BAB II Referat Christa
BAB II Referat Christa
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os
palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan
3
4
B. Dinding lateral
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat
prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta
konka, dan di posterior terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina
pterigoides medial. Bagian terpenting pada dinding lateral adalah empat buah
konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian
konka yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan yang paling kecil
adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan mengalami rudimenter.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan
superior.6,7
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus
sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan di depan konka os
spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinussfenoid.6,7
Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat muara
sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya terdapat
celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai infundibulum. Muara atau fisura
berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus
unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior
bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya
5
bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara
sinus frontal.6,7
Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai
3,5 cm di belakang batas posterior nostril.6,7
C. Septum Hidung
Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posterior dan
inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatine dan krista sfenoid.6,7
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalisanterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum
selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau
otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensorisdari
n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.6
7
Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu padamukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.6,8
cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian
posterior.7,8
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita, karenanya seringkali
disebut sel-sel etmoid. Sel- sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-
rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara
di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid
posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di
postero-superior dari perlekatan konka media.7,8
Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid
yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis
maksila. 7,8
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis
dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatsan dengan sinus sfenoid. 7,8
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm.
Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah
dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan
rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid. Batas-
batasnya ialah sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa,
sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
11
II.2 Rhinosinusitis
Istilah sinusitis merujuk pada keadaan inflamasi pada sinus, sedangkan
rhinitis merupakan inflamasi pada membrane mukosa hidung. Secara embriologis
mukosa sinus merupakan lanjutan dari mukosa hidung, sehingga sinusitis hampir
selalu didahului dengan rinitis dan gejala-gejala obstruksi nasi, rinore serta
hiposmia dijumpai pada rinitis maupun sinusitis.1,2
Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps
(EPOS) 2012, rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus
paranasal yang ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah satunya termasuk
hidung tersumbat atau obstruksi atau kongesti disertai dengan nyeri wajah dan atau
penurunan sensitivitas pembau. 1,2
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan
dampak signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan, dan
dampak ekonomi pada mereka yang produktivitas kerjanya menurun.
Diperkirakan setiap tahun 6 miliar dolar dihabiskan di Amerika Serikat untuk
pengobatan rinosinusitis. Insiden dari rinosinusitis akut berdasarkan Multi-nasional
Questionnaire survey yang dilakukan pada tahun 2011 mencapai 6-10% dari
13
II.2.1.2 Etiologi
Bentuk paling sering rinosinusitis akut adalah acute viral rhinosinusitis
(AVRS). Di Amerika Serikat diperkirakan 39% sampai dengan 87% dari infeksi
saluran nafas bagian atas dapat mengakibatkan rinosinusitis viral akut. Rinosinusitis
viral akut adalah penyakit yang sembuh sendiri, mungkin sulit dibedakan dengan
dengan infeksi saluran nafas atas tanpa sinusitis. Infeksi saluran nafas atas adalah
faktor resiko utama dalam perkembangan acute bacterial rhinosinusitis (ABRS),
dengan kurang lebih 0,5% sampai dengan 2% infeksi saluran nafas bagian atas
berkembang menjadi infeksi bakterial. Rinosinusitis bakterial akut juga merupakan
penyakit yang kemungkinan besar sembuh sendiri dengan sekitar 40% sampai 60%
dapat sembuh spontan. Hal ini berdasarkan review sistematik dari penelitian
placebo-controlled clinical trials. Akan tetapi terapi antibiotik pada pasien ABRS
dapat memperpendek lama timbulnya gejala.1
Sejak infeksi viral atau bakterial dapat tumpang-tindih pada manifestasi
klinis, hal ini menyebabkan kesulitan untuk membedakan etiologi infeksi tersebut
viral atau bakterial. Pada hari kelima perjalanan penyakit, AVRS dan ABRS
mungkin sulit dibedakan. Perbedaan diagnostik dibuat berdasarkan lama dan
perkembangan dari gejala penyakit. Perkiraan perjalanan klinis penyakit AVRS
ditandai dengan membaiknya gejala dalam 10 hari dari timbulnya gejala infeksi
saluran nafas atas, sedangkan ABRS diperkirakan ketika gejala akut berlangsung
10 hari atau lebih. Rinosinusitis bakterial akut dapat juga didiagnosis bila gejala
kompleks berlangsung kurang dari 10 hari tetapi menunjukkan memburuknya
gejala klinis setelah perbaikan awal. Terdapat 3 presentasi klinis untuk ABRS :1
1) Terdapat tanda dan gejala yang persisten selama 10 hari dan tidak membaik.
15
2) Terdapat perburukan tanda dan gejala pada hari ke 3-4 dari permulaan gejala
seperti demam tinggi minimal 39 celcius dan sekret hidung purulent.
3) Terdapat tanda dan gejala AVRS yang membaik kemudian memburuk lagi pada
hari ke 5-6 (double sickening).
II.2.1.3 Patofisiologi
Sinus normal biasanya dalam keadaan yang steril. Bakteri yang masuk ke
sinus dapat dieliminasi dengan cepat melalui sekresi mukus yang dikeluarkan oleh
sel epitel kolumnar bersilia. Mukus itu sendiri dihasilkan oleh sel goblet dan
kelenjar submukosa. Oleh karena itu, jika ada kelainan pada silia, maka proses
eliminasi bakteri pun terhambat.1
Baik atau tidak baiknya keadaan sinus dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu patensi
ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di
dalam kompleks ostio-meatal (KOM). Mukus sangat bermanfaat dalam menjaga
kesehatan sinus karena mengandung substansi antimikrobial (immunoglobulin) dan
zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang
masuk bersama-sama dengan udara pernafasan.9,10
Inflamasi hidung dan sinus dari berbagai penyebab dapat mengakibatkan
obstruksi ostium-ostium sinus dan menjadi faktor predisposisi terhadap infeksi.
Faktor yang berperan dalam terjadinya acute bacterial sinusitis (ABRS) banyak,
secara garis besar dibagi atas 2 bagian, yaitu faktor manusia dan lingkungan.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita itu sendiri (faktor manusia),
yaitu faktor genetik seperti sindrom silia imotil atau kista fibrosis, abnormalitas
anatomi (konka bulosa, kelainan septum, atau turbinatum paradoksal), penyakit
sistemik, keganasan, dan alergi. Sedangkan faktor lingkungan meliputi infeksi
bakteri, virus, jamur, atau paparan primer maupun sekunder asap tembakau, akut
atau kronik bahan iritan atau bahan kimia berbahaya, faktor iatrogenik termasuk
pembedahan, medikamentosa ataupun pemasangan NGT. Berdasarkan bukti-bukti
yang ada saat ini, para individu dengan riwayat alergi memiliki tingkat insidensi
yang lebih tinggi terjadinya rinosinusitis akut dan kronik.10,11
16
II.2.1.4 Diagnosis
Diagnosis rinosinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis umumnya ditemukan: 11
a. Keluhan rinitis akut berupa hidung tersumbat dengan sekret purulen
b. Nyeri/rasa penekanan pada wajah terutama pada daerah sinus
c. Sakit kepala dengan berbagai derajat keparahan
d. Post-nasal drip yang dirasakan sebagai lender yang terasa pada tenggorok
e. Keluhan sistemik berupa demam dan malaise
Diagnosis rinosinusitis terutama berdasarkan riwayat medis dan
dikonfirmasi dengan penemuan pada pemeriksaan fisik. Terdapat panduan dalam
diagnosis rinosin berdasarkan Rhinosiusitis Task Force 1996, yaitu berdasarkan
tanda dan gejala mayor dan minor rinosinusitis. 11
18
II.2.1.5 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan rinosinusitis yaitu untuk mempercepat
penyembuhan rhinosinusitis, mencegah komplikasi orbital dan intracranial, dan
mencegah rinosinusitis menjadi kronik. Prinsip pengobatan rinosinusitis adalah
membuka sumbatan di kompleks osteo-meatal sehingga drainase dan ventilasi
sinus dapat pulih secara alami.10
Penatalaksanaan rinosinusitis diharuskan berdasarkan penyebabnya, hal ini
untuk menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu. Apabila rinosinusitis
akut berlangsung lebih dari 10 hari atau tanda serta gejala lain mendukung ke arah
bakterial maka antibiotik dapat diberikan. 10
Berdasarkan kuman penyebab yang telah dikemukakan di atas, maka pilihan
pertama antibiotik pada ABRS adalah Amoksisilin, karena obat ini efektif terhadap
Streptococcus pneumoniae dan Hemophilus influenzae yang merupakan kuman
terbanyak ditemukan sebagai penyebab ABRS. Di Amerika kuman gram negatif
penghasil enzim beta laktamase sudah banyak ditemukan sehingga antibiotik
pilihan beralih pada kombinasi Amoksisilin dan Klavulanat. Antibiotik harus
diberikan 10-14 hari untuk pasien anak dan 5-7 hari untuk dewasa, agar dapat
dicapai hasil maksimal.10
20
meatus medium. Gejala tersebut setidaknya berlangsung selama dua belas minggu
atau lebih tanpa adanya perbaikan gejala.7
II.2.2.2 Etiologi
Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara
mendalam. Pada rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah
ditetapkan sebagai penyebab utama.3,13 Namun sebaliknya, etiologi dan
patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya
diketahui; rinosinusitis kronik merupakan sindrom yang terjadi karena kombinasi
etiologi yang multipel. Ada beberapa pendapat dalam mengkategorikan etiologi
rinosinusitis kronik. Berdasarkan EPOS 2007, faktor yang dihubungkan dengan
kejadian rinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu “ciliary impairment, alergi,
asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin,
faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik,
H.pylori dan refluks laringofaringeal”.1
Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rinosinusitis kronik
merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa faktor
yaitu “faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan”. 3,13 Berdasarkan ketiga
kelompok tersebut, maka faktor etiologi rinosinusitis kronik dapat dibagi lagi
menjadi berbagai penyebab secara spesifik, ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.3,13
James Baraniuk (2002) mengklasifikasikan bermacam kemungkinan patofisiologi
penyebab rinosinusitis kronik menjadi rinosinusitis inflamatori (berdasarkan tipe
infiltrat selular yang predominan) dan rinosinusitis non inflamatori (termasuk
disfungsi neural dan penyebab lainnya seperti hormonal dan obat). Rinosinusitis
inflamatori kemudian dibagi lagi berdasarkan tipe infiltrasi selular menjadi jenis
eosinofilik, neutrofilik dan kelompok lain.14
23
yang cukup sering terjadinya sinusitis adalah disebabkan oleh adanya kerusakan
pada gigi.1,2
a. Sinusitis Dentogen
Merupakan penyebab paling sering terjadinya sinusitis kronik. Dasar sinus
maksila adala prosessus alveolaris tempat akar gigi, bahkan kadang-kadang
tulang tanpa pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi gigi apikal akar
gigi, atau inflamasi jaringan periondontal mudah menyebar secara langsung ke
sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe. Harus dicurigai adanya sinusitis
dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus
yang purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang
terinfeksi harus dicabut dan dirawat, pemberian antibiotik yang mencakup
bakteria anaerob. Seringkali juga diperlukan irigasi sinus maksila.1
b. Sinusitis Jamur
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang
jarang ditemukan. Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya
pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan radioterapi.
Kondisi yang merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis jamur antara
lain diabetes mellitus, neutopenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama di
rumah sakit. Jenis jamur yang sering menyebabkan infeksi sinus paranasal
ialah spesis Aspergillus dan Candida.1
II.2.2.3 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-
meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang
melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu viscous superficial dan lapisan
serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh
bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat-zat yang
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk
dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan.2
25
gangguan pada satu atau lebih faktor diatas akan mempengaruhi faktor lainnya dan
kemudian memicu terjadinya menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan
patologis pada mukosa sinus dan mukosa nasal. 2
Siklus patologis rinosinusitis kronik, perubahan pada salah satu faktor akan
mengakibatkan terjadinya proses yang berkelanjutan dengan hasil akhirnya adalah
rinosinusitis kronik. Proses inflamasi juga memegang peranan penting dalam
patogenesis rhinosinusitis kronik. Fase inisial yang paling penting bagi terjadinya
rinosinusitis kronik adalah iritasi mukosa. Beberapa bukti terbaru mengidentifikasi
superantigen S. aureus memiliki kontribusi dalam rinosinusitis kronik dengan polip
nasi. Superantigen diduga mempengaruhi berbagai tipe sel dan mengubah respon
sitokin terhadap fenotip Th2, termasuk eosinofil dan produksi Ig E poliklonal,
dimana kondisi perubahan tersebut dapat berkaitan dengan asma. Sehingga,
superantigen S. aures tidak hanya dianggap sebagai agen etiologi rhinosinusitis
kronik tetapi juga sebagai disease modifiers. 2
II.2.2.4 Klasifikasi
Rinosinusitis kronik terbagi menjadi rhinosinusitis kronik dengan polip dan
tanpa polip. Dikategorikan sebagai rinosinusitis kronik dengan polip nasi bila saat
endoskopi tampak adanya polip dalam meatus media. Sedangkan, rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi ditentukan bila tidak tampak adanya polip dalam meatus
media saat endoskopi. 2
Rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (Chronic Rhinosinusitis without Nasal
Polyps/ CRSsNP) merupakan subtipe yang paling sering terjadi, sekitar 60%-65%
dari seluruh kasus rinosinusitis kronik. Pada umumnya, penderita rhinosinusitis
kronik muncul dengan gejala rasa nyeri di wajah dan sekret purulent yang
prominen. Secara histologi, gambaran mukosa hidung menunjukkan penebalan
membran basalis, hiperplasi sel goblet, edema subepitel, fibrosis, serta infiltrasi sel
mononuklear. Pada mukosa pasien dengan rinosinusitis kronik tanpa polip, jumlah
eosinofil lebih sedikit dibandingkan jumlah netrofil yang lebih prominen. 2
Rinosinusitis kronik dengan polip nasi (Chronic Rhinosinusitis with Nasal
Polyps /CRSwNP) terjadi pada sekitar 20% pasien dengan rinosinusitis kronik.
27
Pada umumnya, pasien dengan rinosinusitis kronik dengan polip nasi akan
mengeluhkan gejala obstruksi hidung yang menonjol dan hiposmia atau anosmia,
jarang mengeluhkan rasa nyeri di wajah. Subtipe ini cenderung lebih refrakter
terhadap terapi medikamentosa, lebih membutuhkan tindakan pembedahan, dan
memiliki morbiditas lebih besar. Dalam pemeriksaan rinoskopi anterior dapat
terlihat adanya polip yang besar di meatus nasi media.2
II.2.2.5 Diagnosis
Berdasarkan definisi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi menurut TFR
1996, terdapat faktor klinis/ gejala mayor dan minor yang diperlukan untuk
diagnosis.1,2,14,15,16 Selanjutnya menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 2003,
ada tiga kriteria yang dibutuhkan untuk mendiagnosis rinosinusitis kronik,
berdasarkan penemuan pada pemeriksaan fisik seperti ditampilkan pada tabel 3.2
Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi
nasal, CT-scan dan lainnya.2
Gambar 2.9 Foto konvensional caldwell PA tampak air fluid level pada sinus maksilaris20
kondisi premaligna, dan beberapa kelompok antigen limfosit manusia (HLA) juga
telah diidentifikasi.21
Beberapa penyakit lain yang memiliki manifestasi atau keterkaitan dengan
rinosinusitis yaitu :22
a. Granulomatosis Wegener melibatkan angiitis yang dikaitkan dengan nekrosis
fokal dan reaksi granulomatosa. Penyakit ini pada awalnya mempengaruhi
saluran pernapasan, tetapi dapat juga berkembang melibatkan organ lain.
b. Ataksia - telangiektasia merupakan gangguan autosomal resesif yang
berhubungan dengan sinusitis berulang, infeksi paru, bronkiektasis, fibrosis
paru, tracheomegalli, berkurangnya jaringan limfoid dan atrofi cerebellar.
c. Cystic fibrosis adalah gangguan autosomal resesif yang berhubungan dengan
pernapasan, GI, kelainan jantung dan sinus.
d. Sindrom silia imotil (immotile cilia syndrome) adalah gangguan autosomal
resesif yang terkait dengan infeksi paru berulang dan/atau konsolidasi paru,
sinusitis, bronkiektasis dan sindrom Kartagener.
e. Sindrom Kartagener adalah penyakit autosomal resesif yang berhubungan
dengan sinusitis, situs inversus, infeksi pernafasan berulang dan bronkiektasis.
f. Pasien yang hiperalergik mungkin memiliki polip yang tidak terhitung mengisi
rongga hidung dan menghalangi sinus paranasal, hal ini dapat memberikan
penampilan berkarakteristik pada pemeriksaan imaging. Penyakit ini sangat
berkait erat dengan asma.
g. Sindrom Wiskott - Aldrich merupakan penyakit genetik yang bersifat X-linked,
resesif dan penyakit defisiensi imun tubuh yang dikaitkan dengan infeksi
berulang saluran pernapasan dan atau pneumonia, sinusitis dan mastoiditis.
h. Sindrom Kuku Kuning (Yellow-nail syndrome) dikaitkan dengan efusi pleura
berulang,efusi perikardial, chylothorax, bronkiektasis dan sinusitis.
i. Sindrom Muda (Young Syndrome) dikaitkan dengan azoospermia sekunder
pada obstruksi epididimis dan infeksi saluran pernapasan berulang dan sinusitis.
32
II.2.2.7 Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis
kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu
dalam diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka
cenderung digolongkan menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar
kesuksesan operasi yang dilakukan. Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi
medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan
mengembalikan kondisi normal rongga hidung. 2,22
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan
ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan
terapi pilihan pada sinusitis bakterial akut. Antibiotik yang dipilih adalah yang
berspektrum lebar, yaitu golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman resisten
terhadap amoksisilin, maka diberikan amoksisilin-klavulanat atau sefalosporin
generasi ke-2. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah
hilang. Jika penderita tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam, maka dilakukan
reevaluasi dan mengganti antibiotik yang sesuai.2,10,22
Pengobatan secara medikamentosa menunjukkan hasil yang lebih
memuaskan jika diberikan sesuai dengan hasil kultur. Gold standard untuk kultur
sinus adalah pungsi sinus maksilaris, namun hal ini harus dilakukan pada pasien
tertentu dan dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan komplikasi
minor seperti nyeri dan perdarahan. Antibiotik yang biasanya diberikan pada
rinosinusitis kronik adalah yang sesuai untuk kuman gram negatif (S. aureus) dan
anaerob. 2,22
Medikamentosa
1. Antibiotik merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik mengingat
terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah
antibiotika spektrum luas antara lain: Amoksisilin + asam klavulanat;
Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime; Florokuinolon : ciprofloksasin;
Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin; Klindamisin; Metronidazole.
33
Non Medikamentosa
Tatalaksana pembedahan yang dilakukan ada beberapa cara, antara lain:
bedah sinus endoskopi fungsional dan operasi sinus terbuka, seperti operasi
Caldwell-Luc, etmoidektomi eksternal, trepinasi sinus frontal dan irigasi sinus.
1) Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/ FESS) merupakan operasi terkini
untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasinya berupa: sinusitis
kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista
atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis
serta sinusitis jamur.8
34
2) Operasi Caldwell-Luc
Operasi dengan metode Caldwell-Luc dilakukan pada kelainan sinus maksilaris.
Indikasi operasi dengan metode ini yaitu jika terlihat manifestasi klinis seperti
mukokel sinus maksilaris, polip antrokoanal, misetoma, atau benda asing yang
tidak dapat dijangkau melalui endoskopi intranasal.9
3) Etmoidektomi Eksternal
Etmoidektomi eksternal telah banyak digantikan oleh bedah endoskopi.
Meskipun begitu, masih ada keuntungan dalam menggunakan metode operasi
ini. Misalnya, biopsi dapat dilakukan secara eksternal pada lesi sinus etmoid
atau frontal. Manfaat lain dari metode ini yaitu dapat memperbaiki komplikasi
orbita dari sinusitis etmoid akut atau frontal dengan cepat dan aman.8
4) Trepinasi Sinus Frontal
Metode operasi ini bermanfaat untuk infeksi akut ketika endoskopi nasal sulit
dilakukan akibat perdarahan mukosa hidung. Operasi ini aman dan dekompresi
pus pada sinus frontalis cepat dilakukan.9
5) Irigasi Sinus
Irigasi sinus bermanfaat sebagai diagnostik sekaligus terapi. Irigasi sinus
dilakukan pada sinusitis maksilaris akut yang tidak dapat ditangani dengan
pengobatan konservatif dan juga dijadikan sebagai prosedur tambahan untuk
drainase eksternal pada komplikasi orbita yang akut. Pungsi antrum biasanya
dilakukan pada meatus inferior hidung.7