Anda di halaman 1dari 12

Tugas PR

Nama: Lalu W.J. Hardi


Tingkatan : Patol B

PENYEMBUHAN LUKA

Healing Cascade
Healing cascade dimulai segera setelah terjadinya perlukaan, dimana terjadi kontak
antara Trombosit dengan kolagen dari jaringan yang terpapar terhadap darah, yang mana akan
menyebabkan pelepasan faktor pembekuan dan deposisi fibrin kedalam lokasi luka, bentukan
ini bukan hanya berfungsi untuk menghentikan perdarahan, namun juga akan menjadi matrik
dan mendasari tahap selanjutnya dari pemyembuhan luka. Platelet melepaskan faktor
pembekuan dan berbagai mediator kimia yang dikenal sebagai Sitokin dan growth factor, dua
yang terutama adalah PDGF dan TGF-β (Rajan dan Murray, 2008).
PDGF akan memicu proses kemotaksis dari Netrofil, Makrofag, otot polos dan
Fibroblas, dan juga memulai proses mitosis dari sel Fibroblas dan otot polos. TGF-β berperan
dalam menarik Makrofag dan menstimulasi pelepasan Sitokin-sitokin lain seperti FGF, TNF-
α, dan IL-1. TGF-β juga diketahui memperkuat kemotaksis dari Fibroblas dan otot polos, dan
memodulasi pembentukan kolagen dan kolagenase. Proses ini secara keseluruhan akan
menyebabkan deposisi jaringan ikat baru kedalam lokasi luka yang dikenal sebagai fase
proliferasi, dan setelah semua proses epithelialisasi, granulasi, dan neovaskularisasi selesai,
akan diikuti oleh suatu proses remodelling untuk mengembalikan struktur yang baru terbentuk
mendekat kondisi awalnya (Eming et. al. 2007).

Gambar. Tahapan Penyembuhan luka (Rajan dan Murray, 2008).


a. Fase Inflamasi b. Fase Proliferasi c. Fase Remodelling
Tahapan Penyembuhan Luka :
1. Fase inflamasi
Netrofil merupakan sel radang pertama yang dijumpai pada daerah luka, biasanya
mulai muncul dalam 24 jam pertama setelah kerusakan, fungsi utamanya untuk mengeliminasi
benda asing, bakteri, sel dan matrik jaringan yang rusak. Sel Mast merupakan sel yang kaya
dengan granula berisi berbagai macam enzim, Histamin dan berbagai jenis mediator kimia
lain yang bertanggung jawab terhadap terjadinya inflamasi pada daerah sekitar luka. Bahan
aktif yang dilepaskannya akan memicu serangkaian proses yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah sehingga sel monosit bisa dengan mudah bermigrasi kedalam
jaringan yang luka (Eming et. al. 2007).
Sel Monosit dalam darah akan menjadi teraktivasi dan menjadi Makrofag setelah 48
jam, yang berperan besar dalam tahap inflamasi penyembuhan luka dan gangguan terhadap
fungsi Makrofag akan mengganggu penyembuhan luka. Setelah teraktivasi, sel Makrofag
sendiri juga akan menghasilkan PDGF dan TGF-β. Sifat fagositik dari Makrofag bertujuan
untuk mengeliminasi sel dan matrik yang rusak, Netrofil yang penuh dengan patogen, benda
asing dan sisa bakteri yang masih tersisa. Adanya Wound Macrophage menandakan akhir
proses inflamasi dan segera dimulainya proses proliferasi. Limfosit juga dijumpai pada lokasi
terjadinya luka, namun sel ini dinyatakan tidak terlalu memiliki peran yang menonjol dalam
proses penyembuhan luka dan peran pastinya masih perlu ditelaah lebih lanjut (Rajan dan
Murray, 2008).

Gambar 2 : Fase Inflamasi, sel-sel dan mediator yang berperan didalamnya


(Epstein et. al, 1999)
2. Fase proliferasi
Fase proliferasi terdiri atas proses reepitelialisasi, neovaskularisasi, dan pembentukan
jaringan granulasi, dalam fase ini peran TGF-β yang dilepaskan oleh Trombosit, Makrofag
memegang peranan penting sebagai pengatur fungsi Fibroblas. TGF-β memiliki beberapa peran
penting dalam pembentukan matrik ekstraselular, yaitu meningkatkan pergerakan sel epidermis,
pembentukan kolagen, proteoglikan, dan fibronektin, serta mengurangi produksi dari enzim
protease yang merusak matrik. Sitokin-sitokin lain yang berperan dalam proses penyembuhan luka
dirangkum pada tabel 1 (Diegelmann, 2004 ; Epstein et. al, 1999).
Tabel Berbagai jenis Sitokin yang berperan pada penyembuhan luka (Epstein et. al, 1999)

Sitokin Sumber utama Sel target dan efek utama

Golongan Epidermal Growth Factor Regenerasi epidermis dan mesenkim


Epidermal Growth Factor Platelet Motilitas sel pleiotropik dan proliferasi
Transforming Growth Factor-α Makrofag dan sel epidermis Motilitas sel pleiotropik dan proliferasi
Heparin binding epidermal growth Makrofag Motilitas sel pleiotropik dan proliferasi
Factor

Golongan Fibroblast Growth Factor Vaskularisasi luka


Basic Fibroblast Growth Factor Makrofag dan sel endotel Angiogenesis dan proliferasi fibroblas
Acidic Fibroblast Growth Factor Makrofag dan sel endotel Angiogenesis dan proliferasi fibroblas
Keratinocyte Growth Factor Fibroblas Motilitas dan proliferasi sel epidermis

Golongan TGF-β
TGF-β1 dan 2 Platelet dan Makrofag Fibrosis dan Penguatan daya regang
Motilittas sel epidermis, kemotaksis makrofag,
fibroblast, pembentukan dan remodelling matrik
ekstraseluler

TGF-β3 Makrofag Efek anti jaringan parut

Lain-lain
PDGF Platelet, Makrofag dan Proliferasi dan Kemoatraktan fibroblas,
epidermis kemoatraktan dan aktifasi makrofag
VEGF Makrofag dan epidermis Angiogenesis dan peningkatan permeabilitas
vaskular
TNFα Netrofil Ekspresi Pleiotropik dari Growth Factor
IL-1 Netrofil Ekspresi Pleiotropik dari Growth Factor
IGF-I Fibroblas dan sel epidermis Reepitelialisasi dan pembentukan Jaringan
granulasi
CSF-I Berbagai macam sel Aktifasi makrofag dan pembentukan jaringan
granulasi
Fibroblas akan berikatan dengan serabut dari matrik fibrin dan mulai memproduksi
kolagen, sampai saat ini telah diketahui ada 23 jenis kolagen, yang dominan ditemukan pada kulit
adalah kolagen tipe 1. Pembentukan kolagen dimulai dari pembentukan prokolagen dengan
karakter khas triple helix, setelah di sekresikan ke dalam ruang ekstraselular, kemudian akan
mengalami hidroksilasi dan kemudian mengalami pembelahan pada gugus terminal peptida
prokolagen N dan C oleh enzim Lysyl Oxydase yang memungkinkan terjadinya crosslink yang
lebih stabil. Kolagen normal pada kulit tersusun teratur dan memiliki kekuatan regangan yang
setara dengan baja, namun pada jaringan parut, ukurannya lebih kecil dan tidak beraturan, sehingga
lebih lemah dan mudah sekali rusak dibandingkan jaringan sekitarnya (Diegelman, 2014; Rajan
dan Murray, 2008).
Reepitelialisasi terjadi dalam beberapa jam setelah terjadi luka, dan Sitokin yang berperan
adalah EGF dan TGFα yang dihasilkan oleh Platelet, Makrofag, dan keratinosit. Karena proses ini
memiliki aktivitas metabolik yang tinggi, maka akan timbul peningkatan kebutuhan oksigen dan
nutrisi. Penurunan pH, oxygen tension, dan peningkatan laktat dilokasi sekitar luka akan memicu
serangkaian proses yang mendorong terbentuknya pembuluh darah baru atau yang lazim dikenal
sebagai angiogenesis atau neovaskularisasi, yang terutama dipengaruhi oleh VEGF, bFGF dan
TGF-β. Proses ini vital dalam kelangsungan proses selanjutnya yaitu pembentuk jaringan granulasi
pada hari ke 4-7 (Diegelman, 2004; Rajan dan Murray, 2008).
Proses angiogenesis bisa dijelaskan secara singkat sebagai berikut: trauma akan
menimbulkan kerusakan jaringan, dan bFGF akan segera dilepaskan oleh Makrofag dan VEGF
oleh sel epidermis yang mengalami hipoksia. Enzim proteolitik yang dilepaskan akan merusak
protein matrik ekstraselular, dan fragmen protein yang dihasilkan akan berfungsi untuk merekrut
sel monosit menuju lokasi kerusakan jaringan, yang nantinya Monosit akan teraktivasi dan berubah
menjadi Makrofag. Beberapa Sitokin yang dihasilkan Makrofag, seperti bFGF akan menstimulasi
endotel untuk melepas tPA yang akan mengubah Plasminogen menjadi Plasmin dan Prokolagenase
yang mengaktifkan Polagenase, kedua enzim proteolitik ini akan merusak membran basalis,
sehingga memungkinkan sel Endotel yang terstimulasi untuk bergerak dan membentuk pembuluh
darah baru dilokasi cedera. Proses angiogenesis akan terhenti setelah terbentuk granulasi dan
pembuluh darah baru yang banyak tersebut akan mengalami disintegrasi akibat apoptosis, dengan
berakhirnya tahap ini, proses penyembuhan dilanjutkan oleh fase remodelling (Epstein et. al, 1999;
Wulff, 2012).
3. Fase Remodelling
Sebagian molekul kolagen terdegradasi oleh enzim kolagenase yang didapatkan pada
Fibroblas, Makrofag, dan Netrofil pada fase remodelling, disamping itu juga terjadi kontraksi luka
(wound contraction) yang merupakan suatu proses kompleks dimana melibatkan berbagai jenis
sel, matrik, dan Sitokin. Pada periode ini, Fibroblas memiliki suatu gambaran fenotipe yang
disebut myofibroblas, yang mampu melakukan kontraksi, adanya fenomena ini menunjukan
adanya pemadatan dari jaringan ikat dan kontraksi dari luka. Proses ini diduga dipicu oleh TGF
β1 atau β2 dan PDFG (Rajan dan Murray, 2008).
Remodelling dari kolagen dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan katabolisme
kolagen. Degradasi kolagen pada luka juga dipengaruhi oleh beberapa enzim proteolitik yang
disebut MMP yang dihasilkan oleh sel Makrofag, epidermis, endothel dan Fibroblas.
Keseimbangan antara MMP dan inhibitor dari MMP akan menentukan perkembangan
penyembuhan luka. Proses remodelling memungkinan kekuatan jaringan baru yang terbentuk bisa
mendekati aslinya, pada 3 minggu pertama setelah cedera, kekuatan ini hanya berkisar 20% dari
semula, dalam proses remodelling akan terjadi penggantian serabut kolagen dengan serabut yang
lebih besar disertai oleh penguatan crosslinking dari masing masing serabut yang membentuk
jaringan yang lebih kuat. Kekuatan maksimal yang bisa dicapai oleh jaringan parut baru hanyalah
70% dari kulit yang normal (Demidova-Rice, et al. 2012; Epstein et. al, 1999).

Sel-sel inflamasi yang berperan dalam penyembuhan luka:


1. Netrofil
Segera setelah terjadi cedera, maka akan segera dibentuk bekuan darah untuk menyumbat
pembuluh darah yang terbuka. Sel Trombosit dan Netrofil yang terperangkap didalam bekuan
darah akan mengeluarkan berbagai macam faktor yang memperkuat proses agregasi Trombosit,
koagulasi dan menarik sel-sel yang berperan dalam proses inflamasi. Dalam beberapa jam, akan
terjadi pergerakan sel Netrofil menembus Endotel, yang mana dipicu oleh Sitokin pro inflamasi
seperti IL-1β, TNF-α, dan IFN-γ yang akan memicu dihasilkannya molekul adhesi yang berperan
dalam proses adhesi dan diapedesis leukosit, seperti Endothelial P and E-selectins, ICAM 1 dan
2. Mediator lain yang ikut berperan adalah IL-8, MCP-1 dan growth related oncogene-α. Produk
dari bakteri seperti LPS, juga dapat memperkuat proses pergerakan Leukosit (Eming et. al. 2007;
Sabol ,2012).
Netrofil yang terekrut akan segera memulai proses debridement dari jaringan yang mati
dan memfagositir sel-sel patogen, proses ini membutuhkan berbagai macam senyawa antimikroba
seperi ROS, peptida kation, dan enzim Protease. Jenis mediator yang dihasilkan atau berperan pada
proses rekrutmen Netrofil telah banyak diketahui, namun sampai saat ini belum diketahui pasti
apakah Netrofil bersifat merugikan atau menguntungkan pada penyembuhan luka, beberapa
penelitian oleh Simpson dan Ross di tahun 1972 dan Dovi et al. di tahun 2003 menunjukkan bahwa
parameter penyembuhan tidak terpengaruh oleh netropenia, dan bahkan didapatkan reepitelialisasi
lebih cepat pada kondisi tersebut. Sehingga memunculkan dugaan bahwa mungkin ada sel lain
yang lebih berperan dalam proses penyembuhan luka, seperti halnya sel Makrofag (Eming et al.
2007; Sabol ,2012).
2. Monosit / Makrofag
Pada keadaan normal beberapa hari setelah perlukaan, tanpa stimulus yang berlanjut tidak
akan terjadi lagi rekrutmen Netrofil kedaerah cedera. Proses ini akan diikuti oleh masuknya
Makrofag, yang akan memfagosit sel Netrofil yang telah penuh terisi debris dan patogen.
Umumnya Makrofag yang didapatkan didaerah luka mulai ditemukan pada hari ke -2 setelah
terjadinya cedera dan berasal dari monosit darah, disamping sel Makrofag resident didalam kulit
sendiri. Bila pada sel PMN proses ekstravasasi diatur oleh komplek CD11/18 dan ICAMs, maka
pergerakan monosit dari pembuluh darah menuju luka dipengaruhi oleh interaksi dari very late
antigen-4 (α4β1 integrin) dan endothelial vascular cell adhesion molecule-1. Sedangkan infiltrasi
Makrofag pada luka dipengaruhi oleh berbagai macam faktor kemotaktik, seperti faktor
pertumbuhan, Sitokin pro inflamasi dan chemokines macrophage inflammatory protein 1α, MCP-
1. Trombosit merpakan sumber utama zat-zat tersebut yang terperangkap didalam bekuan darah,
keratinosit ditepi luka yang berada dalam tahap hiperproliferasi, Fibroblas dan Leukosit lain
(Eming et al., 2007; Wulff, 2012).
Monosit akan mengalami aktivasi dan berdiferensiasi menjadi Makrofag jaringan yang
mature setelah meninggalkan pembuluh darah, diikuti oleh perubahan ekspresi gen, yang
dipengaruhi oleh berbagai mediator yang ditemukan pada lingkungan mikro disekitar luka yang
menyebabkan sel Makrofag mengalami perubahan sifat sesuai dengan kebutuhan di lokasi luka.
Makrofag berperan sebagai sel penyaji antigen dan Fagosit selama proses penyembuhan luka, juga
diduga memiliki peran dalam proses penyembuhan melalui sintesis berbagai macam faktor
pertumbuhan yang penting seperti TGF-α, TGF-β, bFGF, PDGF dan VEGF yang akan
meningkatkan proliferasi sel dan sintesis matrik ekstraseluler oleh sel kulit (Rajan dan Murray,
2008).
3. Sel Mast
Sel Mast umumnya dikenal sebagai sel-sel "alergi" yang menyebabkan gejala dini dari
segala jenis alergi dan biasanya didapatkan pada lokasi di mana jaringan inang berkontak dengan
antigen eksternal, alergen, racun dan mikroba, misalnya lapisan atas dermis, saluran pernapasan
dan mukosa usus. Peran fisiologis sel Mast masih belum sepenuhnya bisa dijelaskan, bukti yang
diperoleh dari model tikus menunjukkan bahwa sel-sel Mast pada dasarnya terlibat dalam
melindungi kulit dari infeksi bakteri dan parasit yang berat, selain itu, sel-sel Mast mengatur
penyembuhan luka kulit setelah trauma (Harvima dan Nilsson, 2011).
Sitokin yang dihasilkan sel Mast akan meningkatkan produksi Sitokin proinflamasi oleh
sel resident . Pelepasan vasoactive amine merangsang permeabilitas pembuluh darah, memacu
masuknya Netrofil, Makrofag, dan sel Mast tambahan dalam jumlah besar ke dalam jaringan,
konsekuensinya aktivasi dan degranulasi sel Mast resident meningkat dan memperpanjang respon
inflamasi. Sel Mast sangat menonjol di jaringan parut, dan sel Mast yang teraktivasi akan berdiam
di jaringan parut hingga setahun setelah terjadi perlukaan. Aktivasi sel Mast dapat mempengaruhi
remodelling akibat inflamasi berlebih dan produksi Sitokin memacu formasi jaringan parut.
Penyembuhan tanpa disertai jaringan parut mukosa mulut pada babi Duroc merah, sebagai model
utama jaringan parut hipertropi, memiliki jumlah sel Mast yang lebih rendah dibandingkan luka
pada kulit (Chen Lin et al., 2014)
Sel Mast dalam jaringan manusia dapat diklasifikasikan ke dalam MCTC, MCT, dan MCc
berdasarkan kandungan proteinasenya. Sel MCTC mengandung Triptase, Chymase,
karboksipeptidase dan katepsin G-seperti proteinase, sel MCT hanya berisi Triptase dan sel MCc
menunjukkan Chymase dan karboksipeptidase, tapi tidak mengandung Triptase. Semua jenis sel
Mast mengandung Histamin. Sebagian besar sel Mast pada kulit manusia bertipe MCTC, sedangkan
sel-sel MCT mendominasi di paru-paru dan mukosa usus. Hal ini menunjukkan bahwa semua jenis
enzim tipe "C", seperti Chymase, Karboksipeptidase dan cathepsin G-like proteinase, memiliki
fungsi sepsifik di kulit setelah dilepaskan dari sel Mast melalui proses degradasi protein dan
peptida yang bervariasi (Eming, et al. 2007; Wulff dan Wilgus, 2013).
Dalam model tradisional, secara sederhana sel Mast diaktifkan untuk mengalami
degranulasi dan melepaskan mediator melalui proses cross linking antara alergen dengan IgE dan
reseptor FcεRI-nya pada membran sel. Namun, kini diketahui bahwa Sel Mast kulit juga dapat
mengekspresikan reseptor FcγRI- dan FcγRIIa dan dengan demikian dapat diaktifkan oleh
mekanisme yang dependen terhadap IgG. Peptida Endogen dan protein tertentu dapat
mengaktifkan sel-sel Mast untuk melepas mediator, antara lain C3a dan C5a, neuropeptida
termasuk substansi P dan peptida vasoaktif intestinal, faktor sel induk, TNF, Triptase, cathelicidin
LL-37, α-melanosit stimulating hormone dan corticotrophin-releasing hormone (Harvima dan
Nilsson, 2011; Rajan dan Murray, 2008).
Telah diketahui bahwa sel-sel Mast tidak hanya bisa diaktifkan untuk rilis mediator dengan
mekanisme sederhana yaitu dalam keadaan istirahat atau degranulasi anafilaksis yang cepat dan
luas, namun juga melalui proses degranulasi lambat dan parsial sedikit demi sedikit, selain itu
mekanisme sekresi lainnya juga telah dijelaskan, seperti sekresi exosome, dan sekresi mediator
selektif yang independen terhadap. Sebagai contoh, peningkatan konsentrasi Histamin interstitial
dalam plak psoriasis menunjukkan aktivitas sel Mast dan degranulasi yang tinggi dan dalam lesi
peradangan kronis tanpa disertai proses anafilaksis dan gambaran urtikaria (Eming et. al. 2007;
Harvima dan Nilsson, 2011).
Meskipun sel Mast penting dalam timbulnya alergi tipe langsung dan terlibat dalam reaksi
fisiologis kulit terhadap trauma dan infeksi, mereka juga dapat mempengaruhi sistem kekebalan
tubuh, meningkatkan peradangan atau bahkan menekannya. Mediator pre-formed disimpan dalam
granul sekretori termasuk berbagai jenis protease, Histamin, proteoglikan heparin, kondroitin
sulfat E, acidic hydrolase, berbagai Sitokin dan faktor pertumbuhan (Wulff dan Wilgus, 2013).
Sel Mast resident umumnya mengalami degranulasi setelah terjadinya luka, sehingga
jarang ditemukan pada awal cedera, jumlahnya mulai kembali normal dan meningkat setelah 48
jam setelah cedera. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sel Mast berperan dalam proses
migrasi Netrofil, namun tidak berpengaruh pada sel Makrofag dan limfosit-T. Penelitian lain
menunjukkan bahwa defisiensi sel Mast tidak berpengaruh pada epitelialisasi, sintesa kolagen dan
angiogenesis, walaupun masih ada kontroversi terkait temuan ini (Eming et. al. 2007; Sabol ,2012).
Selain Histamin, protein utama dalam butiran sel Mast, adalah β-tryptase, yang merupakan
suatu serin proteinase yang menyerupai tripsin, yang memiliki struktur cincin tetramerik.
Berdasarkan struktur ini, β-tryptase tahan terhadap sebagian besar inhibitor protease endogen, dan
untuk menstabilkan enzim ini diperlukan heparin. Dalam kulit yang meradang, Triptase secara
histokimia berperan sebagai katalis aktif. Peran β-tryptase dalam patofisiologi penyembuhan luka
masih belum sepenuhnya jelas. Namun, ada beberapa temuan eksperimental yang menunjukkan
perannya dalam aktivasi dan perekrutan jenis sel yang berbeda, termasuk sel-sel endotel, sel-sel
mononuklear, sel T dan Netrofil di darah perifer. Pada hewan coba, suntikan Triptase menginduksi
akumulasi Netrofil, Eosinofil dan sel-sel lain dari sistem kekebalan tubuh pada kulit marmut.
Triptase mungkin meningkatkan peradangan neurogenik dengan mengaktifkan PAR-2 pada saraf
yang menyebabkan pelepasan substansi P, neuropeptida dan peptida yang terkait gen-kalsitonin
(Harvima dan Nilsson, 2011).
Triptase dapat mengaktifkan keratinosit secara langsung melalui aktivasi PAR-2 pada
permukaan mereka. Triptase juga mampu mengaktifkan enzim metaloprotenase dan pro-
urokinase, atau dapat berfungsi sebagai gelatinase. Dengan demikian, Triptase dapat membuat
ruang untuk sel T dan Netrofil dalam matrik ekstraseluler dan membrane basalis yang
memungkinkan migrasi ke dalam epidermis, namun Triptase mungkin juga memiliki fungsi
penghambatan, karena dapat menurunkan kemokin, neuropeptida dan cathelicidin LL-37 (Eming
et. al. 2007; Wulff dan Wilgus, 2013).

Tabel 2 Fungsi stimulasi dan inhibisi dari enzim Triptase (Harvima dan Nilsson, 2011)

Stimulasi Inhibisi

Angiogenesis, MCP-1 dan IL-8 pada sel


endotel Pembelahan eotaxin dan RANTES

Aktivasi sel MN dan PMN di darah tepi


untuk produksi Sitokin Pembelahan dari neuropeptida VIP
dan CGRP

Aktivasi saraf dan keratinosit melalui


reseptor PAR-2 Pembelahan cathelicidin LL-37

Aktivasi MMP-3 & 9, dan pro urokinase


α-chymase adalah suatu chymotryptic serin proteinase yang disimpan dalam jumlah tinggi
dalam butiran sekret sel Mast. Seperti Triptase, Chymase juga berikatan kuat dengan heparin, tapi
kompleks proteoglikan chymase-heparin berukuran lebih besar dan terletak di sub regional yang
berbeda dari granul dari kompleks proteoglikan Triptase-heparin. Sehingga, Triptase dapat
menyebar melalui matrik ekstraselular, sedangkan Chymase cenderung tetap di lokasi aktivasi.
Berbeda dengan Triptase, Chymase bisa teraktivasi walaupun tidak ada heparin. Aktivitas
Chymase diatur oleh inhibitor protease plasma α1-PI dan α1-AC, yang juga mengalami
peningkatan kadar di dalam sel Mast pada kulit yang meradang (Nauta et al., 2013).
Chymase diduga berperan dalam perekrutan sel inflamasi, dari beberapa eksperimen
ditunjukkan injeksi Chymase manusia ke dalam kulit marmut akan merangsang akumulasi Netrofil
dan Eosinofil, dan merangsang Monosit, Netrofil, Limfosit dan sel-sel Eosinofilik in vitro.
Chymase dapat mempromosikan peradangan secara tidak langsung dengan mengaktifkan pro-IL-
1β menjadi IL-1β, dan pro-IL-18 menjadi IL-18, dan menghasilkan 31-amino acid endothelin-1,
suatu kemoatraktan kuat untuk Netrofil dan Monosit. Namun, Chymase juga dapat mengatur
inflamasi dengan mendegradasi IL-6 dan IL-13, dan sampai batas tertentu IL-5 dan TNF-α.
Chymase dapat mempengaruhi epidermis dan menginduksi pembentukan bullae dalam beberapa
kondisi, karena melepaskan Keratinosit dari lapisan substratum dan mendegradasi Fibronektin
(Wulff dan Wilgus, 2013).
4. Sel - Limfosit T
Pada fase remodelling, saat penutupan luka telah terjadi, dan infeksi telah teratasi, sel T
merupakan salah satu jenis leukosit yang paling banyak ditemukan pada kulit. Kemokin yang
berperan terhadap kemotaksis dan fungsi dari sel ini antara lain MCP-1 yang ditemukan pada hari
ke 4 setelah cedera, dipicu oleh IFN-γ-inducible protein-10 dan monokin yang diinduksi-IFN-γ.
Mediator-mediator ini terutama diproduksi oleh Makrofag. Keberadaan Sitokin ini menunjukkan
pergeseran jenis Sitokin dari pro-inflamasi ke anti inflamasi. Pada tikus coba dengan defisiensi
IFN-γ, jumlah Netrofil, Makrofag dan sel-T berkurang secara signifikan pada lokasi luka, hal ini
mungkin berkaitan dengan berkurangnya aktivitas endothel, hal ini mendukung dugaan bahwa sel
–T berperan pada proses remodelling. Ada dua subset dari Sel-T didaerah luka, yaitu Th1 dan
Th2,Sel Th1 menghasilkan IFN-γ, IL-2 dan TNFα, Th2 menghasilkan sel IL-4,-5, dan -Sel T juga
berinteraksi dengan keratinosit, Fibroblas, Platelet dan Makrofag yang mengekspresikan CD-40,
yang akan mengubah ekspresi dari mediator pro inflamasi yang dihasilkan oleh sel-sel tersebut
dan efeknya terhadap penyembuhan luka. Temuan terakhir adalah jenis baru dari limfosit T yang
disebut Limfosit T-γδ yang merupakan suatu DETC, terletak spesifik di lapisan epidermis saja, sel
ini berfungsi untuk mendeteksi antigen yang dihasilkan oleh keratinosit yang mengalami
kerusakan pada epidermis. Sel DETC menghasilkan berbagai macam faktor pertumbuhan seperti
FGF-7 dan 10, dan juga IGF-1, sehingga mempengaruhi proliferasi dan diferensiasi dari
keratinosit. Disamping itu sel ini juga mempengaruhi deposit Hyaluronan pada matrik
ekstraseluler yang diperantarai oleh keratinosit, dan infiltrasi macrofag kedalam luka. (Eming et.
al. 2007; Harvima dan Nilsson, 2011; Sabol ,2004).

Pengaruh inflamasi terhadap penyembuhan luka


1. Mekanisme resolusi peradangan pada luka
Inflamasi merupakan bagian dari proses penyembuhan luka, namun untuk agar bisa
berlangsung sempurna, perlu adanya resolusi peradangan pada saat yang tepat, sampai saat ini
masih banyak hal yang perlu dipelajari mengenai hal ini. Mekanisme resolusi inflamasi, bisa
terjadi karena downregulation dari berbagai kemokin pro inflamasi oleh Sitokin anti inflamasi
seperti IL-10, atau TGF-β1, atau upregulation dari molekul anti inflamasi seperti antagonis
reseptor IL-1 atau reseptor TNF. MMP juga dapat mengurangi inflamasi melalui pembelahan
kemokin, yang mana akan bersifat sebagai antagonis. Beberapa mediator apoptosis seperti CD44
dan kaspase, faktor transkripsi seperti Nrf-2, yang merupakan target dari keratinocyte growth
factor-1 juga berperan terhadap proses resolusi inflamasi (Eming et. al. 2007).
2. Inflamasi dan kualitas penyembuhan luka
Fibrosis adalah suatu proses fisiologis dan tidak dapat dihindari pada suatu proses
penyembuhan luka pada mammalia, dan bukti-bukti yang ada menyokong dugaan bahwa inflamasi
berperan dalam menentukan derajat pembentukan jaringan parut. Evolusi pada mammalia
menyebabkan pada kondisi luka akan terjadi proses keradangan yang terjadi secara cepat, hal ini
dimaksudkan agar tetap bisa terjadi penyembuhan luka tanpa infeksi, walaupun pada kondisi luka
yang kotor. Sehingga bisa dikatakan bahwa jaringan parut adalah suatu harga yang harus dibayar,
untuk mendapatkan penyembuhan luka yang cepat tersebut (Harvima dan Nilsson,2011; Wulff dan
Wilgus, 2013).
Ada perbedaan dalam pembentukan jaringan parut, pada individu dewasa cenderung
mudah terbentuk jaringan parut, sedangkan pada embrio umumnya penyembuhan luka bisa terjadi
tanpa pembentukan jaringan parut, dan meskipun ada banyak faktor yang diduga menyebabkan
perbedaan tersebut, namun bukti terakhir menunjukkan bahwa banyak yang tidak berhubungan
dengan hal tersebut, seperti adanya kondisi lingkungan yang steril dalam uterus, adanya cairan
amnion, dan hal-hal lain. Satu hal utama yang membedakan proses pembentukan jaringan parut
diantara keduanya adalah derajat inflamasi yang ditemukan didalam luka, dimana pada fetus yang
sistem imunitasnya belum berkembang, sel-sel radang yang ditemukan dalam luka, jauh lebih
rendah baik dalam jumlah, maupun tingkat aktivitasnya. Bahkan Makrofag, umumnya baru
mengalami rekrutmen, setelah terjadinya penutupan luka, hal ini berbeda dengan proses normal
yang ditemukan pada individu dewasa(Diegelman, 2004; Eming et. al. 2007).
Kondisi yang mirip ditemukan pada beberapa bagian tubuh individu dewasa, seperti
mukosa mulut, yang pada umumnya tidak bisa memicu reaksi inflamasi seperti pada kulit,
sehingga memiliki kadar Netrofil dan Makrofag yang lebih rendah, sehingga bisa sembuh dengan
derajat scarring yang lebih minimal. (Rajan dan Murray, 2008).

Gambar 3. Mediator dan mekanisme pada tahap inflamasi dan


resolusi inflamasi penyembuhan luka (Eming et. al. 2007)

Anda mungkin juga menyukai