Anda di halaman 1dari 8

BAB 1 : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di

Indonesia. Salah satu penyakit menular yang jumlah kasusnya dilaporkan

cenderung meningkat dan semakin luas penyebarannya adalah penyakit Demam

Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan

penduduk. Penyakit DBD di Indonesia merupakan salah satu penyakit endemis

dengan angka kesakitan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan

daerah terjangkitpun semakin meluas bahkan sering menimbulkan Kejadian Luar

Biasa (KLB) (Kemenkes RI, 2014).

Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus

dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, yang

menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan

darah, sehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan. Kasus DBD ditandai oleh 4

manifestasi klinis, yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit,

hepatomegali dan kegagalan peredaran darah (circulatory failure) (Soedarmo,

2005).

Penyakit DBD banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari

seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah

penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga

tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia

sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Kemenkes RI,

2010).
Menurut WHO, DBD telah berkembang secara dramatis di seluruh dunia

dalam beberapa dekade terakhir. Incidence Rate (IR) DBD menunjukan bahwa

390 juta jiwa masyarakat dunia terinfeksi dengue setiap tahunnya. Sementara pada

salah satu penelitian lain memperkirakan prevalensi DBD sebanyak 3,9 miliyar

jiwa di 128 negara. Pada tahun 2010 hampir 2,4 juta kasus dilaporkan, meskipun

secara global tidak semua kasus ini dilaporkan secara pasti namun terjadi

peningkatan tajam jumlah kasus dalam beberapa tahun terakhir (WHO, 2010).

Pada tahun 2015 jumlah penderita DBD di Indonesia dilaporkan sebanyak

126.646 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1.231 orang dengan IR 49,53

per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) 0,97%. Dibandingkan tahun

2014 dengan kasus sebanyak 100.347dengan jumlah kematian sebanyak 907

orang (IR 39,8 dan CFR 0,9%) terjadi peningkatan kasus pada tahun 2015. Target

Renstra Kementerian Kesehatan untuk angka kesakitan DBD tahun 2015 sebesar

< 49 per 100.000 penduduk, dengan demikianIndonesia belum mencapai target

Rencana Strategis (Renstra) kesehatan 2015 (Profil Kesehatan Indonesia, 2015).

Indikator lain yang digunakan untuk upaya penanggulangan penyakit DBD

yaitu Angka Bebas Jentik (ABJ). Sampai tahun 2014 ABJ secara nasional belum

mencapai target program yang sebesar ≥ 95%. Pada tahun 2014 ABJ di Indonesia

sebesar 24,06%, menurun secara signifikan dibandingkan dengan rerata capaian

selama 4 tahun sebelumnya. Namun validitas data ABJ diatas belum dapat

dijadikan ukuran pasti untuk menggambarkan kepadatan jentik secara nasional.

Hal tersebut dikarenakan pelaporan data ABJ belum mencakup seluruh wilayah

kabupaten/kota di Indonesia. Sebagian besar Puskesmas tidak melaksanakan

kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) secara rutin, disamping itu kegiatan
kader Juru Pemantau Jentik (Jumantik) tidak berjalan di sebagian besar wilayah

dikarenakan keterbatasan alokasi dana (Profil kesehatan Indonesia, 2014).

Selama tahun 2014 terdapat 7 kabupaten/kota di 5 provinsi yang

melaporkan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD yaitu Kota Dumai

(Provinsi Riau), Kabupaten Belitung dan Kabupaten BangkaBarat (Provinsi

Bangka Belitung), Kabupaten Karimun (Provinsi Kepulauan Riau), Kabupaten

Sintang dan Kabupaten Ketapang (Provinsi Kalimantan Barat) serta Kabupaten

Morowali (Provinsi Sulawesi Tengah) (Profil Kesehatan Indonesia, 2014).

Berdasarkan data kasus DBD per bulan di Indonesia, angka kesakitan

DBD per 100.000 penduduk menurut provinsi tahun 2013 diketahui jumlah kasus

DBD di Provinsi Riau adalah 22,7 per 100.000 penduduk dengan CFR 0,8%.

Tahun 2014 terjadi peningkatan jumlah kasus DBD menjadi 38,3 per 100.000

penduduk dengan CFR 1,4% dan tahun 2015 di Provinsi Riau terjadi lonjakan

kasus DBD menjadi 52,6 per 100.000 penduduk dengan CFR 0,6% (Profil

Kesehatan Provinsi Riau, 2015).

Angka kesakitan DBD di Kota Dumai tahun 2013 adalah sebesar 58,02 per

100.000 penduduk. Tahun 2014 terjadi peningkatan menjadi 87,17 per 100.000

penduduk. Tahun 2015 terjadi peningkatan lagi menjadi 115,89 per 100.000

penduduk. Diantara 10 Puskesmas yang ada di Kota Dumai, angka kesakitan DBD

tertinggi pada tahun 2015 berada di Puskesmas Purnama Kota Dumai.

Angka kesakitan DBD di Puskesmas Purnama pada tahun 2013 yaitu 21,3

per 100.000 penduduk, meningkat pada tahun 2014 menjadi 156,56 per 10.000

penduduk, dan meningkat lagi menjadi 198,44 per 100.000 penduduk pada tahun

2105. Angka kesakitan DBD tahun 2015 di Puskesmas Purnama jauh diatas target
Renstra Kemenkes 2015 yaitu < 49 per 100.000 penduduk (Profil Puskesmas

Purnama, 2015).

Strategi untuk mengatasi kasus DBD telah diupayakan kementerian

kesehatan dengan menetapkan strategi nasional yang berfokus pada program

pemberantasan penyakit DBD secara dini dan terus menerus. Saat ini program

yang mengatur penanggulangan DBD tertuang dalam Kepmenkes nomor 581

tahun 1992 tentang pengendalian penyakit DBD. Target program penanggulangan

DBD tertuang dalam Rencana Strategi (Renstra) kementerian kesehatan 2015-

2019 dan kepmenkes 1457 tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM)

yang menguatkan pentingnya upaya penanggulangan penyakit DBD di Indonesia

hingga ke tingkat kabupaten/kota bahkan sampai ke desa. Melalui pelaksanaan

program penanggulangan penyakit DBD diharapkan dapat berkontribusi

menurunkan angka kesakitan dan kematian di Indonesia akibat penyakit menular.

Situasi ini perlu diatasi dengan segera agar indikator kinerja/target

penanggulangan DBD yang tertuang dalam Renstra 2015-2019 yaitu IR < 49 per

100.000 penduduk bisa tercapai (Kemenkes RI, 2014).

Penanggulangan sebuah program dapat dilakukan pendekatan yang disebut

pendekatan sistem (Subarsono, 2011). Menurut Loomba sistem adalah suatu

tatanan yang terdiri dari beberapa bagian (sub sistem) yang berkaitan dan

bergabung satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan bersama (Azwar, 2007).

Adapun unsur – unsur dasar sistem tersebut adalah pemasukan (kebijakan, tenaga,

dana, sarana prasarana dan metode), proses (perencanaan, pengorganisasian,

pelaksanaan dan evaluasi) dan pengeluaran (pencatatan dan pelaporan). Sama

halnya dalam penanggulangan DBD ini dibutuhkan pendekatan sistem yang


melibatkan pemasukan (kebijakan yang mendukung penanggulangan penyakit

DBD, tenaga ahli dalam pengendalian DBD, sumber dana baik dari APBN

maupun APBD, ketersediaan alat dalam pelaksanaan penanggulangan DBD dan

metoda dalam kegiatan penanggulangan DBD), proses (perencanaan, pelaksanaan,

peran serta masyarakat, pokjanal, monitoring dan evaluasi dalam penanggulangan

DBD) dan pengeluaran (angka kesakitan DBD).

Beberapa penelitian tentang DBD telah banyak dilakukan, hasil penelitian

Suhardiono tentang analisis pelaksanaan program pemberantasan penyakit DBD

oleh Puskesmas di kabupaten/kota endemis Sumatera Utara tahun 2002

menyatakan bahwa belum semua program terlaksana dengan baik sesuai dengan

standar yang ada dan masih kurangnya partisipasi masyarakat tentang pelaksanaan

pemberantasan penyakit DBD. Penelitian Tairas dkk tentang analisis pelaksanaan

penanggulangan DBD di Kabupaten Minahasa Utara tahun 2014 mendapatkan

hasil pelaksanaan penanggulangan demam berdarah di Minahasa Utara secara

umum sudah baik tapi pada pelaksanaan monitoring dan evaluasi kurang baik,

dimana pelaksanaannya hanya 50%.

Menurut penelitian Sudarno tentang evaluasi penanggulangan vektor DBD

di daerah endemis Puskesmas Singgani Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah

tahun 2006 – 2007 hasilnya menunjukan perencanaan program penanggulangan

vektor DBD di Kota Palu telah dilakukan sesuai dengan indikator perencanaan,

tetapi hanya fokus pada program tingkat sekunder dan tersier, sedangkan

pengorganisasian belum memberikan hasil yang maksimal.

Menurut penelitian Lende tentang analisis terhadap perencanaan program

Puskesmas dalam upaya pencegahan dan penanggulangan DBD di Puskesmas


Ngaliyan Kota Semarang 2015 hasilnya menunujukan bahwa perencanaan untuk

program pencegahan dan penanggulangan DBD belum terlaksana dengan baik.

Penanggung jawab program DBD tidak membuat perencanaan kegiatan untuk

program DBD, Puskesmas kekurangan tenaga kesehatan terutama tenaga

kesehatan untuk epidemiologi, tidak mempunyai metode khusus untuk

penyusunan perencanaan serta kurangnya pengetahuan masyarakat tentang PSN.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi awal dapat diketahui bahwa

tingginya angka kejadian DBD di Puskesmas Purnama antara lain disebabkan oleh

pelaksanaan program penanggulangan DBD belum berjalan optimal seperti yang

diharapkan pemerintah pusat. Dilihat dari segi input (dana, tenaga, metode,

sarana) yang ada di Puskesmas secara umum telah tersedia tetapi belum semuanya

memadai sehingga pada proses pelaksanaan program penanggulangan penyakit

DBD belum bisa dilaksanakan secara optimal.

Program penanggulangan DBD yang telah dilakukan di Puskesmas

Purnama selama tahun 2015 meliputi PSN, Penyuluhan tentang DBD,

Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) hanya dua kali yang seharusnya empat kali,

abatisasi, fogging focus dan fogging massal. Semua kegiatan penanggulangan

tersebut dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Purnama jika terdapat kasus.

Meskipun beberapa program sudah dilaksanakan tapi hasil yang didapatkan sangat

jauh dari pencapaian target yang diharapkan pemerintah. Angka kesakitan DBD

jumlahnya mengalami peningkatan yang sangat signifikan 198,44 per 100.000

penduduk, pencapaian angka ABJ hanya 50,97% masih jauh dari target nasional ≥

95% (Profil Puskesmas Purnama Kota Dumai, 2015).


Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik meneliti tentang analisis

pelaksanaan program penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di

Puskesmas Purnama Kota Dumai tahun 2016.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “Bagaimana pelaksanaan program penanggulangan Demam

Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas Purnama Kota Dumai tahun 2016?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pelaksanaan program penanggulangan Demam Berdarah

Dengue (DBD) di Puskesmas Purnama Kota Dumai tahun 2016.

1.3.2 Tujuan khusus

a. Mengetahui input (kebijakan, tenaga, dana, metode dan sarana) dalam

pelaksanaan penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di

Puskesmas Purnama Kota Dumai tahun 2016.

b. Mengetahui proses (perencanaan, pelaksanaan, partisipasi masyarakat

pokjanal, serta monitoring dan evaluasi) dalam pelaksanaan

penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas Purnama

Kota Dumai tahun 2016.

c. Mengetahui output (keberhasilan pelaksanaan program) dalam

pelaksanaan penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di

Puskesmas Purnama Kota Dumai tahun 2016.


1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Aspek Teoritis/Ilmiah

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dalam

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat. Selain itu,

hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

1.4.2 Aspek Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi dan masukan bagi

Dinas Kesehatan Kota Dumai, khususnya bagi Puskesmas Purnama dalam

penentuan arah kebijakan program penanggulangan penyakit DBD di Kota

Dumai, khususnya di Puskesmas Purnama Kota Dumai.

Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman belajar

dalam mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama perkuliahan dan

menambah wawasan pengetahuan.

Anda mungkin juga menyukai