(Farcy, 2006)
1. Ashbaugh DG, Bigelow DB, Petty TL, et al. Acute respiratory
distress in adults. Lancet. 1967;ii:319–323.
• Deskripsi awal oleh Ashbaugh et al. memberikan kriteria yang tidak
jelas untuk diagnosis dan tidak cukup spesifik untuk mengeksklusi
kondisi lain. Pada tahun 1988, Murray et al. mengembangkan sistem
penilaian cedera paru-paru menggunakan 4 poin dalam upaya untuk
lebih mendefinisikan sindrom menggunakan kriteria spesifik dan
terukur.
• Komponen skor termasuk konsolidasi alveolar diukur dengan
radiografi dada, hipoksemia diukur dengan rasio PaO2 / FiO2,
tingkat tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) yang diperlukan, dan
compliance paru.[2]
(Farcy, 2006)
1. Ashbaugh DG, Bigelow DB, Petty TL, et al. Acute respiratory
distress in adults. Lancet. 1967;ii:319–323.
2. Murray JF, Matthay MA, Luce JM, et al. An expanded definition of
the adult respiratory distress syndrome. Am Rev Respir Dis.
1988;138: 720–723. [Erratum, Am Rev Respir Dis 1989;139:
1065].
• Pada tahun 1994, American–European Consensus Committee
(AECC) tentang ARDS menerapkan kriteria baru untuk diagnosis
ARDS. Ini memungkinkan bagi pasien dengan hipoksemia yang
kurang parah untuk diklasifikasikan menjadi Acute Lung Injury (ALI)
dan mereka yang hipoksemia lebih parah harus didefinisikan sebagai
ARDS. AECC mendefinisikan ALI sebagai onset akut gangguan
pernapasan dengan PaO2 / FiO2 <300 mm Hg, patchy infiltrate
bilateral pada radiografi dada, dan pulmonary artery occlusion
pressure (PAOP) <18 mm atau tidak ada bukti klinis hipertensi atrium
kiri (menunjukkan etiologi dugaan non-jantung dari edema paru).
ARDS diberi kriteria diagnostik yang serupa, tetapi dengan PaO2 /
FiO2 <200 mmHg.[1] (Farcy, 2006)
1. Bernard GR, Artigas A, Brigham KL, et al. The American–European
Consensus Conference on ARDS. Definitions, mechanisms,
relevant outcomes, and clinical trial coordination. Am J Respir Crit
Care Med. 1994; 149(3 pt 1): 818–824.
• Definisi AECC tentang ARDS menghasilkan kemajuan dalam data klinis
dan epidemiologi, sehingga terjadi perbaikan dalam perawatan untuk
pasien dengan ARDS. Namun, setelah hampir dua dekade digunakan,
terdapat sejumlah batasan pada kriteria AECC. Untuk mengatasi
keterbatasan ini, sebuah panel ahli internasional mengadakan konferensi
pada tahun 2011 dan mengembangkan Definisi ARDS Berlin.[1]
• Definisi ARDS Berlin mendefinisikan istilah akut, menghilangkan istilah ALI,
dan mengelompokkan ARDS menjadi ringan, sedang, dan berat
berdasarkan derajat hipoksemia berdasarkan rasio PaO2: FiO2. Definisi
tersebut membutuhkan PEEP minimal ≥ 5 cm H2O, mengklarifikasi kriteria
radiografi, dan menghilangkan persyaratan PAWP dan faktor risiko yang
ditetapkan.
1. ARDS Definition Task Force, Ranieri VM, Rubenfeld GD, et al.
Acute respiratory distress syndrome: the Berlin Definition. JAMA.
2012; 307(23):2526–2533
• Definisi baru ini secara retrospektif dievaluasi terhadap 3670 orang
dari 4 multicenter randomized control trials, 269 pasien dari 3 uji coba
pusat tunggal dan berlawanan dengan definisi AECC Pemeriksaan
patologis mungkin merupakan gold standar untuk diagnosis ARDS
dengan temuan histologis utama berupa kerusakan alveolar difus
(DAD). [1]
(Farcy, 2006)
• Perkiraan awal insiden ARDS oleh National Heart and Lung Institute
pada tahun 1972 adalah 75 per 100.000 orang-tahun di Amerika
Serikat.3 Studi epidemiologis sejak 1972 memperkirakan insiden pada
13,5-58,7 per 105 orang-tahun.5 Insiden ARDS cenderung tetap
secara substansial tidak berubah selama dekade terakhir,
menghasilkan sekitar 200.000 kasus baru setiap tahun di Amerika
Serikat, dan menyumbang antara 10–15% dari semua penerimaan
ICU.13
EPIDEMIOLOGI
• ARDS Nosocomial merupakan sindrom yang “preventable”. Dalam 20
tahun terakhir, insiden nosocomial ARDS berkurang banyak. Pada studi
cohort populasi (dari 2001 – 2008) dilakukan di Olmsted County,
Minnesota, Li et al. melakukan observasi terkait dengan adanya
pengurangan pada terjadinya ARDS nosocomial; namun insidensi
community-acquired ARDS tidak berubah (seperti pada gambar 19.2).
• Pengamatan ini mendukung hipotesis bahwa ARDS dapat dicegah dengan
meningkatkan pelayanan terhadap pasien kritis. Element penting yang
dapat berkontribusi terhadap pengurangan insidensi nosokomial ARDS
adalah ventilasi paru protektif untuk pasien yang berisiko ARDS, , ventilator
care bundles, goal-directed therapy pada sepsis dan syok sepsis,
administrasi antibiotic awal, donor plasma laki-laki dan pemberian cairan
dan transfusi darah yang lebih berhati-hati.
• Terlepas dari kejadian yang pasti, jelas bahwa ARDS adalah masalah
utama kesehatan masyarakat yang akan sering ditemui oleh semua
dokter yang merawat pasien yang sakit kritis.
(Vincent, 2018)
From Li G, Malinchoc M,
Cartin-Ceba R, et al.
Eight-year
trend of acute respiratory
distress syndrome: a
population-based study
in Olmsted County,
Minnesota. Am
J Respir Crit Care Med
2011;183(1):59–66.
MORTALITY/PROGNOSIS
(Oh, 2018)
1. Hopkins RO, Weaver LK, Collingridge D, et al. Two-year cognitive,
emotional, and quality-of-life outcomes in acute respiratory distress
syndrome. Am J Respir Crit Care Med. 2005;171:340–347.
• Prediktor paling umum untuk mortalitas adalah usia tua, disfungsi
organ non-pulmonal, sepsis yang sedang berlangsung, syok, gagal
hepar, derajat kerusakan paru, dan transfusi darah. Tidak tampak
perbedaan mortalitas antara pulmoner direk dan pulmoner indirek
yang menyebabkan ARDS.[1]
• Pasien ARDS yang dapat bertahan hidup sering memiliki gangguan
kognitif, kejiwaan dan fisik. Perkiraan disfungsi kognitif berkisar antara
30 hingga 55%. Angka ini serupa dengan yang dilaporkan oleh
penyintas penyakit kritis pada umumnya.
1. Herridge MS, Cheung AM, Tansey CM, et al. Oneyear outcomes in
survivors of the acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med.
2003;348: 683–693.
KRITERIA DIAGNOSIS
• Kebanyakan proses penyakit, diagnosis dimulai dengan riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik. Pasien dengan ARDS mengalami
dispnea dan gagal napas hipoksia dalam jam hingga beberapa hari
setelah peristiwa yang ditimbulkan.
• Pemeriksaan fisik dapat mengungkapkan temuan rales, tachypnea,
tachycardia, dan kebutuhan oksigen yang semakin buruk.
Mengesampingkan penyebab dispnea dan hipoksia yang dapat
diobati lainnya pada pasien bedah adalah penting.
• Disesuaikan untuk masing-masing individu, pemeriksaan harus
mempertimbangkan kemungkinan sindrom koroner akut, emboli
paru, kebocoran atau infeksi intra-abdomen pasca operasi, dan
edema paru akibat volume berlebihan, dan sebagainya.
KRITERIA DIAGNOSIS
(Marino, 2017)
GAMBAR 17.1 Rontgen dada portabel yang
menunjukkan penampilan ARDS yang khas
• Infiltrat-infiltrat ini awalnya sering tampak sebagai opasitas yang
heterogen, tetapi kemudian menjadi lebih homogen selama beberapa
jam hingga beberapa hari [1] (lihat Gambar 163.2A). Meskipun beberapa
telah merekomendasikan menggunakan kriteria seperti ukuran siluet
jantung dan lebar pedikel vaskuler P.1455 untuk membedakan edema
kardiogenik dari edema nonkardiogenik, diferensiasi ini telah terbukti
sering tidak mungkin [2]. Selain itu, interpretasi infiltrat bilateral yang
tampaknya langsung dapat dikaburkan oleh faktor-faktor seperti
atelektasis, efusi, atau keterlibatan lobus bawah yang terisolasi, yang
semuanya berkontribusi pada kesepakatan yang rendah antar pengamat
[3,4]. Oleh karena itu, kriteria diagnostik yang lebih baru lebih lanjut
mensyaratkan bahwa opasitas wilayah udara bilateral tidak dijelaskan
oleh efusi, kolaps lobus, atau nodul [5,6].
1. Goodman PC, Quinones Maymi DM: Radiographic findings in ARDS, in Matthay MA,
(ed). Acute Respiratory Distress Syndrome. New York, NY, Marcel Dekker, Inc., 2003,
pp 55-73.
2. Desai SR: Acute respiratory distress syndrome: imaging of the injured lung. Clin Radiol
57:8-17, 2002.
3. Meade MO, Cook RJ, Guyatt GH, et al: Interobserver variation in interpreting chest
radiographs for the diagnosis of acute respiratory distress syndrome. Am J Respir Crit
Care Med 161:85-90, 2000.
4. Rubenfeld GD, Caldwell E, Granton J, et al: Interobserver variability in applying a
radiographic definition for ARDS. Chest 116:1347-1353, 1999.
5. Thompson BT, Moss M: A new definition for the acute respiratory distress syndrome.
Semin Respir Crit Care Med 34:441-447, 2013.
6. Ranieri VM, Rubenfeld GD, Thompson BT, et al: Acute respiratory distress syndrome:
the Berlin Definition. JAMA 307:2526-2533, 2012
• Satu studi baru-baru ini menunjukkan nilai klinis dari melakukan
fokus ultrasonografi toraks dan jantung di samping tempat tidur,
menggunakan ada atau tidaknya garis B, efusi pleura sisi kiri,
diameter vena cava, dan disfungsi ventrikel kiri untuk membedakan
edema paru kardiogenik (CPE), ARDS, dan bermacam-macam
penyebab kegagalan pernapasan hipoksia akut dari satu sama lain
[1].
1. Sekiguchi H, Schenck LA, Horie R, et al: Critical care
ultrasonography differentiates ARDS, pulmonary edema, and other
causes in the early course of acute hypoxemic respiratory failure.
Chest 148:912-918, 2015.
• Satu studi baru-baru ini menunjukkan nilai klinis dari melakukan
fokus ultrasonografi toraks dan jantung secara bedside,
menggunakan parameter ada atau tidaknya garis B, efusi pleura sisi
kiri, diameter vena cava, dan disfungsi ventrikel kiri untuk
membedakan edema paru kardiogenik (CPE), ARDS, dan
bermacam-macam penyebab kegagalan pernapasan hipoksia akut
dari satu sama lain [1].
• Dalam kasus di mana kemungkinan penyebab yang mendasari tidak
teridentifikasi, perlu diperhatikan kemungkinan penyebab lain
munculnya infiltrate paru dan hipoksemia seperti edema paru
hidrostatik (kardiogenik). Pemeriksaan penunjang untuk jantung
seperti ekokardiografi dan kateter arteri pulmonal dapat dilakukan.
1. Sekiguchi H, Schenck LA, Horie R, et al: Critical care
ultrasonography differentiates ARDS, pulmonary edema, and other
causes in the early course of acute hypoxemic respiratory failure.
Chest 148:912-918, 2015.
Infiltrat radiografik bersifat bilateral (menurut definisi) tetapi mungkin
patchy atau difus, halus atau padat (Gambar 67-4), dan efusi pleura
dapat terjadi.100
(Vincent, 2018)
1. Wiener-Kronish JP, Matthay MA. Pleural effusions associated with
hydrostatic and increased permeability pulmonary edema. Chest
1988;93:852-8.
• Satu hal yang dapat menjadi keterbatasan definisi Berlin yaitu kebutuhan
untuk pengambilan gas darah arteri untuk menghitung rasio PaO2/FiO2. Studi
terbaru telah menunjukkan korelasi yang baik antara rasio SpO2/FiO2 (diukur
dengan pulse oximetry) dan rasio PaO2/Fio2 (1,2) dengan rasio SpO2/FiO2 di
angka 235 setara dengan rasio PaO2/FiO2 di angka 200 dan rasio SpO2/FiO2
di angka 315 setara dengan rasio PaO2/FiO2 di angka 300. Korelasi ini hanya
valid jika SpO2 <98% karena kurva disosiasi oksihemoglobin akan rata di atas
level ini. Karena pengukuran saturasi oksigen noninvasif, pengukuran
kontinyu dan penggunaan rasio SpO2/FiO2 sebagai tambahan selain rasio
PaO2/FiO2 dapat meningkatkan kemampuan klinisi untuk mendiagnosis
ARDS.[3]
(Vincent, 2018)
1. Derivation and validation of Spo2/Fio2 ratio to impute for Pao2/Fio2
ratio in the respiratory component of the Sequential Organ Failure
Assessment score. Crit Care Med 2009;37:1317-21.
2. Rice TW, Wheeler AP, Bernard GR, Hayden DL, Schoenfeld DA,
Ware LB. Comparison of the SpO2/ FiO2 ratio and the PaO2/FiO2
ratio in patients with acute lung injury or acute respiratory distress
syndrome. Chest 2007;132:410-7.
3. Chen W, Janz DR, Shaver CM, Bernard GR, Bastarache JA, Ware
LB. Clinical characteristics and outcomes are similar in ARDS
diagnosed by SpO2/FiO2 ratio compared with PaO2/FiO2 ratio.
Chest 2015.
PATOFISIOLOGI
Fase eksudatif terjadi segera dan bertahan sekitar 3-7 hari. Fase ini
bercirikan “kerusakan alveolar difus” yang memiliki tanda kardinal
sebagai berikut:
a) Akumulasi cairan, protein, dan sel inflamatori (terutama neutrofil)
ekstravaskular dalam interstisial dan spasium alveolar, mengendap
dan menghasilkan gambaran “membran hyalin.”
(b) Nekrosis sel alveolar tipe 1, dan (c) perdarahan intraalveolar.
PATOFISIOLOGI
Konsekuensi fisiologis dari alveoli yang terisi oleh edema dan debris
selular adalah penurunan ventilasi alveolar, shunting intrapulmoner,
dan penurunan compliance paru dengan peningkatan usaha napas.
Konsekuensi klinis adalah kebutuhan akan ventilator mekanik untuk
menurunkan usaha napas, FiO2 tinggi untuk mencapai PaO2 yang
cukup, dan tekanan positif dalam jalan napas sepanjang siklus
respiratori untuk memperbaiki ventilasi alveolar.
PATOFISIOLOGI
(Farcy, 2006)
• PERAWATAN SUPORTIF SISTEMIK
• Perawatan kritis suportif dalam penanganan ARDS adalah sangat penting.
Sebagai contoh, strategi restriktif cairan telah menunjukkan perbaikan dalam
kasus ARDS tetapi dapat menjadi berbahaya jika hal ini mengalihkan perhatian
dari target resusitasi untuk penanganan syok pasien. Strategi ventilatori akan
kurang berhasil jika terapi infeksi yang sesuai tidak diberikan, dan diperlukan
pula penggunaan sedatif yang bijaksana, transfusi produk darah, dan
suplementasi nutrisi.
• Perawatan suportif dimulai dengan perawatan kondisi-kondisi predisposisi
penyakit. Kemajuan dalam perawatan kondisi paru dan ekstraparu
menyebabkan penurunan angka mortalitas ARDS dalam tahun ke tahun.
Praktik perawatan terbaik untuk sepsis, trauma, dan kondisi predisposisi
lainnya harus diterapkan untuk mengoptimalkan prognsis ARDS. ARDS pada
pasien ICU biasanya bukan gagal organ tunggal, dan kematian lebih sering
dikaitkan dengan sindrom disfungsi multiorgan yang menyertainya. Jadi, kecil
kemungkinan terapi yang hanya diarahkan paru akan memberi hasil maksimal
tanpa penanganan pada system lain yaitu kardiovaskular, renal, dan sistem
saraf pusat.
(Farcy, 2006)
CLINICAL MANAGEMENT
• Faktor yang menyebabkan ARDS perlu diterapi secara sesuai dan cepat. Hal
ini termasuk diagnosis dan penanganan infeksi dan agen antimikroba,
pengenalan dan resusitasi yang cepat, pembidaian fraktur, dan perawatan
supotif yang hati-hati.
• Pencegahan DVT, stress ulcer, infeksi nosokomial, dan malnutrisi, sering kali
dengan nutrisi enteral, perlu dipertimbangkan.
• Mobilisasi dini pasien yang terpasang ventilator mekanik disertai dengan
analgesik dan sedasi dengan level yang sesuai dapat dilakukan dan aman,
dan keuntungannya adalah dapat memperpendek durasi ventilasi, mengurangi
delirium, waktu tinggal di ICU dan rumah sakit, dan meningkatkan fungsional
dan menurunkan mortalitas.
(Oh, 2018)
SUPPORT AIRWAY-BREATHING
• Gagal napas hipoksemik akut (1) dan peningkatan usaha napas, biasanya memerlukan
ventilasi mekanik.
• Peranan ventilasi noninvasif dalam ARDS masih kontroversial; tidak ada studi definitive
yang besar, dan walau ada beberapa kelompok melaporkan hasil yang mendukung,
biasanya pasien mengalami ARDS ringan (2). Kegagalan ventilasi noninvasif (NIV) adalah
hal umum, dikaitkan dengan komplikasi dan mortalitas yang lebih tinggi, kemungkinan
karena keterlambatan intubasi. (Oh, 2018)
• Hipoksemia yang menjadi karakteristik ARDS awal dan biasanya refrakter terhadap
pemberian oksigen. Peningkatan usaha napas dalam fase akut ARDS karena penurunan
compliance paru sebagai hasil dari edema interstisial dan alveolar digabung dengan
peningkatan resistensi aliran udara (3) dan peningkatan respiratory drive (4). Kombinasi
hipoksemia dan peningkatan usaha napas biasanya memerlukan intubasi endotrakeal dan
entilasi mekanik, walaupun pasien terkadang dapat ditangani engan ventilasi noninvasive
dan kanula oksigen beraliran tinggi. (Vincent, 2018)
1. Dantzker DR, Brook CJ, Demart P, et al. Ventilation-perfusion distributions in
the adult respiratory distress syndrome. Am Rev Respir Dis. 1979;120:1039–
1052.
2. Zhan Q, Sun B, Liang L, et al. Early use of noninvasive positive pressure
ventilation for acute lung injury: a multicenter randomized controlled trial. Crit
Care Med. 2012;40:455–460.
3. Wright PE, Bernard GR. The role of airflow resistance in patients with the
adult respiratory distress syndrome. Am Rev Respir Dis 1989;139:1169-74
4. Kallet RH, Hemphill JC, 3rd, Dicker RA, Alonso JA, Campbell AR, Mackersie
RC, et al. The spontaneous breathing pattern and work of breathing of
patients with acute respiratory distress syndrome and acute lung injury.
Respir Care 2007;52:989-95
Ventilator induced lung injury
• Terdapat 2 tujuan umum ventilasi mekanik dalam ARDS: 1) membatasi rengangan pada
airspaces distal selama inflasi paru, dan 2) Mencegah kolaps airspaces distal selama
deflasi paru.
1. Inhomogenitas
• Walaupun chest X ray menunjukkan pola infiltrasi homogen pada pasien pada ARDS, CT
menunjukan infiltrasi paru yang terbatas pada regio paru yang terkait.
2. Volutrauma
• Karena volume paru fungsional di ARDS menurun signifikan, volume inflasi yang biasa diberikan
oleh ventilasi mekanik (10-15 mL/kg) dapat menyebabkan overdistensi alveoli dan stressfractures di
antarmuka kapiler alveoli (1). Kerusakan terkait dengan volume ini disebut volutrauma. Volutrauma
menyebabkan infiltrasi paru dengan sel inflamatori dan material protein, menghasilkan kondisi klinis
yang dikenal sebagai ventilator-induced lung injury yang mirip dengan ARDS (1,2).
1. Dreyfuss D, Saumon G. Ventilator-induced lung injury: lessons from
experimental studies. Am J Respir Crit Care Med 1998; 157:294–
323.
2. Gattinoni L, Protti A, Caironi P, Carlesso E. Ventilator-induced lung
injury: the anatomical and physiological framework. Crit Care Med
2010; 38(Suppl):S539–S548
3. Atelectrauma
• Penurunan distensibilitas di ARDS dapat menyebabkan kolaps airway kecil pada akhir
ekspirasi. Ketika hal ini terjadi, ventilasi mekanik dapat terkait dengan membuka dan
menutupnya jalan napas kecil, dan proses ini dapat menjadi sumber kerusakan pulmo.
Tipe kerusakan paru ini disebut atelectrauma (1), dan mungkin merupakan hasil dari gaya
gesek berkecepatan tinggi oleh lubang jalan napas yang kolaps.
1. Gattinoni L, Protti A, Caironi P, Carlesso E. Ventilator-induced lung
injury: the anatomical and physiological framework. Crit Care Med
2010; 38(Suppl):S539–S548
LUNG PROTECTIVE VENTILATION
(Marino, 2017)
1. BidaniA, Tzouanakis AE, Cardenas VJ, Zwischenberger JB.
Permissive hypercapnia in acute respiratory failure. JAMA 1994;
272:957–962.
2. Hickling KG, Walsh J, Henderson S, et al. Low mortality rate in
adult respiratory distress syndrome using low-volume, pressure-
limited ventilation with permissive hypercapnia: A prospective
study. Crit Care Med 1994; 22:1568–1578.
• Seperti halnya mode ventilasi pada ARDS, pasien kadang-kadang
akan membutuhkan blokade neuromuskuler untuk mengurangi
disinkroni yang berat.
• Meskipun banyak yang percaya bahwa blokade neuromuskuler
sebaiknya digunakan hanya untuk pasien dengan hipoksemia berat,
karena penggunaan paralitik dapat meningkatkan risiko polineuropati
dan miopati, satu uji klinis acak menunjukkan manfaat mortalitas 28
hari dengan penggunaan agen paralitik cisatracurium besylate untuk
48 jam pertama dalam kasus ARDS berat (Pao2 / Fio2 <150). [1]
(Vincent, 2018)
1. Papazian L, Forel JM, Gacouin A, Penot-Ragon C, Perrin G,
Loundou A, et al. Neuromuscular blockers in early acute
respiratory distress syndrome. N Engl J Med 2010;363:1107-16.
• Ventilasi volume tidal yang lebih rendah dapat menyebabkan pengurangan keseluruhan menit ventilasi dan
mengakibatkan peningkatan tekanan parsial karbon dioksida (pCO2).
• Disebut "hiperkapnia permisif," asidosis pernapasan dalam jumlah tertentu diberikan untuk mencegah
hiperinflasi alveolar dan umumnya ditoleransi oleh pasien. Dokter dapat meminimalkan ruang mati dalam
tabung ventilator dan meningkatkan laju pernapasan hingga setinggi 35 napas per menit sesuai kebutuhan
untuk mencegah asidosis berlebihan. Namun, sebagian besar senter akan membiarkan pH turun ke 7,2 tanpa
koreksi, terlepas dari pCO2.
• Sementara beberapa orang mungkin berpendapat bahwa bahkan tingkat pH yang lebih rendah dapat
ditoleransi, membiarkan pH berada di bawah ambang batas ini menimbulkan kekhawatiran semakin
memburuknya aritmia, sindrom koroner akut, edema serebral, kejang, dan hipotensi di antara sekuela
merugikan lainnya [1]
• Selain asidosis dan hiperkapnia, volume tidal yang lebih rendah dapat memicu asinkron dan penumpukan
nafas. Tingkat pernapasan yang lebih tinggi yang digunakan untuk menetralkan pengurangan ventilasi menit
dapat menyebabkan PEEP otomatis. Taktik untuk meredakan penumpukan nafas meliputi peningkatan level
sedasi atau, jika pendekatan ini gagal, volume tidal ditingkatkan menjadi 7-8 mL / kg sambil terus
mempertahankan tekanan plateau jalan nafas kurang dari 30 cm H20.
(Ali Salim, 2018)
1. Richecoeur J, Lu Q, Vieira SR, et al. Expiratory washout versus
optimization of mechanical ventilation during permissive
hypercapnia in patients with severe acute respiratory distress
syndrome. Am J Respir Crit Care Med. 1999;160:77.
• PEEP diatur setidaknya 5 cm H2O. Secara teoritis, tingkat PEEP yang lebih tinggi akan
mencegah atelektrauma dengan mengurangi kolap saluran napas siklis dan berpotensi
menghomogenkan ventilasi, mengurangi mismatch ventilasi & perfusi. Meningkatkan PEEP
akan meningkatkan oksigenasi untuk membantu mencapai tujuan oksigenasi ini; namun
saat ini bukti yang ada tidak mendukung penurunan angka mortalitas dengan perubahan
PEEP.
• Studi meta-analisis Cochrane Review tahun 2013 mendeskripsikan dari 2565 pasien
dengan pasien yang dirandomisasi ke grup PEEP tinggi dan PEEP rendah menunjukkan
oksigenasi yang lebih baik pada kelompok PEEP tinggi dan tidak ada perbedaan dalam
mortalitas atau hari bebas ventilator antara kedua kelompok. Para peneliti mencatat
kecenderungan peningkatan mortalitas di antara kelompok PEEP yang tinggi, tanpa indikasi
barotrauma yang disebabkan oleh PEEP yang ditingkatkan. [1]
(Marino, 2017)
1. Grissom CK, Hirshberg EL, Dickerson JB, et al. Fluid management
with a simplified conservative protocol for the acute respiratory
distress syndrome. Crit Care Med 2015; 43:288–295.
• Oleh karena itu, paradigma perawatan pertama-tama adalah untuk
memastikan bahwa pasien diresusitasi pada titik perfusi organ yang
optimal dan penanganan keadaan syok, tetapi tidak sampai
resusitasi cairan secara berlebihan, karena membatasi cairan lebih
lanjut dan mengurangi tekanan hidrostatik keseluruhan akan
mengarah ke keseimbangan / balans cairan negatif dan
menghasilkan peningkatan secara positif terhadap kondisi paru.
(Farcy, 2016)
NUTRITION
(OH, 2018)
1. Marik PE, Hooper MH. Normocaloric versus hypocaloric feeding on the outcomes of ICU patients: a
systematic review and meta-analysis. Intensive Care Med. 2016;42(3):316–323. PubMed PMID: 26556615.
2. Al-Dorzi HM, Albarrak A, Ferwana M, et al. Lower versus higher dose of enteral caloric intake in adult
critically ill patients: a systematic review and meta-analysis. Crit Care. 2016;20(1):358. PubMed PMID:
27814776. Pubmed Central PMCID: 5097427
3. Krishnan JA, Parce PB, Martinez A, et al. Caloric intake in medical ICU patients: consistency of care with
guidelines and relationship to clinical outcomes. Chest. 2003;124(1):297–305. PubMed PMID: 12853537.
eng.
4. Rubinson L, Diette GB, Song X, et al. Low caloric intake is associated with nosocomial bloodstream
infections in patients in the medical intensive care unit. Crit Care Med. 2004;32(2):350–357. PubMed PMID:
14758147. eng.
5. Villet S, Chiolero RL, Bollmann MD, et al. Negative impact of hypocaloric feeding and energy balance on
clinical outcome in ICU patients. Clin Nutr. 2005;24(4):502–509. PubMed PMID: 15899538. eng.
6. Alberda C, Gramlich L, Jones N, et al. The relationship between nutritional intake and clinical outcomes in
critically ill patients: results of an international multicenter observational study. Intensive Care Med.
2009;35(10):1728–1737. PubMed PMID: 19572118.
• Data observasional baru-baru ini terus menunjukkan hubungan
antara asupan kalori yang lebih tinggi dan mortalitas yang lebih
rendah pada pasien sakit kritis dengan skor NUTRIC yang tinggi. [1]
• Under-feeding yang disengaja, pada tempatnya, bisa menjadi
strategi yang lebih cocok untuk pasien yang dengan kondisi tidak
terllu kritis dan memiliki status gizi lebih baik.
(OH, 2018)
1. Compher C, Chittams J, Sammarco T, et al. Greater protein and
energy intake may be associated with improved mortality in higher
risk critically ill patients: a multicenter, multinational observational
study. Crit Care Med. 2017;45(2):156–163. PubMed PMID:
28098623.
• Berbagai upaya juga telah dilakukan untuk menyesuaikan energi
yang diberikan kepada pasien yang sakit kritis dengan kebutuhan
masing-masing.
• Dua metode yang umum digunakan: kalorimetri indirek dan
persamaan prediktif. Kalorimetri indirek merupakan gold standard
yang agak membebani; penggunaannya mungkin menjadi lebih
mudah di masa depan dengan ketersediaan perangkat yang
dirancang untuk pasien ICU. Hal ini memungkinkan dilakukannya
pengukuran Resting Energy Expenditure (REE).
(OH, 2018)
• Nilai ini tidak termasuk energi yang dikeluarkan dari aktivitas fisik, yang
kemudian meningkat selama masuk ICU. [1]
• Kalorimetri mengungkapkan penyimpangan dari nilai-nilai yang diprediksi oleh
persamaan, [2] sehingga dua pertiga dari pasien dalam satu penelitian
cenderung kurang atau terlalu banyak pemberiaan nutrisinya. [3]
• Sebelumnya, tidak dapat ditunjukkan bahwa hasil klinis ditingkatkan dengan
menggunakan kalorimetri, [4] tetapi suatu penelitian yang lebih baru
menunjukkan kecenderungan penurunan mortalitas di rumah sakit pada
kelompok yang pemberian makanannya dipandu dengan kalorimetri (dengan
konsekuensi menerima asupan kalori yang lebih tinggi). [5]
(OH, 2018)
1. Plank LD, Hill GL. Sequential metabolic changes following induction of systemic
inflammatory response in patients with severe sepsis or major blunt trauma. World J
Surg. 2000;24(6):630–638. PubMed PMID: 10773114. eng.
2. Frankenfield DC, Coleman A, Alam S, et al. Analysis of estimation methods for resting
metabolic rate in critically ill adults. JPEN J Parenter Enteral Nutr. 2009;33(1):27–36.
PubMed PMID: 19011147.
3. Makk LJ, McClave SA, Creech PW, et al. Clinical application of the metabolic cart to the
delivery of total parenteral nutrition. Crit Care Med. 1990;18(12):1320–1327. PubMed
PMID: 2123141. eng.
4. Saffle JR, Larson CM, Sullivan J. A randomized trial of indirect calorimetry-based
feedings in thermal injury. J Trauma. 1990;30(7):776–782, discussion 782–783. PubMed
PMID: 2116532. eng.
5. Singer P, Anbar R, Cohen J, et al. The tight calorie control study (TICACOS): a
prospective, randomized, controlled pilot study of nutritional support in critically ill
patients. Intens Care Med. 2011;37(4):601–609. [Epub 2011/02/23]; PubMed PMID:
21340655. eng.
• Selain itu, tidak ada data yang jelas untuk menghubungkan REE yang terukur
dengan total pengeluaran energi pada masing-masing pasien.
• Saat ini, hanya sedikit ICU yang menggunakan kalorimetri.
• Dengan tidak adanya pengukuran REE yang reliable, terdapat beberapa
persamaan yang dapat mengkonversi laju metabolisme basal yang diprediksi
dari data antropometrik menjadi estimasi dari pengeluaran energi.
• Hal ini bergantung pada faktor koreksi untuk menyesuaikan variabel seperti
diagnosis, demam dan aktivitas.
• Dengan menerima ketidakakuratan umum persamaan yang dibandingkan
dengan pengeluaran energi yang terukur, rumus Penn State [2] tampaknya
berkinerja paling akurat, kecuali pada pasien obesitas. [1]
(OH, 2018)
1. Frankenfield DC, Coleman A, Alam S, et al. Analysis of estimation
methods for resting metabolic rate in critically ill adults. JPEN J
Parenter Enteral Nutr. 2009;33(1):27–36. PubMed PMID:
19011147.
2. Frankenfield D, Smith JS, Cooney RN. Validation of 2 approaches
to predicting resting metabolic rate in critically ill patients. JPEN J
Parenter Enteral Nutr. 2004;28(4):259–264. PubMed PMID:
15291408.
• Meskipun metode pengukuran atau estimasi pengeluaran energi cukup populer, masih
belum jelas bahwa penggunaanny secara rutin meningkatkan hasil klinis secara positif.
• Banyak ICU menggunakan keduanya dan memsng target memberikan 25 kkal / kg / hari,
dengan harapan bahwa pencapaian agak kurang dari jumlah tersebut merupakan jumlah
asupan yang tepat.
• Meningkatkan asupan target ke 30 kkal / kg / hari saat pasien pulih dan aktivitas meningkat
merupakan langkah yang rasional. Meskipun demikian, kesulitan dalam menafsirkan bukti
yang tersedia saat ini menggambarkan ketidakpastian yang melekat pada praktik ini.
• Mungkin saja bahwa penggunaan alat penilaian risiko nutrisi untuk menargetkan orang
yang lebih sakit dan secara gizi terganggu dengan regimen yang lebih agresif disesuaikan
dengan REE yang telah diukur akan mewakili peningkatan hasil pada praktik saat ini, tetapi
hal ini masih harus dibuktikan.
(OH, 2018)
MOBILISASI
(Farcy, 2016)
• Agen penghambat neuromuskuler digunakan dalam manajemen ARDS untuk
memfasilitasi sinkronisasi pasien-ventilator dengan harapan meminimalkan
barotrauma, VILI, dan konsumsi oksigen yang berlebihan.
• Tiga RCT dan meta-analisis baru-baru ini menyimpulkan bahwa infus
berkelanjutan cistracurium besylate selama 48 jam setelah diagnosis ARDS
dapat mengurangi mortalitas. Cistracurium tidak mengurangi hari bebas
ventilator atau meningkatkan risiko ICU-acquired weakness. [1]
• Mekanisme cistracurium yang menurunkan angka kematian tidak sepenuhnya
jelas. Sinkronisasi ventilator yang lebih baik dapat meningkatkan komplians
dan meningkatkan pertukaran gas, atau inflamasi sistemik dapat menurun
karena penurunan barotrauma dan volutrauma.
(Farcy, 2016)
1. Alhazzani W, Alshahrani M, Jaeschke R, et al. Neuromuscular
blocking agents in acute respiratory distress syndrome: a
systematic review and meta-analysis of randomized controlled
trials. Crit Care. 2013; 17(2):R43.
• Kortikosteroid adalah obat yang paling banyak dipelajari dalam ARDS dan
kontroversi signifikan mengelilingi penggunaannya. Kortikosteroid memiliki
berbagai sifat farmakologis mulai dari penghambatan transkripsi gen inflamasi
pada dosis rendah hingga penghambatan degranulasi neutrofil pada dosis
tinggi. [1]
• Para pendukung steroid menyatakan steroid dapat mempercepat resolusi
tahap fibro-proliferatif ARDS. Ada banyak penelitian kecil yang menggunakan
regimen steroid variabel yang berbeda dalam waktu terapi, dosis, formulasi,
durasi pengobatan, dan regimen tapering.
• Sebuah studi ARDSNet tidak mendukung penggunaan terapi metilprednisolon
pada ARDS dan memperingatkan bahwa terapi steroid dimulai lebih dari 2
minggu setelah timbulnya ARDS dapat meningkatkan mortalitas. [2]
(Farcy, 2016)
1. Tang BM, Craig JC, Eslick GD, Seppelt I, McLean AS. Use of
corticosteroids in acute lung injury and acute respiratory distress
syndrome: a systematic review and meta-analysis. Crit Care Med.
2009; 37(5):1594– 1603.
2. Steinberg KP, Hudson LD, Goodman RB, et al. Efficacy and safety
of corticosteroids for persistent acute respiratory distress
syndrome. N Engl J Med. 20, 2006; 354(16):1671–1684.
• Sebaliknya, sebuah meta-analisis menyimpulkan bahwa
kortikosteroid dosis rendah dikaitkan dengan peningkatan mortalitas
dan morbiditas pada ARDS. [1]
• Kemungkinan efektivitas kortikosteroid dalam ARDS tergantung
pada waktu, dosis dan proses penyakit yang mendasari dan uji coba
RCT yang berkualitas tinggi diperlukan untuk lebih
mengkarakterisasi variabel-variabel ini.
(Farcy, 2016)
1. Tang BM, Craig JC, Eslick GD, Seppelt I, McLean AS. Use of
corticosteroids in acute lung injury and acute respiratory distress
syndrome: a systematic review and meta-analysis. Crit Care Med.
2009; 37(5):1594– 1603.
• Manfaat atau bahaya menggunakan glukokortikoid dalam ARDS tampaknya tergantung
pada dosis, durasi, dan waktu.
• Sebuah uji klinis prospektif, acak, double-blind, terkontrol plasebo pada tahun 2007 oleh
Meduri et al. meneliti tentang metilprednisolon dosis sedang (1 mg / kg selama 2 minggu
diikuti dengan titrasi selama 2 minggu) melaporkan secara signifikan pengurangan durasi
ventilasi mekanik (5 vs 9,5 hari; p = 0,002), lama tinggal di ICU ( 7 vs 14,5 hari; p = 0,007),
dan disfungsi organ paru dan ekstrapulmoner pada kelompok yang diobati dengan
metilprednisolon. [1]
• Ada juga penurunan angka mortalitas ICU secara signifikan dengan tren yang kuat (p =
0,07) terhadap penurunan angka mortalitas di rumah sakit. Kelompok dengan terapi
kortikosteroid juga memiliki tingkat infeksi yang secara signifikan lebih rendah (p = 0,0002).
[2]
(Washington, 2018)
1. Meduri GU, Golden E, Freire AX, et al. Methylprednisolone infusion in early severe ARDS:
results of a randomized controlled trialC. hest. 2007;131(4):954–963. Randomized, double-
blinded, placebo-controlled trial of moderate-dose methylprednisolone in early ARDS
conducted in the surgical and medical intensive care units at five medical centers in
Memphis, TN, randomizing patients 2:1 to methylprednisolone versus placebo (n = 63 vs.
28) and treating patients for up to 28 days, showing a significant reduction in duration of
mechanical ventilation, length of ICU stay, and organ dysfunction in the treatment group.
2. Meduri GU, Headley AS, Golden E, et al. Effect of prolonged methylprednisolone therapy in
unresolving acute respiratory distress syndrome: a randomized controlled trial. JAMA.
1998;280(2):159–165. Randomized, double-blinded, placebo-controlled clinical trial
conducted at four medical centers in Memphis, TN of 24 patients with ARDS that did not
show improved lung injury scores by day 7 assigned 2:1 to receive methylprednisolone
(initially 2 mg/kg/day and continued for 32 days) versus placebo. The study showed
significant improvement in the primary outcomes of lung injury, MODS scores, and ICU and
in-hospital mortality in the methylprednisolone-treated patients.
• Dua uji klinis prospektif, acak, double-blind, terkontrol plasebo meneliti
administrasi kortikosteroid yang dilakukan pada pasien dengan ARDS yang
tidak terselesaikan (> 7 hari). Dengan sampel 24 pasien dan penelitian
dilakukan di empat medical center, dan yang lainnya oleh multisenter National
Institutes of ARDS Network yang disponsori Kesehatan dengan 180 pasien).
Kedua studi menunjukkan peningkatan yang signifikan terhadap hari bebas
ventilator, hari bebas syok, dan hari bebas ICU. [1]
• Studi oleh Meduri et al. melaporkan penurunan mortalitas di ICU (p = 0,002)
dan mortalitas di rumah sakit (p = 0,03), tetapi studi ARDS Network tidak
melaporkan hal yang sama. [2]
(Washington, 2018)
1. Steinberg KP, Hudson LD, Goodman RB, et al; The National Heart, Lung, and Blood Institute Acute
Respiratory Distress Syndrome Clinical Trials Network. Efficacy and safety of corticosteroids for persistent
acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med. 2006;354(16):1671–1684. The “LaSRS” trial was a double-
blind randomized controlled clinical trial conducted by the ARDS Network at 25 affiliated centers. The study
enrolled 180 patients with ARDS of at least 7 to 28 days duration and randomly assigned them to receive
either methylprednisolone (2 mg/kg bolus then 0.5 mg/kg every 6 hours for 14 days, 0.5 mg/kg every 12 hours
for 7 days, and then tapered over 4 days), or placebo. The study found no difference in 60-day mortality
between those treated with corticosteroids versus placebo (29.2% vs. 28.6%) but did identify significant
physiologic and radiologic improvements favoring corticosteroids. Some have criticized the trial for too rapid
withdrawal of steroids and for significant differences in the use of paralytics between groups.
2. Meduri GU, Headley AS, Golden E, et al. Effect of prolonged methylprednisolone therapy in unresolving acute
respiratory distress syndrome: a randomized controlled trial. JAMA. 1998;280(2):159–165. Randomized,
double-blinded, placebo-controlled clinical trial conducted at four medical centers in Memphis, TN of 24
patients with ARDS that did not show improved lung injury scores by day 7 assigned 2:1 to receive
methylprednisolone (initially 2 mg/kg/day and continued for 32 days) versus placebo. The study showed
significant improvement in the primary outcomes of lung injury, MODS scores, and ICU and in-hospital
mortality in the methylprednisolone-treated patients.
• Memang, dalam penelitian terakhir, ada kecenderungan peningkatan
mortalitas pada pasien yang diberikan glukokortikoid> 2 minggu
setelah timbulnya ARDS.
• Namun, faktor perancu yang mungkin terjadi dalam penelitian
terakhir ini termasuk penggunaan agen paralitik yang lebih besar
pada kelompok yang diobati dan terapi yang lebih singkat
dibandingkan dengan Meduri et al. protokol. [1]
(Washington, 2018)
1. Meduri GU, Headley AS, Golden E, et al. Effect of prolonged
methylprednisolone therapy in unresolving acute respiratory distress
syndrome: a randomized controlled trial. JAMA. 1998;280(2):159–165.
Randomized, double-blinded, placebo-controlled clinical trial conducted at
four medical centers in Memphis, TN of 24 patients with ARDS that did not
show improved lung injury scores by day 7 assigned 2:1 to receive
methylprednisolone (initially 2 mg/kg/day and continued for 32 days) versus
placebo. The study showed significant improvement in the primary
outcomes of lung injury, MODS scores, and ICU and in-hospital mortality in
the methylprednisolone-treated patients.
• Secara keseluruhan, data dari berbagai penelitian ini mendukung penggunaan steroid dosis sedang
untuk pasien ARDS berdurasi <2 minggu.
• Steroid harus ditahan sampai dipastikan bahwa agen paralitik tidak diperlukan secara bersamaan.
Karena parameter fisiologis dan radiologis tampak membaik secara substansial dalam waktu 3
hingga 5 hari setelah mulai penggunaan steroid, mungkin masuk akal untuk menghentikan steroid
setelah waktu ini pada pasien yang gagal menunjukkan respons yang signifikan. Namun, pada
mereka yang merespons terhada steroid, steroid harus dilanjutkan hingga 4 minggu.
• Kortikosteroid tidak boleh dimulai secara rutin pada pasien dengan ARDS yang tidak resolve lebih
dari 2 minggu setelah onset. Namun, kortikosteroid dapat dipertimbangkan dalam kasus-kasus
tertentu; dalam jangka waktu 3 sampai 5 hari setidaknya harus ditetapkan apakah akan ada
perbaikan fisiologis atau radiologis sebelum durasi pemberian yang lebih lama dipertimbangkan.
• Baru-baru ini, Papazian et al. menunjukkan bahwa penghambat neuromuskuler pada ARDS
dikaitkan dengan keuntungan bertahan hidup. Dokter harus hati-hati menimbang keuntungan dan
kerugian dari menggabungkan kortikosteroid dan penghambat neuromuskuler, terutama karena
kedua agen berhubungan dengan pengembangan miopati dan polineuropati. [1]
(Washington, 2018)
1. Papazian L, Forel JM, Gacouin A, et al; ACURASYS Study
Investigators. Neuromuscular blockers in early acute respiratory
distress syndromeN. Engl J Med. 2010;363(12):1107–1116.
Survival improvement was associated with the use of
neuromuscular blockers early on in ARDS.
• Steroid (Kontroversial)
• 1-7 hari tetapi idealnya ≤72 jam;
• Belum ada peran yang diidentifikasi kecuali didokumentasikan pada insufisiensi adrenal.
• Berikan metilprednisolon (atau setara) 1 mg / kg bolus IV, kemudian infus IV 1 mg / kg / hari terus menerus selama
14 hari.
• Jika menerima paralitik, tunda penggunaan sampai penggunaan agen paralitik secara bersamaan tidak diperlukan.
• Jika tidak ada manfaat fisiologis atau radiologis yang jelas dalam 3-5 hari, hentikan.
• Setelah 14 hari atau ekstubasi pasien yang berhasil, turunkan dosis menjadi 0,5 mg / kg / hari IV dan berlanjut
selama 7 hari, kemudian turunkan dosis menjadi 0,25 mg / kg / hari IV dan terus selama 7 hari, kemudian hentikan.
• 7-14 hari, jika steroid tidak dimulai lebih awal;
• Manfaat kurang pasti, tetapi dalam kasus tertentu dapat mencoba protokol yang sama seperti di atas. Jika tidak ada
manfaat fisiologis atau radiologis yang jelas dalam 3-5 hari, hentikan.
• 14 hari
• Mungkin tidak ada peran untuk penggunaan steroid dalam kasus ini (dapat menyebabkan peningkatan mortalitas
jika digunakan secara rutin dalam kasus ini). Namun, uji coba mungkin masih dipertimbangkan dalam kasus-kasus
tertentu.
(Washington, 2018)
• 1. ARDS sedang hingga berat
• Regimen steroid berikut direkomendasikan untuk penanganan ARDS
dini ketika PaO2 / FIO2 <200 mm Hg dengan PEEP 10 cm H2O (20).
a. Methylprednisolone: 1 mg / kg (berat badan ideal) selama 30
menit, kemudian 1 mg / kg / hari dengan infus terus menerus
selama 14 hari, diikuti dengan titrasi bertahap selama 14 hari
berikutnya.
b. Tidak ada bukti bahwa rejimen ini meningkatkan risiko infeksi [1].
(Marino, 2017)
1. Marik PE, Meduri GU, Rocco PRM, Annane D. Glucocorticoid
treatment in acute lung injury and acute respiratory distress
syndrome. Crit Care Clin 2011; 27:589–607.
• ARDS yang tidak terselesaikan
• ARDS memiliki fase fibrinoproliferatif yang dimulai 7-14 hari setelah timbulnya penyakit, dan
akhirnya menyebabkan fibrosis paru yang tidak dapat diperbaiki. [1]
• Terapi steroid dosis tinggi dapat membantu menghentikan perkembangan menjadi fibrosis
paru. Ketika ARDS tidak mulai teratasi setelah 7 hari, regimen steroid berikut disarankan:
[2]
a. Methylprednisolone: 2 mg / kg (berat badan ideal) selama 30 menit, kemudian 2 mg / kg /
hari dengan infus berkelanjutan selama 14 hari, kemudian 1 mg / kg / hari (infus kontinu)
selama 7 hari berikutnya, diikuti dengan titrasi bertahap yang berakhir 2 minggu setelah
ekstubasi
b. Tidak ada bukti bahwa regimen ini meningkatkan risiko infeksi. [2]
(Marino, 2017)
1. Meduri GU, Chinn A. Fibrinoproliferation in late adult respiratory
distress syndrome. Chest 1994; 105(Suppl):127S–129S.
2. Marik PE, Meduri GU, Rocco PRM, Annane D. Glucocorticoid
treatment in acute lung injury and acute respiratory distress
syndrome. Crit Care Clin 2011; 27:589–607.
• Mengingat kekhawatiran serius tentang keamanan glukokortikoid
dosis tinggi pada pasien yang sakit kritis, termasuk kemungkinan
peningkatan risiko infeksi nosokomial atau polineuropati / miopati
dan tidak ada perubahan dalam tingkat mortalitas, penggunaan rutin
glukokortikoid tidak dapat direkomendasikan.
(Vincent, 2018)
• Setelah ditemukan bahwa oksida nitrat adalah vasodilator paru,
cepat diadopsi dalam pengobatan ARDS sebagai terapi untuk
meningkatkan pertukaran gas dan mengurangi hipoksemia.
• Nitrit oksida inhalasi (INO) meningkatkan oksigenasi pada banyak
pasien ARDS, namun, penelitian belum menunjukkan manfaat
kelangsungan hidup pada pasien dengan ARDS.
• Satu meta-analisis RCT menguatkan bahwa INO tidak mengurangi
angka kematian pada pasien ARDS terlepas dari tingkat keparahan
hipoksemia. Selain itu, INO dikaitkan dengan peningkatan disfungsi
ginjal. [1]
1. Adhikari NK, Dellinger RP, Lundin S, et al, Inhaled nitric oxide
does not reduce mortality in patients with acute respiratory distress
syndrome regardless of severity: systematic review and meta-
analysis. Crit Care Med. 2014; 42(2):404–412.
• Mengingat temuan ini, masih belum jelas apa peran INO yang harus
dimainkan (jika ada) dalam pengobatan ARDS. Ketika semua
intervensi berbasis bukti lainnya (yaitu, PEEP minimum, posisi
prone, blokade neuromuskuler) gagal menghasilkan oksigenasi yang
memadai, sebagian besar akan mendukung uji coba vasodilator
selektif inhalasi (INO atau prostasiklin inhalasi) sebagai rescue
therapy. [1]
(Farcy, 2016)
1. Adhikari NK, Dellinger RP, Lundin S, et al, Inhaled nitric oxide
does not reduce mortality in patients with acute respiratory distress
syndrome regardless of severity: systematic review and meta-
analysis. Crit Care Med. 2014; 42(2):404–412.
• ARDS jarang bermanifestasi sebagai kegagalan satu sistem organ
yang terisolasi pada pasien ICU dan mortalitas lebih sering dikaitkan
dengan sindrom disfungsi multiorgan yang menyertainya.
• Dengan demikian, tidak mungkin bahwa terapi yang ditargetkan
hanya pada paru-paru saja akan berdampak positif tanpa terapi yang
diarahkan juga ke sistem kardiovaskular, ginjal, dan sistem saraf
pusat.
(Farcy, 2016)
1. Vincent JL, Zambon M. Why do patients who have acute lung
injury/ acute respiratory distress syndrome die from multiple organ
dysfunction syndrome? Implications for management. Clin Chest
Med. 27(4):725– 731; abstract x–xi.
β2 agonists
• Ada alasan yang menarik secara teoritis untuk penggunaan β-agonis dalam ARDS yang
ditunjukkan dalam uji klinis BALTI 2006 [1].
• Cairan paru ekstravaskular berkurang melalui pemberian salbutamol IV. Hal diperkirakan
dimediasi dengan mempromosikan cairan di membran alveo-kapiler melalui peningkatan
regulasi cAMP, sehingga meningkatkan mekanika paru. Β2-gonis β2 juga didalilkan
memiliki sifat "antiinflamasi".
• Kelompok ARDS Network mengacak 282 pasien dengan terapi nebulisasi albuterol atau
plasebo [2].
• Studi tersebut tidak dapat menunjukkan peningkatan hari bebas ventilator atau penurunan
mortalitas dan uji klinis dihentikan.
• Dengan demikian, tidak ada alasan untuk penggunaan β-agonis inhalasi dalam ARDS dan
β-agonis intravena juga dianggap berbahaya. β-agonis bergabung dengan kelompok obat
lain seperti n-asetilsistein, ketokonazol dan surfaktan, yang telah menunjukkan harapan
positif di awal tetapi kemudian gagal menunjukkan manfaat klinis.
RESCUE THERAPY
(Vincent, 2018)
• Strategi ventilasi lainnya dapat digunakan sebagai rescue therapy ketika oksigenasi tidak
memadai meskipun pendekatan yang disebutkan sebelumnya untuk dukungan ventilasi,
atau ketika pasien memerlukan tingkat FiO2 atau tekanan jalan nafas yang tidak dapat
diterima.
• Ini termasuk ventilasi prone, ventilasi rasio terbalik, ventilasi pelepasan tekanan jalan nafas,
blokade neuromuskuler, ventilasi frekuensi tinggi, oksigenasi membran ekstrakorporeal
(ECMO), atau prostasiklin inhalasi atau oksida nitrat.
• Di antaranya, hanya ventilasi prone, blokade neuromuskuler, dan ECMO yang telah
dikaitkan dengan penurunan mortalitas pada populasi pasien tertentu.
(Washington, 2018)
PRONE POSITION
(Vincent, 2018)
• C. Posisi prone
• Posisi prone (biasanya selama 12-18 jam setiap hari) memiliki keuntungan pada pasien dengan hipoksemia
berat atau refrakter.
1. Manuver ini meningkatkan oksigenasi arteri (dengan meningkatkan aliran darah ke daerah paru-paru anterior
yang lebih baik) dan mengurangi risiko cedera paru yang diinduksi ventilator (karena inflasi paru-paru lebih
homogen). [1]
2. Posisi prone dapat meningkatkan kelangsungan hidup jika dimulai lebih awal (dalam 48 jam) pada pasien
dengan hipoksemia berat (PaO2 / FIO2 <100 mm Hg dengan PEEP ≥ 5 cm H2O) (23). "Proning" dalam
waktu lama (≥16 jam setiap hari) juga dapat memiliki manfaat peningkatan kelangsungan hidup. [2]
3. Fraktur tulang belakang yang tidak stabil adalah kontraindikasi absolut terhadap posisi prone. [3]
Kontraindikasi relatif termasuk fraktur pelvis, trauma wajah atau operasi wajah, hipertensi intrakranial,
ketidakstabilan hemodinamik, dan hemoptisis masif. [2]
4. Komplikasi yang paling banyak didokumentasikan adalah pressure sores dan obstruksi pipa trakea. [2]
(Marino, 2017)
1. Guerin C, Baboi L, Richard JC. Mechanisms of the effects of prone
positioning in acute respiratory distress syndrome. Intensive Care
Med 2014; 40:16344–1642.
2. Bloomfield R, Noble DW, Sudlow A. Prone position for acute
respiratory failure in adults. Cochrane Database Syst Rev 2015;
11:CD008095.
3. Berin T, Grasso S, Moerer O, et al. The standard of care of
patients with ARDS: ventilatory settings and rescue therapies for
refractory hypoxemia. Intensive Care Med 2016; 42:699–711.
ECMO
(Vincent, 2018)
1. Hemmila MR, Rowe SA, Boules TN, Miskulin J, McGillicuddy JW,
Schuerer DJ, et al. Extracorporeal life support for severe acute
respiratory distress syndrome in adults. Ann Surg 2004;240:595-
605; discussion 605-7.
2. Peek GJ, Moore HM, Moore N, Sosnowski AW, Firmin RK.
Extracorporeal membrane oxygenation for adult respiratory failure.
Chest 1997;112:759-64.
3. Lewandowski K, Rossaint R, Pappert D, Gerlach H, Slama KJ,
Weidemann H, et al. High survival rate in 122 ARDS patients
managed according to a clinical algorithm including extracorporeal
membrane oxygenation. Intensive Care Med 1997;23:819-35.
• Ventilasi osilasi frekuensi tinggi (HFOV) tampaknya menjanjikan
dalam beberapa RCT kecil pada pasien dengan ARDS, [1-5] dengan
peningkatan oksigenasi pada pasien hipoksemia berat.
• Namun, dua RCT pada ARDS berat gagal menunjukkan manfaat,
[6,7] dan dalam salah satu uji coba, mortalitas lebih tinggi pada
kelompok HFOV.[6]
• Untuk alasan ini, HFOV seharusnya hanya digunakan sebagai
rescue therapy dan hanya oleh operator berpengalaman.
(Vincent, 2018)
1. Derdak S, Mehta S, Stewart T, Smith T, Rogers M, Buchman T, et al. The multicenter oscillatory ventilation
for acute respiratory distress syndrome trial (MOAT) study investigators: high-frequency oscillatory
ventilation for acute respiratory distress syndrome in adults: a randomized controlled trial. Am J Respir Crit
Care Med 2002;166:801-8.
2. Mehta S, Lapinsky SE, Hallett DC, Merker D, Groll RJ, Cooper AB, et al. Prospective trial of highfrequency
oscillation in adults with acute respiratory distress syndrome. Crit Care Med 2001;29: 1360-9.
3. Ferguson ND, Chiche JD, Kacmarek RM, Hallett DC, Mehta S, Findlay GP, et al. Combining highfrequency
oscillatory ventilation and recruitment maneuvers in adults with early acute respiratory distress syndrome:
the Treatment with Oscillation and an Open Lung Strategy (TOOLS) Trial pilot study. Crit Care Med
2005;33:479-86.
4. David M, Weiler N, Heinrichs W, Neumann M, Joost T, Markstaller K, et al. High-frequency oscillatory
ventilation in adult acute respiratory distress syndrome. Intensive Care Med 2003;29: 1656-65.
5. Bollen CW, van Well GT, Sherry T, Beale RJ, Shah S, Findlay G, et al. High frequency oscillatory
ventilation compared with conventional mechanical ventilation in adult respiratory distress syndrome: a
randomized controlled trial [ISRCTN24242669]. Crit Care 2005;9:R430-9.
6. Ferguson ND, Cook DJ, Guyatt GH, Mehta S, Hand L, Austin P, et al. High-frequency oscillation in early
acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med 2013;368:795-805.
7. Young D, Lamb SE, Shah S, MacKenzie I, Tunnicliffe W, Lall R, et al. High-frequency oscillation for acute
respiratory distress syndrome. N Engl J Med 2013;368:806-13.
PULMONARY VASODILATOR