sendiri. Terimakasih
By : indodetik
ABSTRACT
Berpusat pada siswa belajar adalah sebuah pendekatan pendidikan yang berfokus pada kebutuhan
siswa. Siswa diminta untuk menjadi lebih aktif dan bertanggung jawab sendiri belajar. Konsep
pembelajaran siswa yang berpusat pada tumbuh subur karena pemahaman yang berkembang tentang
bagaimana siswa benar-benar belajar. Ini adalah paradigma pergeseran dari pembelajaran konvensional
yang berpusat pada peran guru. Artikel ini membahas implikasi dari mahasiswa yang berpusat pada
siswa pada aspek pengembangan kurikulum, strategi pembelajaran, peran guru dan siswa, lingkungan
belajar, dan pengukuran prestasi siswa. Dampak dari pendekatan tatap muka belajar serta pembelajaran
jarak jauh juga dibahas.
student-centered learning
Proses pembelajaran secara konvensional menempatkan guru atau dosen sebagai sumber belajar yang
mengajarkan pengetahuan dan keterampilan kepada siswa atau mahasiswa. Perkembangan penelitian
mengena i bagaimana seseorang belajar mempengaruhi proses pembelajaran konvensional yang
menempatk an guru sebagai pusat belajar. Kunci perubahan tersebut terdapat pada pemikiran bahwa
siswa secara aktif membentuk pengetahuannya sendiri, yang dikenal sebagai pemikiran konstruktivisme.
Pendekatan konstruktivisme tersebut dalam implementasinya melahirkan pendekatan Student Centered
Learning (SCL) yaitu pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Walaupun pendekatan SCL telah muncul sejak lama, penerapannya pada kegiatan belajar mengajar
yang sesungguhnya terjadi secara berangsur-angsur. Di Indonesia SCL masih menjadi topik yang populer
pada saat ini terutama di kalangan pembelajaran ta tap muka yang ditandai dengan muncul dan
ramainya permintaan diskusi, cera mah, dan pelatihan tentang SCL. Diskusi di dalam jaringan internet
dalam bentuk mailing list ataupun blog di kalangan pengajar juga banyak memuat perbincangan
tersebut. Perguruan tinggi , baik negeri maupun swasta banyak menggunakan istilah SCL sebagai alat
promos i meningkatkan daya jual. Karena popularitasnya maka perlu adanya penelaahan yang rinci
tentang apa dan bagaimana SCL dan bagaimana implikasi penerapannya dalam kegiatan belajar
mengajar, baik secara tatap muka maupun jarak jauh. Pembahasan dalam artikel ini selanjutnya
menggunakan istilah guru dan siswa dalam pengertian secara umum. Guru juga meliputi dosen
perguruan tinggi, demikian pula siswa mencakup juga mahasiswa.
Pemikir seperti John Dewey, Jean Piage t, dan Lev Vygotsky (Wikipedia, 2006) yang karyanya terfokus
pada bagaimana siswa belajar, bertanggung jawab atas gerak perubahan cara pembelajaran dari yang
terpusat kepada guru menjadi terpusat kepada siswa, yaitu SCL. SCL berarti Jurnal Pendidikan, Volume
8, Nomor 1, Maret 2007, 1-102 menempatkan siswa sebagai pusat dari kegiatan belajar. Pergerakan
konsep tersebut didukung pula oleh penelitian mengenai bagaimana kerja otak manusia yang m
enyebutkan bahwa siswa belajar secara lebih baik dengan cara mengalami l angsung dan mengontrol
proses belajar tersebut (Wikipedia, 2006).
Menurut Hall (2006) yang dikutip dalam blog Exploration on Learning , SCL adalah tentang membantu
siswa menemukan gaya belajarnya sendiri, memahami motivasi dan menguasai keterampilan belajar
yang paling sesuai bagi mereka. Hal tersebut akan sangat berharga dan bermanfaat sepanjang hidup
mereka.
Melaksanakan pendekatan SCL berarti guru perlu membantu siswa untuk menentukan
tujuan yang dapat dicapai, mendor ong siswa untuk dapat menilai has il belajarnya sendiri, membantu
mereka untuk bekerja sama dalam kelompok, dan memastikan agar mere ka mengetahui bagaimana
memanfaatkan semua sumber belajar yang te rsedia. Pembelajaran lebih merupakan bentuk
pengembangan diri secara keselur uhan dibandingkan kemajuan linier yang dicapai guru dengan cara
pujian dan sanksi. Kesalahan dilihat sebagai bagian konstruktif dari proses belajar dan tidak perlu
dilihat sebagai hal yang memalukan. Pendapat tersebut merupakan inti sari dari prinsip SCL yang
muncul dalam berbagai definisi SCL yang beberapa di antaranya dikemukakan sebagai berikut.
on the needs of the students, rather than those of others involved in t he educational process, such as
teachers and administrators” (Wikipedia, 2006). Lea, Stephenson, dan Troy (2003 dalam O’Neill &
McMahon, 2005) mendefinisikan SCL secara lebih luas yaitu bahwa SCL mencakup :
ketergantungan terhadap belajar aktif, penekanan terhadap belajar secara mendalam, pemahaman,
saling ketergantungan antara guru dan siswa. SC L lebih merupakan suatu pendekatan pembelajaran
Dalam pendekatan SCL, pembelajar memiliki tanggung jawab penuh atas kegiatan
belajarnya, terutama dalam bentuk keterlibatan aktif dan partisipasi siswa. Hubungan antara siswa
yang satu dengan yang lainnya adalah setara, yang tercermin dalam bentuk kerja sama dalam
kelompok untuk menyelesaikan suatu tugas belaj ar. Guru lebih berperan sebagai fasilitator yang
mendorong perkembangan siswa, dan bukan merupakan satu-satunya sumber belajar. Keaktifan
siswa telah dilibatkan sejak awal dalam bentuk disain belajar yang memperhitungkan pengetahuan,
keterampilan, dan pengalaman belajar siswa yang telah didapatkan sebelum nya. Dari pengalaman
praktek yang ada, diharapkan setelah mengalami pembelajaran dengan pendek atan SCL pembelajar
akan melihat dirinya secara berbeda, dalam arti lebih memahami manfaat belajar, lebih dapat
menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari, dan lebih percaya diri (O’Neill &
McMahon, 2005).
Apabila dibandingkan antara Teacher Centered Learning (TCL) dan Student Centered
Tabel 1. Perbandingan antara Teacher Centered Learning dan Student Centered Learning
Variabel
Instruksional
Pendekatan Instruksional
Hasil belajar
( Learning
outcomes )
atau terkotak-kotak
solving )
mengorganisasikan, menginterpretasikan,
mengkomunikasikan informasi)
Tujuan
belajar
berlaku
pengalaman sebelumnya.
Strategi
belajar
sumber masyarakat.
Pengukuran
dan penilaian
mengelompokkan siswa
tertentu
siswa
guru
belajar
kriteria keberhasilan
mengakses informasi
memproses informasi
informasi
informasi
belajar
• Siswa berperan aktif dalam mencari
pengetahuan
Lingkungan
belajar
kelompok kecil
Dalam kenyataannya, proses belajar yang terj adi tidak hitam dan putih sebagaimana teori
yang mendasarinya. Praktek yang lebih realis tis akan dapat terjadi apabila kita memandang kedua
konsep (SCL dan TCL) sebagai sebuah kontinum sebagaimana diuraik an pada Gambar 1.
TCL SCL
Gambar 1 bermanfaat untuk melihat seberapa jauh praktek yang telah dilakukan, bergerak
dari TCL ke SCL dalam kontinum tersebut. Setel ah memahami posisi dari praktek yang dilakukan,
guru dapat menentukan bagaimana bergerak maju se lanjutnya (O’Neill & McMahon, 2005). Untuk
mengimplementasikan pembelajaran SCL, perhatian harus diberikan antara lain pada aspek
pembelajaranseperti tujuan belajar dan hasil yang i ngin dicapai yang tercermin dalam kurikulum,
strategi pembelajaran, peran gur u, peran siswa, pengukuran hasil belajar, dan lingkungan belajar.
pada siswa mencakup pengertian bahwa siswa memiliki pilihan tentang apa yang akan dipelajari dan
bagaimana mempelajarinya. Namun sejauh mana hal itu dapat dilaksanakan di ruang kuliah
univeritas tatap muka perlu dicermati lebih l anjut. Upaya yang dapat dilakukan adalah penstrukturan
mata kuliah menjadi bentuk modul-modul yang dapat memberikan kesempatan memilih kepada
siswa tentang pokok bahasan yang ingin mereka pelajari pada suatu waktu (O’Neill & McMahon,
2005). Selanjutnya, Donnelly dan Fi tzmaurice (2005) menekankan pentingnya siswa terlibat seawal
mungkin dalam disain kurikulum. Kelemahan y ang perlu dicermati adal ah kecenderungan berlebih
atas konsep individualitas yang memiliki kemungkinan menjauhkan siswa dari kemampuan
Salah satu pendekatan disain kurikulum berbasis SCL adalah Problem-Based Learning
(PBL), yang memungkinkan siswa memiliki pili han dalam area program apa yang hendak dipelajari
pembelajaran dan hasil yang ingin dicapai berbasis pada pengetahuan awal yang telah mereka miliki.
Proses PBL yang melatih siswa untuk menyel esaikan permasalahan nyata akan mendorong siswa
untuk mengetahui kesenjangan pengetahuan dan pem ahamannya. Pada akhirnya, siswa akan
terlatih dan mampu menentukan tujuan belaja rnya sendiri (Boud & Feletti, 1997).
Praktek yang dilakukan secara meluas berkaitan dengan disain pembelajaran adalah dengan
cara menuliskan tujuan belajar yang berfokus pada apa yang akan mampu dilakukan oleh siswa
setelah proses belajar, dan bukan pada materi apa yang akan dicakup dalam perkuliahan. Praktek
tersebut adalah contoh dari pergeseran pengembang an kurikulum yang menuju SCL, yang
cenderung menekankan pada peran siswa dibandingk an guru (Donnelly & Fitzmaurice, 2005).
Berikutnya, O’Neill dan McMahon, (2005) m encontohkan penulisan tujuan pembelajaran yang
menggunakan pendekatan SCL dan yang bukan seperti yang tertera pada Tabel 3.
diadaptasikan atau dipilih dari berbagai alternatif yang ada. Strategi yang dipilih tentunya yang
menekankan dan mendorong siswa lebih aktif dalam mendapatkan dan menguasai pengetahuan dan
keterampilan. Hal tersebut antara lain dapat dila kukan melalui latihan di kelas, studi lapangan,
penggunaan paket computer assisted learning (CAL), dan belajar mandiri sebagaimana praktek yang
dilakukan dalam pendidikan jarak jauh (PJJ). Selain itu strategi tersebut akan membuat siswa lebih
sadar tentang apa yang mereka lakukan dan mengapa mereka melakukan kegiatan belajar tersebut.
Sebagai tambahan perlu dipertimbangkan pula k egiatan yang mendorong interaksi siswa dalam
O’Neill dan McMahon (2005) memberikan beberapa contoh metode pembelajaran yang
dapat dipilih guru, yang tertera pada Tabel 3. Met ode tersebut terbagi menjadi kegiatan di dalam
kelas dan kegiatan di luar kelas. Metode belaj ar tersebut, yang tentunya dapat dikombinasikan dan
diadaptasikan, dimaksudkan untuk memberi cont oh ide yang dapat dilakukan oleh guru dalam
pendekatan SCL.
Dalam SCL titik berat peranan beralih pa da siswa sehingga guru harus menyadari bahwa
peran mereka adalah sebagai kolabor ator dari proses belajar. Guru berperan sebagai fasilitator yang
membantu siswa mengakses semua sumber belajar yang ada. Guru bukan satu-satunya sumber
belajar bagi siswa. Ini merupakan peran baru yang harus dipegang oleh guru apabila mereka ingin
Guru yang cenderung menggunakan pendekatan SCL memiliki karakteristik umum yang
membuat mereka menjadi guru yang efektif. Afiatin (2004) secara umum menyebutkan bahwa
karakteristik guru tersebut antara lain mengak ui dan menghargai keunikan masing-masing siswa
dengan cara mengakomodasi pemikiran siswa, gaya belajar, tingkat perkembangan, kemampuan,
bakat, persepsi diri, serta kebutuhan akademis dan non akademis siswa. Selanjutnya guru yang
efektif akan memulai pembelajaran dengan asumsi dasar bahwa semua siswa bersedia untuk belajar
dengan sebaik-baiknya.
Perubahan peran guru dari foku s utama menjadi fasilitat or atau pendamping dalam SCL
tidaklah mudah. Menurut Doyle (2006) ada berbagai penyebab resistens i guru, antara lain: mereka
lebih senang menjadi pusat perhatian; ada perasaan kurang berarti karena hanya sebagai
pendamping siswa sedangkan siswa yang mengontrol seluruh kegiatan belajar; dan guru
menganggap bahwa siswa tidak dapat menangani tanggung ja wab atas belajarnya sendiri. Pada
kenyataannya banyak guru yang tidak mengetahui bagaimana memegang peran yang baru tersebut.
Untuk mengatasi hambatan peralihan peran te rsebut, langkah yang harus dilakukan guru
adalah mengurangi hal-hal yang biasa dilakukan seperti: ceramah, mengorganisasikan materi
pelajaran, membuat contoh, menjawab pert anyaan, merangkum diskusi, dan memecahkan
permasalahan. Disamping itu, y ang harus lebih banyak dilakukan adalah mendisain aktivitas dan
tugas, memperbolehkan siswa menemukan sendiri dan belajar di antara sesamanya, dan
menciptakan suasana belajar aktif dalam kelas. Dengan kata lain guru perlu mengulangi pengalaman
proses belajarnya sendiri dan menempatkan diri sebagai siswa, sehingga siswa dapat mengalami
Ciri utama SCL adalah siswa berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajarnya. Siswa
memutuskan sendiri apa yang akan dipelajari dan bagaimana cara mempelajarinya. Dalam kegiatan
belajar, guru mengajak siswa agar memahami bahwa pembelajaran adal ah suatu proses konstruktif,
oleh karena itu, siswa harus mempelajari sesuatu yang relevan dan bermakna bagi diri mereka.
Selain itu siswa juga mencoba mengembangkan pengalaman belajar seca ra aktif, menciptakan, dan
membangun pengetahuannya sendiri, serta mengaitkan apa yang sudah diketahuinya dengan
Berkaitan dengan kerjasama antarsiswa maka dalam SCL sikap dan upaya tersebut sangat
penting. Dalam SCL pengalaman dan latar belakang siswa diperhitungkan sehingga
keanekaragaman pengalaman dari berbagai siswa akan memperkaya interaktivitas di dalam kelas.
Namun demikian, siswa memutuskan sendiri bagaimana bentuk kelompok belajar, siapa saja
anggotanya, dan bagaimana mereka akan berinteraksi. Siswa diharapkan memahami tanggung
jawab atas kegiatan belajarnya yang dibangun atas pengetahuan dan keterampilan yang sebelumnya
telah dimiliki. Selain itu, sisw a memonitor kemajuan belajarnya secara teratur. Siswa bahkan dapat
dilibatkan dalam penilai an hasil belajar. Hal tersebut dapat dilakukan dalam penyelesaian tugas dan
ujian yang lebih bersifat evaluasi formatif. Dalam SCL siswa secara intrinsik lebih memiliki motivasi
diri untuk mencapai tujuan belajar yang mereka tetapkan sendiri (O’Neill & McMahon, 2005).
Berkaitan dengan pengukuran dan penila ian hasil belajar, maka praktek yang sudah terjadi
pada umumnya mengandung beberapa kelem ahan, antara lain yang disebutkan oleh Black (1999)
yaitu: a) penekanan yang berlebih pada pemberian nilai akhir, sedangkan pemberian masukan dan
bimbingan yang merupakan salah satu fungsi belajar kurang ditekankan; b) siswa dibandingkan satu
dengan lainnya yang akan lebih mendorong kompetisi dibandingkan perkembangan individu. Dalam
SCL yang menekankan agar siswa bertanggung jawab atas proses belajar nya, bentuk pengukuran
dan penilaian lebih mendekati kons ep penilaian diri sendiri atau self-assessment (Black, 1999).
Pada saat ini praktek tes tertulis masih mendominasi dunia pendidikan yang terutama berupa
penilaian sumatif. Penambahan bentuk tes formatif yang lebih menekankan pada umpan balik atas
proses belajar yang telah dilakukan akan dapat mendorong proses belajar aktif sebagaimana yang
menjadi prinsip dasar SCL. Dengan mengembangkan lebih banyak tes formatif, guru dapat
keterampilan, serta mengidentifikasi aspek belaj ar yang dapat dikembangkan. Contoh tes formatif
dapat berupa umpan balik terhadap makalah, catatan tertulis atas tugas, atau nilai sepanjang tahun
yang tidak diakumulasikan menjadi nilai akhir, sebagaimana dikemukakan oleh Gibbs (dalam O’Neill
& McMahon, 2005). Metode pengukuran berbasis SCL lain yang dapat dipilih oleh guru adalah: buku
harian, jurnal, portofolio , tes mandiri, penilaian oleh sejawat, kerja kelompok, demonstrasi, dan lain
sebagainya.
Selain berbagai bentuk pengukuran tersebut, penerapan SCL dapat dilakukan pula melalui
kontrak belajar yang dinegosiasikan antara sisw a dan guru yang berbasiskan kesenjangan belajar
yang dimiliki siswa. Melalui cara tersebut dapat direncanakan dan disepak ati pula bentuk penilaian
dan pengukuran hasil belajar yang akan dilakukan, yaitu dengan cara apa siswa akan
memperlihatkan keberhasilan belajarnya. Hal tersebut akan memberikan siswa lebih banyak pilihan
atas bentuk pengukuran hasil belajarnya. Pilihan merupakan kata kunci utama dalam SCL (O’Neill &
McMahon, 2005).
Lingkungan belajar SCL yang baik akan me rupakan lingkungan belajar yang terbuka,
dinamis, saling mempercayai, dan saling menghormati. Hal tersebut akan mendorong keingintahuan
siswa untuk belajar secara alamiah. Selain itu, siswa juga akan bekerja sama dalam memecahkan
permasalahan bermakna dan sesungguhnya yang akan merupakan pendalaman lebih lanjut
terhadap pelajaran terkait. Proses belajar tersebut diharapkan dapat melibatkan pribadi secara
keseluruhan, perasaan, pemikiran, tujuan, ketera mpilan sosial, dan intuisi. Hasilnya adalah
seseorang yang termotivasi untuk menjadi pel ajar seumur hidup, siswa yang memahami dan
menerima kemampuannya sendiri dan menghargai kemampuan orang lain (Doyle, 2006). Menurut
Afiatin (2004), guru yang menerapkan SCL cenderung menciptakan li ngkungan pembelajaran
dengan ciri antara lain: suasana kelas yang hangat dan mendukung; siswa hanya akan diminta untuk
mengerjakan pekerjaan yang bermanfaat bagi mereka; guru menj elaskan manfaat dari tugas yang
diberikan pada siswa; dan siswa dengan senang hati mengerjakan pekerjaannya dengan sebaik
mungkin.
PRAKTEK SCL DALAM PENDIDIKAN TATAP MUKA
Pada awalnya, pembelajaran tatap muka secara konvensional lebih bersifat TCL dibanding
SCL. Perkembangan konsep pendidikan telah m endorong pergerakan TCL ke arah SCL. Agar
perubahan dapat berjalan mulus dan memperhalus kejutan yang terjadi, Hall (2006) dalam
diskusinya menyarankan kepada para guru untuk memperkenalkan kegiatan khusus berbasis SCL
secara gradual, bukan merombak total keseluruhan mata kuliah. Dengan cara tersebut
dimungkinkan dilakukannya evaluasi dan perbaikan sejalan dengan proses pengembangan yang
terjadi. Hal tersebut juga memungkinkan setiap guru mengadopsi ide yang disukai dengan kecepatan
mereka sendiri sehingga memiliki waktu yang realistik dalam m enuliskan kembali bahan
Pada tahap perencanaan, bahan ajar dapat di pecah dan distrukturkan dalam bentuk
moduler, sehingga siswa memiliki kesempatan untuk memilih bahan ajar yang akan dipelajari sesuai
dengan pengetahuan awal. Untuk pengayaan, berbagai sum ber belajar selain perkuliahan harus
disediakan, misalnya buku teks, artikel jurnal, situs WEB yang dapat diakses, dan multimedia
interaktif. Dengan demikian, sumber belajar yang disediakan akan menjadi lebih beragam
Strategi belajar yang ditempuh adalah mengur angi peran guru sebagai sumber belajar utama
secara bertahap dan lebih mendorong siswa untuk berperan aktif. Guru bergeser perannya menjadi
fasilitator yang membantu siswa ketika diperlukan, dan siswa dituntut untuk lebih mampu belajar
secara mandiri. Perkuliahan tatap muka dikurang i dan ditambahkan tugas yang harus dikerjakan
secara mandiri dan berkelompok. Berbagai metode pembelajaran yang lebih berpendekatan SCL
dapat diterapkan dengan kreatif dan adaptif sesuai kondi si siswa. Sebagai fasilitator yang efektif,
tugas guru tidak menjadi lebih mudah, bahkan dituntut kompetensi yang lebih tinggi karena guru
harus mampu fleksibel dalam menerapkan ber bagai metode pembelajaran. Lingkungan belajarpun
Dalam hal metode penilaian hasil belajar, penilaian yang lebih bersifat formatif dapat lebih
banyak dilakukan. Selain itu dapat pula disepakati pada awal pem belajaran tentang bagaimana pada
akhirnya siswa akan menunjukkan keberhasilan belajarnya. Jenis penilaian tidak terbatas pada ujian
tertulis sebagaimana yang berlaku pada kelas konv ensional, dan hal tersebut dinegosiasikan antara
guru dan siswa pada awal pembelajaran menjadi kont rak tertulis. Dengan demikian, nilai yang akan
diberikan harus memiliki kriteria terukur yang dapat pula dibicarakan sebelum kegiatan belajar.
Misalnya dapat disepakati bahwa untuk mendapatkan nilai A maka si swa harus menyelesaikan tugas
a, b, c, dan makalah x, w, z, dan tes tertulis d, e. Jika tugas yang diselesaikan hanya a dan b, dan
makalah yang dikumpulkan hanya x dan z, dan lulus tes d dan e, maka siswa akan mendapat nilai B,
dan seterusnya.
Dalam PJJ, terutama pada generasi akhir PJJ, implementasi SCL dapat dilakukan sejak
awal, yaitu sejak perencanaan kurikulum yang diikuti dengan per ancangan pembelajaran dan
pengembangan bahan ajar. Disain PJJ yang terutama difokuskan pada belajar mandiri merupakan
implementasi nyata dari SCL. Bahan ajar yang dikembangkan secara terpusat, dapat didisain secara
moduler dan mengakomodasi kegiatan belajar m andiri. Bahan ajar, selain yang berupa uraian
tercetak, dapat pula dilengkapi dengan berbagai bentuk multimedia, baik yang terintegrasi dengan
Strategi belajar yang dipilih pada PJJ lebih banyak berbasis pada siswa, sehingga siswa
dituntut untuk aktif belajar mandiri. Inisiatif kerja kelompok hampir sepenuhnya diserahkan kepada
siswa. Dalam hal strategi belajar maka sistem PJJ lebih bersifat SCL dibandingkan sistem tatap
muka. Dalam PJJ dikenal upaya bantuan belajar dal am bentuk tutorial, baik secara tatap muka
maupun berjarak seperti tutorial online dan tutorial tertulis. Pada kegiatan tutorial tersebut guru
sepenuhnya bertindak sebagai fasilitator mengingat bahan ajar utama adalah modul tercetak dan
multimedia. Dengan demikian, sejak awal peran guru telah didisain sebagai fasilitator.
Berkaitan dengan pengukuran hasil belajar, instit usi PJJ yang tersentralisasi sebagian besar
rata-rata siswa dalam pencapaian belajar. Untuk lebih mendekati sistem SCL, institusi PJJ dapat
memanfaatkan bentuk computer adaptive testing (CAT) yaitu suatu metode tes yang mengadaptasi
tingkat kemampuan siswa secara individual yang juga umum disebut sebagai tailored testing (Weiss
& Kingsbury, 1984). CAT secara suksesif memberikan pertanyaan yang semakin lama semakin naik
tingkat kesukarannya tergantung kepada jawaban siswa atas satu pertanyaan dasar. Apabila
jawaban siswa benar atas satu pertanyaan maka pertanyaan berikutnya akan memiliki tingkat
kesukaran yang lebih tinggi, apabila jawaban siswa salah maka pertanyaan berikutnya memiliki
tingkat kesukaran yang lebih rendah dan seterusnya. Dengan jumlah soal total yang lebih sedikit
dibanding tes hasil belajar biasa maka akan diket ahui tingkat penguasaan hasil belajar siswa. Karena
tes tersebut diberikan dengan bant uan komputer, maka hasil tes ak an segera diketahui pula oleh
Dengan jenis CAT tersebut, setiap siswa mendapat kan set soal yang berbeda sesuai tingkat
pengetahuan yang dimiliki. Dengan demikian, cara pengukuran hasil belajar seperti itu sangat sesuai
dengan prinsip SCL. Teknologi pengukuran yang digunakan pada jenis tes ini adalah item response
theory. Adaptive test secara perhitungan statistik akan menghasilkan nilai yang tepat bagi semua
tingkat kemampuan siswa. Cara pengukuran tersebut akan mengatasi kelemahan tes klasik yang
hanya mengukur secara tepat kemampuan siswa pada tingkat menengah, yang secara bertahap
akan semakin bias untuk tingkat kemampuan siswa pada sisi ekstrim bawah dan ekstrim atas
PENUTUP
Perubahan pendekatan dari TCL menjadi SCL m enuntut kehati-hati an dalam penerapannya.
Pergeseran fokus tersebut berdampak pada perubaha n aspek pembelajaran, sejak dari disain
kurikulum, pemilihan strategi belajar, peran guru dan siswa, lingkungan belajar, sampai dengan
pengukuran hasil belajar. Implik asi penerapan SCL bagi pendidika n tatap muka dalam bidang
kurikulum adalah pada penstrukturan bahan ajar menjadi lebih moduler dan diadaptasikan pada
kebutuhan siswa. Peran guru pendidikan tatap muka sebagai sumber belajar utama secara
berangsur lebih digeser kepada peran fasilitator, sedangkan siswa juga dituntut untuk lebih aktif dan
bertanggung jawab terhadap proses belajarnya sendiri. Adapun strat egi belajar dan cara pengukuran
Berbeda dengan pendidikan tatap muka, maka PJJ dapat dikatakan lebih condong pada
pendekatan SCL. Hal tersebut terutama disebabkan ol eh disain kurikulum dan strategi belajar yang
ditempuh yaitu belajar mandiri. Bahan ajar PJJ dari awal memang didisain sedemikian rupa sehingga
adaptif dengan kebutuhan, waktu, dan kemauan siswa untuk mempelajarinya. Dalam kegiatan
belajar mandiri yang sebenarnya, siswa diharuskan aktif dan bertanggung jawab atas proses
belajarnya, sedangkan sebagai bantuan belajar disiapkan tutor yang bertindak sebagai fasilitator.
Untuk pengukuran hasil belajar institusi PJJ harus secara bertahap mengupayakan perubahan ke
arah adaptive test yang lebih berorientasi kepada siswa, walaupun perubahan tersebut tidaklah
mudah.
REFERENSI
Afiatin, T. (2004). Pembelajar an berbasis student-centered learning. Disampaikan dalam Seminar
learning, di Balai Senat UGM, 30 November 2004”. Diambil 10 November 2006, dari
http://inparametric.com/bhinablog/
10
Black, P. (1999). Assessment, learning theories and testing systems. In Murphy, P. (Ed.), Learners,
nd
Ed.). ERIC
http://www.eric.ed.gov/ERICWebPorta l/custom/portlets/recordDetails/ .
Donnelly, R. & Fitzmaurice , M. (2005). Designing modules for lear ning. Diambil 27 November 2006,
dari http://www.aishe.org/readings/2005-1/donnelly-fitzmaurice-Designing_Modules_for_
Learning.html.
Doyle, T. (2006). The role of the teacher in a learner-centered classroom . Diambil 27 Januari 2007,
Green, B.F. (2000). System desi gn and operation. In Wainer, H. (Ed.) Computerized Adaptive
Testing: A Primer. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associat es. Diambil 14 November 2006,
Hall, B. (2006). The nature of "Student-Centred Learning". Diambil 24 November 2006, dari
tml.
Hirumi, A. (2005). Student-Centred Technology-Rich Learning Envir onments (SCenTRLE) -
Lea, S. J., Stephenson, D., & Troy, J. (2003). Higher education students’ attitudes to student centred
learning: Beyond ‘educational bulimia’. Studies in Higher Education 28(3), 321-334. Dalam
O’Neill, G. & McMahon, T. (2005). Student-centred learning: W hat does it mean for students
Lonka, K.(2000). How to implement an innovative problem-based curric ulum in medical education:
http://www.umich.edu/~icls/ proceedings/pdf/Lonka.pdf.
O’Neill, G. & McMahon, T. (2005). Student-centred learning: What does it mean for students and
Thissen, D., & Mislevy, R.J. (2000). Testing algor ithms. In Wainer, H. (E d.) Computerized adaptive
testing: A primer. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates. Diambil 14 November 2006, dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Comput er-adaptive_test#_ref-WeissKingsbury_0 .
Weiss, D. J., & Kingsbury, G. G. (1984). Application of computer ized adaptive testing to educational
problems. Journal of Educational Measur ement, 21, 361-375. Dalam Wikipedia (2006).
http://en.wikipedia.org/wiki/Comput er-adaptive_test#_ref-WeissKingsbury_0 .
http://en.wikipedia.org/wiki/Student-centered_learning.