indikasi perubahan teknologi produksi dalam
struktur usaha industri pengolahan Banten, yaitu dari yang mulanya lebih bercirikan padat
modal menjadi semakin padat tenaga kerja.
Betapapun juga, penilaian lebih jelas dapat diperoleh dengan melihat perbandingan garis
trennya. Tampak bahwa garis tren Share NTB (berwarna kuning) curam dan menurun,
yang menandakan cepatnya penurunan Share NTB industri pengolahan. Sementara tren
Pangsa Tenaga Kerja (berwarna hijau) landai dan agak menurun, yang mengindikasikan
pula adanya penurunan pangsa tenaga kerja, meskipun dengan kecepatan yang lebih
lambat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Banten memang akan mengalami
deindustrialisasi, walaupun tidak akan terjadi dalam jangka pendek.
o .id
Gambar 1.2. Perkembangan Share NTB dan Pangsa Tenaga Kerja
.g
Lapangan Usaha Industri Pengolahan Banten
Tahun 2010-2018 (Persen)
bps
e n.
nt
39,71
a
38,49
37,50 37,30
//b
34,70
33,52
32,55 31,93
s:
31,20
tp
ht
Percepatan pertumbuhan ekonomi Banten pada tahun 2018, dari sisi demand disebabkan
oleh percepatan pertumbuhan yang terjadi pada hampir seluruh komponen pengeluaran.
Dalam hal ini, terutama adalah percepatan pertumbuhan pada komponen pengeluaran
konsumsi rumahtangga, komponen konsumsi pemerintah dan komponen ekspor neto.
Selain itu, juga diperkuat oleh komponen pembentukan modal tetap bruto, yang meskipun
mengalami perlambatan, namun mampu tumbuh 7,12 persen (Tabel 1.4).
Sementara itu pertumbuhan ekonomi Banten pada tahun 2018 ini, masih didorong oleh
komponen pengeluaran konsumsi rumahtangga dan komponen pembentukan modal tetap
bruto. Kedua komponen tersebut masing-masing memberikan kontribusi sebesar 3,02
persen poin dan 2,19 persen poin dari total pertumbuhan ekonomi Banten yang mencapai
5,81 persen. Adapun komponen perubahan inventori, meskipun tumbuh paling tinggi, tapi
kurang memiliki kontribusi yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Banten.
.id
Tabel 1.4. Laju dan Sumber Pertumbuhan Ekonomi Banten Menurut Pengeluaran
o
Tahun 2017-2018 (Persen)
.g
ps
b
Laju Sumber
Pertumbuhan Pertumbuhan
n.
Komponen Pengeluaran
e
X) XX) X) XX)
2017 2018 2017 2018
a nt
Struktur ekonomi Banten dari sisi demand, dalam dua tahun terakhir ini cenderung tidak
menunjukkan perubahan yang berarti. Aktivitas permintaan akhir masih didominasi oleh
komponen pengeluaran konsumsi rumahtangga yang mencakup lebih dari separuh PDRB
Banten. Sementara peranan komponen lainnya, secara berurutan adalah komponen
pembentukan modal tetap bruto, komponen ekspor neto, komponen pengeluaran
konsumsi pemerintah, komponen pengeluaran konsumsi lembaga swasta nirlaba (LNPRT),
dan komponen perubahan inventori (Tabel 1.5).
.id
Tabel 1.5. Struktur Ekonomi Banten Menurut Pengeluaran
Tahun 2017-2018 (Persen)
o
.g
Komponen Pengeluaran
b ps
2017 X)
2018 XX)
n.
masyarakat dalam mengkonsumsi barang dan jasa, sangat bergantung kepada daya beli.
Adapun daya beli sendiri bergantung kepada besarnya inflasi. Akibatnya, bila daya beli
masyarakat berkurang karena tingginya laju inflasi, maka secara langsung akan menggerus
laju pertumbuhan ekonomi.
Untuk menjaga agar pertumbuhan ekonomi Banten menjadi terus berkelanjutan adalah
dengan menjadikan komponen pembentukan modal tetap bruto dan ekspor neto sebagai
penyumbang terbesar dalam perekonomian. Penilaian yang demikian didasari oleh
pemikiran bahwa dengan meningkatnya komponen pembentukan modal tetap bruto,
dalam jangka pendek akan menyebabkan ekonomi tumbuh dan berkembang, karena PDRB
aktualnya membesar. Adapun dalam jangka panjang akan meningkatkan kapasitas
produksi, sehingga PDRB potensial atau potensi perekonomian menjadi bertambah.
.id
Sementara peningkatan komponen ekspor neto yang dipicu oleh naiknya ekspor, akan
o
menjamin tersedianya pasar bagi kelebihan supply atau produk, sehingga perekonomian
.g
akan semakin tumbuh dan berkembang.
ps
Khusus komponen pembentukan modal tetap bruto atau investasi, bila sebagian diarahkan
b
untuk pembangunan berbagai fasilitas infrastruktur, seperti jalan, jembatan dan angkutan
n.
umum, akan memperlancar distribusi barang dan jasa. Lancarnya distribusi barang dan
e
nt
jasa ini, dapat mengurangi ongkos transportasi dan menurunkan biaya produksi, sehingga
a
harga barang dan jasa tidak melonjak tinggi. Imbasnya, laju inflasi dapat terjaga pada level
//b
yang rendah dan daya beli masyarakat pun tidak menjadi berkurang karenanya.
s:
peranannya dalam perekonomian sangat kecil. Tidak pula bermasalah bila dampak yang
ht
ditimbulkan terhadap pertumbuhan ekonomi relatif rendah. Hal ini karena peranan
terpenting dari komponen pengeluaran konsumsi pemerintah, terutama yang berasal dari
APBD adalah fungsinya sebagai alat untuk intervensi dalam penciptaan lapangan kerja,
pengentasan kemiskinan, dan mengurangi ketimpangan baik antar wilayah maupun
ketimpangan dalam distribusi pendapatan.
Keadaan
Ketenagakerjaan
an
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
o .id
Konstitusi menegaskan bahwa salah satu tujuan utama dari pendirian Negara Kesatuan
.g
Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam konteks ini,
ps
maksudnya adalah kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu,
b
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang menganut konsep negara kesejahteraan
n.
(welfare state).
e
nt
Kesejahteraan sendiri seringkali dikaitkan dengan standar hidup yang layak. Masalahnya,
a
dalam kehidupan bernegara pasti akan ada sebagian dari masyarakat yang tidak dapat
//b
hidup layak. Mereka yang tidak dapat hidup layak ini, biasanya akan masuk ke dalam
s:
Secara absolut, penduduk dikatakan miskin bila mereka tidak mampu memenuhi
ht
kebutuhan pokok (pangan, sandang dan papan), serta tidak memiliki kemampuan dalam
mengakses berbagai pelayanan dasar (air bersih, sanitasi, fasilitas kesehatan, dan
pendidikan). Ketidakmampuan yang menjerumuskan mereka ke dalam kemiskinan ini,
seringkali disebabkan oleh kemampuan daya beli yang tidak memadai.
Dari sisi ekonomi, daya beli masyarakat sangat bergantung pada aktif atau tidaknya
mereka dalam pasar kerja. Dimana, penduduk usia kerja atau angkatan kerja yang aktif
bekerja, akan memperoleh kompensasi berupa upah/gaji dari perusahaan atau institusi
tempat mereka bekerja. Sebaliknya, yang tidak aktif bekerja akan menjadi pengangguran,
yang sudah tentu menjadi beban bagi diri dan keluarganya.
Terkait peran pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan, salah satu tantangan terbesar
yang dihadapi adalah bagaimana menciptakan lapangan kerja bagi angkatan kerja, yang
jumlahnya semakin banyak akibat pertambahan dan perubahan struktur umur penduduk.
Tantangan tersebut, mencakup dua hal sekaligus, yaitu penciptaan lapangan pekerjaan
formal baru bagi angkatan kerja yang belum bekerja dan peningkatan produktivitas kerja
bagi mereka yang sudah bekerja. Kedua hal ini menjadi mutlak untuk diwujudkan, agar
mereka semua dapat memperoleh imbalan atau upah yang memadai, sehingga dapat
hidup layak.
Tenaga kerja menjadi salah satu faktor penting dalam proses produksi. Bahkan, dapat
dikatakan lebih penting dibandingkan faktor produksi lainnya. Hal ini karena tenaga
kerjalah yang menggerakkan seluruh faktor produksi yang ada, untuk menghasilkan
.id
berbagai produk barang dan jasa.
o
Namun sama seperti faktor produksi lain, penyediaan tenaga kerja sifatnya terbatas,
.g
karena tidak semua penduduk merupakan tenaga kerja. Hanya penduduk yang telah
ps
mencapai usia kerja (15 tahun ke atas) dan aktif dalam kegiatan ekonomi saja, yang bisa
b
dianggap sebagai tenaga kerja potensial atau angkatan kerja.
e n.
nt
Agustus 2012-2018
//b
s:
tp
6,0 66
65,17 5,83
ht
5,18 5,18
5,2 62
62,32
62,24
4,8 60
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Adapun indikator ketenagakerjaan yang biasa digunakan untuk melihat besarnya tenaga
kerja potensial atau angkatan kerja di suatu wilayah adalah Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja (TPAK). Dimana, semakin tinggi angka TPAK, akan semakin tinggi pula potensi
tenaga kerja di wilayah tersebut.
Potensi tenaga kerja di Banten sendiri selama setahun terakhir ini mengalami peningkatan.
Kondisi ini dapat diketahui dari indikator partisipasi angkatan kerja, yakni TPAK yang
meningkat dari 62,32 persen pada Agustus 2017 menjadi 63,49 persen pada Agustus 2018.
Adapun jumlah angkatan kerjanya, bertambah 0,23 juta hingga menjadi 5,83 juta orang.
.id
TPAK Laki-Laki dan TPAK Penduduk Daerah Perdesaan Lebih Tinggi
o
Tabel 2.1. menyajikan komposisi TPAK Banten Agustus 2017-2018 menurut jenis kelamin
.g
dan daerah tempat tinggal. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa meningkatnya TPAK
ps
terjadi baik pada angkatan kerja laki-laki maupun angkatan kerja perempuan. Hanya saja,
b
peningkatannya itu lebih banyak pada TPAK perempuan. Meskipun demikian, TPAK
n.
Lebih rendahnya TPAK perempuan ini menjadi petunjuk bahwa tingkat partisipasi
a
perempuan dalam kegiatan ekonomi di Banten memang masih lebih kecil dibandingkan
//b
laki-laki. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, antara lain umur, status perkawinan
s:
dan tingkat pendidikan. Namun demikian, yang paling utama adalah rendahnya
tp
pendapatan rumahtangga.
ht
Berbeda dengan perempuan, keputusan laki-laki untuk bekerja lebih dipengaruhi oleh
fungsinya sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Akibatnya, laki-laki yang sudah
mencapai usia kerja, akan cenderung untuk bekerja. Oleh karena itu, tingkat partisipasi
perempuan dalam kegiatan ekonomi pada umumnya selalu lebih rendah dibandingkan laki-
laki (Riyadi, 2001).
Sementara itu bila diamati menurut daerah tempat tinggal penduduk, meningkatnya TPAK
juga terjadi di semua daerah. Hanya saja untuk daerah perdesaan, peningkatannya terlihat
jauh lebih besar. Imbasnya, TPAK daerah perdesaan menjadi semakin lebih tinggi
dibandingkan TPAK daerah perkotaan.
Lebih tingginya TPAK daerah perdesaan menjadi penanda bahwa partisipasi penduduk usia
kerja dalam pasar tenaga kerja untuk daerah perdesaan lebih tinggi dibandingkan di daerah
perkotaan. Ada kemungkinan hal ini disebabkan oleh rendahnya kinerja sektor pertanian
sepanjang tahun 2018, yang membuat anggota rumahtangga selain petani (termasuk
kaum perempuan) dalam rumahtangga petani untuk aktif dalam pasar kerja.
Rendahnya kinerja sektor pertanian, dalam konteks ini adalah turunnya jumlah produksi
komoditas pertanian dan relatif rendahnya harga komoditas pertanian dibandingkan
produk non pertanian. Turunnya jumlah produksi komoditas pertanian ditandai oleh
melambatnya pertumbuhan lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan. Adapun
relatif rendahnya harga komoditas pertanian, terlihat dari turunnya nilai tukar petani (NTP).
.id
Tabel 2.1. TPAK Banten Menurut Jenis Kelamin dan Daerah Tempat Tinggal
o
Agustus 2017-2018 (Persen)
.g
b ps
TPAK 2017 2018
e n.
Jumlah angkatan kerja yang besar dapat menjadi potensi pembangunan, apabila dibina
dengan baik. Sementara pembinaan yang baik, akan menghasilkan kualitas angkatan kerja
yang baik pula. Adapun kualitas angkatan kerja, antara lain tercermin dalam tingkat
pendidikan yang ditamatkannya.
Sayangnya, kualitas angkatan kerja Banten sejauh ini masih cukup rendah. Kondisi yang
demikian terlihat jelas dari kurang dominannya angkatan kerja berpendidikan SMA ke Atas
dalam pasar tenaga kerja. Dimana, porsinya pada Agustus 2018 hanya sekitar 48 persen
dari seluruh angkatan kerja yang ada.
Disamping itu, kualitas angkatan kerjanya selama setahun terakhir ini sepertinya juga
mengalami penurunan. Kondisi yang demikian ditandai oleh turunnya persentase angkatan
kerja lulusan Diploma I/II/III dan Universitas.
o .id
.g
40
34,8 34,2 ps
33,6 34,3
b
30
e n.
nt
20 17,6 17,6
a
//b
11,1 11,0
10
s:
3,0
tp
2,9
ht
0
SD ke Bawah SMP SMA Diploma I/II/III Universitas
Besarnya jumlah angkatan kerja menuntut kesempatan atau lapangan kerja yang lebih
banyak. Lapangan kerja datang dari pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan
ekonomi tidak selalu menghasilkan lapangan kerja yang banyak, sehingga akan selalu ada
angkatan kerja yang tidak terserap oleh pasar. Bagian yang tidak terserap ini, dikenal
sebagai penganggur dan rasio penganggur terhadap total angkatan kerja disebut dengan
istilah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT).
Sementara dari sisi ekonomi, mereka yang menjadi penganggur tidak mempunyai
pendapatan sehingga akan berkurang konsumsinya. Kondisi ini secara agregat berarti
melemahkan perkembangan konsumsi rumahtangga keseluruhan serta mengurangi
kemungkinan lebih berkembangnya perekonomian. Oleh karena itu dalam ilmu ekonomi,
angka TPT menggambarkan inefisiensi perekonomian suatu wilayah. Maksudnya, semakin
tinggi TPT, semakin tidak efisien pula perekonomian wilayah tersebut.
o .id
Gambar 2.3. Jumlah Penganggur dan TPT Banten
.g
Agustus 2012-2018 b ps
n.
0,53 11
e
9,94 9,28
nt
9,54 9,55
9,07
a
8,92
0,51 0,51
//b
0,51 8,52 9
0,52
s:
0,50 0,50
0,49
tp
0,49 7
ht
0,48
0,47 5
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
TPT Banten sendiri pada Agustus 2018 sebesar 8,52 persen, menurun 0,76 persen poin
dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 9,28 persen (Gambar 2.3). Penurunan ini
menjadi penanda bahwa tingkat kesempatan kerja yang tercipta sangat tinggi sekali,
sehingga jumlahnya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pencari kerja baru dan
sebagian pencari kerja lama. Akibatnya, bukan hanya persentase pengangguran saja yang
mengalami penurunan, jumlah penganggur pun turut berkurang. Namun demikian, angka
TPT Banten tersebut masih tetap menjadi yang tertinggi di Indonesia (BPS. 2018a).
Sementara itu tingginya lapangan kerja yang tercipta, ternyata bukan hanya khusus bagi
laki-laki saja, melainkan juga untuk kaum perempuan. Hal ini dapat diketahui dari turunnya
angka TPT menurut jenis kelamin, seperti yang terlihat pada Tabel 2.2. Bahkan penurunan
angka TPT perempuan, terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan TPT Laki-laki. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa peran nyata perempuan dalam perekonomian Banten
selama tahun 2018 telah meningkat drastis.
Lebih tingginya penurunan angka TPT perempuan, kemungkinan dipengaruhi oleh peran
dari perempuan yang kebanyakan hanya sekedar membantu mencari nafkah bagi keluarga.
Dalam hal ini, perempuan akan bersedia untuk bekerja apa saja, termasuk di sektor
informal. Bahkan, seringkali rela dibayar lebih rendah daripada pria untuk melakukan
pekerjaan yang sama. Terlebih lagi, bila kondisi ekonomi keluarga memang menuntutnya
.id
untuk membantu mencari nafkah.
o
.g
Tabel 2.2. TPT Banten Menurut Jenis Kelamin dan Daerah Tempat Tinggal
ps
Agustus 2017-2018 (Persen)
b
n.
e
Diamati menurut daerah tempat tinggal penduduk, terlihat bahwa penurunan TPT, hanya
terjadi di daerah perkotaan. Sementara di daerah perdesaan, justru mengalami
peningkatan dari 10,73 persen menjadi 10,77 persen. Penyebabnya adalah perlambatan
pertumbuhan yang dialami oleh lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan,
khususnya pada sub lapangan usaha pertanian tanaman pangan. Dimana, perlambatan
pertumbuhan ini membuat penduduk daerah perdesaan yang telah lama menganggur dan
yang baru kehilangan pekerjaan akibat melambatnya pertumbuhan lapangan usaha
industri pengolahan dan lapangan usaha konstruksi, tetap tidak mendapatkan pekerjaan.
.id
tingkat pendidikan yang dimilikinya. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, akan semakin tinggi pula harapan dan kesempatan untuk mendapatkan
o
.g
pekerjaan sesuai dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya.
ps
Gambar 2.4. TPT Banten Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan
b
n.
Agustus 2017-2018
e
a nt
16
//b
14,25
14,23
12,72
s:
12,49
11,64
12
tp
9,87
ht
8
5,80 5,64
4,91 4,50
4,09
4 3,76
0
SD ke Bawah SMP SMA Umum SMA Kejuruan Diploma I/II/III Universitas
Gambar 2.4 menyajikan TPT Banten menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan.
Penyajian dimaksudkan sebagai indikator untuk mengetahui kemampuan pasar dalam
memanfaatkan supply tenaga kerja yang berkualitas. Berdasarkan garis trennya, secara
umum terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan angkatan kerja, semakin rendah
pula angka penganggurannya. Hal ini menandakan bahwa pasar kerja di Banten memang
cenderung untuk menyerap tenaga kerja berkualitas.
Di sisi lain, masih adanya pengangguran lulusan universitas, mencerminkan apa yang
disebut sebagai pengangguran terdidik. Pengangguran terdidik ini terjadi karena adanya
ketidaksesuaian antara jenis pekerjaan dan tingkat upah yang diharapkan, dengan yang
tersedia di pasar. Dalam ilmu ekonomi, pengangguran terdidik termasuk dalam kategori
pengangguran alamiah (natural rate of unemployment), yang akan selalu ada dalam setiap
perekonomian. Fenomena pengangguran terdidik biasanya menghinggapi keluarga kaya.
Hal ini karena untuk menjadi penganggur, terutama di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, merupakan barang yang mewah dan mahal (Turnham, 1971).
.id
Sementara itu berdasarkan hasil studi Willis Towers Watson tahun 2014 tentang Talent
Management and Rewards, delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan dalam
o
.g
mendapatkan lulusan perguruan tinggi yang siap pakai. Menurut studi tersebut,
ps
perusahaan semestinya tidak mengalami kesulitan dalam mencari tenaga kerja, sebab
angka pertumbuhan lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahun selalu bertambah.
b
Selain itu, angka permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja juga selalu lebih rendah
n.
dari pada jumlah lulusannya. Bahkan, Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai
e
nt
negara dengan pertumbuhan lulusan universitas lebih dari 4 persen dan rata-rata kelebihan
a
terhadap lulusan universitas juga meningkat. Di sisi lain, ada peningkatan kesesuaian
tp
antara profil lulusan universitas yang tersedia dengan kualifikasi tenaga kerja siap pakai
ht
Selain pengangguran terdidik, yang harus segera mendapatkan perhatian penuh adalah
tingginya pengangguran lulusan pendidikan menengah. Dalam hal ini, pengangguran
lulusan SMA Kejuruan yang bukan hanya sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan
lulusan SMA Umum. Penyebabnya kemungkinan besar adalah ilmu kejuruan yang dipelajari
di SMK memang terlalu rendah dan kurang spesifik, sehingga tidak sesuai dengan
kebutuhan pasar kerja. Selain itu, pihak SMK sepertinya kurang membangun komunikasi
atau lebih tepatnya link and match dengan berbagai perusahaan industri pengolahan yang
ada di Banten. Kemungkinan lain, tidak atau kurang cukup diajarkannya materi
kewirausahaan kepada para siswa SMK.
Jumlah penduduk Banten yang bekerja selama setahun terakhir mengalami peningkatan,
dari 5,08 juta orang menjadi 5,33 juta orang. Peningkatan ini terlihat lebih banyak terjadi
.id
pada pekerja perempuan daripada pekerja laki-laki. Imbasnya, komposisi pekerja menurut
o
jenis kelamin sedikit mengalami perubahan, yakni dari sekitar 34 perempuan berbanding
.g
66 laki-laki, menjadi 35 perempuan berbanding 65 laki-laki (Tabel 2.3).
ps
b
Tabel 2.3. Penduduk Banten yang Bekerja Menurut Jenis Kelamin dan
n.
2017 2018
//b
Perubahan komposisi penduduk yang bekerja juga terjadi bila diamati menurut daerah
tempat tinggal. Dimana pada Agustus 2017, dari 100 orang pekerja yang ada di Banten,
sekitar 71 orang diantaranya bekerja di daerah perkotaan. Sementara pada Agustus 2018,
dari jumlah yang sama, pekerja di daerah perkotaan bertambah hingga minimal menjadi
72 orang. Adapun perubahan komposisinya terjadi karena penduduk yang bekerja di
daerah perkotaan bertambah jauh lebih banyak dibandingkan di daerah perdesaan.
Distribusi penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha dapat memberikan gambaran
.id
mengenai pola sebaran tenaga kerja pada setiap lapangan usaha. Berdasarkan informasi
ini, dapat diketahui lapangan-lapangan usaha apa saja yang paling banyak menyerap
o
.g
tenaga kerja. Dengan demikian, bila pemerintah ingin menerapkan kebijakan di bidang
Gambar 2.5. Persentase Penduduk Banten yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha
nt
Agustus 2017-2018
a
//b
s:
30
tp
20,71
20 17,73
14,83
13,31 13,20
10
0
Pertanian Industri Perdagangan, Jasa-Jasa Lainnya
Pengolahan Hotel dan Restoran (Gabungan
5 Lapangan
Agustus 2017 Agustus 2018 Usaha Lain)
Berdasarkan data pada Gambar 2.5 di atas, terlihat bahwa lapangan usaha perdagangan,
hotel dan restoran, menjadi lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja.
Hanya saja, yang paling menarik untuk diamati adalah lapangan usaha industri
pengolahan. Dimana, serapan tenaga kerja lapangan usaha ini mencapai 23,77 persen
atau menurun dibandingkan Agustus 2017 yang sebesar 24,54 persen. Selain itu, serapan
tenaga kerjanya juga kurang berimbang dengan besarnya sumbangan industri pengolahan
dalam perekonomian Banten yang pada tahun 2018 mencapai 31,20 persen.
Ada dua faktor yang mungkin menjadi penyebab mengapa kedua hal tersebut di atas dapat
terjadi. Pertama, struktur lapangan usaha industri pengolahan yang semakin didominasi
oleh usaha industri padat modal. Kedua, efisiensi usaha yang dilakukan oleh berbagai
perusahaan atau usaha yang ada dalam kelompok lapangan usaha industri pengolahan.
.id
Industri padat modal merupakan industri yang dibangun dengan modal besar dan didukung
o
.g
teknologi tinggi. Proses produksinya cenderung menekankan dan bahkan bergantung pada
ps
penggunaan mesin-mesin dibandingkan dengan tenaga kerja manusia. Sementara efisiensi
usaha dilakukan untuk meningkatkan daya saing, yang biasanya berkaitan langsung
b
dengan pengurangan tenaga kerja. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila salah satu
n.
atau kedua hal itu yang terjadi, maka serapan tenaga kerja akan menjadi rendah.
e
nt
Sementara itu lapangan usaha pertanian, pada umumnya berperan sebagai penyedia
a
//b
tenaga kerja bagi lapangan usaha lain yang ada di daerah perkotaan. Berarti, lapangan
usaha ini memiliki kelebihan tenaga kerja, yang bila memungkinkan dapat dimanfaatkan
s:
oleh lapangan usaha lain di luar pertanian (Todaro dan Smith, 2006).
tp
ht
Dalam berbagai literatur ekonomi pembangunan disebutkan bahwa ada dua penyebab
mengapa lapangan usaha pertanian memiliki kelebihan tenaga kerja. Pertama, pertanian
merupakan lapangan usaha yang paling tidak efisien dalam hal penggunaan tenaga kerja.
Kedua, lapangan usaha pertanian memang berperan sebagai buffer dalam bidang
ketenagakerjaan. Maksudnya, bila permintaan tenaga kerja dari lapangan usaha di luar
pertanian sedang berkurang, karena pelemahan atau sebab lainnya, lapangan usaha
pertanian menjadi tempat kembali bagi sebagian besar tenaga kerja tersebut.
Peran lapangan usaha pertanian sendiri dalam bidang ketenagakerjaan Banten terlihat
cukup besar. Kondisi ini dapat diketahui dari daya serap tenaga kerjanya, yang mencapai
13,20 persen. Berarti, lebih tinggi dibandingkan sumbangannya dalam perekonomian
Banten, yang pada tahun 2018 hanya sebesar 5,78 persen. Adapun penurunan serapan
tenaga kerjanya, menandakan adanya perpindahan tenaga kerja dari lapangan usaha
pertanian ke lapangan usaha non pertanian, khususnya selain lapangan usaha industri
pengolahan dan lapangan usaha jasa-jasa. Perpindahan ini, jelas terkait perannya sebagai
buffer dalam bidang ketenagakerjaan.
Bila diamati komposisi penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha dan jenis kelamin
(Gambar 2.6), terlihat jelas bahwa pekerja laki-laki mendominasi pekerjaan pada semua
lapangan usaha. Kondisi ini dapat terjadi karena masih kentalnya tatanan sosial budaya di
masyarakat, bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga wajib mencari nafkah. Selain itu juga
karena adanya faktor kualifikasi pekerjaan pada bidang-bidang tertentu, yang memang
hanya dikhususkan bagi kaum laki-laki. Betapapun juga, tidak bisa dipungkiri bahwa
terdapat stereotip yang mengesankan bahwa pekerjaan-pekerjaan tertentu memang
khusus untuk laki-laki. Stereotip ini adalah salah satu bentuk disparitas gender, yang
menjadi penyebab perempuan enggan untuk bekerja.
.id
Sementara pekerja perempuan tampak relatif lebih banyak bekerja pada lapangan usaha
o
jasa-jasa. Artinya, lapangan usaha ini bisa disebut lebih ramah terhadap perempuan
.g
dibandingkan lapangan usaha lainnya. Selain itu, dapat pula dikatakan bahwa di daerah
ps
perkotaan akan lebih sering ditemukan kaum perempuan (daripada laki-laki) yang bekerja
pada lapangan usaha tersebut, khususnya pada sub lapangan usaha jasa kesehatan dan
b
n.
kegiatan sosial. Hal ini karena lokasi usaha tersebut memang lebih banyak terdapat di
e
daerah perkotaan.
a nt
100
86,58
80
65,98 63,65
60 53,99 51,65
46,01 48,35
34,02 36,35
40
20 13,42
0
Pertanian Industri Perdagangan, Jasa-Jasa Lainnya
Pengolahan Hotel dan Restoran (Gabungan
5 Lapangan
Laki-Laki Perempuan Usaha Lain)
Pasal 1 ayat 30 UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan bahwa upah
merupakan salah satu hak pekerja. Hal ini karena, upah adalah bentuk kompensasi atau
balas jasa, dimana pekerja menerima imbalan dari pemberi kerja atas pekerjaan atau jasa
yang telah dilakukannya. Upah yang diterima oleh pekerja digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk kebutuhan keluarga.
Seorang pekerja dapat dikatakan hidup layak apabila mendapatkan upah yang mencukupi
kebutuhan hidup sehari-harinya.
Pekerja di Banten pada Agustus 2018 rata-rata menerima upah 3,87 juta rupiah per bulan, atau
sekitar 17 persen lebih tinggi dari upah resmi yang seharusnya mereka terima. Selain itu, juga
.id
meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebesar 3,73 juta rupiah. Bahkan,
o
peningkatannya lebih dari cukup untuk menutupi kenaikan biaya hidup, yang ditandai dengan
.g
masih positifnya kenaikan upah riil yang mereka terima (Tabel 2.4).
b ps
Tabel 2.4. Upah Pekerja dan Rata-rata Pengeluaran per Kapita Penduduk Banten
n.
Tahun 2017-2018
e
nt
a
Sementara itu untuk keperluan sehari-hari, penduduk Banten rata-rata mengeluarkan biaya
sekitar 1,38 juta rupiah per bulan. Pengeluaran sebesar itu, bagi pekerja tunggal atau pekerja
dengan hanya seorang istri dan satu orang anak, mungkin tidak terlalu menjadi persoalan.
Namun, bagi pekerja yang memiliki anak minimal dua orang, jelas sangat memberatkan.
Bila diasumsikan angka pengeluaran tersebut di atas sebagai batas kelayakan, maka akan
cukup banyak rumahtangga pekerja yang tidak dapat hidup layak, karena upah yang mereka
terima tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal ini karena rumahtangga di Banten, rata-rata
memiliki anggota rumahtangga minimal empat orang.
Selain kelayakan upah, masalah kronis di bidang ketenagakerjaan adalah disparitas atau
perbedaan upah yang diterima oleh para pekerja. Ada dua jenis disparitas upah yang umum
terjadi, yaitu disparitas upah antar gender dan antar daerah tempat tinggal. Kedua jenis
.id
disparitas ini muncul ke permukaan dengan sebab yang berbeda.
o
Disparitas upah antar gender terjadi karena adanya perbedaan perlakuan antara laki-laki dan
.g
perempuan dalam bidang ketenagakerjaaan. Sementara disparitas upah antar daerah tempat
ps
tinggal, diawali oleh adanya perbedaan upah antara lapangan usaha pertanian di daerah
b
perdesaan dengan lapangan usaha industri pengolahan di daerah perkotaan.
n.
e
nt
Disparitas upah antar gender sendiri dalam setahun terakhir ini sudah mengalami penurunan.
Kondisi yang demikian dapat diketahui dari turunnya perbandingan antara upah yang diterima
oleh pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan. Pada Agustus 2018, pekerja laki-laki
menerima upah 4,03 juta rupiah atau 21 persen lebih tinggi dibandingkan dengan upah yang
diterima oleh pekerja perempuan. Sementara setahun sebelumnya, mereka masih menerima
upah 27 persen lebih banyak dibandingkan pekerja perempuan (Tabel 2.5).
Semakin tingginya penghargaan dari perusahaan atau pemberi kerja terhadap pekerja
perempuan, ditengarai menjadi salah satu penyebab turunnya disparitas upah antar gender.
Namun demikian, penyebab paling utama adalah semakin banyaknya pekerja perempuan
dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini karena bertambahnya tingkat pendidikan,
mendorong upah pekerja perempuan untuk naik lebih tinggi lagi.
.id
Sementara itu disparitas upah antar daerah tempat tinggal justru mengalami peningkatan.
o
.g
Pada Agustus 2017, pekerja yang tinggal di daerah perkotaan hanya menerima upah 64
Lebih jauh lagi, meningkatnya disparitas upah tersebut akan semakin mendorong terjadinya
e
migrasi penduduk dari desa ke kota. Bila kondisi yang demikian dibiarkan terus-menerus,
nt
dapat mengancam keberlangsungan produksi pangan Banten. Hal ini karena bidang pertanian
a
//b
Kemiskinan
Situasi
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
o .id
Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kemakmuran dan mengurangi
.g
kemiskinan. Kemiskinan sendiri secara umum diartikan sebagai ketidakmampuan
ps
seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makanan, pakaian dan tempat
b
tinggal, serta pendidikan dan kesehatan. Kemiskinan merupakan masalah global dan
n.
bersifat multidimensi, yang bukan hanya mencerminkan kondisi ekonomi tetapi juga
e
Kemiskinan dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan
//b
relatif. Kemiskinan absolut mengacu kepada satu set standar yang konsisten, tidak
s:
terpengaruh oleh waktu dan tempat. Kemiskinan absolut ini juga merupakan situasi,
tp
relatif adalah apabila penduduk tersebut sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan,
namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
Kemiskinan juga dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk. Pertama, kemiskinan kultural
yang mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh
faktor budaya, seperti tidak mau berusaha untuk memperbaiki kehidupannya, malas,
pemboros, dan atau tidak kreatif. Kedua, kemiskinan struktural, yaitu kondisi miskin yang
timbul karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh
masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada distribusi pendapatan, yang
berujung pada kemiskinan.
Garis kemiskinan Banten setiap tahun terus mengalami peningkatan. Pada September
2018, garis kemiskinannya mencapai 450 ribu rupiah, bertambah 43 ribu rupiah atau
.id
meningkat 10,59 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatannya ternyata lebih
o
tinggi dari laju inflasi pada September 2018 (y on y), yang mencapai 3,42 persen. Selain
.g
itu, juga berada di atas laju inflasi kelompok bahan makanan serta kelompok makanan
ps
jadi, minuman, rokok, dan tembakau, yang masing-masing sebesar 3,08 persen dan 2,85
persen (BPS Provinsi Banten, BRS Perkembangan Indeks Harga Konsumen/ Inflasi,
b
n.
September 2018). Dengan demikian, kenaikan garis kemiskinannya sudah melebihi laju
e
inflasi dan kenaikan harga pangan, seperti yang selama ini diinginkan oleh para ahli dalam
nt
September 2012-2018
tp
ht
500 20
450
407
14,96
400 373 16
356
316
300 289 12
251 9,38 12,86
10,59
200 8
6,19 9,01
100 4
4,75
0 0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Tabel 3.1 menyajikan komposisi garis kemiskinan menurut daerah tempat tinggal dan
kelompok pengeluaran. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa naiknya garis
kemiskinan Banten terjadi pada semua daerah tempat tinggal penduduk miskin. Hanya
saja untuk daerah perkotaan, kenaikannya di atas daerah perdesaan. Kondisi ini membuat
garis kemiskinan perkotaan semakin melebihi atau lebih tinggi dibandingkan garis
kemiskinan daerah perdesaan.
Lebih tingginya garis kemiskinan daerah perkotaan ini, secara langsung menggambarkan
bahwa standar kemiskinannya memang berada di atas daerah perdesaan. Artinya, seorang
penduduk miskin yang tinggal di daerah perkotaan, akan menjadi tidak miskin ketika diukur
.id
menurut standar kemiskinan di daerah perdesaan. Garis kemiskinan daerah perkotaan
o
sendiri pada September 2018 mencapai 469 ribu rupiah per kapita per bulan, atau sekitar
.g
15,5 persen di atas garis kemiskinan daerah perdesaan.
b ps
Tabel 3.1. Garis Kemiskinan Banten Menurut Daerah Tempat Tinggal dan
n.
a. Perkotaan
b. Perdesaan
Sementara itu pengeluaran penduduk secara umum dibedakan menjadi pengeluaran untuk
konsumsi makanan dan bukan makanan. Demikian pula dengan garis kemiskinan yang
juga terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan bukan makanan.
Berdasarkan Tabel 3.1, terlihat bahwa proporsi garis kemiskinan makanan terhadap garis
kemiskinan total sangat besar sekali, yakni mencapai 71,56 persen. Bahkan, proporsinya
sudah meningkat dibandingkan tahun 2017 yang sebesar 71 persen. Selain itu, angka
proporsinya juga jauh di atas persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan bagi
penduduk Banten yang rata-rata mencapai 48,60 persen (BPS, 2018c). Dengan demikian,
pengeluaran penduduk miskin memang lebih banyak digunakan untuk keperluan konsumsi
makanan. Berarti, pemenuhan kebutuhan pangan harus menjadi hal yang paling utama
bagi penduduk miskin.
o .id
.g
Beras dan Rokok, Dua Komoditas Utama yang Dikonsumsi Penduduk Miskin
b ps
Bila komposisi garis kemiskinan diamati dengan lebih rinci, terlihat bahwa komoditas yang
n.
memberikan sumbangan paling besar dalam pengukuran garis kemiskinan adalah beras.
e
Dimana sekitar seperlima dari pengeluaran penduduk miskin yang tinggal di daerah
nt
persentasenya bahkah lebih tinggi lagi, yakni mencapai 23,45 persen (Tabel 3.2).
s:
Sementara itu Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan bahwa penduduk di daerah
tp
perdesaan yang berprofesi sebagai petani, kebanyakan merupakan petani gurem (BPS
ht
Provinsi Banten, 2014), yang tingkat produksi berasnya (padi setara beras) jelas tidak
mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Adapun penduduk yang tinggal di daerah
perkotaan, hampir semuanya bukan produsen beras. Dengan demikian, sangat penting
sekali untuk menjaga harga beras, pada level yang membuatnya dapat dikonsumsi oleh
seluruh penduduk, khususnya penduduk miskin.
Terkait komoditas beras, Bank Dunia (2007) menyatakan bahwa turunnya harga beras
akan sangat menguntungkan masyarakat, terutama penduduk miskin yang seringkali
merupakan pembeli beras. Sebaliknya, kenaikan harga beras bukan saja sangat merugikan
penduduk miskin, bahkan juga dapat meningkatkan insiden kemiskinan.
Kesimpulan yang sama, sebelumnya juga terekam dalam penelitian yang dilakukan oleh
LPM FEUI pada tahun 2003. Dimana untuk setiap kenaikan harga beras sebesar 10 persen,
persentase penduduk miskin yang tinggal di daerah perdesaan dan daerah perkotaan
masing-masing bertambah 1,15 persen poin dan 0,90 persen poin (Ikhsan, 2003).
Persentase Persentase
Komoditas Thd Garis Komoditas Thd Garis
Kemiskinan Kemiskinan
(1) (2) (3) (4)
.id
2. Rokok 11,46 2. Rokok 17,33
o
3. Telur Ayam Ras 4,19 3. Telur Ayam Ras 3,18
.g
4. Daging Ayam Ras 3,86
ps
b 4. Roti 2,70
Mengacu kepada pendapat Faisal Basri di atas, merokok bagi penduduk miskin, akan
semakin membuat mereka terjerembab dalam perangkap kemiskinan. Oleh sebab itu, bila
pemerintah atau siapapun berencana menyalurkan bantuan dana bagi penduduk miskin,
memang sebaiknya dilakukan melalui ibu rumahtangga atau kaum perempuan dari
.id
kalangan mereka. Hal ini akan sangat bermanfaat, karena dapat meningkatkan
o
penggunaan dana bantuan bagi kepentingan yang lebih berkualitas.
.g
b ps
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurun
e n.
Persentase penduduk miskin Banten pada September 2018 mencapai 5,25 persen, atau
nt
turun 0,34 persen poin dari periode sebelumnya (Gambar 3.2). Menurunnya angka
a
//b
0,03 juta orang hingga menjadi 0,67 juta orang. Selain itu, angka kemiskinannya juga
tp
masih lebih baik dibandingkan rata-rata Nasional yang mencapai 9,66 persen.
ht
Hanya saja, penurunan angka kemiskinannya berjalan begitu lambat. Kondisi yang
demikian terlihat dari capaian angka kemiskinan yang masih jauh dari target Pemerintah
Provinsi Banten dalam RPJMD 2017-2022, yang sebesar 5,00 persen. Lebih-lebih, biaya
penanggulangannya juga tidak berimbang dengan hasil yang diperoleh. Hal ini karena total
anggaran belanja bantuan sosial yang dikeluarkan oleh seluruh pemerintah daerah di
Banten selama tahun 2018 mencapai 144,3 miliar rupiah (www.djpk.kemenkeu.go.id).
Berarti, biaya penanggulangnya sekitar 4,64 juta rupiah per penduduk miskin yang naik
kelas menjadi tidak miskin lagi.
Ada banyak faktor yang dapat menjadi penyebab mengapa penurunan angka kemiskinan
di Banten selama setahun terakhir ini berjalan lambat. Dari sisi anggaran, ada kemungkinan
belanja bantuan sosial yang telah dikeluarkan tidak tepat sasaran, sehingga mengurangi
efektivitasnya. Sementara dari sisi lapangan, ada masalah transient poverty, yaitu
fenomena keluar masuknya penduduk ke dalam kemiskinan, khususnya yang
menghinggapi penduduk rentan miskin.
750 7
5,89
5,71 5,75 6
5,59
5,51 5,36
700
5,25
678 691 700
669 5
658
649
650 643
.id
4
o
.g
600 3
2012 2013 2014 b2015
ps 2016 2017 2018
Penduduk rentan miskin sendiri sesungguhnya tidak termasuk dalam kategori miskin.
Namun bila ada sedikit saja shock atau gangguan, mereka serta merta akan terjerumus
s:
dalam jurang kemiskinan. Salah satu contoh shock adalah penaikan harga BBM pada Juni
tp
2013. Selain itu, ada pula penaikan harga BBM pada November 2014 dan kenaikan harga
ht
beras yang mencapai 14,48 persen selama periode September 2014-Maret 2015. Kedua
shock tersebut, ternyata langsung mendongkrak naik jumlah dan persentase penduduk
miskin pada September 2013 dan September 2015 (Gambar 3.2).
Terkait transient poverty, BPS (2009) menyatakan bahwa terdapat 53,3 persen penduduk
miskin di tahun 2008 yang menjadi tidak miskin pada tahun 2009. Sebaliknya 21,5 persen
penduduk rentan miskin, justru jatuh dalam jerat kemiskinan. Belajar dari pengalaman ini,
program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah, seharusnya
juga menyentuh penduduk rentan miskin. Tujuannya adalah untuk mencegah agar mereka
tidak menjadi miskin, sekaligus mempercepat penurunan angka kemiskinan.
Selain masalah transient poverty, lambatnya penurunan angka kemiskinan di Banten, ada
kemungkinan juga dipengaruhi oleh profil penduduk atau rumahtangga miskin. Dalam arti,
rumahtangga yang miskin saat ini sepertinya sudah tidak memiliki aset produktif lagi,
termasuk anggota rumahtangga berusia produktif. Dengan demikian, memang sangat sulit
untuk mengentaskan mereka agar menjadi tidak miskin lagi.
Tabel 3.3 menyajikan jumlah dan persentase penduduk miskin menurut daerah tempat
tinggal. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat adanya disparitas kemiskinan antara daerah
perkotaan dan daerah perdesaan. Menurut berbagai literatur kemiskinan, disparitas
kemiskinan ini menjadi salah satu penyebab lambatnya penurunan angka kemiskinan di
berbagai negara atau wilayah.
Sayangnya, disparitas kemiskinan yang terdapat di Banten selama setahun terakhir ini
menunjukkan peningkatan, yaitu dari 3,12 persen poin menjadi 3,43 persen poin. Adapun
peningkatannya ini, terjadi seiring dengan naiknya jumlah penduduk miskin di daerah
.id
perdesaan. Adapun penyebabnya, kemungkinan besar adalah rendahnya kinerja industri
o
padat tenaga kerja di daerah perkotaan, perlambatan pertumbuhan lapangan usaha
.g
pertanian, kehutanan dan perikanan serta lapangan usaha konstruksi, dan turunnya nilai
tukar petani. ps
b
n.
1. Daerah Perkotaan
ht
2. Daerah Perdesaan
Berdasarkan fenomena yang ada, rendahnya kinerja industri padat tenaga kerja dan
melambatnya pertumbuhan lapangan usaha konstruksi, membuat sebagian pekerja
mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Sayangnya, ketika pekerja yang berasal dari
daerah perdesaan ingin kembali bekerja pada lapangan usaha pertanian, kehutanan dan
perikanan, kesempatan kerja yang tersedia kurang mencukupi karena lapangan usaha
tersebut mengalami perlambatan. Akibatnya, sebagian dari mereka kehilangan pendapatan
karena menjadi penganggur.
Di sisi lain, turunnya nilai tukar (NTP) selama tahun 2018 membuat pendapatan yang
diperoleh petani kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Ketika
insiden pengangguran terjadi pada rumahtangga petani jenis ini, dapat dipastikan mereka
akan terperosok dalam jurang kemiskinan. Inilah yang menyebabkan jumlah penduduk
miskin di daerah perdesaan mengalami peningkatan.
.id
Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Meningkat
o
Selain jumlah dan persentase yang mendeteksi keberadaan penduduk miskin, terdapat
.g
dimensi lain dalam permasalahan kemiskinan yang perlu mendapat perhatian yaitu indeks
ps
kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2). Dimana, P1, mengukur
b
rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis
n.
penduduk miskin.
a nt
Indeks kedalaman kemiskinan (P1) di Banten pada September 2018 mencapai 0,908, lebih
//b
tinggi dibandingkan periode setahun sebelumnya yang sebesar 0,778 (Gambar 3.3). Hal
s:
ini menunjukkan bahwa pengeluaran penduduk miskin selama setahun terakhir, secara
tp
Pengeluaran penduduk merupakan proxy dari pendapatan mereka. Bila benar pengeluaran
penduduk miskin rata-rata meningkat, betapapun kecilnya itu maka peningkatannya
menjadi penanda bahwa pertumbuhan ekonomi juga dinikmati oleh kalangan penduduk
miskin. Pengeluaran penduduk miskin sendiri memang mengalami peningkatan. Hal ini
setidaknya dapat diketahui dari rata-rata pengeluaran penduduk Banten yang pada tahun
2018 meningkat 10,59 persen (BPS, 2018b). Selain itu, proporsi pengeluaran 40 persen
penduduk berpengeluaran terendah juga meningkat dari 17,95 persen menjadi 18,50
persen pada tahun 2018 (BPS Provinsi Banten-BRS Tingkat Ketimpangan Pengeluaran
Penduduk Banten, September 2018).
Bila diamati menurut daerah tempat tinggal, meningkatnya pengeluaran penduduk miskin
juga terjadi di berbagai daerah. Hanya saja untuk daerah perkotaan, besaran
peningkatannya berada di atas kenaikan garis kemiskinan (P1 yang mengecil). Di sisi lain,
nilai P1 daerah perdesaan yang berada di atas daerah perkotaan, menjadi penanda masih
Gambar 3.3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Banten Menurut Daerah Tempat Tinggal
September 2017-2018
1,8
1,449
o .id
1,2
.g
0,941 0,908
0,778
0,711 0,684
b ps
0,6
e n.
nt
0,0
a
Sementara itu indeks keparahan kemiskinan (P2) pada periode yang sama, juga mengalami
peningkatan (Gambar 3.4). Hal ini berarti bahwa ketimpangan pengeluaran di antara
sesama penduduk miskin meningkat seiring dengan naiknya pengeluaran atau pendapatan
mereka. Kondisi ini jelas sangat merugikan, karena pemerintah menjadi lebih sulit untuk
melaksanakan program penanggulangan kemiskinan pada kelompok masyarakat miskin
yang lebih heterogen.
Gambar 3.4. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P2) Banten Menurut Daerah Tempat Tinggal
September 2017-2018
0,6
0,475
0,4
0,250
o .id
.g
0,0
Kota
September 2017
b ps
Desa
September 2018
Kota+Desa
e n.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kemiskinan akan cenderung linear dengan
ht
Rendahnya kualitas SDM pada akhirnya akan melahirkan kemiskinan pula. Hal ini karena,
mereka yang kualitas SDM nya rendah, hanya dapat bekerja di sektor informal dengan
upah yang tidak layak. Dengan upah yang tidak layak ini, akan kembali menempatkan
mereka dalam jurang kemiskinan. Inilah fenomena yang biasa disebut dengan istillah
Lingkaran Setan Kemiskinan atau Vicius Circle of Poverty.
Kualitas SDM penduduk miskin Banten sendiri sangat rendah. Kondisi yang demikian
setidaknya terlihat dari karakteristik tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh penduduk
pada tahun 2018. Dimana, hanya sekitar satu dari sepuluh orang penduduk miskin yang
berpendidikan SMA ke Atas. Sementara secara keseluruhan, dari sepuluh orang penduduk
Banten, minimal terdapat tiga orang yang berpendidikan SMA ke Atas (Gambar 3.5).
80
60,50
60
45,82
38,48
40
26,98
.id
20 15,70
o
12,52
.g
0
Tidak Tamat SD SD/SMP
b ps SMA ke Aras
n.
Lincolin Arsyad (1997) menyatakan bahwa ada hubungan yang erat sekali antara tingkat
pengangguran dan kemiskinan. Hal ini karena sebagian rumahtangga di Indonesia memiliki
ketergantungan yang sangat besar terhadap upah atau gaji yang diperolehnya. Dimana,
hilangnya pekerjaan menjadi penyebab utama berkurangnya sebagian besar pendapatan
yang akan digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Lebih jauh, jika masalah atau
insiden pengangguran tersebut terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah,
maka akan dengan mudah menggeser posisi mereka dari semula tidak miskin menjadi
penduduk miskin.
Selain pengangguran, penduduk yang bekerja di sektor informal juga dapat jatuh ke dalam
jurang kemiskinan. Hal ini karena, upah yang mereka terima biasanya tidak layak atau
tidak mencukupi kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu kebanyakan dari pekerja informal
masuk dalam kategori penduduk miskin. Lebih-lebih, bila terjadi sedikit saja shock atau
gangguan terhadap pendapatan yang mereka terima atau biaya hidup yang mereka
keluarkan, pekerja informal yang rentan miskin dengan segera akan berubah menjadi
penduduk miskin.
Gambar 3.6. Distribusi Persentase Penduduk Miskin Banten Usia 15 Tahun ke Atas
Menurut Status Pekerjaan
Tahun 2018
Bekerja di sektor
formal
22,93%
.id
Tidak bekerja
o
48,55%
.g
b ps
e n.
Bekerja di sektor
nt
informal
a
28,52%
//b
s:
Penduduk miskin Banten yang berstatus sebagai penganggur memang sangat banyak
sekali. Kondisi ini dapat diketahui dari distribusi persentase pekerjaan penduduk miskin
usia 15 tahun ke atas tahun 2018 (Gambar 3.6). Dimana, terdapat 48 sampai 49 orang
penganggur dari seratus orang penduduk miskin berusia kerja. Sementara pekerja di sektor
informal berada pada urutan kedua dengan persentase mencapai 28,52 persen dari
seluruh penduduk miskin berusia kerja.
Ketimpangan
Pembangunan
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
o .id
Ketimpangan pembangunan merupakan masalah kronis yang umum terjadi dalam proses
.g
pembangunan ekonomi kewilayahan. Berkaitan dengan itu, ada dua jenis ketimpangan
ps
pembangunan yang biasa ditemukan, yakni ketimpangan pembangunan antar wilayah dan
b
ketimpangan pendapatan antar penduduk.
n.
Ketimpangan jenis pertama, pada awalnya terjadi karena adanya perbedaan potensi
e
nt
sumber daya alam serta perbedaan kondisi atau letak geografis yang terdapat pada
a
pembangunan juga menjadi berbeda. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila dalam
s:
Sementara ketimpangan jenis kedua, disebabkan oleh keberagaman sumber daya yang
ht
dimiliki oleh setiap orang atau kelompok masyarakat dalam suatu daerah. Semakin banyak
dan berkualitas sumber daya yang dimiliki, maka orang atau kelompok masyarakat tersebut
akan memiliki pendapatan yang lebih tinggi. Selain itu, strategi pembangunan yang
cenderung berorientasi hanya kepada pertumbuhan ekonomi yang menihilkan keterlibatan
sebanyak mungkin komponen masyarakat, juga akan meningkatkan ketimpangan
pendapatan antar penduduk.
Secara umum, nilai Indeks Williamson (IW) berkisar antara 0 dan 1. Bila nilainya semakin
kecil atau mendekati nol, menunjukkan ketimpangan yang semakin rendah atau semakin
merata. Sebaliknya, semakin besar atau semakin jauh dari nol, memperlihatkan
ketimpangan yang semakin melebar. Secara khusus, dalam beberapa literatur ekonomi
regional disebutkan kategorisasi ketimpangan antar wilayah, yaitu ketimpangan rendah
(IW≤0,30), ketimpangan sedang (0,30<IW≤0,5), dan ketimpangan tinggi (IW>0,5).
Gambar 4.1. menyajikan perkembangan nilai Indeks Williamson Banten selama periode
2012-2018, yang dihitung dengan menggunakan angka PDRB Kabupaten/Kota atas dasar
harga berlaku. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa nilai indeks Williamson pada
periode 2012-2014 meningkat dari 0,774 menjadi 0,779. Selanjutnya, terus menurun
hingga menjadi 0,757 pada tahun 2018. Meskipun demikian, besaran penurunannya
.id
terlihat tidak signifikan, karena hanya turun sekitar 0,1 poin. Implikasinya, penurunan
o
ketimpangan antar wilayah di Banten dapat dikatakan sangat lambat sekali. Adapun tingkat
.g
ketimpangannya, juga masih tetap termasuk dalam kategori tinggi.
b ps
Gambar 4.1. Perkembangan Indeks Williamson Banten
n.
Tahun 2012-2018
e
a nt
//b
0,80
s:
0,779
0,78 0,774 0,776 0,775
tp
0,764
ht
0,761
0,757
0,76
0,74
0,72
0,70
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Sementara itu Douglas C. North, dalam analisisnya tentang teori pertumbuhan neo-klasik
menyebutkan suatu hipotesa tentang hubungan antara pembangunan ekonomi di suatu
negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Menurut North, pada permulaan
proses pembangunan, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat
sampai titik puncaknya dan kemudian akan menurun secara berangsur-angsur ketika
negara tersebut telah berada dalam fase negara maju (Syafrizal, 2008).
Namun, yakinlah yang terjadi di Banten tidak seperti hasil analisisnya North. Lambatnya
penurunan tingkat ketimpangan antar wilayah ini, bukan karena Banten masih terbelakang.
Mengapa? Hal ini karena Banten adalah salah satu provinsi termaju di Indonesia. Majunya
Banten bisa dilihat secara kasat mata. Segala macam fasilitas infrastruktur, baik jalan tol,
bandara, pelabuhan, maupun energi listrik dan gas kota ada di sini. Bahkan, fasilitas
perkotaan sekelas kota satelit di Jakarta pun juga tersedia.
Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan yang wilayahnya
terletak di bagian utara Banten, merupakan daerah hinterland bagi DKI Jakarta. Ketiga
.id
daerah ini diperlengkapi dengan berbagai fasilitas infrastruktur yang sangat wah, sehingga
menjadi magnet bagi investor besar. Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan bila ketiganya
o
.g
menjadi daerah termaju di Banten.
ps
Sementara itu nun jauh di selatan sana, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak
b
adalah wilayah yang termasuk dalam kategori daerah tertinggal. Fasilitas infrastrukturnya,
n.
terutama jalan, jembatan, dan angkutan umum sangat minim sekali, sehingga jarang dilirik
e
oleh para investor. Imbasnya, perkembangan kedua daerah di selatan ini terasa sangat
nt
lambat. Kondisi inilah yang menjadi penyebab mengapa ketimpangan antar wilayah di
a
//b
Ketimpangan antar wilayah di Banten sesungguhnya bisa cepat diturunkan, bila investor
tp
besar diberi insentif untuk masuk di daerah Banten Selatan. Sayangnya, jenis investasi
ht
yang dapat masuk pun sangat terbatas. Hal ini karena Pemerintah Provinsi Banten telah
mengeluarkan regulasi berupa peraturan daerah yang menjadikan Banten Selatan hanya
untuk daerah konservasi alam serta pengembangan kegiatan pertanian dan pariwisata
(Perda Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten Tahun
2010-2030).
Bila tidak dibuatkan peraturan daerah yang baru, satu-satunya cara adalah dengan
memberikan dana kompensasi berupa block grant yang cukup besar. Disebut sebagai dana
kompensasi, karena dana ini memang harus diberikan sebagai ganti rugi atas pembatasan
yang diterapkan terhadap daerah Banten Selatan. Dana tersebut, selanjutnya dapat
digunakan untuk mempercepat proses pembangunan di daerah Banten Selatan, sekaligus
mempersempit jurang ketertinggalan dari daerah lain di Banten.
Tidak dapat dipungkiri bahwa belanja modal atau investasi, merupakan salah satu faktor
yang sangat mempengaruhi tingginya pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Dimana,
daerah yang memperoleh alokasi belanja modal yang lebih besar dari pemerintah dan atau
dapat menarik lebih banyak investasi swasta, tingkat pertumbuhan ekonominya akan
cenderung lebih tinggi. Selain itu, dengan banyaknya investasi yang masuk, sisi suplai atau
kapasitas daerah dalam memproduksi barang dan jasa akan meningkat pula. Peningkatan
kapasitas ini, pada akhirnya akan lebih menjamin keberlangsungan pertumbuhan ekonomi
daerah tersebut di masa-masa mendatang.
.id
Gambar 4.2. Alokasi Anggaran Belanja Modal Pemerintah Kabupaten/Kota se Banten
Menurut Pembagian Daerah, Tahun 2018 (Triliun Rupiah)
o
.g
4
b ps 3,78
e n.
3
a nt
//b
2
s:
1,43
tp
1
ht
0,60
0
Banten Selatan Banten Tengah Banten Utara
Sementara itu Alokasi belanja modal pemerintah daerah, sangat dipengaruhi oleh
kemampuan keuangan daerah masing-masing, yang dalam hal ini adalah pendapatan asli
daerah (PAD). Daerah yang minim PAD, akan mengalokasikan dana yang sedikit untuk
kebutuhan investasi. Daerah yang minim PAD ini, biasanya merupakan daerah yang
tertinggal. Oleh sebab itu, pemerintah pusat dan provinsi harus lebih banyak lagi
mengalokasikan dana investasi ke daerah-daerah tersebut, agar ketimpangan
pembangunan menjadi lebih cepat teratasi.
Berbeda dengan belanja modal pemerintah daerah, alokasi investasi swasta lebih banyak
ditentukan oleh kekuatan pasar. Dalam konteks ini, kekuatan yang berperan besar dalam
menarik investasi swasta adalah keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah.
Keuntungan lokasi ditentukan oleh besarnya biaya transportasi untuk mengangkut bahan
baku dan hasil produksi, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar, tingkat persaingan
usaha, sewa tanah, dan fasilitas infrastruktur. Termasuk ke dalam keuntungan lokasi ialah
keuntungan aglomerasi, yang timbul karena adanya konsentrasi spasial kegiatan ekonomi
tertentu pada suatu daerah. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila investasi cenderung
lebih banyak terkonsentrasi di daerah maju, yang memang memiliki keuntungan lokasi
dibandingkan daerah tertinggal.
Terkait investasi yang masuk ke Banten, terlihat bahwa dana investasi dari pemerintah
.id
daerah (Gambar 4.2) dan alokasi investasi swasta (Gambar 4.3) sangat timpang sekali. Hal
o
ini karena, alokasi kedua jenis investasi tersebut lebih banyak terkonsentrasi di daerah
.g
Banten Utara dan Banten Tengah. Ketimpangan alokasi investasi tersebut, sesungguhnya
ps
sudah terjadi sejak lama. Ketimpangan investasi inilah, yang baik secara teori maupun
b
fakta empiris, menjadi penyebab timbulnya ketimpangan antar wilayah. Oleh karena itu,
n.
alokasi investasi, agar ketimpangan antar wilayah di Banten pada kemudian hari menjadi
nt
Gambar 4.3. Komposisi Investasi PMA dan PMDN yang Masuk ke Banten
s:
60
53,99
57,43
44,69
45 40,71
30
15
1,32 1,85
0
Banten Selatan Banten Tengah Banten Utara
PMA PMDN
Salah satu kebijakan yang dapat ditempuh dalam rangka mengurangi ketimpangan
pembangunan antar wilayah adalah dengan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan
(Growth Poles) baru secara lebih tersebar. Alasannya adalah karena pusat pertumbuhan
menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi secara bersamaan.
.id
daerah-daerah sekitarnya.
o
.g
Penerapan konsep pusat-pusat pertumbuhan akan dapat mengurangi ketimpangan
pembangunan antar wilayah, karena mampu mendorong pertumbuhan daerah-daerah
ps
di sekitarnya. Fenomena ini dikenal dengan istilah spread effect atau trickle down effect,
b
yang merupakan keunggulan dari pusat pertumbuhan.
e n.
Banyak lapangan usaha yang dapat dijadikan core business untuk pengembangan pusat
nt
pertumbuhan. Namun untuk lebih menjamin terjadinya spread effect atau trickle down
a
effect, lapangan usaha yang dikembangkan sebaiknya adalah industri pengolahan yang
//b
Lapangan usaha industri pengolahan sendiri, selama ini memang dikenal sebagai mesin
ht
pendorong pertumbuhan ekonomi dan kemajuan daerah. Kondisi yang demikian terlihat
jelas di Banten, dimana daerah Banten Utara dan Banten Tengah yang didominasi oleh
lapangan usaha industri pengolahan, menjadi daerah yang jauh lebih maju dibandingkan
daerah Banten Selatan yang cenderung mengembangkan pertanian sebagai lapangan
usaha unggulan.
Sementara itu Gambar 4.4., menyajikan perbandingan dua nilai Indeks Williamson Banten
selama periode 2012-2018. Indeks Willamson yang pertama (IW Total) dihitung dengan
menggunakan seluruh lapangan usaha dalam PDRB Kabupaten/Kota atas dasar harga
berlaku. Sementara IW Non Industri Pengolahan dihitung dengan mengeluarkan lapangan
usaha industri pengolahan. Terlihat bahwa ada gap yang sangat signifikan pada kedua nilai
Indeks Williamson tersebut. Secara negatif, hal ini berarti bahwa lapangan usaha industri
pengolahan menjadi penyebab timbulnya ketimpangan pembangunan antar wilayah.
Adapun dalam makna yang positif, pengembangan lapangan usaha industri pengolahan
mutlak harus dilakukan di seluruh daerah agar ketimpangan pembangunan antar wilayah
di Banten menjadi berkurang.
.id
0,530 0,531 0,532 0,529
0,520
o
0,498 0,489
.g
2012 2013 2014 2015
b ps 2016 2017 2018
n.
Berbeda dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah yang dihitung dengan data
PDRB, pengukuran tingkat ketimpangan pendapatan antar penduduk menggunakan data
pendapatan penduduk. Sayangnya, data pendapatan untuk Indonesia tidak tersedia,
sehingga pengukurannya dilakukan dengan memanfaatkan data pengeluaran penduduk.
Adapun indikator yang umum digunakan untuk mengukurnya adalah Koefisien Gini atau
Indeks Gini.
0,43 0,424
.id
0,41
o
.g
0,392
0,39 0,384
0,380
0,386
b ps
0,379
n.
0,367
e
0,37
a nt
//b
0,35
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
s:
tp
Gambar 4.5. menyajikan perkembangan nilai Indeks Gini Banten selama periode
September 2012-2018, yang dihitung dengan menggunakan data pengeluaran penduduk.
Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa nilai Indeks Gini mengalami penurunan. Pada
periode September 2012-2014, nilai Indeks Gini memang pernah menurun, namun pada
akhirnya melesat naik ke level 0,424. Sementara pada periode September 2014-2017,
cenderung menurun hingga ke posisi 0,379. Adapun dalam periode setahun terakhir ini,
Indeks Gini turun menjadi 0,367.
Turunnya nilai Indeks Gini yang dihasilkan, menjadi penanda bahwa keterlibatan lapisan
masyarakat bawah dan menengah dalam proses pembangunan ekonomi di Banten, selama
enam tahun terakhir ini mengalami peningkatan. Akibatnya, porsi pendapatan mereka
dalam distribusi pendapatan penduduk Banten bertambah dibandingkan sebelumnya
(Gambar 4.6). Dengan demikian, ketimpangan distribusi pendapatan antar penduduknya
menjadi berkurang.
Betapapun juga, harus diingat pula bahwa nilai Indeks Gini di atas, dihasilkan dari data
pengeluaran. Sementara data pengeluaran sendiri hanya tepat bila digunakan sebagai
pendekatan atau proxy untuk mengukur besaran pendapatan masyarakat kelas bawah.
Adapun bila dipakai sebagai proxy, terutama bagi pendapatan masyarakat kelas atas, akan
bias sekali. Oleh karena itu, nilai Indeks Gini yang sebenarnya, sepertinya akan jauh
melebihi 0,367. Berarti, tingkat ketimpangan pendapatannya ada kemungkinan termasuk
dalam kategori tinggi.
o .id
.g
60
45,78
b ps 44,45
45
n.
36,31 37,04
e
30
a nt
17,91 18,50
//b
15
s:
tp
0
September 2012 September 2018
ht
Kualitas
Pertumbuhan
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
o .id
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh setiap negara pada saat ini, adalah tidak hanya
.g
mendorong ekonomi tetap tumbuh dan berkembang, tetapi juga berkualitas. Menurut
ps
berbagai literatur, ukuran berkualitas dapat diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang
b
secara signifikan memperbesar ketersediaan lapangan pekerjaan ( pro job) dan
n.
menurunkan angka kemiskinan (pro poor). Selain itu, pertumbuhan ekonomi akan semakin
e
berkualitas, ketika lebih banyak lagi masyarakat yang terlibat aktif dan menikmati hasil
nt
ekonomi produktif dalam sistem perekonomian atau inclusive growth (Firmanzah, 2014).
a
//b
Sesuai dengan fakta empiris, pertumbuhan ekonomi yang terjadi di suatu negara atau
s:
wilayah, pada umumnya memang sudah berkualitas. Dalam konteks ini, pertumbuhan
tp
menjadi persoalan bukanlah pada pengaruh positifnya, melainkan kepada besaran dampak
atau yang dikenal sebagai elastisitas. Oleh karena itu, yang seringkali muncul ke
permukaan adalah “berapa besar dampak dari setiap kenaikan satu persen pertumbuhan
ekonomi, terhadap peningkatan atau penurunan suatu indikator kesejahteraan lainnya?”.
ηL =
(L L)
(Y Y ) ………..(5.1)
Dimana :
.id
L = Persentase perubahan kesempatan kerja (Tenaga Kerja)
L
o
.g
Y = Output (PDB/PDRB)
Y
Y
ps
= Persentase perubahan output atau Pertumbuhan Ekonomi
b
e n.
mencerminkan persentase perubahan tenaga kerja yang terserap, sebagai akibat adanya
a
pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, semakin besar elastisitas kesempatan kerja, jika
//b
pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan oleh suatu negara atau wilayah semakin tinggi,
s:
Kondisi sebaliknya terjadi bila η L tidak elastis (0< η L 1 ), yaitu persentase kenaikan
tenaga kerja yang terserap ternyata jauh lebih kecil atau maksimal sama dengan laju
pertumbuhan ekonominya. Dalam hal ini, perubahan kesempatan kerja menjadi tidak
sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi yang bersifat
demikian biasanya mengunakan teknologi produksi yang padat modal.
Dengan demikian, dapat dimengerti betapa sangat bermanfaatnya data atau besaran
elastisitas kesempatan kerja ini. Dimana manfaat terbesarnya, terutama adalah untuk
kegiatan perencanaan tenaga kerja dan pengembangan sektor-sektor ekonomi yang padat
tenaga kerja.
Elastisitas kesempatan kerja sendiri, memang bisa langsung dihitung mengikuti persamaan
5.1. Hanya saja, hasilnya akan menjadi sangat sederhana, bersifat deterministik,
cenderung fluktuatif, dan menunjukkan ketidakstabilan. Akibatnya, hasil perhitungan yang
diperoleh tidak memiliki keterbandingan antar tahun. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan
kegunaan hasilnya, elastisitas kesempatan kerja harus dihitung menurut selang periode
waktu (Islam dan Nazara, 2000; Islam, 2004).
Sementara itu dalam literatur Ekonomi Makro, disebutkan bahwa cikal bakal penelitian
mengenai elastisitas kesempatan kerja sudah dimulai sejak tahun 1962 oleh Arthur M.
Okun, yang hasilnya lebih dikenal sebagai Okun’s Law atau Okun’s Rule of Thumb. Menurut
Okun, terdapat hubungan yang positif antara meningkatnya pengangguran dengan
membesarnya PDB Gap, yaitu selisih PDB aktual dari PDB potensialnya. Dengan
.id
mengabaikan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pembentukan output nasional, Okun
o
menyatakan bahwa untuk setiap 1 persen peningkatan pada angka pengangguran, PDB
.g
Gap akan meningkat 2 sampai 3 persen. Dengan kata lain, PDB riilnya turun sebesar 2
sampai 3 persen.
b ps
Mengikuti Okun, penelitian yang dilakukan pada tahun 1993 oleh Martin Prachowny,
n.
PDB riil suatu negara akan turun 3 persen. Akan tetapi dengan menggunakan data terbaru,
a
Abel dan Bernanke (2005) menghasilkan penurunan PDB real sebesar 2 persen, untuk
//b
Bagaimana di Indonesia, apakah Okun’s Law berlaku? Menurut Siregar (2002), untuk
tp
Hasil penelitan mereka relatif sama, yakni pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif
terhadap penciptaan kesempatan kerja. Adapun perbedaannya, terletak pada besaran
masing-masing elastisitas kesempatan kerja yang dihasilkannya. Sementara model yang
digunakan, pada umumnya mengikuti model yang dikembangkan oleh Padalino dan
Vivarelli (1997), dengan bentuk umum sebagai berikut :
L = α Y + ε ………….(5.2)
Dimana :
Y = Pertumbuhan Ekonomi,
= Error Term.
.id
penciptaan lapangan kerja ini, selanjutnya lebih dikenal sebagai pertumbuhan ekonomi
yang bersifat pro job. Maksudnya adalah lapangan kerja yang tercipta oleh pertumbuhan
o
.g
ekonomi menjadi sedemikian banyaknya, sehingga mampu menurunkan angka atau
tingkat pengangguran penduduk.
b ps
n.
e
Pendapatan
a
//b
Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di suatu wilayah, secara teoritis akan mempengaruhi
s:
distribusi pendapatan. Secara empiris berdasarkan data antar negara, Kuznets (1955)
tp
pendapatan, yang kemudian lebih dikenal sebagai hipotesa “inverted U-curve”. Hipotesa
tersebut menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan dalam suatu negara akan
meningkat pada tahap-tahap awal pembangunan ekonomi, cenderung tidak berubah pada
tahap menengah, dan terus menurun ketika negara tersebut menjadi sejahtera.
Hipotesa Kuznets bersandar pada asumsi bahwa terdapat dua sektor ekonomi dalam suatu
negara. Pertama, sektor tradisional (daerah perdesaan dengan lapangan usaha pertanian)
dengan pendapatan per kapita dan ketimpangan pendapatan yang rendah. Kedua, sektor
modern (daerah perkotaan dengan lapangan usaha industri pengolahan dan lapangan
usaha jasa-jasa) dengan pendapatan per kapita dan ketimpangan pendapatan yang tinggi.
Imbasnya, terjadi migrasi tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor modern, yang
meningkatkan ketidakmerataan pendapatan di negara atau wilayah tersebut.
produktivitas dan upah tenaga kerja di sektor modern akan lebih tinggi daripada di sektor
tradisional. Oleh sebab itu, pendapatan per kapita yang diharapkan juga lebih tinggi.
Akibatnya, ketidakmerataan pendapatan antara kedua sektor tersebut meningkat pada
awal-awal pembangunan.
Kesahihan hipotesa “inverted U-curve”, membawa implikasi bahwa jika suatu negara
berada pada tahap-tahap awal pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkannya
akan lebih meningkatkan ketimpangan pendapatan. Imbasnya, pengurangan kemiskinan
akan memakan waktu yang lebih lama (Adams, 2004). Oleh sebab itu, hipotesa ini sangat
kontroversial dan menjadi bahan perdebatan dalam waktu yang cukup lama. Selain itu,
hipotesa tersebut juga mempengaruhi pemikiran dan penelitian-penelitian selanjutnya,
mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan.
.id
Penelaahan terhadap berbagai literatur juga menjadi sangat menarik, karena begitu
o
.g
beragamnya kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh. Ada yang hasilnya mendukung penuh
ps
hipotesa “inverted U-curve” (Oshima,1962), mendukung sebagian (Ahluwalia, 1976a dan
1976b), ataupun menolaknya sama sekali (Deininger dan Squire, 1996).
b
e n.
nt
Ekonomi
//b
s:
lagi berfokus pada berlaku atau tidaknya hipotesa “inverted U-curve” dari Kuznets. Akan
ht
dan
= + (5.5)
dimana :
Pkt : Angka Kemiskinan (Persentase Penduduk Miskin) untuk Area ke-k dan Periode ke-
.id
t,
o
.g
Gkt : Indeks Gini untuk Area ke-k dan Periode ke-t,
Wkt
b ps
: PDRB adhk (Welfare Ratio) untuk Area ke-k dan Periode ke-t,
k
n.
kt : Disturbance Term.
a nt
//b
s:
Bank Dunia, mendefinisikan pertumbuhan ekonomi pro poor atau yang pro terhadap
kemiskinan, sebagai pertumbuhan ekonomi yang efeknya bisa menurunkan angka
kemiskinan (Ravallion, 2004). Pertumbuhan ekonomi yang demikian, juga sering
diasosiasikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang bermanfaat bagi penduduk miskin dan
memberi mereka peluang untuk memperbaiki kondisi ekonominya.
Namun, definisi di atas sangat lemah dan belum memberikan jaminan keadilan bagi
penduduk miskin, terutama dalam hal penerimaan terhadap bagian dari pertumbuhan
ekonomi. Dengan definisi tersebut, penduduk miskin mungkin saja hanya menerima bagian
yang sangat kecil dari pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi karena dengan bagian tersebut,
sebagian kecil dari mereka menjadi terangkat dari jurang kemiskinan, maka pertumbuhan
ekonomi yang menyebabkannya tetap disebut sebagai pertumbuhan ekonomi yang pro
terhadap kemiskinan.
Menyadari akan lemahnya konsep Bank Dunia, Kakwani dkk. (2004), memberikan definisi
yang sangat kuat bagi pertumbuhan ekonomi yang pro terhadap kemiskinan. Definisi
tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, relative pro-poor growth, yaitu jika
Kedua, absolute pro-poor growth. Adalah jika penduduk miskin menerima keuntungan dari
pertumbuhan ekonomi secara absolute minimal sama atau lebih dari yang diterima oleh
penduduk tidak miskin. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi berhasil menurunkan
angka kemiskinan (persentase penduduk miskin) dan pada saat yang sama juga
menurunkan ketimpangan pendapatan.
.id
Studi Literatur : Konsep Pertumbuhan Inklusif
o
.g
Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat penting bagi terciptanya pertumbuhan inklusif.
ps
Klasen (ADB, 2010), menyatakan bahwa penting untuk menentukan jenis pertumbuhan
b
ekonomi seperti apa yang memiliki ciri atau karakteristik untuk dapat disebut sebagai
n.
Ada dua kemungkinan untuk hal tersebut, yang pertama adalah dengan melihat melalui
a
meluas antar sektor atau intensif terhadap tenaga kerja. Dengan begitu pertumbuhan
s:
inklusif dapat dikatakan sebagai pertumbuhan yang melibatkan partisipasi semua pihak,
tp
Fokus kedua yaitu pada hasil dari proses pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, konsep
pertumbuhan inklusif berkaitan erat dengan konsep pertumbuhan yang pro poor. Dengan
kata lain, berdasarkan hasil yang dicapainya, pertumbuhan inklusif adalah pertumbuhan
yang mampu menurunkan kelompok yang “tidak diuntungkan” dalam perekonomian.
.id
pertumbuhan tersebut. Dengan demikian pertumbuhan inklusif merepresentasikan
o
adanya pemerataan.
.g
ps
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang inklusif,
b
setidaknya adalah pertumbuhan ekonomi yang pro job, pro poor dan berhasil menurunkan
n.
ketimpangan pendapatan.
e
a nt
//b
Bila perekonomian suatu negara atau wilayah mengalami pertumbuhan, daya serapnya
tp
terhadap tenaga kerja juga akan meningkat, yang berarti bertambahnya kesempatan kerja.
ht
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Islam dan Nazara (2000), didapati bahwa laju
pertumbuhan ekonomi minimal yang dibutuhkan untuk menjaga agar pasar tenaga kerja
di Indonesia selalu berada dalam keseimbangan, yaitu keadaan dimana tingkat
pengangguran terbuka dan kesempatan kerja tidak berubah, adalah sekitar 3,5 persen
sampai 4,7 persen.
Pertumbuhan ekonomi Banten sendiri selama enam tahun terakhir ini, rata-rata mencapai
5,74 persen per tahun (Tabel 5.1). Berarti, sudah jauh di atas laju pertumbuhan ekonomi
minimal bagi tercapainya keseimbangan pasar tenaga kerja. Oleh karena itu, sangat
diharapkan bila pertumbuhan ekonomi terjadi adalah pertumbuhan ekonomi yang
berkualitas, yang sensitif bagi peningkatan kesempatan kerja (pro job). Benarkah?
Tabel 5.1. Indikator Kualitas Pro Job dari Pertumbuhan Ekonomi Banten
Tahun 2012-2018
Perubahan Perubahan
Uraian 2012 2018
2012-2018 per Tahun
.id
4. TPT (persen) 9,94 8,52 -1,42 -0,24
o
.g
5. LPE periode 2012-2018 (persen) 5,74
ps
6. Tambahan angkatan kerja per 1 persen LPE periode 2012-2018 (orang) 18.934
b
n.
7. Lapangan kerja tercipta per 1 persen LPE periode 2012-2018 (orang) 19.458
e
nt
9. Penurunan TPT per 1 persen LPE periode 2012-2018 (persen poin) -0,04
s:
tp
Faktanya, pertumbuhan ekonomi Banten selama periode 2012-2018 dari sisi penciptaan
tenaga kerja, memang bersifat pro job. Kondisi ini terlihat dari perbandingan antara
lapangan kerja yang tercipta dengan pertambahan jumlah angkatan kerja. Dimana,
lapangan kerja yang tercipta rata-rata untuk lebih dari 112 ribu orang pekerja per tahun.
Berarti, lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertambahan angkatan kerja yang kurang dari
109 ribu orang setahun. Akibatnya, jumlah pengangguran berkurang sekitar 3 ribu orang
per tahun. Dengan kata lain, jumlah penganggurannya berkurang 524 orang, untuk setiap
satu persen pertumbuhan ekonomi (Tabel 5.1).
Sayangnya, angka TPT selama periode 2012-2018 rata-rata hanya turun 0,24 persen poin
per tahun. Oleh sebab itu, elastisitas TPT nya menjadi sangat kecil, yaitu hanya mencapai
minus 0,44. Dengan demikian, koefisiennya menjadi kurang elastis, karena hanya berhasil
menurunkan angka pengangguran (TPT) sebesar 0,44 persen untuk setiap satu persen
pertumbuhan ekonomi.
Ada dua penyebab mengapa elastisitas TPT Banten selama enam tahun terakhir ini sangat
kecil. Pertama, struktur ekonomi yang memang semakin didominasi oleh sektor tersier
yang daya serap tenaga kerjanya relatif kecil. Kedua, lapangan usaha yang bersifat padat
tenaga kerja, terutama industri pengolahan tumbuh di bawah rata-rata pertumbuhan
sektor, sehingga pertumbuhan ekonomi yang dihasilkannya kurang berhasil dalam
menciptakan banyak lapangan kerja.
Terlepas dari itu semua, lapangan kerja yang telah tercipta selama periode 2012-2018,
lebih banyak yang merupakan pekerjaan formal. Kondisi ini dapat diketahui dari
meningkatnya jumlah pekerja formal, yaitu dari 2,76 juta orang (59,25) menjadi 3,34 juta
orang (62,71 persen). Pekerja formal sendiri secara umum sudah menerima upah/gaji yang
layak atau setidaknya lebih besar dibandingkan upah/gaji pekerja informal. Dengan
.id
demikian, dapat diharapkan bahwa tingkat kesejahteraan pekerja baru akan meningkat
o
pesat, sehingga pengurangan tingkat kemiskinan dapat terwujud.
.g
b ps
Pertumbuhan Ekonomi Banten Bersifat Absolute Pro Poor
e n.
Secara umum telah diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu
nt
indikator keberhasilan pembangunan. Sementara tujuan paling penting dari suatu proses
a
//b
Tabel 5.2. Indikator Kualitas Pro Poor dari Pertumbuhan Ekonomi Banten
Tahun 2012-2018
Perubahan Perubahan
Uraian 2012 2018
2012-2018 per Tahun
.id
4. LPE periode 2012-2018 (persen) 5,74
o
.g
5. Pengurangan penduduk miskin per 1 persen LPE periode 2012-2018 (orang) 751
ps
6. Penurunan P 0 per 1 persen LPE periode 2012-2018 (persen poin) -0,01
b
n.
Pertumbuhan ekonomi Banten sendiri selama periode 2012-2018 memang cukup tinggi
dan bersifat inklusif. Hal ini terlihat dari sifatnya yang pro job dan absolute pro poor, serta
mampu menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan antar penduduk, yakni dari 0,384
menjadi 0,367.
o .id
.g
b ps
e n.
a nt
//b
s:
tp
ht
DF
Daftar Pustaka
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
Abel, Andrew B. and Bernanke, Ben S., 2005. Macroeconomics (5th ed.). Pearson Addison
Wesley.
Adam Jr, Richard H., 2004. “Economic Growth, Inequality and Poverty: Estimating the Growth
Elasticity of Poverty.” World Development, 32 (12), hal. 1989-2014.
.id
Asian Development Bank. 2010. “”Key Indicators for Asia and the Pacific”. Asian
Development Bank : Mandaluyong City, Philippines.
o
.g
Ahluwalia, Montek S., 1976a. “Inequality, Poverty and Development.” Journal of Development
Economics, 3 (4).
b ps
n.
Ahluwalia, Montek S., 1976b. “Income Distribution and Development : Some Stylized Facts.”
e
BPS. 2018b. Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Di Indonesia Tahun 2018. BPS:
Jakarta.
BPS. 2018c. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia Per Provinsi Maret 2018,
Buku 3. BPS: Jakarta.
BPS Provinsi Banten. 2014. Analisis Sosial Ekonomi Petani Di Banten (Hasil Survei
Pendapatan Petani Sensus Pertanian 2013). BPS Provinsi Banten: Serang.
BPS Provinsi Banten. 2015. Proyeksi Penduduk Provinsi Banten 2010-2020. BPS Provinsi
Banten: Serang.
BPS Provinsi Banten. 2019. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Banten Menurut
Lapangan Usaha 2014-2018. BPS Provinsi Banten: Serang.
Deineger, Klaus dan Lyn Squire, 1996. “Measuring Income Inequality : A New Data Set.”
World Bank Economics Review, 10(3), hal. 565-591.
Ikhsan, M. 2003. Kemiskinan dan Harga Beras, Working Paper No. 3/2003, LPEM UI: Jakarta
Islam, Iyanatul. and Suahasil Nazara, 2000. “Estimating Employment Elasticity for the
Indonesian Economy.” Technical Note on the Indonesian Labour Market.
Jakarta: International Labour Office.
Islam, R. 2004. “The nexus of economic growth, employment and poverty reduction: an
empirical analysis”. Recovery and Reconstruction Department, Geneva,
.id
International Labour Office.
o
.g
Kakwani, Nanak, Shahid Khandker, dan Hyun H. Son, 2004. “Pro-Poor Growth: Concepts
Kuznets, S, 1955. “Economics Growth and Income Inequality.” American Economic Review,
//b
Okun, A. M., 1962. “Potential GNP: its measurement and significance, In American
ht
Oshima, Harry T., 1962. “The International Comparison of Size Distribution of Family
Incomes With Special Reference to Asia.” Review of Economics and Statistics,
44(4), hal. 439-445.
Padalino, Samanta. and Marco Vivarelli, 1997. “The Employment Intensity of Economic
Growth in the G-7 Countries,” International Labour Review 136:191-213.
Ravallion, Martin, 2004. “Pro-poor Growth: A Primer.” Development Research Group, The
World Bank: Washinton DC.
Siregar, H., 2002. Perbaikan Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi: Mendorong Investasi
dan Menciptakan Lapangan Kerja. Laporan Final.
Solimano, Andres. and Guillermo Larrain, 2002. “From Economic Miracle to Sluggish
Performance: Employment, Unemployment and Growth in the Chilean
Economy.” Mimeo. Santiago: United Nations Economic Commission for Latin
America & the Caribbean.
Suryanarayana, M.H. 2008. “Inclusive Growth: What is so exclusive about it?”. Indira
Gandhi Institute of Development Research, Mumbai.
Syafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Baduose Media : Padang
o .id
Tambunan, Tulus TH. 2001. Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting. Ghalia
.g
Indonesia: Jakarta
Todaro, Michael P.
b ps
dan Stephen C. Smith, 2006. Economic Development, Longman.
n.
Wodon, Quentin, 1999. “Growth, Poverty, and Inequality: A Regional Panel for Bangladesh.”
tp
Policy Research Working Paper No. 2072, World Bank-Sout Asia Region.
ht
Lampiran
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
DRB Banten Menurut Lapangan Usaha
Tahun 2017-2018 (Miliar Rupiah)
.id
(1) (2) (3) (4) (5)
o
1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 33.264,5 35.572,3 23.054,7 23.879,8
.g
2. Pertambangan dan Penggalian
b ps
4.146,1 4.272,1 2.850,8 2.871,5
16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 6.655,4 7.444,4 4.913,0 5.249,4
.id
4. Pengadaan Listrik, Gas 2,13 2,08 1,02 1,03
o
5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
0,08 0,08 0,10 0,10
Limbah, dan Daur Ulang
.g
6. Konstruksi
16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 1,18 1,21 1,20 1,21
Laju Sumber
Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi
Lapangan Usaha
2017 X) 2018 XX) 2017 X) 2018 XX)
.id
4. Pengadaan Listrik, Gas 0,50 7,20 0,01 0,07
o
5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
7,30 4,87 0,01 0,00
Limbah, dan Daur Ulang
.g
6. Konstruksi
16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8,16 6,85 0,10 0,08
.id
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) 173.092,9 193.232,3 126.206,3 135.188,3
o
.g
5. Perubahan Inventori 70,3 108,2 103,1 112,6
.id
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) 30,72 31,42 30,78 31,16
o
.g
5. Perubahan Inventori 0,01 0,02 0,03 0,03
6. Ekspor Neto
b ps
12,19 11,32 7,11 6,97
n.
Laju Sumber
Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi
Komponen Pengeluaran
2017 X) 2018 XX) 2017 X) 2018 XX)
.id
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) 8,94 7,12 2,67 2,19
o
.g
5. Perubahan Inventori -24,64 9,21 -0,01 0,00
.id
2. Bukan Angkatan Kerja 3.383.545 3.351.506
o
.g
3. Penduduk Usia Kerja 8.980.508 9.180.734
4. TPAK (Persen)
b ps 62,32 63,49
n.
Lampiran 8. Penduduk Usia Kerja Di Daerah Perkotaan Banten Menurut Jenis Kegiatan
Agustus 2017-2018
.id
2. Bukan Angkatan Kerja 2.403.140 2.408.429
o
.g
3. Penduduk Usia Kerja 6.378.185 6.568.234
4. TPAK (Persen)
ps
62,32
b
63,33
n.
Lampiran 9. Penduduk Usia Kerja Di Daerah Perdesaan Banten Menurut Jenis Kegiatan
Agustus 2017-2018
.id
2. Bukan Angkatan Kerja 980.405 943.077
o
.g
3. Penduduk Usia Kerja 2.602.323 2.612.500
4. TPAK (Persen)
b ps 62,33 63,90
n.
Lampiran 10. Penduduk Laki-Laki Usia Kerja Banten Menurut Jenis Kegiatan
Agustus 2017-2018
.id
2. Bukan Angkatan Kerja 861.918 868.952
o
.g
3. Penduduk Usia Kerja 4.571.695 4.672.983
4. TPAK (Persen)
ps
81,15
b
81,40
n.
Lampiran 11. Penduduk Perempuan Usia Kerja Banten Menurut Jenis Kegiatan
Agustus 2017-2018
.id
2. Bukan Angkatan Kerja 2.521.627 2.482.554
o
.g
3. Penduduk Usia Kerja 4.408.813 4.507.751
4. TPAK (Persen)
b ps 42,80 44,93
n.
.id
3. Industri Pengolahan 1.246.230 1.267.797
o
4. Listrik, Gas dan Air Minum 20.871 72.016
.g
5. Konstruksi
ps
285.594
b 348.997
Komunikasi
a
900.185 790.717
Perorangan
tp
Lampiran 13. Penduduk Usia Kerja Di Daerah Perkotaan Banten yang Bekerja
Menurut Lapangan Pekerjaan Utama
Agustus 2017-2018
.id
3. Industri Pengolahan 969.420 978.213
o
4. Listrik, Gas dan Air Minum 16.294 57.995
.g
5. Konstruksi
b ps 179.323 227.985
Komunikasi
a
738.216 668.312
Perorangan
tp
Lampiran 14. Penduduk Usia Kerja Di Daerah Perdesaan Banten yang Bekerja
Menurut Lapangan Pekerjaan Utama
Agustus 2017-2018
.id
3. Industri Pengolahan 276.810 289.584
o
4. Listrik, Gas dan Air Minum 4.577 14.021
.g
5. Konstruksi
ps
106.271
b 121.012
Komunikasi
a
161.969 122.405
Perorangan
tp
.id
3. Industri Pengolahan 818.459 807.010
o
4. Listrik, Gas dan Air Minum 19.303 58.423
.g
5. Konstruksi
b ps 279.233 342.032
Komunikasi
a
509.662 408.411
Perorangan
tp
.id
3. Industri Pengolahan 427.771 460.787
o
4. Listrik, Gas dan Air Minum 1.568 13.593
.g
5. Konstruksi
ps
6.361
b 6.965
Komunikasi
a
390.523 382.306
Perorangan
tp
.id
2. Jumlah Penduduk Miskin 699.830 668.736
o
.g
3. Persentase Penduduk Miskin (P0) 5,59 5,25
.id
2. Jumlah Penduduk Miskin 415.667 382.134
o
.g
3. Persentase Penduduk Miskin (P0) 4,69 4,24
.id
2. Jumlah Penduduk Miskin 284.163 286.602
o
.g
3. Persentase Penduduk Miskin (P0) 7,81 7,67