Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik

kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan

farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat,

pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta

pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional yang harus dilakukan

oleh apoteker (Depkes RI, 2009a). Jadi semestinya masyarakat yang datang ke

apotek ditemui oleh apoteker, konsultasi tentang masalah obat yang mereka

konsumsi, diberi alternatif solusi dan diakhiri dengan membayar jasa

pelayanan. Akan tetapi pada kenyataannya, masih banyak terdapat fasilitas

pelayanan kefarmasian yang tidak melaksanakan fungsinya dengan baik.

Misalnya saja di apotek yang seharusnya berfungsi sebagai sarana pelayanan

kefarmasian, telah berubah fungsi menjadi tempat untuk sekedar jual beli obat.

Obat dijadikan sebagai komoditi dagang dengan adanya Pajak Pertambahan

Nilai, Pajak Penghasilan, dan margin keuntungan atas kegiatan jual beli obat

(Pratomo, 2013).

Apoteker merupakan sebuah profesi yang salah satu cirinya adalah

memberikan jasa berupa pelayanan kefarmasian, tidak hanya menjual produk

obat saja. Dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian, apoteker tidak hanya

meracik obat saja, melainkan harus berinteraksi secara langsung dengan

1
2

pasien dan bertanggung jawab atas terapi yang diberikan kepada pasien. Akan

tetapi, tentunya akan timbul biaya-biaya yang harus ditanggung oleh pasien

sebagai pengganti atas jasa pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh

apoteker. Di Indonesia hingga saat ini masih belum diberlakukan penarikan

jasa pelayanan kefarmasian untuk apoteker. Sebagian besar Apoteker

Pengelola Apotek (APA) digaji bulanan oleh Pemilik Sarana Apotek (PSA)

sedangkan apoteker selaku PSA, penghasilan diperoleh dari margin obat yang

berkisar antara 5-20%.

Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) telah menyampaikan wacana penerapan

konsep harga netto untuk mengubah pola pengelolaan apotek. Masyarakat

seharusnya membayar obat sesuai harga netto, tetapi sebagai gantinya

apoteker berhak mendapatkan fee atas pelayanan kefarmasian yang

dilakukannya. Mengenakan biaya pada pasien untuk pelayanan manajemen

terapi obat adalah suatu cara untuk meningkatkan kesadaran dan merubah cara

pandang terhadap nilai dari pelayanan kefarmasian (Yusmainita, 2008).

Namun dengan dikenakannya jasa kefarmasian kepada pasien, apoteker juga

harus melakukan tugasnya untuk melakukan pelayanan kefarmasian kepada

pasien dengan baik.

Kabupaten Kudus merupakan kabupaten terkecil di Jawa Tengah yang

terbagi menjadi sembilan kecamatan. Fasilitas pelayanan kesehatan di

Kabupaten Kudus termasuk cukup berkembang. Pada tahun 2010, terdapat 2

Rumah Sakit Umum Pemerintah, 4 Rumah Sakit Umum Swasta, dan


3

Puskesmas yang jumlahnya mencapai 19 buah. Untuk apotek, pada tahun

2010 terdapat 64 apotek dan berkembang menjadi 113 apotek pada tahun 2015.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan

judul “Penerapan Konsep Harga Obat untuk Menetapkan Pola Tarif Jasa

Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kudus” untuk memberi

gambaran tentang penerapan tarif jasa pelayanan kefarmasian oleh apoteker di

apotek.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana penentuan harga obat non resep di apotek?

2. Berapa rata-rata tarif jasa pelayanan kefarmasian untuk obat non resep

yang dapat diambil oleh apoteker di apotek?

3. Apakah penarikan tarif jasa pelayanan kefarmasian membuat harga obat

non resep menjadi lebih mahal?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk memperkirakan rata-rata tarif jasa pelayanan

kefarmasian untuk obat non resep yang dapat diambil oleh apoteker di apotek

tanpa memberatkan pasien.


4

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Bagi apoteker, penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai

pertimbangan dalam menetapkan pola tarif atas jasa pelayanan

kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker di apotek.

2. Bagi mahasiswa, dapat menambah pengetahuan terkait jasa pelayanan

kefarmasian sehingga dapat dijadikan pertimbangan apabila nantinya

mahasiswa bekerja sebagai apoteker di apotek.

E. Tinjauan Pustaka

1. Apoteker

Menurut PP nomor 51 tahun 2009, apoteker adalah sarjana farmasi yang

telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.

Apoteker termasuk dalam tenaga kefarmasian yang bertugas untuk melakukan

pekerjaan kefarmasian. Apoteker merupakan pendidikan profesi setelah

sarjana farmasi.

Apoteker adalah sebuah profesi, yang terhimpun dalam suatu organisasi

profesi. Profesi adalah sekelompok yang dalam aktivitasnya dilakukan oleh

professional yang disiplin ilmu sama, terkait dengan masalah kemanusiaan,

selalu membutuhkan pelatihan, pendidikan, dan keahlian khusus yang didapat

secara formal dan membutuhkan kepercayaan masyarakat. Ciri-ciri

profesional adalah sebagai berikut :

a. Intelektual dan didukung oleh ilmu pengetahuan (body of knowledge)


5

b. Melakukan kegiatan praktisi/keterampilan berdasarkan teori (body of

theory)

c. Diperoleh dari pendidikan yang intensif berat, ekstensif, dan jangka

waktu yang lama

d. Bergabung dalam suatu organisasi (asosiasi) profesi khusus

e. Sebagai seorang profesional :

1) Bertanggung jawab terhadap kemanusiaan (public good)

2) Mempunyai integritas yang luhur (sinless, soundness of moral,

principle, uprightness, honesty, sincerely, wholeness,

compeleteness)

3) Melayani masyarakat dengan altruism

f. Mempunyai izin/lisensi agar dapat diakui masyarakat

g. Merupakan praktisi independen dan melayani klien secara individu

h. Memberikan pelayanan secara imparsial (tidak diskriminatif)

i. Memberikan pelayanan dengan kompensasi fee (Fixed charge)

j. Mempunyai komitmen untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya,

yang merupakan jaminan reputasi mereka

k. Memiliki kesetiaan yang tinggi (loyal) dengan sejawatnya

l. Secara teratur melakukan pengembangan profesi secara terus menerus

(Continuing Professional Development)

m. Menggunakan pertimbangan pribadi dalam solusi masalah sehari-hari

n. Keuntungan tidak tergantung dari modal


6

o. Memiliki status professional sangat terhormat dan dikenal luas

(Yusmainita, 2008)

Menurut Permenkes nomor 35 tahun 2014, peran apoteker dalam

melakukan pelayanan kefarmasian adalah:

a. Pemberi layanan

Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien.

Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan

kesehatan secara berkesinambungan.

b. Pengambil keputusan

Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan

dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan

efisien.

c. Komunikator

Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi

kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu,

apoteker harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.

d. Pemimpin

Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.

Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil

keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan

dan mengelola hasil keputusan.


7

e. Pengelola

Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran

dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan

teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang obat dan hal-

hal lain yang berhubungan dengan obat.

f. Pembelajar seumur hidup

Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan

profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional

Development) .

g. Peneliti

Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam

mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan kefarmasian dan

memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan pelayanan

kefarmasian.

2. Apotek

Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian

dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada

masyarakat (Depkes RI, 2014). Menurut PP nomor 51 Tahun 2009, apotek

adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian

oleh Apoteker.

Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Apotek harus dikelola oleh

seorang apoteker yang profesional. Pelayanan kefarmasian di apotek harus

dilakukan oleh seorang Apoteker. Menurut Permenkes nomor 35 tahun 2014,


8

apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana apotek

harus dapat menjamin mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai serta kelancaran praktik pelayanan kefarmasian. Sarana dan

prasarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di apotek

meliputi sarana yang memiliki fungsi :

a. Ruang penerimaan resep

Ruang penerimaan resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat

penerimaan resep, satu set meja dan kursi, serta satu set komputer. Ruang

penerimaan resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah

terlihat oleh pasien.

b. Ruang pelayanan resep dan peracikan

Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara

terbatas meliputi rak obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang

peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan

obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok obat, bahan

pengemas obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan

resep, etiket dan label obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan

sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan.

c. Ruang penyerahan obat

Ruang penyerahan obat berupa konter penyerahan obat yang dapat

digabungkan dengan ruang penerimaan resep.


9

d. Ruang konseling

Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi

konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu

konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien.

e. Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai

Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,

kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan

keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan

rak/lemari obat, pallet, pendingin ruangan, lemari pendingin, lemari

penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari penyimpanan obat

khusus, pengukur suhu dan kartu suhu.

f. Ruang arsip

Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan

dengan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai serta pelayanan kefarmasian dalam jangka waktu tertentu.

Untuk dapat melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian di apotek, Apoteker

harus memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA). Apoteker dapat

mendirikan apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal

baik perorangan maupun perusahaan. Dalam hal Apoteker yang mendirikan

apotek bekerja sama dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus

tetap dilakukan sepenuhnya oleh apoteker yang bersangkutan (Depkes RI,

2009b).
10

3. Pelayanan kefarmasian

Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi

pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena

terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya pelayanan

kefarmasian. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan

bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi

dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu

kehidupan pasien (Depkes RI, 2014). Pelayanan kefarmasian telah mengalami

perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug

oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan

obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas

hidup pasien. Permenkes nomor 35 tahun 2014 telah mengatur tentang standar

pelayanan kefarmasian di apotek. Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak

ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam

menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Tujuan disusunnya standar

pelayanan kefarmasian di apotek adalah untuk :

a. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian

b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian

c. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak

rasional dalam rangka keselamatan pasien


11

Pelayanan Kefarmasian di apotek meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan

yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,

dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik (Depkes RI, 2014).

a. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai,

yang meliputi :

1) Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola

penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.

2) Pengadaan

Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan

sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan.

3) Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis

spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera

dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

4) Penyimpanan

a) Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.

Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada

wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus

ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-


12

kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal

kadaluwarsa.

b) Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai

sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.

c) Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk

sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.

d) Pengeluaran obat memakai sistem First Expire First Out (FEFO)

dan First In First Out (FIFO).

5) Pemusnahan

a) Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan

jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak

yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh

apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh

apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki

surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan

dengan berita acara pemusnahan.

b) Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu lima tahun dapat

dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker

disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan

cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan

Berita Acara Pemusnahan Resep dan selanjutnya dilaporkan kepada

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.


13

6) Pengendalian

Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah

persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem

pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini

bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan,

kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian

pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok

baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-

kurangnya memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah

pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.

7) Pencatatan dan pelaporan

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan

farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi

pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok),

penyerahan (nota atau receipt penjualan) dan pencatatan lainnya

disesuaikan dengan kebutuhan.

Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan

internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan

manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.

Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk

memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan

lainnya.
14

b. Pelayanan farmasi klinik, yang meliputi :

1) Pengkajian resep

Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian

farmasetik dan pertimbangan klinis. Jika ditemukan adanya

ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka apoteker harus

menghubungi dokter penulis resep.

2) Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian

informasi obat. Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep

atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi

kepada pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan

dengan memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.

3) Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan

oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak

memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam

segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien

atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat

bebas dan herbal.

Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute

dan metode pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan

alternatif, kemanjuran, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan

menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat


15

fisika atau kimia dari obat dan lain-lain. Pelayanan Informasi Obat

harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran kembali dalam

waktu yang relatif singkat.

4) Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan

pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,

kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam

penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.

Untuk mengawali konseling, apoteker menggunakan three prime

questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu

dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus

melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah

memahami obat yang digunakan.

Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda

tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang

diberikan dalam konseling.

5) Pelayanan kefarmasian di rumah

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat

melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah,

khususnya untuk kelompok lanjut usia (lansia) dan pasien dengan

pengobatan penyakit kronis lainnya.

Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh

Apoteker, meliputi :
16

a) Penilaian/pencarian masalah yang berhubungan dengan pengobatan

b) Identifikasi kepatuhan pasien

c) Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah,

misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin

d) Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum

e) Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan

obat berdasarkan catatan pengobatan pasien

f) Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah

6) Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien

mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan

memaksimalkan kemanjuran obat dan meminimalkan efek samping.

Kriteria pasien:

a) Anak-anak dan lanjut usia (lansia), ibu hamil dan menyusui

b) Menerima obat lebih dari lima jenis

c) Adanya multidiagnosis

d) Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati

e) Menerima obat dengan indeks terapi sempit

f) Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat

yang merugikan.

7) Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang

merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
17

digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi

atau memodifikasi fungsi fisiologis.

Kegiatan:

a) Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi

mengalami efek samping obat

b) Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

c) Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional

Menurut Bahfen (2006), dalam memberikan perlindungan terhadap pasien

dapat diidentifikasi bahwa fungsi dari pharmaceutical care adalah :

a. Menyediakan informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan

lainnya. Tujuan yang ingin dicapai mencakup mengidentifikasikan

hasil pengobatan dan tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat

diterima untuk terapi, agar diterapkan penggunaan secara rasional,

memantau efek samping obat dan menentukan metode penggunaan

obat.

b. Mendapatkan rekam medis untuk digunakan dalam pemilihan obat

yang tepat

c. Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang

berlawanan, keracunan dan jika perlu memberikan saran untuk

memodifikasi pengobatan

d. Menyediakan bimbingan dan konseling dalam rangka pendidikan

kepada pasien
18

e. Menyediakan dan memelihara serta memfasilitasi pengujian

pengobatan bagi pasien penyakit kronis

f. Berpartisipasi dalam pengelolaan obat-obatan untuk pelayanan gawat

darurat

g. Pembinaan pelayanan informasi dan pendidikan bagi masyarakat

h. Partisipasi dalam penilaian penggunaan obat dan audit kesehatan

i. Menyediakan pendidikan mengenai obat-obatan untuk tenaga

kesehatan lainnya

4. Jasa

a. Pengertian jasa

Jasa adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu

pihak pada pihak lain dan pada dasarnya tidak berwujud, serta tidak

menghasilkan kepemilikan sesuatu. Proses produksinya mungkin dan

mungkin juga tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik (Kotler, 1996).

Menurut Jasfar (2009), kata jasa mempunyai banyak arti dan ruang

lingkup, dari pengertian yang paling sederhana, yaitu hanya berupa

pelayanan dari seseorang kepada orang lain, bisa juga diartikan sebagai

mulai dari pelayanan yang diberikan oleh manusia, baik yang dilihat

(explicit service) maupun yang tidak dapat dilihat, yang hanya dapat

dirasakan (implicit service) sampai kepada fasilitas-fasilitas pendukung

yang harus tersedia dalam penjualan jasa dan benda-benda lainnya.


19

b. Karakteristik jasa

Jasa memiliki karakteristik yang berbeda bila dibandingkan dengan

produk (barang fisik). Tjiptono (2004) mengutarakan ada lima

karakteristik utama jasa :

1) Tidak berwujud (Intangibility)

Jasa berbeda dengan barang. Bila barang merupakan suatu objek,

alat, atau benda; maka jasa adalah suatu perbuatan, tindakan,

pengalaman, proses, kinerja, atau usaha. Oleh sebab itu, jasa tidak

dapat dilihat, dirasa, dicium, didengar, atau diraba sebelum dibeli dan

dikonsumsi. Bagi para pelanggan, ketidakpastian dalam pembelian jasa

relatif tinggi karena terbatasnya search qualities, yakni karakteristik

fisik yang dapat dievaluasi pembeli sebelum pembelian dilakukan.

Untuk jasa, kualitas apa dan bagaimana yang akan diteriman

konsumen, umumnya tidak diketahui sebelum jasa bersangkutan

dikonsumsi.

Zeithaml (1981) dalam Jasfar (2009) membedakan tiga kategori

kualitas barang dan jasa, yaitu :

a) Search quality, yaitu atribut atau kualitas yang dapat dievaluasi

pelanggan sebelum membeli barang, misalnya warna, aroma, harga,

dan rasa. Seseorang dapat mencium wangi parfum atau memilih

warna dan model baju sebelum ia memutuskan untuk membeli.

Warna dan aroma ini merupakan dasar untuk menilai kualitas.

Search quality hanya dapat digunakan untuk menilai produk dan


20

tidak dapat digunakan untuk menilai keseluruhan dimensi kualitas

jasa.

b) Experience quality, yaitu atribut atau kualitas yang hanya dapat

dievaluasi setelah membeli atau mengkonsumsi barang atau jasa

tertentu. Misalnya, jasa tukang cukur rambut tidak bisa dievaluasi

sebelum rambut anda dipangkas/dicukur. Pada saat anda selesai

dicukur, konsumen dapat menilai apakah potongannya bagus atau

tidak.

c) Credence quality, yaitu atribut atau kualitas suatu barang yang

sukar dievaluasi oleh konsumen, meskipun barang atau jasa itu

telah dibeli atau dikonsumsi. Misalnya, operasi jantung. Seorang

pasien tidak dapat menilai apakah diagnosis seorang dokter

mengenai penyakitnya bagus atau tidak. Credence quality maupun

experience quality keduanya bersifat subjektif dan dipakai sebagai

dasar untuk menilai jasa yang karakteristiknya tidak dapat dilihat

(intangible).

2) Tidak dapat dipisahkan (Inseparability)

Barang biasa diproduksi, kemudian dijual, lalu dikonsumsi,

sedangkan jasa umumnya dijual terlebih dahulu, baru kemudian

diproduksi dan dikonsumsi pada waktu dan tempat yang sama.

Dalam proses produksi jasa, mulai dari saat kehadiran konsumen

sampai dengan selesainya proses tersebut, konsumen terlibat secara

terus menerus sehingga suasana dan fasilitas yang digunakan, seperti


21

dekorasi interior, layout, ketenangan, bahkan warna yang menarik serta

personil yang terlibat di dalam proses jasa tersebut sangat

mempengaruhi nilai persepsi konsumen terhadap kualitas jasa yang

dijual.

Beberapa karakteristik di bawah ini merupakan karakteristik yang

timbul karena sifat jasa yang inseparability :

a) Kegiatan pemasaran dan produksi yang sangat interaktif.

b) Terlibatnya konsumen secara aktif.

c) Sangat sukar melakukan produksi masal, karena jasa sangat

bersifat individual (customization) sehingga sangat sulit melakukan

standardisasi.

d) Pengendalian kualitas jasa sulit dilakukan karena tidak bisa

diproduksi sebelumnya. Kemungkinan kegagalan dalam proses

penyampaian sulit untuk diantisipasi (Jasfar, 2009).

3) Berubah-ubah (Variability / Heterogeneity)

Jasa bersifat variabel karena merupakan non-standarized output,

artinya banyak variasi bentuk, kualitas, dan jenis tergantung kepada

siapa, kapan dan dimana jasa tersebut diproduksi. Hal ini dikarenakan

jasa melibatkan unsur manusia dalam proses produksi dan

konsumsinya yang cenderung tidak bisa diprediksi dan cenderung

tidak konsisten dalam hal sikap dan perilakunya.

Menurut Bovee, Houston dan Thill (1995) dalam Jasfar (2009) ,

ada tiga faktor yang menyebabkan keanekaragaman kualitas jasa.


22

a) Kerja sama atau partisipasi konsumen selama penyampaian jasa.

b) Moral/ motivasi karyawan dalam melayani konsumen.

c) Beban kerja perusahaan yang terlalu besar, sehingga kondisi

personel akan mempengaruhi kualitas jasa yang diberikan .

4) Tidak tahan lama (Perishability)

Jasa tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Kursi pesawat

yang kosong, kamar hotel yang tidak dihuni, atau kapasitas jalur

telepon yang tidak dimanfaatkan akan berlalu atau hilang begitu saja

karena tidak bisa disimpan.

5) Lack of Ownership

Lack of ownership merupakan perbedaan dasar antara jasa dan

barang. Pada pembelian barang, konsumen memiliki hak penuh atas

penggunaan dan manfaat produk yang dibelinya. Mereka bisa

mengkonsumsi, menyimpan atau menjualnya. Di lain pihak, pada

pembelian jasa, pelanggan mungkin hanya memiliki akses personel

atas suatu jasa untuk jangka waktu terbatas, misalnya kamar hotel,

bioskop, jasa penerbangan dan pendidikan.


23

c. Klasifikasi jasa

Infrastucture Service
Value Added Services
 Communication
 Financing  Transportation
 Leasing  Utilities
 Insurance  Banking

Manufacturing Personal Service


Service inside company:
Distribution Service  Healthcare
 Finance  Restaurant
 Wholesaling  Hotel
 Accounting
 Retailing
 Legal
 Repairing
 R&D and Design
Consumer
(Self-service)

Business Services Distribution Service


Supporting
manufacturing:  Military
 Education
 Consulting  Judicial
 Auditing  Police and fire protection
 Advertising
 Waste disposal
Gambar 1. Peranan Sektor Jasa dalam Perekonomian (Jasfar, 2009)

Jasa dapat dikelompokkan ke dalam lima bidang jasa. Di dalam model

ini terlihat bahwa seluruh aktivitas ditunjukkan dalam rangka memenuhi

kebutuhan konsumen. Kelima bidang pada sektor jasa tersebut adalah

sebagai berikut (Jasfar, 2009).

1) Jasa di bidang bisnis (business services), seperti konsultasi jasa-jasa

keuangan dan perbankan.

2) Jasa di bidang perdagangan (distribution services), seperti jasa-jasa

perdagangan eceran, grosir, jasa-jasa pemeliharaan, dan perbaikan.


24

3) Jasa di bidang infrastruktur (infrastructure services), seperti jasa-jasa

komunikasi dan transportasi.

4) Jasa untuk kepentingan sosial dan pribadi (social and personal

services), seperti rumah sakit, restoran, dan salon kecantikan.

5) Jasa administrasi pemerintah (government services), seperti jasa-jasa

pendidikan dan pemerintahan (militer, polisi, pengadilan).

Menurut Lovelock (1987) dalam Tjiptono (2004), klasifikasi jasa dapat

dilakukan berdasarkan tujuh kriteria, yaitu :

1) Segmen pasar

Berdasarkan segmen pasar, jasa dapat dibedakan menjadi jasa kepada

konsumen akhir (misalnya salon, taksi) dan jasa kepada konsumen

organisasional (misalnya konsultan manajemen).

2) Tingkat keberwujudan

Kriteria ini berhubungan dengan tingkat keterlibatan produk fisik

dengan konsumen. Berdasarkan kriteria ini, jasa dapat dibedakan

menjadi tiga macam, yaitu :

a) Rented good service

Konsumen menyewa dan menggunakan produk-produk tertentu

berdasarkan tarif tertentu selama jangka waktu tertentu. Contohnya

penyewaan mobil, kaset video, vila, dan apartemen.

b) Owned goods service

Produk-produk yang dimiliki oleh konsumen direparasi,

dikembangkan atau ditingkatkan unjuk kerjanya, atau dipelihara


25

oleh perusahaan jasa. Contohnya jasa reparasi arloji dan pencucian

mobil.

c) Non goods service

Jasa personal bersifat intangible (tidak berbentuk produk fisik)

ditawarkan kepada pelanggan. Contohnya supir dan dosen.

3) Ketrampilan penyedia jasa

Berdasarkan tingkat ketrampilan penyedia jasa, jasa terdiri atas

professional service (misalnya konsultan manajemen, konsultan

hukum, dokter, apoteker) dan non-professional service (misalnya supir

taksi dan penjaga malam).

4) Tujuan organisasi jasa

Berdasarkan tujuan organisasi jasa dapat dibagi menjadi commercial

service atau profit service (misalnya penerbangan, bank) dan non-

profit service (misalnya sekolah, panti asuhan).

5) Regulasi

Dari aspek regulasi, jasa dapat dibagi menjadi regulated service

(misalnya angkutan umum) dan non-regulated service (misalnya

makelar, katering).

6) Tingkat intensitas karyawan

Berdasarkan tingkat intensitas karyawan, jasa dapat dikelompokkan

menjadi dua macam, yaitu equipment based service (misalnya cuci

mobil otomatis, ATM) dan people based service (misalnya pelatih

sepakbola, satpam).
26

7) Tingkat kontak penyedia jasa dan pelanggan

Berdasarkan kontak ini, secara umum jasa dapat dibagi menjadi high

contact service (misalnya bank, dokter dan pegadaian) dan low contact

service (misalnya bioskop). Pada jasa dengan tingkat kontak dengan

pelanggannya tinggi, keterampilan interpersonal karyawan harus

diperhatikan oleh perusahaan jasa. Sebaliknya, jasa yang tingkat

kontaknya rendah dengan pelanggan justru keahlian teknis karyawan

yang lebih penting.

Konsep manajemen jasa bersifat umum, artinya konsep yang

digunakan pada suatu jenis industri jasa dapat diterapkan pada industri jasa

lainnya. Namun, sifat umum ini kurang dapat diterapkan pada jasa profesi.

Perlu adanya pelatihan khusus untuk menangani jasa profesi yang tidak

dipahami oleh manajemen bisnis jasa lainnya yang tidak termasuk jasa

profesi. Dengan demikian, jasa profesi sampai saat ini masih menawarkan

suatu peluang karir yang menarik. Agar dapat diperoleh gambaran

menyeluruh tentang masalah-masalah manajemen di antara industri jasa,

Roger Schmenner dalam Jasfar (2009) mengemukakan suatu konsep

proses jasa dalam suatu bentuk matriks, seperti terlihat dalam gambar 2.
27

Tingkat Interaksi dan Kekhususan Jasa

Rendah Tinggi

Tingkat Rendah Service factory: Service shop:


Penggunaan  Perusahaan Penerbangan  Rumah sakit
Tenaga Kerja  Jasa Pengangkutan  Bengkel mobil
 Hotel  Reparasi alat elektronik
 Resor dan pusat hiburan

Tinggi Mass service: Professional service:


 Perdagangan eceran  Dokter
 Perdagangan grosir  Ahli hukum
 Sekolah  Akuntan
 Retail Banking professional  Arsitek
Gambar 2. Matriks Proses Jasa (Jasfar, 2009)

Di dalam matriks ini, jasa-jasa digolongkan atas dua dimensi yang sangat

mempengaruhi karakter proses penyampaian jasa. Sumbu vertikal

menggambarkan tingkat intensitas penggunaan tenaga kerja (labor

intensity) yang merupakan perbandingan antara biaya tenaga kerja dengan

modal. Makin tinggi penggunaan tenaga kerja, berarti penggunaan modal

semakin rendah. Begitu juga sebaliknya, makin tinggi penggunaan barang

modal atau mesin-mesin, akan semakin rendah penggunaan tenaga kerja.

Sumbu horizontal menggambarkan kekhususan dari jasa yang diberika

(customization). Yang dimaksud dengan customization adalah kekhususan

jasa karena kemampuan konsumen secara personal untuk mempengaruhi

jasa yang akan diterimanya. Interaksi antara konsumen dengan penyedia

jasa akan lebih rendah jika jasa-jasa itu tidak bersifat khusus dan tidak

membutuhkan suatu penjelasan khusus mengenai atribut jasa tersebut.

Dengan demikian, pada jasa-jasa yang bersifat khusus, interaksi yang

terjadi umumnya menciptakan problem yang membutuhkan penanganan


28

yang serius bagi manajemen, terutama dalam proses penyampaian jasa-

jasa tersebut.

d. Kualitas jasa

Kualitas jasa merupakan suatu pembahasan yang sangat kompleks

karena penilaian kualitas jasa berbeda dengan penilaian terhadap kualitas

produk, terutama karena sifatnya yang tidak nyata (intangible) dan

produksi serta konsumsi yang berjalan secara simultan. Di samping

perbedaan karakteristik ini, dalam penilaian kualitas jasa, konsumen

terlibat secara langsung serta ikut di dalam proses jasa tersebut, sehingga

yang dimaksud dengan kualitas jasa adalah bagaimana tanggapan

konsumen atas jasa yang dikonsumsi atau dirasakannya (Jasfar, 2009).

Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985) melakukan penelitian khusus

terhadap beberapa jenis industri jasa. Sebelum mengelompokkan ke dalam

lima dimensi, ketiga peneliti ini berhasil mengidentifikasi sepuluh faktor

utama yang dinilai konsumen dan merupakan faktor utama yang

menentukan kualitas jasa, yaitu access, communication, competence,

courtesy, credibility, reliability, responsiveness, security, understanding,

dan tangibles. Selanjutnya Parasuman (1988) melakukan kembali

penelitian pada kelompok focus, baik pengguna maupun penyedia jasa.

Akhirnya ditemukan hasil bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat

antara communication, competence, courtesy, credibility, dan security

yang kemudian dikelompokkan menjadi satu dimensi, yaitu assurance.


29

Demikian pula halnya dengan access dan understanding yang kemudian

digabung menjadi satu dimensi yaitu emphaty. Akhirnya Parasuman (1988)

mengemukakan lima dimensi kualitas jasa, yaitu:

1) Kehandalan (Reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan

pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan kemampuan untuk

dipercaya, terutama memberikan jasa secara tepat waktu, dengan cara

yang sama sesuai dengan jadwal yang telah dijanjikan dan tanpa

melakukan kesalahan setiap kali.

2) Daya tanggap (Responsiveness), yaitu kemauan atau keinginan para

karyawan untuk membantu dan memberikan jasa yang dibutuhkan

konsumen.

3) Jaminan (Assurance), meliputi pengetahuan, kemampuan, ramah,

sopan, dan sifat dapat dipercaya dari kontak personel untuk

menghilangkan sikap keragu-raguan konsumen dan merasa terbebas

dari bahaya dan resiko.

4) Empati (Emphaty), yang meliputi sikap kontak personel maupun

perusahaan untuk memahami kebutuhan maupun kesulitan konsumen,

komunikasi yang baik, perhatian pribadi, kemudahan dalam melakukan

komunikasi atau hubungan.

5) Produk fisik (Tangibles), tersedianya fasilitas fisik, perlengkapan dan

sarana komunikasi, dan lain-lain yang dapat dan harus ada dalam

proses jasa.
30

5. Jasa profesi apoteker

Salah satu ciri dari profesi adalah mendapatkan imbalan jasa profesi (ISFI,

2003). Menurut Yusmainita (2008), jasa yang dapat diperoleh antara lain :

a. Imbalan (Kompensasi fee)

Sistem imbalan dimaksudkan sebagai pemberian penghargaan terhadap

karyawan atas kerjanya pada organisasi, terutama yang tercermin dalam

prestasi kerjanya. Besarnya suatu imbalan dipengaruhi oleh :

1) Supply dan demand tenaga kerja

2) Organisasi buruh atau profesi

3) Kemampuan menbayar perusahaan

4) Produktivitas karyawan

5) Biaya hidup

6) Peraturan Pemerintah

7) Pendapatan karyawan

b. Jasa profesi pelayanan kefarmasian

Pembayaran untuk layanan kefarmasian berarti harga dari pengetahuan

farmasi dan aplikasi keuntungannya bagi pasien. Upaya apoteker ini untuk

mendapatkan bayaran secara tradisional telah diidentifikasi sebagai

pelayanan kognitif. Apoteker mendapatkan bayaran dari pelayanan

kognitif, seperti pelayanan melebihi dari penyerahan obat. Sejumlah faktor

yang dapat mengkontribusikan kegagalan apoteker dalam menerima

bayaran dari pelayanan pasien meliputi :


31

1) Tidak adanya definisi yang jelas dari pelayanan yang mendapatkan

bayaran

2) Tidak adanya konsensus yang mengenal nilai dari pelayanan yang

berbeda

3) Tidak adanya kemauan apoteker untuk menyediakan pelayanan pada

basis yang konsisten

4) Tidak adanya pemisahan antara bayaran produk dan pelayanan

kognitif

5) Tidak adanya sistem catatan dokumentasi yang mempengaruhi

pelayanan outcome pasien

Di negara maju seperti USA dan Kanada, undang-undang praktek farmasi

telah dilakukan dan pola tarif tiap pelayanan apoteker telah ditetapkan

sehingga para apoteker dapat bekerja secara profesional di bidang pelayanan

farmasi sebagaimana yang dituntut oleh masyarakat. Kondisi ini merupakan

hasil kerja keras Asosiasi Profesi Apoteker dengan Perguruan Tinggi Farmasi

yang telah melakukan penelitian dan pengembangan pelayanan kefarmasian

kepada masyarakat serta sosialisasinya, hingga pelayanan ini dikenal oleh

masyarakat. Pemerintah hanya menyusun undang-undang yang disesuaikan

dengan dengan penelitian pola tarif yang tepat untuk pelayanan kefarmasian,

baik di apotek maupun di rumah sakit (Yusmainita, 2009).

Yusmainita (2009) juga menjelaskan bahwa di negara maju, penghargaan

atas jasa profesi farmasi terdiri dari 2 aspek, yaitu :


32

a. Reimbursement, yaitu harga obat + biaya administrasi

b. Compensation, yaitu biaya jasa profesi atas tanggung jawab keilmuan dan

layanan kefarmasian yang diberikan kepada pasien.

Pada dasarnya, apoteker merupakan satu-satunya tenaga kesehatan yang

memiliki kewenangan luas untuk melaksanakan praktik kefarmasian, sesuai

dengan perundangan yang saat ini berlaku. Atas dasar hal tersebut, di samping

kewajiban yang harus dijalankan, apoteker pun bisa memperhitungkan

sejumlah hak secara profesional. Untuk menilai berapa biaya yang bisa

diterima apoteker setelah melakukan kewajibannya dengan baik, maka perlu

disimak lebih lanjut apa dan bagaimana peran apoteker pada kerangka Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang akan berlangsung nantinya.

Apoteker berfungsi penuh pada penggunaan obat yang rasional, mencakup

indikasi, dosis, cara penggunaan, dan lain-lain. Apoteker juga harus bisa

meningkatkan kepatuhan pasien dalam meminum obat termasuk meminum

obat tepat waktu dan tanpa putus obat pada beberapa penyakit tertentu.

Apoteker juga akan bertanggung jawab untuk pencegahan medication error.

Pada pengelolaan biaya, apoteker harus bisa menangani apotek dengan

baik, tidak membuat apotek mengalami kelangkaan obat yang essensial.

Apoteker harus bisa menjalani prinsip farmakoekonomi dengan baik dalam

melakukan pelayanan, termasuk juga memastikan penggunaan terapi yang

mahal secara selektif sesuai diagnosis yang tepat. Jika apoteker sudah

mengerti tugasnya dalam kerangka BPJS nanti, dan memiliki komitmen dalam

pelaksanaanya, maka apoteker pun memiliki hak untuk menerima biaya jasa
33

apoteker dalam pelayanan kefarmasian. Menurut Drs. M. Dani Pratomo, MM.,

Apt, Ketua umum IAI, biaya jasa apoteker bisa dihitung dari ekspektasi

pendapatan dibagi kapasitas dalam memberikan pelayanan. Namun, seperti

halnya profesi lain, biaya jasa bisa disepakati bersama untuk membentuk

dasarnya (Redaksi Majalah Medisina, 2013)

6. Metode penentuan harga

Metode penentuan harga menurut Fandy Tjiptono (2001) secara garis

besar dibagi menjadi empat:

a. Metode penetapan harga berbasis permintaan

Metode ini lebih menekankan faktor-faktor yang mempengaruhi selera dan

preferensi pelanggan daripada faktor-faktor seperti biaya, laba dan

persaingan. Terdapat tujuh metode penetapan harga berbasis permintaan,

yaitu sebagai berikut:

1) Skimming pricing

Strategi ini diterapkan dengan jalan menetapkan harga tinggi bagi

suatu produk baru atau inovatif selama tahap perkenalan, kemudian

menurunkan harga tersebut pada saat persaingan mulai ketat.

2) Penetration pricing

Dalam strategi ini perusahaan berusaha memperkenalkan suatu produk

baru dengan harga rendah dengan harapan akan dapat memperoleh

volume penjualan yang besar dalam waktu yang relatif singkat.


34

3) Prestige Pricing

Harga dapat digunakan oleh pelanggan sebagai ukuran kualitas atau

prestige suatu barang/jasa. Dengan demikian bila harga diturunkan

sampai dengan tingkat tertentu, maka permintaan terhadap barang atau

jasa tersebut akan turun. Prestige pricing merupakan strategi

menetapkan harga yang tinggi sehingga konsumen yang sangat peduli

dengan statusnya akan tertarik dengan produk, dan kemudian

membelinya.

4) Price lining

Price lining digunakan apabila perusahaan menjual produk lebih dari

satu jenis. Harga untuk lini produk tersebut bisa bervariasi dan

ditetapkan pada tingkat harga tertentu yang berbeda.

5) Odd-even pricing

Bila kita masuk ke sebuah supermarket, kerapkali kita menjumpai

barang-barang yang ditawarkan dengan harga yang ganjil, misalnya Rp

1.595 atau Rp 9.975. Harga-harga tersebut ditetapkan dengan metode

odd-even pricing, yakni harga yang besarnya mendekati jumlah genap

tertentu.

6) Demand-backward pricing

Perusahaan kadangkala memperkirakan suatu tingkat harga yang

bersedia dibayar oleh konsumen untuk produk-produk yang relatif

mahal seperti halnya shopping good (misalnya pakaian dan sepatu

untuk anak-anak dan wanita, mainan anak-anak). Kemudian


35

perusahaan yang bersangkutan menentukan margin yang harus

dibayarkan kepada wholesaler dan retailer. Setelah itu barulah harga

jualnya dapat ditentukan. Jadi proses ini berjalan ke belakang,

sehingga istilahnya disebut demand backward pricing. Berdasarkan

suatu target harga tertentu, kemudian perusahaan menyesuaikan

kualitas komponen-komponen produknya. Dengan kata lain, produk

didesain sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi target harga yang

ditetapkan.

7) Bundle pricing

Bundle pricing merupakan strategi pemasaran dua atau lebih produk

dalam satu harga paket. Misalnya dalam travel agency menawarkan

paket liburan yang mencakup tranportasi, akomodasi, dan konsumsi.

Bundle pricing didasarkan pada pandangan bahwa konsumen lebih

menghargai nilai suatu paket tertentu secara keseluruhan daripada nilai

masing-masing item secara individual.

b. Metode penetapan harga berbasis biaya

Dalam metode ini faktor penentu harga yang utama adalah aspek

penawaran atau biaya, bukan aspek permintaan. Harga ditentukan

berdasarkan biaya produksi dan pemasaran yang ditambah dengan jumlah

tertentu sehingga dapat menutup biaya-biaya langsung, biaya overhead,

dan laba. Terdapat empat metode dalam penetapan harga berbasis biaya

yaitu sebagai berikut:


36

1) Standard markup pricing

Dalam standard markup pricing, harga ditentukan dengan jalan

menambahkan persentase tertentu dari biaya pada semua item dalam

suatu kelas produk. Biasanya produk-produk yang tingkat

perputarannya tinggi dikenakan markup yang lebih kecil daripada

produk-produk yang tingkat perputarannya rendah.

2) Cost plus percentage of cost pricing

Banyak perusahaan manufaktur, arsitektural, dan konstruksi yang

menggunakan berbagai variasi standard markup pricing. Dalam cost

plus percentage of cost pricing, perusahaan menambahkan persentase

tertentu terhadap biaya produksi atau kontruksi. Misalnya suatu

perusahaan arsitektur menetapkan tarif 15% dari biaya kontruksi

sebuah rumah. Jadi, bila biaya kontruksi sebuah rumah sebesar 100

juta dan fee arsitek sebesar 15% dari biaya kontruksi (Rp15 juta) maka

harga akhirnya sebesar 115 juta rupiah.

3) Cost plus fixed fee pricing

Metode ini banyak diterapkan dalam produk-produk yang sifatnya

sangat teknikal, seperti mobil, pesawat atau satelit. Dalam strategi ini

pemasok atau produsen akan mendapatkan ganti atas semua biaya yang

dikeluarkan, seberapapun besarnya, tetapi produsen tersebut hanya

memperoleh fee tertentu sebagai laba yang besarnya tergantung pada

biaya final proyek tersebut yang disepakati bersama.


37

4) Experience curve pricing

Metode ini dikembangkan atas dasar konsep efek belajar (learning

effect) yang menyatakan bahwa unit cost barang dan jasa akan

menurun antara 10% hingga 30% untuk setiap peningkatan sebesar dua

kali lipat pada pengalaman perusahaaan dalam memproduksi dan

menjual barang atau jasa tersebut.

c. Metode penetapan harga berbasis laba

Metode ini berusaha menyeimbangkan pendapatan dan biaya dalam

penetapan harganya. Upaya ini dapat dilakukan atas dasar target volume

laba spesifik atau dinyatakan dalam bentuk persentase terhadap penjualan

atau investasi. Metode ini dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai

berikut:

1) Target profit pricing

Target profit pricing umumya berupa ketetapan atas besarnya target

laba tahunan yang dinyatakan secara spesifik.

2) Target return on sales pricing

Dalam metode ini, perusahaan menetapkan tingkat harga tertentu yang

dapat menghasilkan laba dalam persentase tertentu terhadap volume

penjualan.Biasanya metode ini digunakan oleh jaringan-jaringan

supermarket.

3) Target return on investment pricing (ROI)

Dalam metode ini, perusahaan menetapkan besarnya suatu target ROI

tahunan, yaitu rasio antara laba dengan investasi total yang ditanamkan
38

perusahaan pada fasilitas produksi dan aset yang mendukung produk

tertentu. Kemudian harga ditentukan agar dapat mencapai target ROI

tersebut.

d. Metode penetapan harga berbasis persaingan

Selain berdasarkan pada pertimbangan biaya, permintaan, atau, laba, harga

dapat ditetapkan atas dasar persaingan, yaitu apa yang dilakukan pesaing.

Metode penetapan harga berbasis persaingan terdiri atas empat macam

yaitu sebagai berikut:

1) Costumary pricing

Metode ini digunakan untuk produk-produk yang harganya ditentukan

oleh faktor-faktor seperti tradisi, saluran distribusi yang

terstandardisasi, atau faktor persaingan lainnya. Penetapan harga yang

dilakukan berpegang teguh pada tingkat harga tradisonal. Perusahaaan

berusaha untuk tidak mengubah harga di luar batas-batas yang diterima.

Untuk itu perusahaan menyesuaikan ukuran dan isi produk guna

mempertahankan harga.

2) Above, at, or below market pricing

Umumnya sangat sulit untuk mengidentifikasikan harga pasar spesifik

untuk suatu produk atau kelas produk tertentu. Oleh karena itu,

seringkali ada perusahaan yang menggunakan pendekatan subjektif

dalam memperkirakan harga pesaing atau harga pasar. Berdasarkan

patokan subyektif tersebut, kemudian perusahaan secara cermat


39

memilih strategi penetapan harga yang berada diatas, sama, atau

dibawah harga pasar.

3) Loss leader pricing

Kadangkala untuk keperluan promosi khusus, ada perusahaan yang

menjual harga suatu produk dibawah biayanya. Tujuannya bukan

untuk meningkatkan penjualan produk yang bersangkutan, tetapi untuk

menarik konsumen supaya datang ke toko dan membeli pula produk-

produk lainnya, khususnya produk-produk yang bermarkup cukup

tinggi. Jadi, suatu produk dijadikan semacam penglaris agar produk

lainnya juga laku. Penetapan harga penglaris (loss-leader pricing)

merupakan alat untuk mempromosikan retailer dan bukan produknya,

sehingga kebanyakan produsen tidak suka bila produk-produknya

dijadikan penglaris.

4) Sealed bid pricing

Metode ini menggunakan sistem penawaran harga dan biasanya

melibatkan agen pembelian. Jadi, bila ada perusahaan atau lembaga

yang ingin membeli suatu produk, maka yang bersangkutan

menggunakan jasa agen pembelian untuk menyampaikan spesifikasi

produk yang dibutuhkan kepada para calon produsen. Setiap calon

produsen diminta untuk menyampaikan harga penawarannya untuk

kuantitas yang dibutuhkan. Harga penawaran tersebut harus diajukan

dalam jangka waktu tertentu, kemudian diadakan semacam lelang


40

untuk menentukan penawaran terendah yang memenuhi syarat untuk

melaksanakan kontrak pembelian.

Anda mungkin juga menyukai