Anda di halaman 1dari 3

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia memiliki kemampuan terbatas untuk menerima informasi selama pengambilan keputusan
dan ingatan jangka pendek manusia hanya dapat mempertahankan secara simultan empat hingga
tujuh konstruk data. Keterbatasan otak manusia ini sangat kontras dengan ratusan variabel yang
ditemui oleh klinisi di setting rumah sakit dan meningkatnya jumlah pengetahuan dan informasi
medis (Berkenstadt et al, 2006). Dokter anestesi mungkin menghadapi situasi ketika informasi
sangat dibutuhkan tanpa adanya dukungan pengetahuan secara langsung dari kolega, guideline
maupun textbook (Morris et al, 2000). Dalam survei yang dilakukan oleh lebih dari 40% dari 329
dokter anestesi di Eropa mengaku mengalami kurangnya pengetahuan setidaknya sekali seminggu,
dan 39% mengaku melakukan kesalahan medis selama anestesi karena kurangnya informasi medis
yang dapat ditemukan dalam handbook (Perel et al, 2004).
Protokol bedside ICU adalah salah satu alat bantu kognitif (cognitive aid) yang berfungsi untuk
memandu klinisi saat sedang melakukan diagnosis dan terapi dengan tujuan mengurangi kesalahan
dan kelalaian, memastikan semua tugas telah dilakukan, dan meningkatkan kelancaran kinerja.
Perbedaan utama dari pedoman atau prosedur operasi standar adalah bahwa protokol bedside ICU
sebagai alat bantu kognitif harus digunakan saat tugas sedang dilakukan.
Banyak alat bantu kognitif berasal dari dokumen yang menjelaskan urutan tindakan yang luas dan
terperinci dari tindakan yang akan dilakukan, sulit untuk diperiksa saat melakukan tugas, khususnya
selama keadaan darurat (Morris et al, 2002).
Di samping itu, desain protokol bedside ICU menjalankan instruksi yang disederhanakan yang
menjadikannya berguna untuk pelatihan. Peayanan kesehatan tidak diharapkan untuk dapat
mengelola kejadian langka dengan baik tanpa menggunakan bantuan alat kognitif karena safety
checklist telah berhasil dikembangkan, diuji, dan digunakan dalam industri berisiko tinggi lainnya
(Nanji et al, 2012). Berangkat dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa alat bantu kognitif harus
dikembangkan dan digunakan untuk semua krisis dalam praktik anestesi terutama di ICU.
Protokol bedside ICU sebagai alat bantu kognitif dapat meningkatkan kinerja individu dan tim,
membantu dalam proses akademik dengan residen, membantu proses edukasi pasien dan keluarga
pasien, dan membantu dalam komunikasi dengan tim multidisipliner dalam perawatan intensif
pasien.
Untuk memahami bagaimana protokol bedside ICU dapat membantu klinisi, penting untuk
mempertimbangkan sifat-sifat ideal dari alat bantu kognitif. Selama keadaan darurat, waktu dan
sumber daya kognitif individu sangat terbatas. Ketika sedang dalam krisis, dokter kurang mampu
mengingat daftar yang diingat dan lebih cenderung menjadi terpaku dalam situasi.
Suatu bantuan kognitif secara teoritis akan memandu dokter melalui serangkaian langkah-langkah
kompleks dan mencegah mereka menghilangkan tindakan esensial. Ini juga akan memastikan bahwa
urutan langkah dan pilihan yang paling efektif untuk situasi dapat dilakukan. Agar hal ini terjadi,
alat bantu kognitif harus memiliki sifat-sifat berikut: (1) Konten harus berasal dari guideline atau
protokol dengan evidence-based “terbaik"; (2) Desainnya harus sesuai untuk digunakan dalam
konteks situasi darurat; (3) Familiar untuk digunakan dokter dalam format yang telah digunakan
dalam praktik maupun pelatihan; (4) Dapat membantu anggota tim lain untuk melakukan tugas
mereka secara terkoordinir (Marshall et al, 2014)
Protokol bedside ICU yang kurang dalam bidang konten, desain, pelatihan, dan penyelarasan tim
dapat mempromosikan urutan tindakan yang salah dan berpotensi menyebabkan efek berbahaya.
Jika bantuan kognitif yang tidak akurat atau dirancang dengan buruk dapat menyebabkan kerugian,
maka harus mempertimbangkan sampai sejauh mana alat bantu kognitif harus dinilai sebelum
digunakan dalam lingkungan klinis. Saat ini, tidak ada standar formal untuk pengembangan dan
evaluasi terhadap suatu alat bantu kognitif (Marshall et al, 2013).
Secara umum dengan perangkat medis, protokol bedside ICU harus memiliki konten yang benar,
dirancang dengan baik, dan disertai dengan pelatihan yang tepat untuk membantu kinerja tugas.
Konten atau pengetahuan yang terkandung dalam protokol bedside ICU harus dikembangkan dari
pedoman nasional atau internasional atau dari konsensus luas. Untuk memastikan kegunaan yang
berkelanjutan, konten perlu ditinjau dan diadaptasi menyesuaikan kemajuan ilmu pengetahuan.
Konten tersebut tampaknya telah menjadi fokus utama selama pengembangan sebagian besar alat
bantu kognitif, dengan lebih dari setengahnya berasal dari guideline yang ditetapkan (Marshall et
al, 2013).
Kendala fisik dalam menggunakan alat bantu kognitif, seperti kemampuan membaca, melihat,
mendengar, atau berinteraksi dengan cognitive aid berbasis komputer dan kemampuan untuk
melakukan tugas secara bersamaan dapat terjadi. Masalah-masalah kontekstual ini dapat membuat
protokol bedside ICU sangat sulit untuk digunakan dalam lingkungan kerja yang sebenarnya dan
mungkin mencerminkan efek negatif yang tampak pada komunikasi tim (Burden et al, 2012).
Alat bantu kognitif harus diintegrasikan ke dalam pendidikan kejuruan dan berkelanjutan ahli
anestesi sehingga praktisi menyadari kapan dan bagaimana menggunakannya secara tepat. Manfaat
maksimal hanya mungkin jika praktisi terbiasa dengan struktur protokol bedside ICU berbasis layar
dan bagaimana alat seharusnya digunakan. (Berkenstadt et al, 2006)
REFERENSI

Berkenstadt, H., Yusim, Y., Katznelson, R., Ziv, A., Livingstone, D., Perel, A., 2006. A novel point-
of-care information system reduces anaesthesiologistsʼ errors while managing case scenarios:
European Journal of Anaesthesiology 23, 239–250.
https://doi.org/10.1017/S0265021505002255

Burden AR, Carr ZJ, Staman GW, Littman JJ, Torjman MC. Does every code need a “reader?”
improvement of rare event management with a cognitive aid “reader” during a simulated
emergency: a pilot study. Simul Healthc 2012;7:1–9

Carthey J, Clarke J. The ‘How to guide’ for implementing human factors in healthcare Patient Safety
First, UK. 2009. Available at: http://www.patientsafetyfirst.nhs.uk/
ashx/Asset.ashx?path=/Intervention-support/Human%20 Factors%20How-
to%20Guide%20v1.2.pdf. Accessed June 12, 2013.

Coopmans, V.C., n.d. CRNA Performance Using a Handheld, Computerized, Decision-Making Aid
During Critical Events in a Simulated Environment: A Methodologic Inquiry 7.

Marshall, S., 2013. The Use of Cognitive Aids During Emergencies in Anesthesia: A Review of the
Literature. Anesthesia & Analgesia 117, 1162–1171.
https://doi.org/10.1213/ANE.0b013e31829c397b

Morris AH. Developing and implementing computerized protocols for standardization of clinical
decisions. Ann Int Med 2000; 132: 373–383.

Morris AH. Decision support and safety of clinical environments. Qual Saf Health Care
2002;11:69–75

Nanji KC, Cooper JB. It is time to use checklists for anesthesia emergencies: simulation is the
vehicle for testing and learning. Reg Anesth Pain Med 2012;37:1–2

Neily, J., DeRosier, J.M., Mills, P.D., Bishop, M.J., Weeks, W.B., Bagian, J.P., 2007. Awareness
and Use of a Cognitive Aid for Anesthesiology. The Joint Commission Journal on Quality and
Patient Safety 33, 502–511. https://doi.org/10.1016/S1553-7250(07)33054-7

Nelson K, Shilkofski N, Haggerty J, Vera K, Saliski M, Hunt E. Cognitive aids do not prompt
initiation of cardiopulmonary resuscitation in simulated pediatric cardiopulmonary arrest.
Simul Healthc 2007;2:54

Perel A, Berkenstadt H, Ziv A, Katznelson R, Aitkenhead A. Anaesthesiologists’ views on the need


for point of care information system in the operating room a survey of the European Society
of Anaesthesiologists. Eur J Anaesthesiol 2004; 21: 898–901.

Anda mungkin juga menyukai