Anda di halaman 1dari 2

Penentuan jenis kelamin melalui identifikasi Kromatin X

Perbedaan jenis kelamin pada sel mamalia selama masa interfase pertama kali ditemukan
oleh Barr dan Bertam pada tahun 1949. Dalam penelitiannya, ia menemukan gumpalan materi
berwarna gelap pada inti sel saraf kucing betina, namun tidak ditunjukkan pada kucing jantan.
Gumpalan tersebut identik dengan nukleolus dan pada awalnya disebut dengan ‘nucleolar
satellite’. Kemudian ditentukan bahwa gumpalan tersebut adalah kondensasi dari kromosom X
yang kini dikenal dengan Barr body. Barr body dapat ditemukan pada sekitar 40% sel wanita
sedangkan pada sel pria tidak memiliki Barr body sehingga disebut kromatin negatif. Ada tidaknya
Barr body dapat dipelajari dari apusan bukal, biopsi kulit, darah, tulang rawan, akar rambut, dan
pulpa gigi. Pada tahun 1957 Klinger menunjukkan bahwa Barr body pada amnion dan jaringan
ikat sebanyak 61,8 % ditemukan pada tepi inti sel, 23,2 % merupakan nukleolus, dan 9.2 % bebas
dalam sitoplasma.
Pewarnaan untuk Kromatin X
Barr body dapat diteliti melalui hampir semua pewarnaan inti seperti hematoksilin dan
eosin (HE), thionine, papanicolaou, feulgen, cresyl-violet, giemsa, aceto-orcein dan juga melalui
pewarnaan fluoresen seperti acridine orange. Kaveri Surya Khanna melakukan penelitian dengan
membatasi pulpa gigi manusia sebagai alat identifikasi forensik odontologi dan mengevaluasi
periode waktu viabilitas pulpa gigi untuk membedakan jenis kelamin menggunakan tiga
pewarnaan yaitu HE, feulgen, dan acridine orange. 90 sampel pulpa (45 laki-laki dan 45
perempuan) menjadi sasaran untuk menganalisis Barr body yang diamati melalui mikroskop
cahaya dan mikroskop fluoresen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Barr bodies paling baik
diidentifikasi melalui HE pada periode waktu 15 hari (51,4 % sel positif), diikuti feulgen (37,33
% sel positif), dan paling sedikit terlihat dengan pewarnaan acridine orange. Studi tentang analisis
Barr body memiliki keunggulan dibandingkan teknik lainnya karena pewarnaan yang dibutuhkan
relatif sederhana dan konsumsi waktu yang lebih sedikit. Keterbatasan metode ini adalah karena
perubahan pada tingkat kromosom, pasien dengan kelainan dapat menghasilkan hasil positif palsu
seperti pada kelainan aneuploidy.
Pengaruh lingkungan terhadap pulpa
Segera setelah kematian individu, pembusukan jaringan mulai mengarah ke serangkaian
perubahan yang dapat diamati secara morfologis dan histologi. Perubahan ini terjadi dengan urutan
tertentu yang juga dapat diamati pada jaringan pulpa gigi dari mayat terkubur. Terdapat faktor-
faktor yang saling memengaruhi dalam proses lengkap dekomposisi jaringan, salah satunya
pelepasan enzim hidrolitik yang mengawali proses disintegrasi sel. Tingkat dekomposisi
meningkat ketika mikroorganisme menyerang jaringan. Penelitian untuk menilai kromatin seks
yang dilakukan oleh Duffy et al pada gigi mumi buatan dan pulpa yang dipanaskan menunjukkan
bahwa seks kromatin (Barr body dan F-body) pada pulpa gigi manusia yang mengalami dehidrasi
dibutuhkan pemanaskan hingga 100 derajat celcius hingga 1 jam sehingga karakteristik diagnostik
seks tetap valid.
Pada penilitian lain ditemukan bahwa stabilitas inti pulpa bertahan pada kisaran antara 4
hari sampai 2 minggu dalam jaringan pulpa yang diambil di lingkungan laut. Mahendra et al
melakukan penelitian untuk mengetahui berbagai perubahan yang terjadi selama proses
pembusukan di lingkungan air laut seperti di selatan India dan menyimpulkan bahwa pulpa gigi
yang terkubur di daerah pesisir melewati serangkaian perubahan secara morfologis dan histologi.
Di sisi lain, Suazo et al melakukan penelitian untuk menentukan efek dari suhu tinggi pada kinerja
diagnostik dalam pengamatan Barr body dan menyimpukan bahwa pengamatan hanya dapat
dilakukan untuk mengevaluasi sampel gigi dari kelompok yang dikenai 200 dan 400 derajat.

Anda mungkin juga menyukai