Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Tuberkulosis atau sering disebut TB Paru adalah infeksi menular yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberkulosis.1 Tuberkulosis menjadi masalah
kesehatan yang perlu ditangani dengan baik jika dilihat dari sisi angka kematian
(mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas) maupun diagnosis dan terapinya
karena diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium
Tuberculosis ini.1
Global Tuberculosis Report (2015) menyebutkan bahwa pada tahun 2014,
Indonesia menempati urutan kedua yang memiliki insiden kasus TB terbanyak. Hasil
survey Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan bahwa prevalensi TB pada
semua bentuk kasus pada tahun 2013-2014 terdapat 660 per 100.000 penduduk dan
diperkirakan terdapat 1/600 .000 orang dengan TB di Indonesia. Jumlah kasus TB
tertinggi di Indonesia terdapat di provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar
yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Prevalensi penduduk Indonesia
berdasarkan diagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan sebesar 0.4% dengan 5 wilayah
provinsi TB paru tertinggi yaitu Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI Jakarta (0.6%),
Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%) dan Papua Barat (0.4%).2
Upaya untuk menurunkan prevalensi dan insidensi tuberkulosis paru yang masih
sangat tinggi perlu dikurangi hambatan-hambatan dalam usaha menurunkan prevalensi
dan insidensi penyakit tuberkulosis paru, salah satu hambatannya adalah pendidikan
yang rendah. Tingkat pendidikan di Indonesia yang masih rendah dapat mempengaruhi
tingkat kesembuhan, karena berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis pada penderita Tuberkulosis Paru. Faktor-faktor lain yang berhubungan
dengan kecenderungan penyakit TBC adalah sosial ekonomi dan masalah yang
berkaitan dengan kesehatan misalnya meningkatnya kasus AIDS dan infeksi HIV.3
Faktor yang menyebabkan penularan infeksi TB secara cepat adalah daya tahan
tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan gizi kurang. Gizi kurang dan
tuberkulosis merupakan masalah yang saling berhubungan satu sama lain. Status gizi
kurang akan mempengaruhi imunitas dan akan menurunkan daya tahan tubuh sehingga
mudah terkena infeksi yang selanjutnya menjadi TB. Sebaliknya, penyakit TB bisa

1
mempengaruhi asupan makan dan menyebabkan penurunan berat badan sehingga
mempengaruhi status gizi. Keadaan penderita TB dengan status gizi kurang akan
memperlambat masa penyembuhan dan akan meningkatkan angka kematian
dibandingkan penderita TB dengan status gizi normal.4
Menurut Naga, tuberkulosis dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor
sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin, pencegahan penyakit TB seperti
melakukan desinfeksi (cuci tangan, kebersihan rumah yang ketat, perhatian khusus
terhadap muntahan/ludah anggota keluarga yang terjangkit TB, ventilasi rumah dan
sinar matahari yang cukup) dan lingkungan.6 Dan faktor yang mempengaruhi status
gizi menurut Supariasa, Bakri & Fajar adalah umur, jenis kelamin, lingkungan (fisik,
biologi, sosial), ekonomi, budaya, aktivitas fisik serta keadaan imunologis (adanya
penyakit infeksi).5
Masalah status gizi menjadi penting karena perbaikan gizi merupakan salah satu
upaya mencegah penularan serta pemberantasan TB paru. Status gizi yang buruk akan
meningkatkan risiko penyakit tuberkulosis paru. Sebaliknya, TB paru berkontribusi
menyebabkan status gizi buruk karena proses perjalanan penyakit yang mempengaruhi
daya tahan tubuh.6
Hasil penelitian Prayitami, Dewiyanti & Rohmani, menjelaskan bahwa dari 117
penderita tuberkulosis anak, fase pengobatan terbanyak pada fase lanjutan sebanyak 64
anak (54,7%), sedangkan fase awal yaitu sebanyak 53 anak (45,3%). Dan dari 117
penderita tuberkulosis anak, diperoleh bahwa dari 42 penderita memiliki gizi
kurang/buruk, ada 15 (35,7%) penderita yang pengobatannya masuk dalam fase
lanjutan dan 27 (64,3%) penderita pengobatannya masuk dalam fase awal. Dari 75
penderita yang memiliki gizi normal/lebih, ada 26 (34,7%) penderita yang
pengobatannya masuk dalam fase awal dan 49 (65,3%) penderita yang pengobatanya
masuk dalam fase lanjutan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa penderita dengan gizi
buruk/kurang cenderung didapati pada pengobatan fase awal dan penderita dengan gizi
normal/lebih cenderung didapati pada pengobatan fase lanjutan.7
Berdasar atas latar belakang di atas maka adapun tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui tingkat pengetahuan tentang gizi pada penderita TB paru sebelum
dan sesudah diberikan penyuluhan kesehatan mengenai gizi. Dengan mengetahui
pengetahuan penderita TB terhadap gizi diharapkan dapat menjadi masukan untuk
Puskesmas Mariat di Kabupaten Sorong

2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut: Adakah pengaruh pada pemberian penyuluhan kesehatan terhadap perubahan
pengetahuan tentang gizi pada penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Mariat?
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan gizi pada penderita TB paru di wilayah kerja
Puskesmas Mariat
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan sebelum diberikan penyuluhan kesehatan
tentang gizi pada penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Mariat
b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan sesudah diberikan penyuluhan kesehatan
tentang gizi pada penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Mariat
c. Untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan gizi antara sebelum dan
sesudah diberikan penyuluhan kesehatan tentang gizi pada penderita TB Paru di
wilayah kerja Puskesmas Mariat
1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi instansi
terkait setempat (Dinas Kesehatan Kabupaten Sorong, BBKPM, Puskesmas dan Rumah
Sakit) dalam membuat program intervensi baik jangka panjang maupun jangka pendek
untuk mencegah kejadian Tuberkulosis di Kabupaten Sorong.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru


A. Pengertian Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.8
Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman/bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Kuman ini pada umumnya menyerang paru - paru dan sebagian lagi
dapat menyerang di luar paru - paru, seperti kelenjar getah bening (kelenjar), kulit,
usus/saluran pencernaan, selaput otak, dan sebagianya.9
B. Etiologi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis klinis disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Bentuk yang
tidak khas dari mikobakterium (misalnya Myco, kansasii, myco. intracellulare) juga
dapat menyebabkan penyakit paru pada orang-orang yang lemah atau kekebalannya
tertekan. Insiden tuberkulosis aktif diantara pasien-pasien yang sputumnya positif
terhadap basil tahan asam, pada hapusan langsung adalah sekitar 11 %,
dibandingkan dengan hanya 1,0% pada pasien yang hasil spuntumnya positif.10
Mikrobakterium tuberkulosis adalah kuman berbentuk batang, yang
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, sehingga
disebut pula basil tahan asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant atau tertidur lama selama
beberapa tahun.11
C. Patogenesis Tuberkulosis Paru
Tempat masuknya kuman mikrobakterium tuberkulosis adalah saluran
pernapasan, saluran pencernaan (GI), dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan
infeksi tuberkulosis terjadi malalui udara, yaitu melalui inhalasi dropet yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Saluran pencernaan merupakan tempat masuk utama bagi jenis bovin, yang
penyebarannya melalui susu yang terkontaminasi. Tuberkulosis adalah penyakit
yang dikendalikan oleh respon imunitas diperantara sel.3

4
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TBC. Dropet yang terhirup sangat kecil ukuranya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukulosilir bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan
menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembangbiak dengan
cara pembelahan diri di paru yang mengakibatkan peradangan di dalam paru.
Saluran limfe akan membawa kuman TBC kekelenjar limfe disekitar hilus paru, dan
ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai
pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi menjadi
positif..11
D. Diagnosa Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru cukup mudah dikenal mulai dari gejala klinis, pemeriksaan
fisik/jasmani, pemeriksaan radiologis sampai dengan pemeriksaan bakteriologis.12
Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964 diagnosis pasti tuberculosis
paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosae dalam sputum
atau jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien memberikan sediaan atau
biakan. 13
1. Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.12
a. Gejala respiratorik
1) Batuk ≥ 3 minggu. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus,
diperlukan untuk membuang produk-produk radang. Karena terlibatnya
bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada
setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-
minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula.
2) Batuk darah. Terjadi karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
3) Sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,
yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
4) Nyeri dada. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadinya gesekan kedua pleura sewaktu
pasien menarik/melepaskan napasnya.13
b. Gejala sistemik
1) Demam. Biasanya menyerupai demam influenza tetapi kadang-kadang
panas badan dapat mencapai 40-41oC.

5
2) Malaise. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu
makan, badan makin kurus (berat badan menurun), sakit kepala, meriang,
nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat
dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.13
2. Pemeriksaan fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma & mediastinum.12
3. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-
macam bentuk (multiform). 12
4. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologik bertujuan untuk menemukan kuman tuberkulosis
dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat
berasal dari dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, bilasan lambung, urin dan
faeces. 12
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis dilakukan bila ditemukan bakteri
asam sebanyak dua kali dari tiga kali pemeriksaan. Maka dinyatakn sebagai
penderita BTA + atau TB paru positif.14
E. Pengobatan Tuberkulosis Paru
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).11
Adapun jenis dan dosis obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan untuk
pengobatan tuberkulosis, antara lain :
1. Isoniazid (H)
Obat ini bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam
beberapa hari pertama pengobatan. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB,
sedangkan untuk pengobatan intermitien 3 kali seminggu diberikan dengan dosis
10 mg/kg BB.

6
2. Rifampisin (R)
Obat ini bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi dormant yang tidak
dapat dibunuh oleh isonoid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk
pengobatan harian maupun intermitten 3 kali seminggu.
3. Pirazinamid (P)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan
intermitten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.
4. Sterptomisin (S)
Bersifat bakterisid, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB, sedangkan untuk
pengobatan intermitten 3 kali seminggu digunakan untuk dosis yang sama.
Penderita yang berumur sampai dengan 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari,
sedangkan untuk yang berumur >60 tahun atau lebih diberikan 0,50 g/hari.
2.2 Status Gizi
A. Status Gizi Pada Pasien Tuberkulosis Paru
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel
tersebut. Indikator yang digunakan dalam penilaian status gizi adalah Index Masa
Tubuh dihitung dengan pembagian Berat Badan (dalam kilogram) dan Tinggi Badan
(dalam meter) pangkat dua dengan rumus:15
IMT : Berat Badan( BB)
Tinggibadan( m)2
Katagori IMT menurut (Perkeni, 2002) sebagai berikut:
< 18,5 : Status gizi kurang
18,5-22,9 : Status gizi normal
>23 : Status gizi lebih
23-24,5 : Dengan resiko
25-29 : Obesitas I
>30 : Obesitas II
B. Penatalaksaan Diet Pada Pasien Tuberkulosis Paru
1. Terapi Diet
Terapi diet bertujuan memberikan makanan secukupnya guna memperbaiki
dan mencegah kerusakan jaringan tubuh lebih lanjut serta memperbaiki status gizi
agar penderita dapat melakukan aktifitas normal. Terapi untuk penderita kasus
Tuberkulosis Paru menurut Almatsier Sunita adalah:16

7
a. Energi diberikan sesuai dengan keadaan penderita untuk mencapai berat badan
normal.
b. Protein tinggi untuk mengganti sel-sel yang rusak meningkatkan kadar
albumin serum yang rendah (75-100 gr).
c. Lemak cukup 15-25 % dari kebutuhan energi total.
d. Karbohidrat cukup sisa dari kebutuhan energi total.
e. Vitamin dan mineral cukup sesuai kebutuhan total.
Macam diet untuk penyakit TBC:
a. Diet Tinggi Energi Tinggi Protein I (TETP 1)
Energi: 2600 kkal, protein 100 gr (2/kg BB).
b. Diet Tinggi Energi Tinggi Protein II (TETP II)
Energi 3000 kkal, protein 125 gr (2,5 gr/kg BB)
Penderita dapat diberikan salah satu dari dua macam diet Tinggi Energi
Tinggi Protein (TETP) sesuai tingkat penyakit penderita.

8
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian quasi
eksperimental
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Mariat Kabupaten Sorong
2. Waktu
Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2019
3.3 Subyek Penelitian
Dalam penelitian ini data di dapat dari responden yang merupakan pasien TB
paru yang melakukan rawat jalan dan dalam masa pengobatan diwilayah kerja
Puskesmas Mariat Kabupaten Sorong. Responden pada penelitian ini diambil
berdasarkan kriteria inklusi dan esklusi sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi, yaitu:
 Bersedia menjadi responden
 Positif menderita TB
 Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di Puskesmas Mariat
2. Kriteria esklusi, yaitu:
 Pasien riwayat TB yang sudah sembuh
3. Teknik Sampling
Teknik sampling pada penelitian ini menggunakan metode total sampling.
Dalam penelitian ini data diambil menggunakan instrument kuesioner terhadap
subjek. Materi penyuluhan tuberkulosis berupa edukasi yang diberikan dengan cara
presentasi materi yang berisi pemahaman tentang tb dan pola makan anjuran.
4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data adalah
kuesioner pretest, materi penyuluhan gizi pada tb paru dan posttest.
5 Prosedur Penelitian
a. Perijinan pengambilan data pasien TB(+) kepada puskesmas Mariat

9
b. Pengambilan data pre test
c. Penyuluhan materi gizi
d. Pengambilan data post test
e. Pembuatan hasil data
f. Analisa data
g. Pembuatan laporan
6 Pengolahan data dan Analisis Data
a. Pengolahan data
Data gambaran umum sampel meliputi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan,
dan pekerjaan. Data-data tersebut dikategorikan sebagai berikut :
1) Jenis Kelamin
Data jenis kelamin dikelompokkan menjadi dua yaitu jenis kelamin laki-laki
dan perempuan.
2) Tingkat Pendidikan
Data pekerjaan dikelompokkan menjadi enam kelompok yaitu SD, SMP,
SMA, dan S1.
3) Pekerjaan
Data pekerjaan dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu, petani,
swasta, IRT.
b. Analisis Data
Setelah dilakukan pengolahan data, selanjutnya data dianalisis menggunakan
SPSS.22. Analisanya sebagai berikut :
1) Analisa Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menyajikan data dengan menggunakan
tabel distribusi frekuensi. Analisa ini dilakukan terhadap data umum sampel
yang meliputi jenis kelamin, umur, diagnosa TB paru, tingkat pendidikan, dan
pekerjaan.
2) Analisa Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui keterkaitan antar variabel antara
pengetahuan gizi sebelum mendapat penyuluhan gizi dengan sesudah
diberikan penyuluhan gizi. Data yang diperoleh kemudian ditabulasikan ke
dalam SPSS dengan menggunakan uji dependen-T test.

10
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Univariat


Sampel yang diperoleh berjumlah 5 orang. Analisis univariat dilakukan terhadap
tiap-tiap variabel penelitian. Pada analisis ini akan menghasilkan distribusi frekuensi
dari tiap-tiap variabel meliputi jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.
A. Jenis Kelamin
Data jenis kelamin dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu laki-laki dan
perempuan. Lebih jelasnya di bawah ini merupakan tabel distribusi frekuensi
karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Laki laki 2 40,0 40,0 40,0
Perempuan 3 60,0 60,0 100,0
Total 5 100,0 100,0

Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa dari 5 orang, terdapat 3 orang
perempuan (60,0%) dan 2 orang laki-laki (40,0%) yang mengalami kejadian TB
paru. Pada perempuan, meskipun tidak merokok kemungkinan mereka merupakan
perokok pasif dimana lingkungannya banyak yang merokok seperti keluarga dekat
sendiri (bapak, suami, saudara laki-laki, dll.). Faktor lainnya yang dapat
mengakibatkan mudah terserangnya penyakit TB paru yaitu daya tahan tubuh yang
menurun, status gizi kurang dan riwayat sakit TB pada orang terdekat atau
keluarga.17
Jenis kelamin subjek dalam penelitian ini rata-rata perempuan, hasil tersebut
sesuai dengan penelitian Supriyono dkk (2013) mengenai pengaruh perilaku dan
status gizi terhadap kejadian TBC paru di Kota Pekalongan didapatkan hasil bahwa

11
responden tuberkulosis dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-
laki.18 Dalam penelitian Rao (2009), menyatakan bahwa perkembangan infeksi
menjadi penyakit TBC pada perempuan lebih cepat dibandingkan pada laki-laki,
namun laki-laki memiliki resiko terkena penyakit TBC paru lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan.19 Hal ini disebabkan laki-laki memiliki mobilitas
di luar rumah yang tinggi dan gaya hidup yang salah seperti merokok
mengakibatkan penurunan sistem imun yang sehingga mudah terserang penyakit
TBC.20
B. Tingkat pendidikan
Data pekerjaan dikelompokkan menjadi enam kelompok yaitu SD, SMP,
SMA, dan S1. Lebih jelasnya di bawah ini merupakan tabel distribusi frekuensi
karakteristik sampel berdasarkan tingkat pendidikan.

Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid SD 3 60,0 60,0 60,0
SMA 2 40,0 40,0 100,0
Total 5 100,0 100,0

Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa dari 5 orang terdapat 2 orang
(40,0%) yang pendidikannya mencapai SMA, lalu 3 orang (60,0%) yang
pendidikannya mencapai SD. Pendapat Kasno Diharjo (1998) dalam Nurhasanah
(2012) menyatakan bahwa faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perilaku
positif adalah tingkat pendidikan. Sedangkan menurut Green (1991) dalam
Nurhasanah (2012), menyatakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam
menentukan perilaku kesehatan individu dan kelompok adalah faktor pendidikan.17
Pendidikan atau edukasi merupakan segala daya upaya dan semua usaha yang
salah satu tujuannya untuk membuat masyarakat memiliki kecerdasan, pengendalian
diri dan keterampilan.21 Pendidikan dapat menambah pengetahuan seseorang.

12
Sedangkan Pengetahuan merupakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
perilaku seseorang.
Wassie et al (2014) dalam penelitiannya menyebutkan, faktor yang
berhubungan dengan kenaikan berat badan pada pasien TB adalah status pendidikan
yang akan mempengaruhi pengetahuan subjek tentang TB. Hal ini disebabkan
subjek yang memiliki pendidikan tinggi akan memiliki kesadaran yang lebih baik
pada pentingnya asupan makanan dan lebih mematuhi obat sehingga bisa
meningkatkan asupan makanan.22
C. Pekerjaan
Data pekerjaan dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu petani, swasta,
IRT. Lebih jelasnya di bawah ini merupakan tabel distribusi frekuensi karakteristik
sampel berdasarkan pekerjaan.

Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Pekerjaan

Frequen Valid Cumulative


cy Percent Percent Percent
Valid TANI 2 40,0 40,0 40,0
SWASTA 2 40,0 40,0 80,0
IRT 1 20,0 20,0 100,0
Total 5 100,0 100,0

Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa dari 5 orang, terdapat 2 orang
(40,0%) sebagai Petani, 2 orang (40,0%) sebagai swasta dan 1 orang (20,0%) IRT.
Kondisi lingkungan kerja juga dapat menimbulkan potensi penularan bakteri
TB paru. Kondisi ruang kerja yang padat dan minim cahaya serta sirkulasi udara,
serta sanitasi yang buruk dan banyaknya debu silika memiliki potensi penyebaran
Pada penelitian Imamala (2016) menyatakan bahwa faktor resiko TBC
disebabkan oleh pekerja yang bekerja di lingkungan yang terpapar banyak debu.23
4.2 Analisis Bivariat
Hasil analisis perbedaan pengetahuan gizi sebelum diberikan penyuluhan gizi
dengan sesudah diberikan penyuluhan gizi.

13
Tabel 4.4
Pengetahuan Gizi Sebelum dan Sesudah diberikan Penyuluhan Gizi.
Paired Samples Test
Paired Differences
95% Confidence
Std. Std. Interval of the
Deviatio Error Difference Sig. (2-
Mean n Mean Lower Upper t df tailed)
Pair 1 posttes
28,0000 10,9544 14,3982
t- 4,89898 41,60175 5,715 4 ,005
0 5 5
pretest

Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa hasil analisis status gizi pasien TB paru
dewasa sebelum dan setelah diberikan penyuluhan gizi menunjukkan adanya perbedaan
yang signifikan (p< 0.05), menunjukkan bahwa subjek penelitian sebelum dan setelah
pemberian konseling ada perubahan pengetahuan sebelum penyuluhan pengetahuan dan
setelah penyuluhan. Hal ini memberikan keterangan bahwa pelaksanaan penyuluhan
gizi yang dilakukan mempunyai pengaruh dalam membantu meningkatkkan
pemahaman tentang gizi TB paru.
Penelitian Djannah, Suryani dan Purwati (2009) menunjukkan bahwa semakin
tinggi atau semakin baik pengetahuan seseorang terhadap sesuatu obyek maka akan
semakin baik pula sikap seseorang tersebut terhadap obyek itu.24
Gizi yang kurang menurunkan kekebalan tubuh pada seseorang sehingga akan
mudah terjadi penyakit. Kekurangan protein dan juga kalori serta zat besi dapat
meningkatkan risiko tuberkulosis paru. Daya tahan tubuh akan berfungsi dengan baik
apabila pemenuhan gizi dan makanan tercukupi dengan baik. Dalam hal ini perlu
diperhatikan adalah kualitas konsumsi makanan yang ditentukan oleh komposisi jenis
pangan. Keadaan nutrisi yang buruk dapat menurunkan resistensi terhadap tuberkulosis
baik pada penderita dewasa maupun anak.25

14
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Pasien TB paru dari 5 orang sampel, terdapat 3 orang perempuan (60,0%) dan 2
orang laki-laki (20,0%).
2. Pasien TB paru yang menjadi sampel dari 5 orang, terdiri dari 2 orang bekerja
sebagai petani (40,0%), dan 2 orang bekerja swasta (40,0%), 1 orang lagi bekerja
sebagai ibu rumah tangga (IRT) (20,0%).
3. Pasien TB paru dari 5 orang sampel terdapat 3 orang (60,0%) yang pendidikannya
hanya sampai SD, lalu 2 orang (40,0%) yang pendidikannya mencapai SMA.
4. Adanya perbedaan yang signifikan pada status gizi pasien TB paru dewasa sebelum
dan setelah diberikan penyuluhan gizi (p<0.005).

5.2 Saran
Pasien TB paru dewasa yang telah dinyatakan sembuh dari TB paru dapat
meningkatkan asupan makan khususnya asupan energi dan protein agar dapat
meningkatkan daya tahan tubuh.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Smeltzer, Susanne, C & Brenda. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner
& Suddart. Edisi 8. Vol.3. EGC: Jakarta
2. Departemen Kesehatan RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta.
3. Price, S.A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Penerbit
Buku Kedokteran ECG: Jakarta.
4. Cegielski JP, McMurray DN. 2005. Tuberculosis (Nutrition and Susceptibility) dalam
Encyclopedia Of Human Nutrition second Edition. Oxford (UK) : Elsevier Academic
Press.
5. Naga, S. S. 2014. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Diva Press (Angota
IKAPI): Jogyakarta.
6. Puspita E, Christianto E, Yovi I. 2016. Gambaran status gizi pada pasien tuberkulosis
paru (TB paru) yang menjalani rawat jalan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. JOM.
Hal: 3(2):1–16.
7. Prayitami, S. P., L. Dewiyanti dan A. Rohmani. 2012. Hubungan Fase Pengobatan
dengan Status Gizi Tuberkulosis Anak Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Soewondo
Kendal Periode Januari 2011- September 2011. Jurnal Kedokteran vol. 1 no. 1 hal:. 20-
24.
8. Depkes RI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan TB. dikutip dari
https://www.scribd.com/doc/269871235/Pedoman-Nasional-Penanggulangan-TB.
[diunduh] pada tanggal 5 Mei 2019.
9. Laban, 2008. Penyakit dan Cara Pencegahannya. Kanisius: Yogyakarta.
10. Evan, T.M dan Crockford, M. 1994. Atlas Bantu Pulmonologi. Penerbit Hipokrates:
Jakarta.
11. Depkes RI. 2002. Pedoman Nasional Penenggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke-8.
Dirjen Depkes RI: Jakarta
12. Persatuan Dokter Paru Indonesia. 2010. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia. dikutip dari http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/TB.
[diunduh] pada tanggal 9 Mei 2019.
13. Sudoyo,WA., Setyohadi, B., Alwi, I. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Interna:
Jakarta

16
14. Publishing.Wasnuti, Uti. 2014. Hubungan Antara Asupan Protein, Asupan Zat Besi Dan
Asupan Vitamin C Dengan Status Anemia Pada Pasien TB Paru Di Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat Bandung. KTI pada Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan
Kemenkes: Bandung.
15. Supariasa. Dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran ECG: Jakarta.
16. Almatser, S. 2004. Penuntun Diit. PT. Gramedia Pustaka Utara: Jakarta.
17. Nurhasanah. 2012. Hubungan Antara Asupan Protein Dan Fe Dengan Status Anemia
Pada Pasien TB Paru Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Bandung. KTI pada
Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes: Bandung.
18. Supriyo, dkk. 2013. Pengaruh Perilakudan Status Gizi terhadap KejadianTBC Paru di
Kota Pekalongan. Poltekes Semarang.
19. Rao, S. 2009. Tuberculosis and patient gender: An analysis and its implications in
tuberculosis control. Lung India, Vol: 26 No: 2: 46-47.
20. Mahfuzhah, I. 2014. Gambaran Faktor Risiko Penderita TBC Paru Berdasarkan Status
Gizi dan Pendidikan Di RSUD Dokter Soedarso. Skripsi. Universitas Tanjungpura
Pontianak
21. Y. S. Rini. 2015. Pendidikan, Hakekat, Tujuan, dan Proses. UNY: Yogyakarta.
22. Wassie MM, Worku AG, Shamil F. 2014. Weight Gain and Associated Factors among
Adult Tuberculosis Patients on Treatment in Northwest Ethiopia: A Longitudinal Study.
J Nutr Disorders Thers. 4(2):1-7.
23. Imamala, B. 2016. Hubungan Kepatuhan dan Keberhasilan Terapi Pada Pasien
Tuberkulosis Paru Fase Intensif Di Instalasi Rawat Jalan Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat Surakarta. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta: Surakarta
24. Djannah, Sitti Nur. Dkk. 2009. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap dengan
Perilaku Pencegahan Penularan TBC pada Mahasiswa Di Asrama Manokwari Sleman
Yogyakarta. Vol 3. No 3. Jurnal Kesehatan Masyarakat: Yogyakarta.
25. Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
cetakam kedua. Depkes RI: Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai