Anda di halaman 1dari 4

Satu Waktu

Pagi itu, Diandra masuk ke kelas dengan muka lesu. Mungkin ia baru saja dimarahi oleh
salah seorang guru karena ia terlambat. Diletakkannya tas yang ia bawa begitu saja, duduk sambil
memainkan handphone di tangannya, earphone terpasang dengan sempurna di telinganya. Namun
waktu terasa begitu cepat berlalu, bel masuk telah berbunyi, Diandra tak menyadarinya, Diandra
tidak tahu bahwa Bu Siti, guru kimianya telah masuk ke dalam kelas. “Diandra, Bu Siti datang!”,
kata Nisa, teman sebangkunya. Namun karena terlalu asyik, Diandra tetap tidak sadar. Akhirnya
dengan sangat terpaksa, Nisa menarik earphone yang ada di telinga Diandra. “Apa-apaan sih,
kamu Nis!”, spontan Diandra berteriak dengan suara yang cukup keras sehingga Bu Siti
mengetahuinya. “Diandra! Kenapa kamu teriak-teriak. Suaramu mengganggu teman-temanmu
yang sedang belajar! Sekarang, kamu keluar dari kelas ibu!”, ucap Bu Siti, yang terkenal dengan
sebutan guru paling killer di sekolah. Tanpa pikir panjang Diandra pun berkata, “Baik Bu, Saya
akan keluar. Lagipula saya bosen dengan pelajaran Anda”. Mendengar perkataan Diandra, Bu Siti
hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan Diandra pun langsung pergi meninggalkan kelas.
Karena Diandra bingung tidak tahu harus kemana lagi, akhirnya Diandra memutuskan
untuk pergi ke perpustakaan. Mungkin kalian berpikir ia akan belajar atau membaca buku kan?
Tapi jika kalian berfikir seperti itu, maka pikiran kalian salah besar. Kalian pasti tahu kan, anak
seperti Diandra bakal ngapain kalau ke perpustakaan? Apalagi kalau bukan untuk mencari Wi-Fi
gratis.
Saat berada di perpustakaan, tanpa sengaja ia melihat seorang laki-laki berada di sudut
ruangan yang tak jauh dari tempat dimana Diandra sedang duduk. Laki-laki itu tiba-tiba membuat
Diandra penasaran. Entah apa yang ada dibenak Diandra waktu itu. Diandra terus memperhatikan
laki-laki tersebut, namun karena ia tidak ingin laki-laki itu tahu kalau Diandra sedang
memperhatikannya, Diandra mengambil buku yang berada tepat di depannya. Ya, menurutnya
dengan berpura-pura membaca sambil mengintip adalah ide yang cukup bagus.
Laki-laki itu sesekali melihat ke arahnya namun Diandra seperti berusaha terlihat sibuk
dengan buku yang di pegangnya. Saking penasarannya, Diandra pun mengintip dari balik buku
yang ia tutupkan pada wajahnya. Namun, saat ingin mengintipnya lagi, alangkah terkejutnya
Diandra. Laki-laki itu hilang secara misterius. “Kemana laki-laki itu? Kenapa dia menghilang
begitu cepat? Ah, padahal aku ingin melihatnya terus”, batin Diandra sambil memegang buku yang
masih menutupi wajahnya. Lalu Diandra meletakkan bukunya ke atas meja, ternyata laki-laki itu
sudah berada satu meja dengan Diandra. Diandra pun kaget dan sedikit panik. “Hei, kamu kok
sendirian disini? Mana teman-temanmu yang lain?”, kata si laki-laki itu. “Em, a, a, anu, aku..
pengen aja disini. Disini enak, dingin tempatnya.”, jawab Diandra dengan terbata-bata. “Ahh,
kamu pasti bohong. Kamu pasti bolos kelas atau mungkin dikeluarkan dari kelas oleh guru. Iya
kan?” Kata laki-laki itu penuh dengan keyakinan. “Enggak kok, kamu sendiri kok ada disini?”
tanya Diandra yang mulai sok akrab. “Kebetulan kelasku jamkos jadi aku pergi aja kesini, ya..
hitung-hitung nambah ilmu aja sih.”, jawabnya dengan penuh kehangatan. “Oh, iya. Namaku
Diandra Risti Denada, biasa dipanggil Diandra. Kamu?”, “Aku Rayhan Ibrahim Zulfikar, panggil
saja Rayhan”.
Setelah banyak cerita, Diandra baru mengetahui bahwa Rayhan adalah anak yang
berprestasi di sekolah. Baik, tampan dan sifatnya yang agamis sudah melekat pada dirinya. Dia
selalu mengikuti perlombaan bergengsi dan berhasil menjuarainya. Selain itu, ia terlahir dari
sebuah keluarga yang mampu. Karena itulah, sebagian besar siswi yang ada di sekolah berebut
ingin memilikinya.
Diandra dan Rayhan semakin hari semakin akrab. Dekat layaknya sepasang sahabat. Setiap
jam istirahat, mereka selalu menyempatkan diri untuk bersama. Membuat teman-teman perempuan
Diandra iri melihat mereka bisa sedekat itu. Rayhan memang terkenal anti dengan yang namanya
perempuan, maksudnya ia tidak bisa akrab dengan teman-teman perempuannya. Namun hal
tersebut tidak berlaku untuk Diandra, entah apa yang terbesit dipikiran Rayhan sehingga ia bisa
akrab dengan Diandra. Itu semua masih menjadi sebuah tanda tanya besar di benak setiap orang.
Hari-hari berikutnya dilalui Diandra dengan penuh semangat. Ia sudah tidak mulai
terlambat lagi, selalu mengikuti pelajaran, dan lebih rajin dari sebelumnya. Terkadang kalau
Diandra mengalami kesulitan dalam belajar, Diandra meminta Rayhan untuk mengajarinya.
Rayhan pun dengan senang hati membantunya dan akan terus membimbing Diandra. Diandra
selalu memberi perhatian lebih kepada Rayhan. Ia juga menjadi tempat curhat Rayhan bila sedang
dihadang masalah. Tapi Diandra sadar bahwa ia tak pantas bila bersanding dengan Rayhan.
Diandra tahu diri. Baru kali ini ia benar-benar jatuh hati pada laki-laki.
Hingga suatu hari, Diandra tidak melihat Rayhan di sekolah. Diandra pun pergi mencari
Rayhan hingga ke perpustakaan tempat favorit Rayhan namun nihil, ia tidak ada disana. Berulang
kali Diandra mencoba menelpon Rayhan namun tidak pula diangkat. Tak habis akal, Diandra pun
langsung menanyakan kepada teman dekat Rayhan, Reno. Reno mengatakan kalau Rayhan sedang
mengikuti lomba olimpiade matematika di luar negeri untuk beberapa hari ke depan. Di lain sisi,
Reno telah berbohong kepada Diandra. Hal yang sebenarnya terjadi adalah Reno sedang sakit dan
harus dirawat di rumah sakit Singapura secara intensif. “Kok Rayhan nggak bilang aku ya kalau
ikut lomba. Biasanya tuh dia selalu kasih kabar sebelum hari lombanya tiba”, dengan nada
penasarannya. “Yaudahlah, Diandra.. mungkin Rayhan butuh konsentrasi penuh, soalnya dia ikut
lomba ini memang impian Rayhan sejak lama”, lagi-lagi Reno berbohong. “Oh, okelah kalo gitu,
makasih ya, gue cabut dulu”, Diandra langsung kembali ke kelas dengan wajah sedikit muram.
1 bulan kemudian.
“Emang lomba tuh segini lamanya ya, udah 1 bulan dia belum juga kelihatan di sekolah,
kaga tau apa gue lagi kangen-kangennya”, Diandra mengomel sendiri. Akhirnya, Diandra
berinisiatif untuk mengunjungi rumah Rayhan, berharap ia bertemu Rayhan disana.
Sesampainya di depan rumah Rayhan, Diandra hanya melihat Si Mbok, asisten rumah
tangga. “Mbok, kok rumahnya sepi, sih? Kemana orang-orang di rumah ini? Rayhan kemana
mbok? Jauh-jauh kesini eh yang dicari nggak ada”, cecar Diandra kepada si mbok. “Ini nak
Diandra bukan?”, tanya si mbok. “Iya Mbok, saya temen deketnya Rayhan. Kenapa ya mbok?”,
“Duduk dulu nak, Si Mbok mau ngambil sesuatu untuk nak Diandra”. Diandra menurutinya.
“Ini nak, dari mas Rayhan untuk nak Diandra”, menyodorkan amplop cantik berwarna
merah maroon. “Apa ini mbok?”, “Sudah, kamu baca saja, Si Mbok juga ndak tahu, ndak berani
baca”. Dibacalah isi surat itu. Ternyata itu adalah surat terakhir Rayhan untuk Diandra. Rayhan
mengungkapkan bahwa ia tidak benar-benar mengikuti lomba olimpiade. Ia sakit. Kanker kelenjar
getah bening sudah menjalar ke semua jaringan tubuhnya. Waktunya tak lama untuk bisa bertahap
hidup. Selang beberapa menit, Si Mbok mendapat telpon dari Ibu Rayhan, yang ternyata ingin
memberi kabar bahwa Rayhan sudah bahagia di surga. Diandra menangis hebat. Cinta dan luka
menjadi satu.
“Kenapa Rayhan meninggalkanku secepat ini, di saat aku sadar bahwa aku telah
mencintainya dengan sepenuh hati. Ya, Tuhan.. dalam satu waktu aku merasakan cinta dan patah
hati.. dan kenapa harus Rayhan ya Tuhan.. kenapa harus Rayhan, dia cinta pertamaku..”
Dalam larut duka berujung tangis, hati mana yang tak sakit, patah. Di saat orang lain
bertemu cinta pertamanya dengan penuh suka cita, Diandra harus merasakan patah hati
terhebatnya.
Nama penulis : Brilliant Aldea Febyta
Nama pena : Brisalova
Akun instagram : @brilliantfebyta
Nomor WA : 081249737377
Email : brilliantfebyta@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai