Anda di halaman 1dari 88

BAB I

PENDAHULUAN

Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh terhadap pengaruh luar, baik

pengaruh fisik maupun pengaruh kimia. Kulit pun mendukung penampilan

seseorang. Penampilan kulit biasanya terganggu dengan adanya rangsangan

sentuhan, rasa sakit maupun pengaruh buruk dari luar. Gangguan-gangguan ini

dapat menyebabkan kulit terkena penyakit. Penyakit yang paling sering diderita

dalam permasalah kulit ini adalah jerawat (Wasitaatmadja, 2008).

Jerawat yang selanjutnya disebut acne vulgaris adalah penyakit kulit

obstruktif dan inflamatif kronik pada unit pilosebasea yang sering terjadi pada

masa remaja (Movita, 2013). Jerawat biasanya muncul pada permukaan kulit

wajah, leher, dada dan pungggung pada saat kelenjar minyak pada kulit terlalu

aktif sehingga pori-pori kulit akan tersumbat oleh timbunan lemak yang

berlebihan. Jika timbunan itu bercampur dengan keringat, debu dan kotoran lain,

maka akan menyebabkan timbunan lemak dan bintik hitam pada bagian atasnya

yang disebut komedo (Wasitaatmadja, 2008).

Salah satu bakteri yang umum menginfeksi jerawat adalah

Propionibacterium acnes. Propionibacterium acnes merupakan bakteri yang

menetap dalam kulit normal, namun bersifat aerotoleran dan tumbuh secara aerob.

Propionibacterium acnes ikut serta dalam patogenesis jerawat dengan

menghasilkan lipase, yang memecahkan asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam

1
lemak ini dapat menimbulkan radang jaringan dan ikut menyebabkan jerawat

(Jawetz et al, 2007).

Saat ini, clindamycin adalah salah satu antibiotik yang paling sering

digunakan dalam pengobatan acne vulgaris. Tetapi, penggunaannya secara luas

memunculkan strain P. acnes yang resisten terhadap clindamycin (Nugroho,

2013). Salah satu pilihan alternatif pengganti antibiotika adalah dengan

menggunakan obat tradisional yang berasal dari tanaman. Dari berbagai tanaman

obat yang ada, sereh wangi (Cymbopogon nardus L.) merupakan salah satu

tanaman yang memiliki banyak manfaat. Hasil penyulingan daun dan batang sereh

wangi diperoleh minyak atsiri yang dalam dunia perdagangan dikenal dengan

nama Citronella Oil.

Hasil profil kromatografi menggunakan Gas Chromatography Mass

Spectrometry (GCMS) menunjukkan bahwa konstituen utama minyak sereh wangi

tersebut adalah sitronelal, geraniol dan sitronelol, senyawa monoterpen tersebut

memiliki aktivitas antibakteri yang kuat. Pada semua konsentrasi di atas Minimum

Bacterisid concentration (MBC) 0,625 µL/ml minyak ini mampu membunuh

Propionibacterium acnes (Lertsatitthanakorn, 2010). Minyak sereh wangi mampu

menghambat aktivitas bakteri Propionibacterium acnes DMST 21824 dengan

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) 0,125% dengan zona hambat sekitar

19,5±0,5 mm (Luangnarumitchai et al, 2007). Sasaran utama dari minyak sereh

wangi dalam membunuh bakteri ini adalah menghancurkan dinding sel bakteri

dan merusak bahan intraseluler bakteri sehingga dapat mengakibatkan kematian

pada bakteri.

2
Minyak sereh wangi mempunyai sifat yang hidrofobik sehingga

mempunyai masalah dalam kelarutannya. Salah satu cara untuk meningkatkan

kelarutan obat hidrofobik adalah dengan melakukan pengembangan di bidang

sistem penghantaran obat dalam bentuk nanoemulsi. Nanoemulsi merupakan

sistem penghantaran obat yang terdiri atas fase air dan fase minyak yang

distabilkan oleh kombinasi antara surfaktan dan kosurfaktan dengan rata–rata

droplet berukuran 50-500 nm (Mandal and Bera, 2012). Nanoemulsi merupakan

salah satu alternatif untuk mensolubilisasi zat aktif yang bersifat hidrofob,

meningkatkan absorbsi, meningkatkan bioavaibilitas obat serta dapat

diadministrasikan secara oral, parenteral, topikal maupun transdermal (Savardekar

and Amrita, 2016).

Penambahan gelling agent pada sediaan nanoemulsi dapat meningkatkan

viskositas sistem nanoemulsi, sehingga pemberian secara transdermal menjadi

lebih nyaman dan meningkatkan waktu kontak pada kulit. Selain itu gelling agent

juga dapat mempengaruhi stabilitas nanoemulsi karena viskositas tinggi

menyebabkan pergerakan droplet-droplet minyak menjadi terhambat dan

mencegah terbentuknya coalescence, sehingga ukuran droplet akan stabil dalam

penyimpanan dengan lama waktu tertentu. Kombinasi antara gelling agent dan

nanoemulsi menjadi suatu sediaan disebut nanoemulgel (Olivera et al, 2011).

Perbedaan antara nanoemulgel dengan emulgel yang beredar terletak pada

ukuran droplet nanoemulgel lebih kecil dibandingkan dengan emulgel, sehingga

akan meningkatkan penetrasi obat melalui kulit (Tadros, 2005). Selain itu

penggunaan nanoemulgel dapat meningkatkan nilai estetika sediaan karena

3
nanoemulgel memiliki sifat–sifat tiksotropik, tidak berminyak, mudah dioles,

mudah dihilangkan, emolien dan transparan (Chellapa et al, 2015). Sehingga

memformulasi minyak sereh wangi dalam bentuk sediaan nanoemulgel

merupakan pilihan yang tepat sebagai antijerawat.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti mencoba untuk mengembangkan

sediaan nanoemulgel dari minyak sereh wangi sebagai antibakteri terhadap

Propionibacterium acnes. Diharapkan dengan dibuatnya sediaan nanoemulgel

minyak sereh wangi ini akan dihasilkan sediaan yang mempunyai partikel-partikel

kecil yang dapat berpenetrasi ke dalam kulit dengan sifat fisik dan aktivitas

antibakteri yang baik sehingga dapat mengatasi permasalahan pada kulit dan dapat

membunuh bakteri penyebab jerawat.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Umum Sereh Wangi

2.1.1 Klasifkasi Sereh Wangi

Kedudukan taksonomi tanaman sereh wangi menurut Santoso (2007) :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Trachebionta

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Sub Kelas : Commelinidae

Ordo : Poales

Famili : Graminae/Poaceae

Genus : Cymbopogon

Species : Cymbopogon nardus L. Rendle

2.1.2 Deskripsi Sereh Wangi

Merupakan rumput tegak, menahun, dengan perakaran sangat dalam dan

kuat. Batang tegak atau condong, membentuk rumpun, pendek, masif, dan

berbentuk bulat. Daun tunggal, lengkap, berpelepah, dan bagian permukaan sering

kali berwarna merah. Susunan malai atau bulir majemuk, bertangkai atau duduk,

dan biasanya berwarna putih (Utami, 2008).

5
2.1.3 Kandungan Kimia Sereh Wangi

Tabel 1. Susunan kimia minyak sereh wangi

Senyawa penyusun Kadar (%)

Sitronellal 32-45

Geraniol 12-18

Sitronellol 12-15

Geraniol Asetat 3-8

Sitronellil Asetat 2-4

L-Limonene 2-5

Elenol dan Seskwiterpene lain 2-5

Elemen dan Cadinene 2-5

Sumber: (Ketaren, 1985)

Menurut Burdock (2002) senyawa utama minyak sereh wangi adalah

sitronellal, geraniol dan sitronellol.

Sitronelal Sitronelol Geraniol

Gambar 1. Struktur Sitronelal, Sitronelol, dan Geraniol (Kadarohman,

2009)

6
2.1.4 Manfaat Sereh Wangi

Sereh wangi digunakan sebagai peluruh air seni, peluruh keringat, peluruh

dahak/ekspektoran, penghangat badan, karminativ, penambah nafsu makan,

pengobatan pasca persalinan, antipiretik dan antispasmodik (Utami, 2008). Hasil

studi dari Simic et al (2004) membuktikan bahwa senyawa sitronelal, trans-

geraniol dan sitronelol yang dominan pada minyak sereh wangi memiliki aktivitas

antimikroba terhadap bakteri. Minyak atsiri dari C. winterianus/C. nardus

menunjukkan aktivitas terhadap B. cereus, M. luteus dan S. aureus tetapi tidak

aktif terhadap bakteri gram-negatif seperti bakteri E. coli, P. mirabilis, dan P.

tolasii pada konsentrasi diuji. Secara umum, bakteri gram-positif lebih sensitif

dibandingkan gram-negatif.

Minyak atsiri sereh wangi mampu menghambat aktivitas bakteri

Propionibacterium acnes dengan KHM 0,125% (Luangnarumitchai et al, 2007).

Sasaran utama dari minyak sereh wangi dalam membunuh bakteri ini adalah

menghancurkan dinding sel bakteri dan merusak bahan intraseluler bakteri

sehingga dapat mengakibatkan kematian pada bakteri.

2.2 Minyak Atsiri

Minyak atsiri adalah zat berbau yang terkandung dalam tanaman. Minyak

ini disebut juga minyak menguap, minyak eteris atau minyak esensial karena pada

suhu biasa (suhu kamar) mudah menguap di udara terbuka. Istilah esensial dipakai

karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya. Dalam keadaan segar

dan murni tanpa pencemar, minyak atsiri umumnya tidak berwarna. Namun, pada

7
penyimpanan lama minyak atsiri dapat teroksidasi dan membentuk resin serta

warnanya berubah menjadi lebih tua (gelap). Untuk mencegah supaya tidak

berubah warna, minyak atsiri harus terlindungi dari pengaruh cahaya, misalnya

disimpan dalam bejana gelas yang berwarna gelap. Bejana tersebut juga diisi

sepenuh mungkin sehingga tidak memungkinkan berhubungan langsung dengan

oksigen udara, ditutup rapat, serta disimpan ditempat yang kering dan sejuk

(Gunawan dan Mulyani, 2004).

2.2.1 Sifat Minyak Atsiri

Sifat dari minyak atsiri yaitu (Gunawan dan Mulyani, 2004):

1. Tersusun oleh bermacam-macam komponen senyawa

2. Memiliki bau khas. Umumnya bau ini mewakili bau tanaman asalnya. Bau

minyak atsiri satu dengan yang lainnya berbeda-beda, sangat tergantung dari

macam dan intensitas bau dari masing-masing komponen penyusunnya.

3. Mempunyai rasa getir, kadang-kadang berasa tajam, menggigit, memberi

kesan hangat sampai panas, atau justru dingin ketika terasa di kulit, tergantung

dari jenis komponen penyusunnya.

4. Dalam keadaan murni (belum tercemar oleh senyawa lain) mudah menguap

pada suhu kamar sehingga bila diteteskan pada selembar kertas maka ketika

dibiarkan menguap, tidak meninggalkan bekas noda pada benda yang

ditempel.

8
5. Bersifat tidak bisa disabunkan dengan alkali dan tidak bisa berubah menjadi

tengik. Ini berbeda dengan minyak lemak yang tersusun oleh asam-asam

lemak.

6. Bersifat tidak stabil terhadap pengaruh lingkungan, baik pengaruh oksigen

udara, sinar matahari, dan panas karena terdiri dari berbagai macam

komponen penyusun.

7. Indeks bias umumnya tinggi

8. Pada umumnya bersifat optis aktif dan memutar bidang polarisasi dengan

rotasi yang spesifik karena banyak komponen penyusun yang memiliki atom

C asimetrik.

9. Pada umumnya tidak dapat bercampur dengan air, tetapi cukup dapat larut

hingga dapat memberikan baunya kepada air walaupun kelarutannya sangat

kecil.

10. Sangat mudah larut dalam pelarut organik.

2.2.2 Metode Isolasi Minyak Atsiri

Isolasi minyak atsiri terdiri dari empat metode yaitu (Gunawan dan

Mulyani, 2004):

1. Metode destilasi

Diantara metode-metode isolasi yang paling lazim dilakukan adalah

metode destilasi. Beberapa metode destilasi yang dilakukan:

a. Metode destilasi kering (langsung dari bahannya tanpa menggunakan air).

Metode ini paling sesuai untuk bahan tanaman yang kering dan untuk

9
minyak-minyak yang tahan pemanasan (tidak mengalami perubahan bau

dan warna saat dipanaskan), misalnya oleoresin dan copaiba.

b. Destilasi air, meliputi destilasi air dan uap air dan destilasi uap air

langsung. Metode ini dapat digunakan untuk bahan kering maupun bahan

segar dan terutama digunakan untuk minyak-minyak yang kebanyakan

dapat rusak akibat panas kering. Seluruh bahan dihaluskan kemudian

dimasukkan kedalam bejana yang bentuknya mirip dandang.

2. Metode penyarian

Metode penyarian digunakan untuk minyak-minyak atsiri yang tidak tahan

pemanasan, seperti cendana. Kebanyakan dipilih metode ini karena kadar

minyaknya di dalam tanaman segar rendah/kecil. Bila dipisahkan dengan

metode lain, minyaknya akan hilang selama proses pemisahan. Pengambilan

minyak atsiri menggunakan cara ini diyakini sangat efektif karena sifat

minyak atsiri yang larut sempurna di dalam bahan pelarut organik nonpolar.

3. Metode pengepresan atau pemerasan

Metode pengepresan atau pemerasan dilakukan terutama untuk minyak-

minyak atsiri yang tidak stabil dan tidak tahan pemanasan seperti minyak

jeruk (citrus). Juga terhadap minyak-minyak atsiri yang bau dan warnanya

berubah akibat pengaruh pelarut penyari.

4. Metode enfleurage

Metode enfleurage adalah metode penarikan bau minyak atsiri yang

dikeluarkan pada media lilin. Metode ini digunakan karena diketahui ada

beberapa jenis bunga yang setelah dipetik, enzimnya masih menunjukkan

10
kegiatan dalam menghasilkan minyak atsiri sampai beberapa hari/minggu,

misalnya bunga melati, sehingga perlu perlakuan yang tidak merusak aktivitas

enzim tersebut secara langsung.

2.3 Nanoemulsi

Nanoemulsi adalah sistem emulsi transparan, bening yang terdiri dari dua

cairan yang tidak saling bercampur dimana salah satu cairan terdispersi sebagai

droplet-droplet dalam cairan lain dengan bantuan surfaktan yang memiliki ukuran

droplet 50-500 nm (Mandal and Bera, 2012). Nanoemulsi merupakan salah satu

alternatif untuk mensolubilisasi zat aktif yang bersifat hidrofob, meningkatkan

absorpsi, meningkatkan bioavaibilitas obat, meminimalkan efek samping obat oral

serta dapat diadministrasikan secara topikal, parenteral, oral, maupun transdermal.

Nanoemulsi merupakan sistem penghantaran obat yang menjanjikan dimasa depan

dalam bidang kosmetik, diagnostik, terapi obat dan bioteknologi (Savardekar and

Amrita, 2016).

2.3.1 Komponen Nanoemulsi

Ada 3 komponen penyusun dari nanoemulsi yaitu fase minyak, fase air,

surfaktan/kosurfaktan. Minyak merupakan salah satu komponen yang penting

dalam formulasi nanoemulsi karena dapat melarutkan bahan aktif lipofilik.

Surfaktan yang umum digunakan adalah surfaktan nonionik karena memiliki

toksisitas yang rendah dibandingkan surfaktan ionik. Penggunaan surfaktan saja

tidak cukup mampu untuk mengurangi tegangan antarmuka antara minyak-air,

11
sehingga dibutuhkan kosurfaktan untuk membantu menurunkan tegangan

antarmuka. Tegangan muka antar minyak dan air menjadi semakin kecil dengan

penambahan kosurfaktan sehingga nanoemulsi lebih stabil baik secara kinetik

maupun fisik dibandingkan dengan makroemulsi. Implikasi dari kestabilan

nanoemulsi akan meminimalkan proses creaming, flokulasi, coalescence, dan

sedimentasi. Penambahan kosurfaktan selain dapat menurunkan tegangan

antarmuka air-minyak, kosurfaktan juga bisa meningkatkan fluiditas pada

antarmuka sehingga dapat meningkatkan entropi sistem. Kosurfaktan juga dapat

meningkatkan mobilitas ekor hidrokarbon sehingga penetrasi minyak pada bagian

ekor menjadi lebih besar (Gupta et al, 2010).

2.3.2 Tipe Nanoemulsi

Ada 3 tipe nanoemulsi menurut Savardekar dan Amrita (2016) yaitu:

1. Tipe minyak dalam air (M/A atau O/W) yaitu sistem dimana fasa minyak

terdispersi dalam fasa air. Nanoemulsi tipe M/A atau O/W akan terbentuk jika

volume minyak lebih sedikit dari volume air.

2. Tipe air dalam minyak (A/M atau W/O) yaitu sistem dimana fasa air

terdispersi dalam fasa minyak. Nanoemulsi tipe A/M atau W/O akan terbentuk

jika volume air lebih sedikit dari volume minyak.

3. Tipe kesetimbangan air dan minyak (bicontinous) akan terbentuk volume jika

volume air sama banyak dengan volume minyak.

12
2.3.3 Keuntungan dan Kerugian Nanoemulsi

Nanoemulsi memiliki keuntungan sebagai berikut (Tadros, 2005):

1. Ukuran tetesan sangat kecil menyebabkan penurunan gaya gravitasi dan gerak

brown yang mungkin cukup untuk mengatasi gravitasi. Hal ini berarti tidak

terjadi creaming selama penyimpanan.

2. Ukuran tetesan yang kecil dapat mencegah terjadinya flokulasi dan

memungkinkan sistem untuk tetap tersebar tanpa adanya pemisahan, serta

dapat mencegah coalescence.

3. Nanoemulsi cocok untuk penghantaran bahan aktif melewati kulit. Luas

permukaan yang besar dari sistem emulsi memungkinkan penetrasi yang cepat

dari bahan aktif.

4. Karena ukuran yang kecil, nanoemulsi dapat melewati permukaan kulit yang

kasar dan dapat meningkatkan penetrasi obat.

5. Karena sifatnya yang transparan dan fluiditasnya (pada konsentrasi minyak

yang sesuai) dapat memberikan estetika yang menarik dan menyenangkan saat

digunakan.

Namun nanoemulsi juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya adalah

memerlukan surfaktan dan kosurfkatan dalam konsentrasi yang cukup besar untuk

menjaga kestabilan nanoemulsi, terjadinya ostwald ripening yang menyebabkan

ketidakstabilan dalam penyimpanan jangka panjang (Bhosale et al, 2014).

Ostwald ripening terjadi karena penggabungan droplet-droplet nanoemulsi

yang kecil menjadi droplet yang memiliki ukuran lebih besar. Semakin bertambah

besar ukuran droplet pada penyimpanan nanoemulsi akan mengakibatkan

13
perubahan pada nanoemulsi yang semula jernih atau transparan menjadi keruh

(Sharma et al, 2011)

2.4 Gel

Gel merupakan sediaan semi padat yang terdiri dari dispersi partikel

anorganik atau molekul organik yang terbungkus atau terserap dalam cairan, dapat

berupa masa transparan hingga buram, biasanya digunakan untuk tujuan luar

(Anonim, 2014). Gel merupakan salah satu bentuk sediaan transdermal yang

mempunyai beberapa keunggulan dibanding jenis sediaan lain, yaitu memiliki

kemampuan pelepasan obat yang baik, mudah dibersihkan dengan air,

memberikan efek dingin akibat penguapan lambat di kulit, mempunyai

kemampuan penyebaran yang baik di kulit (Voigt, 1994).

Disamping itu gel juga mempunyai kekurangan, dimana gel tidak cocok

untuk bahan yang tidak larut karena dapat mengeras dan membatu, sehingga dapat

merusak sediaan. Hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan pelarut organik

yang dapat melarutkan zat aktif yang tidak larut dalam air (Carter, 1975).

2.5 Nanoemulgel

Nanoemulgel merupakan penggabungan antara nanoemulsi dengan gelling

agent. Biocompatible antara nanoemulsi dan gelling agent menyebabkan

terjadinya interaksi dengan surfaktan sehingga dapat mempengaruhi sifat alir

nanoemulsi. Gelling agent juga akan mempengaruhi karakteristik sistem

nanoemulsi, meliputi viskositas, ukuran droplet, dan % transmisi. Penambahan

14
gelling agent pada sediaan nanoemulsi akan mempengaruhi stabilitas nanoemulsi

dengan cara meningkatkan viskositas sistem nanoemulsi, karena itu pergerakan

droplet-droplet minyak menjadi terhambat dan mencegah terbentuknya

coalescence, sehingga ukuran droplet akan stabil dalam penyimpanan dengan

lama waktu tertentu (Olivera et al, 2011).

Gelling agent memiliki bermacam varian diantaranya seperti karbomer 980,

karbomer 940, karbomer 934, xanthan gum dan carrageen telah dimanfaatkan

untuk meningkatkan viskositas nanoemulsi dalam sistem penghantaran obat

melalui kulit (Bhura et al, 2015). Penggunaan nanoemulgel dapat meningkatkan

nilai estetika sediaan karena nanoemulgel memiliki sifat–sifat tiksotropik, lebih

stabil, tidak berminyak, mudah dioles, dan memiliki penampilan yang transparan

(Chellapa et al, 2015).

2.6 Kulit

Kulit merupakan “selimut” tubuh yang memiliki fungsi utama sebagai

pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Luas kulit pada

manusia rata-rata sekitar 2 m2 dengan berat 10 kg jika ditimbang dengan

lemaknya atau 4 kg jika tanpa lemak, atau beratnya sekitar 16% dari berat badan

seseorang (Tranggono and Latifah, 2007). Kulit merupakan organ yang esensial

dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat

kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan

juga bergantung pada lokasi tubuh (Wasitaatmadja, 2008).

15
2.6.1 Anatomi Kulit

Tiga lapisan utama pada kulit adalah (Wasitaatmadja, 2008):

1. Epidermis

Lapisan epidermis terdiri atas stratum korneum (lapisan tanduk), stratum

lusidum, stratum granolosum (lapisan keratohialin), stratum spinosum

(stratum malphigi) dan stratum basale.

2. Lapisan dermis

Lapisan dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal

dari pada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat

dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi

menjadi dua bagian yakni:

a. Pars papilar, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung

serabut saraf dan pembuluh darah.

b. Pars retikulare, yaitu bagian dibawahnya yang menonjol ke arah

subkutan, bagian ini terdiri atas serabut kolagen, elastin dan retikulin.

3. Lapisan subkutis

Lapisan subkutis adalah lanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar

berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar,

dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini

membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh

trabekula yang fibrosa. Lapisan sel lemak disebut panikulus adiposus yang

berfungsi sebagai cadangan makanan. Lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf

tepi, pembuluh darah dan saluran getah bening.

16
2.6.2 Fisiologi Kulit

1. Proteksi

Pada epidermis terdapat serabut elastis serta pada subkutan terdapat

jaringan lemak yang dapat berfungsi mencegah trauma mekanik langsung

pada tubuh. Kadar air tubuh dapat dijaga oleh lapisan tanduk dan mantel

sehingga akan mencegah masuknya air dari luar tubuh dan penguapan air,

fungsi lain dari lapisan tanduk dan mantel yaitu sebagai barier terhadap racun

dari luar. Pertumbuhan bakteri dikulit dapat dicegah oleh mantel asam.

2. Absorbsi

Beberapa bahan diabsorbsi kulit dapat melalui epidermis ataupun melalui

kelenjar sebasea. Bahan yang larut dalam lemak akan lebih mudah untuk

diabsorbsi jika dibandingkan dengan bahan yang larut dalam air.

3. Persepsi sensoris

Kulit bertanggung jawab pada rangsangan dari luar seperti tekanan, raba,

nyeri dan suhu melalui reseptornya seperti Korpuskulum Pacini sebagai

reseptor tekanan, Benda Meissner, Diskus Merkell, dan Korpuskulum Golgi

sebagai reseptor raba, Nervus End Plate sebagai reseptor nyeri, dan

Korpuskulum Ruffini dan Benda Krauss sebagai reseptor suhu.

4. Thermoregulasi

Kulit dapat mengatur suhu tubuh melalui dilatasi dan kontriksi pembuluh

kapiler dan melalui perspirasi yang keduanya dipengaruhi oleh saraf otonom.

Ketika suhu tubuh turun maka akan terjadi vasokontriksi, dan ketika suhu

17
tubuh tinggi maka akan terjadi vasodilatasi yang digunakan untuk membuang

panas.

5. Fungsi lain

Selain fungsi di atas kulit juga dapat menggambarkan status emosional

seseorang dengan memerah, memucat atau kontraksi otot penegak rambut

(Tranggono dan Latifah, 2007).

2.6.3 Jenis Kulit

a. Kulit normal

Kulit normal merupakan kulit ideal yang sehat, tidak kusam dan

mengkilat, segar dan elastis dengan minyak dan kelembapan yang cukup.

b. Kulit berminyak

Kulit berminyak adalah kulit yang mempunyai kadar minyak di

permukaan kulit yang berlebihan sehingga tampak mengkilap, kotor, kusam,

biasanya pori-pori kulit besar sehingga kesannya kasar dan lengket.

c. Kulit kering

Kulit kering adalah kulit yang mempunyai lemak di permukaan kulit yang

kurang ataupun sedikit lepas dan retak, kaku, tidak elastis dan terlihat kerutan.

d. Kulit kombinasi

Pada jenis kulit kombinasi, jumlah sebasea dan keringat tidak merata. Jenis

kulit kombinasi mempunyai ciri kulit dahi, hidung, dan dagu tampak

mengkilap, berjerawat, tetapi kulit di bagian pipi tampak lembut (Tranggono

dan Latifah, 2007).

18
2.7 Jerawat

Jerawat yang selanjutnya disebut acne vulgaris adalah penyakit kulit

obstruktif dan inflamatif kronik pada unit pilosebasea yang sering terjadi pada

masa remaja (Movita, 2013). Jerawat adalah penyakit kulit akibat peradangan

menahun dari folikel pilosebasea yang ditandai dengan adanya erupsi komedo,

papul, pustul, nodus, dan kista yang biasanya muncul pada permukaan kulit

wajah, leher, lengan atas, dada dan punggung. Radang saluran kelenjar minyak

kulit tersebut dapat menyebabkan sumbatan aliran sebum yang dikeluarkan oleh

kelenjar sebasea di permukaan kulit, sehingga kemudian timbul erupsi ke

permukaan kulit yang dimulai dengan komedo, selanjutnya komedo berkembang

menjadi papul, pustul, nodus dan kista (Wasitaatmadja, 2008).

2.7.1 Tipe Jerawat

Ada 3 tipe jenis jerawat yang sering dijumpai, yaitu (Dewi, 2009) :

a. Tipe yang pertama adalah komedo

Komedo adalah pori-pori yang tersumbat, bisa terbuka atau tertutup.

Komedo yang terbuka disebut sebagai blackhead, terlihat seperti pori-pori

yang membesar dan menghitam. Berwarna hitam sebenarnya bukan kotoran

tetapi merupakan penyumbat pori yang berubah warna karena teroksidasi

dengan udara. Komedo yang tertutup atau whiteheads, biasanya memiliki

kulit yang tumbuh di atas pori-pori yang tersumbat maka terlihat seperti

tonjolan putih kecil-kecil di bawah kulit.

19
b. Tipe yang kedua adalah jerawat biasa atau klasik

Jenis jerawat klasik ini mudah dikenal yaitu terdapat tonjolan kecil

berwarna pink atau kemerahan. Hal ini terjadi karena pori-pori yang tersumbat

terinfeksi dengan bakteri yang terdapat di permukaan kulit, kuas make-up, dan

jari tangan. Stress, hormon, dan udara yang lembab dapat memperbesar

kemungkinan infeksi jerawat karena menyebabkan kulit memproduksi minyak

yang merupakan tempat berkembangbiaknya bakteri.

c. Tipe yang ketiga adalah cystic acne (jerawat batu atau jerawat jagung)

Biasanya jerawat batu memiliki bentuk yang besar dengan tonjolan-

tonjolan yang meradang hebat dan berkumpul di seluruh wajah. Penderita

jerawat ini dikarenakan faktor genetik yang memiliki banyak kelenjar minyak

sehingga pertumbuhan sel-sel kulit tidak normal dan tidak dapat mengalami

regenerasi secepat kulit normal.

2.7.2 Patogenesis Jerawat

Patogenesis jerawat meliputi empat faktor, yaitu hiperproliferasi epidermis

folikuler sehingga terjadi sumbatan folikel, produksi sebum berlebihan, inflamasi,

dan aktivitas P. acnes. Androgen berperan penting pada patogenesis acne

tersebut. Acne mulai terjadi saat adrenarke, yaitu saat kelenjar adrenal aktif

menghasilkan dihidroepiandrosteron sulfat, prekursor testosteron. Penderita acne

memiliki kadar androgen serum dan kadar sebum lebih tinggi dibandingkan

dengan orang normal, meskipun kadar androgen serum penderita acne masih

dalam batas normal. Androgen akan meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan

20
merangsang produksi sebum. Epitel folikel rambut bagian atas, yaitu

infundibulum, menjadi hiperkeratotik dan kohesi keratinosit bertambah sehingga

terjadi sumbatan pada muara folikel rambut. Selanjutnya di dalam folikel rambut

tersebut terjadi akumulasi keratin, sebum, dan bakteri, dan menyebabkan dilatasi

folikel rambut bagian atas, membentuk mikrokomedo. Mikrokomedo yang berisi

keratin, sebum, dan bakteri, akan membesar dan ruptur. Selanjutnya, isi

mikrokomedo yang keluar akan menimbulkan respons inflamasi. Akan tetapi,

terdapat bukti bahwa inflamasi dermis telah terjadi mendahului pembentukan

komedo (Movita, 2013).

P. acnes adalah faktor ke empat terjadinya acne. Bakteri gram positif dan

anaerob yang merupakan flora normal kelenjar pilosebasea. Remaja dengan acne

memiliki konsentrasi P. acnes lebih tinggi dibandingkan remaja tanpa acne, tetapi

tidak terdapat korelasi antara jumlah P. acnes dengan berat acne. Peranan P.

acnes pada patogenesis acne adalah memecah trigliserida, salah satu komponen

sebum, menjadi asam lemak bebas sehingga terjadi kolonisasi P. acnes yang

memicu inflamasi. Selain itu, antibodi terhadap antigen dinding sel P. acnes

meningkatkan respons inflamasi melalui aktivitas komplemen (Movita, 2013).

2.7.3 Pengobatan Jerawat

Pengobatan jerawat terdiri dari (Wasitaatmadja, 2010):

1. Pengobatan topikal

Prinsip pengobatan topikal adalah mencegah pembentukan komedo,

menekan peradangan dan mempercepat penyembuhan lesi acne.

21
2. Pengobatan sistemik

Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan aktivitas jasad

renik di samping dapat juga menekan reaksi radang, menekan produksi sebum

dan mempengaruhi keseimbangan hormonal.

3. Bedah kulit

Bedah kulit ditujukan untuk memperbaiki jaringan parut yang terjadi

akibat jerawat. Tindakan dapat dilaksanakan setelah jerawat sembuh baik

dengan cara bedah listrik, bedah kimia, bedah beku, bedah pisau, dermabrasi

atau bedah laser.

2.8 Bakteri Propionibacterium acnes

Klasifikasi Propionibacterium acnes adalah (Brooks et al, 2008):

Kingdom : Bacteria

Phylum : Actinobacteria

Class : Actinomycetales

Ordo : Propionibacterineae

Family : Propionibacteriaceae

Genus : Propionibacterium

Species : Propionibacterium acnes

Propionibacterium acnes merupakan bakteri flora normal pada kulit,

biasanya bakteri ini terdapat pada folikel sebasea. Tidak hanya itu

Propionibacterium acnes juga dapat ditemukan pada jaringan manusia, paru-paru

22
dan jaringan prostat. Kulit merupakan habitat utama dari Propionibacterium

acnes, namun dapat juga diisolasi dari rongga mulut, saluran pernafasan bagian

atas, saluran telinga eksternal, konjungtiva usus besar, uretra dan vagina (Oprica,

2006).

Propionibacterium acnes bersifat aerotoleran dan tumbuh secara aerob.

Bakteri ini tumbuh dengan lambat dan bersifat gram positif. Propionibacterium

acnes ikut serta dalam patogenesis jerawat dengan menghasilkan lipase, yang

memecahkan asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam lemak ini dapat

menimbulkan radang jaringan dan ikut menyebabkan jerawat (Jawetz et al, 2007).

2.9 Penentuan Aktivitas Antimikroba

Penentuan aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu

metode difusi dan metode dilusi. Pada metode difusi termasuk didalamnya metode

disk diffusion (tes Kirby & Baur), E-test, ditch-plate technique, cup-plate

technique. Sedangkan pada metode dilusi termasuk didalamnya metode dilusi cair

dan dilusi padat (Pratiwi, 2008).

A. Metode difusi menurut Pratiwi (2008) diantaranya :

1. Metode disk diffusion (tes Kirby & Baur) menggunakan piringan yang

berisi agen antimikroba, kemudian diletakkan pada media agar yang

sebelumnya telah ditanami mikroorganisme sehingga agen antimikroba

dapat berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan

adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba

pada permukaan media agar.

23
2. Metode E-test digunakan untuk mengestimasi Kadar Hambat Minimum

(KHM), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat

menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan

strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah

sampai tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah

ditanami mikroorganisme sebelumnya. Pengamatan dilakukan pada area

jernih yang ditimbulkan yang menunjukan kadar agen antimikroba yang

menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar.

3. Ditch-plate technique. Pada metode ini sampel uji berupa agen

antimikroba yang diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara

memotong media agar dalam cawan Petri pada bagian tengah secara

membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam) digoreskan ke arah parit

yang bersi agen antimikroba tersebut.

4. Cup-plate technique. Metode ini serupa dengan disk diffusion, dimana

dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan

mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang

akan diuji.

B. Metode dilusi menurut Pratiwi (2008) diantaranya adalah :

1. Metode dilusi cair/broth dilution test. Metode ini digunakan untuk

mengukur Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh

Minimum (KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri

pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan

dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang

24
terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai

KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur

ulang pada media cair tanpa penanaman mikroba uji ataupun agen

antimikroba, dan diinkubasi umumnya selama 18-24 jam. Media cair yang

tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM.

2. Metode dilusi padat (solid dilution test). Metode ini serupa dengan metode

dilusi cair namun menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode

ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan

untuk menguji beberapa mikroba uji.

2.10 Uraian Bahan-Bahan Dalam Formulasi

1. Tween 80

Polioksietilen 20 sorbitan monoeleat atau tween 80 berupa cairan seperti

minyak, jernih berwarna kuning muda hingga coklat muda, bau khas lemah, rasa

pahit dan hangat. Kelarutan dari tween 80 ini adalah sangat mudah larut dalam air,

larutan tidak berbau dan praktis tidak berwarna, larut dalam etanol, dalam etil

asetat, tidak larut dalam minyak mineral (Anonim, 2014).

Tween 80 memiliki rumus molekul C64H124O26, dengan berat molekul 1310

g/mol, dan nilai HLB sebesar 15. Senyawa ini bersifat stabil terhadap elektrolit,

asam atau basa lemah, tetapi incompatible dengan basa kuat karena dapat

menyebabkan terjadinya saponifikasi. Selain itu, dapat terjadi pengendapan atau

perubahan warna pada tween 80 karena adanya senyawa fenol, tanin, dan

antimikroba golongan paraben (Rowe et al, 2009).

25
Tween 80 telah digunakan secara luas dibidang kosmetik maupun farmasetik

karena sifatnya yang tidak iritatif dan tidak toksik. Penggunaan tween 80 pada

bidang farmasi selain sebagai surfaktan adalah sebagai solubilizing agent (agen

pelarut) dan wetting agent (agen pembasah) dalam konsentrasi 0,1-15% (Rowe et

al, 2009).

2. Propilen glikol

Cairan jernih, tidak berwarna, kental, tidak berbau dengan sedikit rasa manis

dan pedas seperti gliserin. Propilen glikol mempunyai rumus molekul C3H8O2

dengan berat molekul 76,09. Propilen glikol dapat bercampur dengan aseton,

kloroform, etanol (95%), gliserin dan air; larut dalam 6 bagian eter, tidak

bercampur dengan minyak mineral atau fixed oils, tetapi larut dalam beberapa

minyak esensial (Anonim, 2014).

Propilen glikol berfungsi sebagai pengawet antimikroba, desinfektan,

humektan, plasticizer, pelarut, stabilizer untuk vitamin dan kosolven yang dapat

bercampur dengan air. Aktivitas antiseptiknya setara dengan etanol dan dapat

menghambat pertumbuhan jamur. Propilen glikol biasa digunakan dalam

formulasi farmasetika dan secara umum dianggap sebagai material yang

nontoksik. Konsentrasi propilen glikol sebagai pelarut dan kosolven pada

penggunaan topikal ialah 5-80%. Penggunaan propilen glikol 10% dapat

digunakan untuk meningkatkan efikasi dari paraben sebagai bahan pengawet dan

mencegah interaksi antara surfaktan non-ionik (tween 80) dan metilparaben

(Rowe et al, 2009).

26
3. Carbopol 940

Karbomer atau yang biasa disebut dengan carbopol merupakan salah satu

gelling agent yang digunakan dalam aplikasi farmasetika. Karbomer sebagai

gelling agent biasanya digunakan dalam konsentrasi berkisar antara 0,5–2%.

Bahan ini berbentuk serbuk hablur putih, sedikit berbau khas, dan higroskopis

sehingga perlu disimpan dalam wadah tertutup baik. Carbopol dapat mengembang

di air dan gliserin, dan setelah netralisasi etanol (95%), membentuk struktur

mikrogel tiga dimensional. Carbopol 940 merupakan grade yang memiliki

viskositas tertinggi yaitu 40.000-60.000 cP sehingga digunakan sebagai gelling

agent yang baik (Rowe et al, 2009). Carbopol didispersikan ke dalam air

membentuk larutan asam yang keruh kemudian dinetralkan dengan basa kuat

seperti sodium hidroksida, trietanolamin, atau dengan basa inorganik lemah

(contoh: ammonium hidroksida), sehingga akan meningkatkan konsistensi dan

mengurangi kekeruhan (Rowe et al, 2009).

4. Natrium Hidroksida (NaOH)

Natrium hidroksida (NaOH) juga dikenal sebagai soda kaustik atau sodium

hidroksida yang merupakan jenis basa logam kaustik. Sering digunakan dalam

sediaan farmasi dan industri makanan dan umumnya tidak menimbulkan toksik

dalam konsentrasi rendah. Natrium hidroksida digunakan dalam sediaan farmasi

untuk menetralkan pH suatu larutan. Natrium hidroksida mudah larut dalam air

dan dalam etanol. Konsentrasi natrium hidroksida sebagai alkalis berkisar 0,05%-

5% (Rowe et al, 2009).

27
5. Aquadest

Aquadest digunakan sebagai pelarut dan pembawa pada formulasi

farmasetika. Pada aplikasi farmasi, air dimurnikan dengan cara destilasi,

pertukaran ion, reverse osmosis (RO), atau beberapa proses lain yang sesuai untuk

menghasilkan aquadest. Karakteristik aquadest adalah cairan jernih, tidak

berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa (Rowe et al, 2009).

28
BAB III

METODE PENELITIAN

2.11 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Maret sampai bulan Agustus 2018.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Farmasi, Laboratorium

Biofarmasi, dan Laboratorium Farmasetik Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau dan

Laboratorium Teknologi Farmasi VII di Institut Teknologi Bandung.

2.12 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas, botol

kaca, homogenizer, magnetic stirrer, particle size analyzer (PSA), sonikator,

sentrifugator, refraktometer, pH meter, viskometer stormer, piknometer,

Spektrofotometer UV-Vis, hot plate, cawan Petri, inkubator, oven, autoklaf,

neraca analitik, aluminium foil, jarum Ose, jangka sorong, bunsen, lampu

spiritus, kain kasa, kapas, kertas perkamen, pinset, pipet mikro, pipet tetes, rak

tabung reaksi, dan tabung reaksi.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah oleum citronella

(CV. Eteris Nusantara), carbopol 940 (Asian Group, Indonesia), tween 80,

propilen glikol, NaOH, aquadest (PT. Brataco Chemical, Indonesia),

Propionibacterium acnes ATCC 11828, NA (Nutrient Agar), dan Larutan NaCl

0,9%.

29
2.13 Rancangan Penelitian

1. Pemeriksaan bahan baku

2. Uji pendahuluan dan rancangan formula

3. Pembuatan basis gel carbophol

4. Pembuatan nanoemulsi minyak sereh wangi

5. Pembuatan nanoemulgel minyak sereh wangi

6. Evaluasi sediaan

a. Organoleptis

b. Penentuan ukuran partikel

c. Pengukuran pH

d. Uji persen transmitan

e. Pengukuran viskositas

f. Uji kestabilan

g. Pengukuran bobot jenis

h. Uji iritasi kulit

7. Uji aktivitas antibakteri

8. Analisis data

2.14 Prosedur Penelitian

2.14.2 Pemeriksaan Bahan Baku

a. Pemeriksaan Organoleptis

Uji organoleptis dilakukan secara visual dengan mengamati

bentuk, warna dan bau.

30
b. Pemeriksaan kelarutan

Oleum citronella diambil sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke

dalam erlenmeyer kemudian dititrasi menggunakan pelarut air dan

etanol . Catat jumlah pelarut yang digunakan untuk melarutkan zat dan

tentukan kelarutan zat terhadap pelarut air dan etanol.

c. Pemeriksaan bobot jenis

Piknometer bersih dan kering ditimbang (A g). Selanjutnya,

piknometer diisi dengan air dan ditimbang (A1 g). Air dikeluarkan dari

piknometer dan piknometer dibersihkan. Sampel atau bahan baku

diisikan kedalam piknometer dan ditimbang (A2 g). Bobot jenis diukur

dengan perhitungan :

A2−A
Bobot jenis : A1−A x 1 g/ml

Keterangan : A = Piknometer bersih dan kering

A1 = Piknometer + air

A2 = Piknometer + sampel

d. Pemeriksaan pH

Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH-meter. Mula–mula

elektroda dikalibrasi dengan dapar standar pH 4 dan pH 7. Proses

kalibrasi selesai apabila pH yang tertera pada layar telah sesuai dengan

pH standar dapar dan stabil. Kemudian elektroda dicelupkan ke dalam

sediaan. Nilai pH yang muncul dilayar kemudian dicatat. Pengukuran

dilakukan pada suhu ruang.

31
e. Pemeriksaan Indeks Bias

Pemeriksaan indeks bias dilakukan dengan menggunakan

refraktometer. Mula mula refraktometer digital disterilkan

menggunakan alkohol 70 %. Sampel minyak atsiri diteteskan ke dalam

lubang uji. Nilai indeks bias yang tertera di refraktometer kemudian

dicatat.

2.14.3 Uji Pendahuluan dan Rancangan Formula

Uji pendahuluan dimaksudkan untuk menentukan konsentrasi dari minyak

sereh wangi dengan menggunakan basis carbopol 940® sehingga menghasilkan

nanoemulgel yang jernih dan stabil serta mempunyai daya antibakteri yang baik

terhadap Propionibacterium acnes. Susunan formula yang didapat berdasarkan

hasil penelitian oleh Aprila (2016) sebagai berikut:

Tabel 2. Formula Nanoemulgel Minyak Sereh Wangi

Bahan Fungsi Formula I Formula II Formula III


Minyak sereh wangi Fase minyak 0,5% 1% 3%
Tween 80 Surfaktan 35% 35% 35%
Propilen glikol Kosurfaktan 20% 20% 20%
Basis gel Gelling agent 20% 20% 20%
Aquadest Fase air Ad 100 Ad 100 Ad 100

Tabel 3. Formula Basis Gel

Bahan Fungsi Konsentrasi


Carbopol 940® Basis gel 1%
NaOH Penetralisir 0,2%
Aquadest Fase air Ad 100

32
3.4.3 Pembuatan Basis gel Carbopol 940®

Ditimbang carbopol 940® sesuai kebutuhan dan didispersikan dalam air

panas suhu 80oC sebanyak 20 kali berat carbopol 940® dan biarkan mengembang

selama 15 menit. Kemudian dihomogenkan dengan homogenizer dengan

kecepatan 2500 rpm sampai terbentuk basis gel yang baik. NaOH dilarutkan

dalam aquadest kemudian ditambahkan ke dalam basis gel. Campuran ini diaduk

dan dihomogenkan dengan menggunakan homogenizer dalam suhu ruang.

3.4.4. Pembuatan Nanoemulsi Minyak Sereh Wangi

Pembuatan nanoemulsi dimulai dengan menimbang semua bahan sesuai

formula. Fase air dibuat dengan menggabungkan tween 80 dan aquadest. Tween

80 dan aquadest dipanaskan diatas penangas air hingga suhunya mencapai 50ºC.

Kemudian diaduk dengan menggunakan magnetic stirer dengan kecepatan 1000

rpm. Minyak sereh wangi dicampur dan diaduk hingga homogen lalu dimasukkan

ke dalam campuran tween 80 dan aquadest. Setelah itu ditambahkan propilen

glikol ke dalam campuran sedikit demi sedikit dengan menggunakan pipet tetes.

Campuran diaduk dengan magnetic stirer dengan kecepatan 1000 rpm selama 45

menit pada suhu 50ºC.

3.4.5. Pembuatan Nanoemulgel Minyak Sereh Wangi

Nanoemulsi minyak sereh wangi yang telah dibuat dicampurkan perlahan

kedalam basis gel yang telah dibuat dan dihomogenkan dengan homogenizer

kecepatan 3000 rpm selama lebih kurang 30 menit dan kemudian di sonikator

selama 20 menit pada suhu ruang.

33
2.15 Evaluasi Sediaan

3.5.1 Organoleptis

Pengamatan dilakukan secara visual pada saat sediaan telah selesai dibuat.

Uji organoleptis dilakukan dengan mengamati warna, bau, kejernihan, dan

pemisahan fase (Anonim, 2014).

3.5.2 Penentuan Ukuran Partikel (Particle size analyzer)

Sampel yang telah disimpan diteteskan sebanyak 4 tetes pada tempat

sampel dalam particle size analyzer (PSA), kemudian alat ditutup dan dibaca hasil

pengukuran pada monitor komputer yang terhubung langsung dengan PSA.

3.5.3 Pengukuran pH

Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH-meter. Mula–mula elektroda

dikalibrasi dengan dapar standar pH 4 dan pH 7. Proses kalibrasi selesai apabila

pH yang tertera pada layar telah sesuai dengan pH standar dapar dan stabil.

Kemudian elektroda dicelupkan ke dalam sediaan. Nilai pH yang muncul dilayar

kemudian dicatat. Pengukuran dilakukan pada suhu ruang (Yuliani et al, 2016).

3.5.4 Uji Persen Transmitan

Sampel sebanyak 1 mL dilarutkan dalam labu takar 100 mL dengan

menggunakan aquadest. Larutan diukur persen transmitan pada panjang

gelombang 650 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Aquadest digunakan

sebagai blangko saat pengujian (Yuliani et al, 2016).

34
3.5.5 Pengukuran Viskositas

a. Penentuan Kv alat

Viskositas diukur dengan menggunakan alat viskometer Stormer.

Penentuan nilai Kv menggunakan gliserin sebagai cairan uji. Gliserin

dimasukan ke dalam wadah, naikkan alas wadah hingga bob terbenam dalam

sediaan. Beri beban tertentu dan lepaskan kunci pengatur putaran sehingga

beban turun dan bob berputar. Lakukan prosedur dengan pemberat anak

timbangan (w) yang bervariasi 50, 60, 70, 80, 90 dan 100 gram. Catat nilai

rpm naik dan turun pada anak timbangan, dengan nilai viskotisas gliserin 400

cps. Tentukan nilai Kv dengan rumus:

Rpm
Kv = η
W

b. Penentuan viskositas

Viskositas diukur dengan menggunakan alat viskometer Stormer. Sampel

5% b/v dimasukkan kedalam wadah, naikkan alas wadah hingga bob dapat

terbenam dalam sediaan. Beri beban tertentu dan lepaskan kunci pengatur

putaran sehingga beban turun dan bob berputar. Lakukan prosedur dengan

pemberat anak timbangan (w) yang bervariasi 50, 60, 70, 80, 90 dan 100

gram. Catat nilai rpm yang dihasilkan pada setiap anak timbangan yang

berbeda, kemudian hitung viskositas menggunakan persamaan:

W
η = Kv
Rpm

35
3.5.6 Uji Kestabilan

a. Sentrifugasi

Sampel dimasukkan dalam tabung sentrifugasi kemudian sentrifugator

dengan kecepatan putaran 3800 rpm selama 5 jam. Hasil perlakuan tersebut

ekivalen dengan efek gravitasi selama satu tahun. Kondisi fisik sediaan

dibandingkan setelah percobaan dengan kondisi fisik sediaan sebelum

percobaan (Lachman et al, 1994).

b. Uji Freeze and Thaw

Metode freeze and thaw dilakukan dengan menyimpan sediaan

nanoemulgel minyak sereh wangi pada suhu 4ºC selama 24 jam kemudian

dipindahkan ke suhu 40ºC selama 24 jam (1 siklus). Setelah itu dilanjutkan

sampai 6 siklus. Setiap 1 siklus selesai dilihat ada tidaknya pemisahan fase

pada sediaan nanoemulgel oleum citronella (Gozali et al, 2009).

3.5.7 Pengukuran Bobot Jenis

Bobot jenis diukur menggunakan piknometer. Piknometer dibersihkan

dengan cara dibilas dengan aquadest lalu keringkan. Timbang piknometer kosong

(W0). Timbang piknometer diisi dengan aquadest (W1). Timbang piknometer

berisi sediaan nanoemulsi gel oleum citronella ( W2 ) (Anonim, 2014).


𝑊2−𝑊0
BJ dihitung dengan rumus : BJ = 𝑊1−𝑊0x 1g/ml

3.5.8 Uji Iritasi Kulit

Nanoemulgel ditimbang 0,1 gram, oleskan pada kulit lengan bagian dalam

dengan diameter 2 cm kemudian ditutupi dengan kain kasa dan plaster. Setelah itu

36
dilihat gejala yang ditimbulkan setelah 24 jam pemakaian. Uji iritasi dilakukan

pada 3 orang (1 pria dan 2 wanita) untuk masing-masing formula.

3.6 Uji Aktivitas Antibakteri

1. Sterilisasi Alat dan Bahan

Seluruh peralatan yang akan digunakan terlebih dahulu harus dibersihkan

dengan cara dicuci kemudian dikeringkan, lalu bungkus dengan menggunakan

kertas perkamen. Untuk alat-alat gelas ditutup mulutnya dengan kapas yang

telah dibungkus dengan kain kasa. Kemudian semua peralatan yang tahan

panas disterilkan dalam oven pada suhu 160oC selama 2 jam. Pinset, jarum

Ose, dan spatel disterilkan dengan cara pemijaran di atas nyala api lampu

spiritus selama beberapa detik. Untuk media pertumbuhan bakteri dilakukan

sterilisasi di dalam autoclave selama 15 menit pada suhu 121 oC.

2. Pembuatan Media Pembenihan

Sebanyak 10 gram serbuk medium Nutrient Agar (NA) dilarutkan di

dalam 500 ml aquadest dalam erlenmeyer dan dipanaskan sampai larut hingga

mendidih. Erlenmeyer ditutup dengan kain kasa dan kapas disterilkan dalam

autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit (Lay, 1994). Untuk pembuatan

media agar miring maka media Nutrient Agar yang sudah steril dituang ke

dalam tabung reaksi steril sebanyak 5 ml. Media dituang dalam kondisi hangat

(40 oC – 45 oC). Tabung reaksi yang berisi media dimiringkan dengan

kemiringan 45 oC. Bagian mulut tabung reaksi disumbat dengan kapas yang

dibalut dengan kain kasa steril dan ditunggu sampai media memadat.

37
3. Peremajaan Bakteri

Bakteri uji ditumbuhkan pada medium Nutrient Agar (NA) dengan cara

menggoreskan bakteri dari biakan murni menggunakan jarum Ose pada

permukaan agar miring. Bakteri yang telah digoreskan pada media kemudian

diinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam.

4. Pengujian Aktivitas Antibakteri

a. Pembuatan Suspensi Bakteri

Koloni bakteri uji disuspensikan dalam NaCl fisiologis dengan cara

mengencerkannya dalam tabung reaksi dan dihomogenkan. Jumlah bakteri

dalam suspensi diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis sehingga

diperoleh suspensi dengan transmitan 25% pada panjang gelombang 580

nm.

b. Uj Aktivitas Antibakteri Sediaan

Sebanyak 0,3 ml suspensi bakteri dimasukkan ke dalam cawan

Petri kemudian ditambahkan 15 ml media NA yang telah dicairkan dan

didinginkan sampai suhu 45 oC kemudian dihomogenkan dan dibiarkan

memadat. Pada media agar dibuat 6 sumuran yang diisi dengan

nanoemulgel formula 1, 2, 3, nanoemulsi, aquadest sebagai kontrol negatif

dan klindamisin gel sebagai kontrol positif lalu sediaan diambil masing

masing sebanyak 50 mg, dan diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37 oC

selama 18-24 jam. Selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap diameter

daerah hambat bakteri dengan menggunakan jangka sorong.

38
3.7 Analisis Data

Dari hasil pengamatan yang diperoleh pada sediaan nanoemulgel akan

disajikan dalam bentuk tabel dan grafik dari hasil pengamatan selama 8 minggu.

39
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Pemeriksaan bahan aktif yang digunakan sesuai dengan persyaratan

sertifikat meliputi pemerian, bobot jenis dan indeks bias. Hasil dapat

dilihat pada lampiran 4 tabel 4.

2. Pemeriksaan bahan tambahan yaitu tween 80, propilenglikol, carbopol

940, dan NaOH yang digunakan sesuai dengan persyaratan Farmakope

Indonesia Edisi V meliputi pemeriksaan pemerian dan kelarutan. Hasil

dapat dilihat pada lampiran 5 tabel 5 sampai tabel 8.

3. Pemeriksaan organoleptis sediaan nanoemulgel minyak sereh wangi

selama 8 minggu penyimpanan meliputi bentuk, warna, bau, kejernihan,

dan pemisahan fase. Diamati secara organoleptis, sediaan nanoemulgel

minyak sereh wangi F1, F2, dan F3 yang diperoleh berbentuk cairan

kental dengan warna kuning bening, berbau khas, jernih dan tidak terjadi

pemisahan fase. Hasil dapat dilihat pada lampiran 6 tabel 9.

4. Penentuan ukuran partikel menggunakan alat Particle Size Analyzer

(PSA) menunjukkan bahwa ukuran partikel nanoemulgel F1 yaitu 5475,6

nm, F2 yaitu 0,0 nm dan F3 yiatu 2963,8 nm tidak berada pada kisaran

ukuran partikel nanoemulsi yaitu 50-500 nm. Hasil dapat dilihat pada

lampiran 7 tabel 10.

40
5. Pengukuran pH sediaan nanoemulgel minyak sereh wangi selama 8

minggu penyimpanan berkisaran antara 6,2-6,6. Hasil dapat dilihat pada

lampiran 8 tabel 11.

6. Uji persen transmitan pada awal penyimpanan F1, F2, dan F3 adalah

99,402 %, 99,792%, 99,756%, dan setelah penyimpanan selama 8 minggu

adalah 99,487%, 99,683%, san 99,268%. Hasil dapat dilihat pada

lampiran 9 tabel 12.

7. Penentuan viskositas dan sifat alir nanoemulgel minyak sereh wangi pada

beban 100 g awal penyimpanan adalah 6,9953 Poise - 30,9696 Poise dan

setelah penyimpanan 8 minggu nilai viskositas yang diperoleh 12,2339

Poise - 27,1796 Poise. Hasil dapat dilihat pada lampiran 10 tabel

13sampai 15.

8. Pemeriksaan kestabilan freeze and thaw yang dilakukan selama 6 siklus

menunjukkan bahwa sediaan nanoemulgel minyak sereh wangi tetap

stabil pada suhu 4ºC dan 40ºC sedangkan pemeriksaan kestabilan dengan

sentifugasi selama 5 jam dengan kecepatan 3800 rpm menunjukkan

bahwa sediaan nanoemulgel minyak sereh wangi tidak terjadi pemisahan.

Hasil dapat dilihat pada lampiran 11 tabel 16.

9. Pengukuran bobot jenis nanoemulgel minyak sereh wangi pada awal

penyimpanan adalah 1,059-1,069 g/ml dan setelah penyimpanan selama 8

minggu adalah 1,052-1,061 g/ml. Hasil dapat dilihat pada lampiran 12

tabel 17.

41
10. Uji iritasi kulit dengan cara uji tempel tertutup yang dilakukan pada 3

orang panelis untuk setiap formula selama 24 jam, menunjukkan bahwa

sediaan nanoemulgel minyak sereh wangi tidak menimbulkan iritasi pada

kulit. Hasil dapat dilihat pada lampiran 13 tabel 18.

11. Uji aktivitas antibakteri sediaan nanoemulgel minyak sereh wangi Pada

minggu pertama didapatkan zona bening sebesar 13,3 nm (F1), 12,1 nm

(F2), 9,7 nm (F3), 11,4 nm (Nanoemulsi), 22,1 nm (kontrol positif), dan

0,0 nm (kontrol negatif). Pada minggu kedelapan didapatkan zona bening

sebesar 13,5 nm (F1), 12,9 nm (F2), 10,5 nm (F3), 13,4 nm (Nanoemulsi),

23,7 nm (kontrol positif), dan 0,0 nm (kontrol negatif).

4.2 Pembahasan

Penelitian ini memformulasikan suatu sediaan nanoemulgel minyak sereh

wangi yang bertujuan untuk menghasilkan suatu sediaan yang mempunyai

partikel-partikel kecil yang dapat berpenetrasi ke dalam kulit dengan sifat fisik

dan aktivitas antibakteri yang baik sehingga dapat mengatasi permasalahan pada

kulit dan dapat membunuh bakteri penyebab jerawat.

Nanoemulgel terdiri dari beberapa komponen antara lain zat aktif, fase

minyak, fase air, surfaktan, kosurfaktan, dan basis gel. Fase minyak yang

digunakan adalah minyak sereh wangi yang sekaligus berkhasiat sebagai zat aktif,

minyak sereh wangi mempunyai sifat yang hidrofobik sehingga memenuhi

kriteria untuk diformulasikan dalam bentuk sediaan nanoemulgel. Minyak sereh

wangi dipilih sebagai zat aktif pada penelitian ini karena berdasarkan hasil profil

42
kromatografi menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS)

yang dilakukan oleh Lertsatitthanakorn (2010) menunjukkan bahwa konstituen

utama minyak sereh wangi adalah sitronelal, geraniol dan sitronelol, senyawa

monoterpen tersebut memiliki aktivitas antibakteri yang kuat. Sasaran utama dari

minyak sereh wangi dalam membunuh bakteri ini adalah menghancurkan dinding

sel bakteri dan merusak bahan intraseluler bakteri sehingga dapat mengakibatkan

kematian pada bakteri.

Surfaktan dan kosurfaktan yang digunakan pada penelitian ini yaitu tween

80 dan propilen glikol. Tween 80 merupakan golongan surfaktan non ionik yang

memiliki toksisitas rendah, tidak mengiritasi kulit dan memiliki HLB yang tinggi

yaitu 15 sehingga mudah larut dalam air dan dapat digunakan untuk nanoemulsi

tipe M/A (Rowe et al 2003), selai itu surfaktan dapat digunakan untuk

menurunkan tegangan permukaan antara fase minyak dan fasse air serta

meningkatkan kelarutan obat yang sukar larut atau tidak larut air (Martin et al,

1993). Pada pembuatan nanoemulsi dibutuhkan juga kosurfaktan sebagai

pembantu surfaktan dalam mempertahankan kestabilan antara fase minyak dan

fase air. Propilen glikol digunakan sebagai kosurfaktan propilen glikol merupakan

golongan alkohol rantai pendek, dengan molekulnya yang kecil dapat dengan

cepat berada di antara minyak dan air. Gelling agent yang digunakan adalah

karbopol 940. Karbopol merupakan polimer sintetik sehingga kemungkinan

terjadinya sineresis lebih kecil dibandingkan polimer alam. Karbopol 940

merupakan grade yang memiliki viskositas tertinggi yaitu 40.000-60.000 cP

sehingga digunakan sebagai gelling agent yang baik (Rowe et al, 2009). Pada

43
penelitian ini tidak digunakan pengawet, seperti metil paraben atau propil paraben

agar hasl uji aktivitas antibakterinya tidak bias antara minyak sereh wangi dengan

pengawetnya.

Pada penelitian ini, konsentrasi minyak sereh wangi yang digunakan

adalah 0,5%, 1 % dan 3%, konsentrasi ini dipilih berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan Luangnarumitchai (2007), yang menunjukkan bahwa minyak

sereh wangi mampu menghambat aktivitas bakteri Propionibacterium acnes

DMST 21824 dengan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) 0,125% dengan

zona hambat sekitar 19,5±0,5 mm. Konsentrasi minyak yang terlalu tinggi

mengakibatkan sulitnya membuat sediaan nanoemulsi karena terjadinya

ketidakstabilan. Sedangkan konsentrasi tween 80, propilenglikol, dan basis gel

dipilih berdasarkan pada data penelitian yang telah dilakukan oleh Aprilla (2016).

Dari penelitian yang dilakukan oleh Aprilla (2016), menunjukkan bahwa tween 80

dengan konsentrasi 30% belum dapat menstabilkan emulsi yang terbentuk

sehingga terbentuk nanoemulsi ynag keruh, setelah ditingkatkan menjadi 35%

dengan bantuan propilenglikol 20% terbentuklah nanoemulsi yang jernih dan

stabil karena konsentrasi yang digunakan cukup untuk membentuk lapisan

pelindung yang menghalangi penggabungan tetesan-tetesan fase dalam.

Sedangkan basis gel yang digunakan adalah 20%, karena pada konsentrasi diatas

20% diperoleh persen transimtan yang rendah dan sediaan yang keruh.

Pembuatan nanoemulgel minyak sereh wangi ini terdiri dari dua proses

yaitu pembuatan nanoemulsi dan basis gel. Nanoemulsi dibuat terlebih dahulu

kemudian ditambahkan basis gel ke dalamnya sehingga diperoleh nanoemulgel.

44
Pembuatan nanoemulgel minyak sereh wangi diawali dengan pengadukan secara

konstan antara surfaktan dan fase air dengan menggunakan magnetic stirrer

kecepatan 1000 rpm suhu 40ºC selama 10 menit. Selanjutnya fase minyak

ditambahkan perlahan-lahan kedalam campuran surfaktan dan diaduk dengan

menggunakan magnetic stirrer kecepatan 1000 rpm selama 5 menit, lalu

ditambahkan propilenglikol dan diaduk selama 10 menit, maka diperoleh suatu

sediaan nanoemulsi. Lama pengadukan juga berpengaruh terhadap hasil akhir dari

sediaan. Pengadukan yang terlalu cepat akan menghasilkan lebih banyak busa

karena banyak udara yang terperangkap didalamnya, sedangkan pengadukan yang

terlalu lambat mengakibatkan bahan-bahan akan sulit homogen (lachman et al,

1994).

Peningkatan suhu juga dapat berpengaruh dalam pembuatan nanoemulgel

dengan menurunkan tegangan antarmuka minyak-air. Oleh karena itu pembuatan

nanoemulsi dengan kecepatan pengadukan 1000 rpm dan suhu 50ºC menghasilkan

sediaan yang lebih jernih dan stabil. Selanjutnya proses pembuatan nanoemulgel

minyak sereh wangi ini dilakukan dengan menambahkan basis gel yaitu carbopol

940 kedalam formula nanoemulsi. Selain menggunakan magnetic stirrer, dalam

pembuatan nanoemulgel juga menggunakan metode lain yaitu menggunakan alat

homogenizer dan sonikasi. Prinsip homogenizer dalam mengecilkan ukuran

partikel adalah dengan adanya tekanan geser (shear stress) pada cairan. Alat ini

dapat menghasilkan emulsi dengan ukuran droplet hingga 1µm. sedangkan

mekanisme pengecilan ukuran partikel dengan sonikasi adalah dengan

memanfaatkan gelombang ultrasonik yang dapat mengubah energi listrik menjadi

45
getaran listrik yang dapat memperkecil ukuran partikel hingga 0,2 µm (Gupta et al,

2010). Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan kombinasi pembuatan

nanoemulgel dengan menggunakan magnetic stirrer, homogenizer dan sonikator.

Setelah memformulasikan suatu sediaan nanoemulgel minyak sereh wangi,

selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap sediaan tersebut. Evaluasi yang akan

dilakukan meliputi : organoleptis, ukuran parikel, pH, persen transmitan,

viskositas, stabilitas, bobot jenis, uji iritasi kulit, dan uji aktivitas antibakteri.

Pengujian organoleptis yang diamati meliputi bentuk, warna, bau,

kejernihan, dan pemisahan fase pada sediaan nanoemulgel minyak sereh wangi

yang dilakukan selama 8 minggu berturut-turut. Pada minggu pertama

pemeriksaan nanoemulgel sediaan nanoemulgel minyak sereh wangi F1, F2, dan

F3 yang diperoleh berbentuk cairan kental dengan warna kuning bening, berbau

khas, jernih dan tidak terjadi pemisahan fase. Setelah minggu ke-8 ketiga formula

tersebut tidak terjadi perubahan bentuk, warna, bau, kejernihan dan pemisahan

fase. Hal ini menunjukkan bahwa dilihat secara organoleptis, ketiga formula tetap

stabil selama penyimpanan 8 minggu.

Pengujian ukuran partikel dilakukan untuk melihat apakah sediaan yang

dihasilkan mempunyai ukuran partikel yang memenuhi kriteria ukuran partikel

nanoemulsi yaitu 50-500 nm (Mandal and Bera, 2012). Pengukuran ukuran

partikel ini dilakukan dengan menggunakan alat VASCO particle size analyzer

(PSA). Prinsip kerja alat ini adalah adanya hamburan cahaya yang terjadi akibat

penembakan sinar laser mengenai partikel dalam sampel. Cahaya yang

46
dihamburkan tersebut akan dibaca oleh detektor foton pada sudut tertentu secara

cepat sehingga dapat menentukan ukuran partikel (Volker, 2009).

Hasil pengujian ukuran partikel nanoemulgel F1, F2 dan F3 secara

berturut-turut adalah 5475,6 nm, F2 yaitu 0,0 nm dan F3 yiatu 2963,8 nm. Dari

hasil pengukuran ukuran partikel dapat disimpulkan bahwa F1, F2 dan F3 tidak

memenuhi kriteria ukuran partikel nanoemulgel. Hal ini mungkin terjadi karena

adanya misel yang masih tetap terbentuk setelah titik CMC tercapai karena

adanya penambahan surfaktan yang berlebih, misel yang terbentuk akan terbaca

pada saat pengukuran partikel karena pada sediaan terbentuk larutan misel

berbentuk bulat (Martin et al, 1993). Ukuran partikel dari misel jauh lebih besar

dibandingkan dengan nanoemulgel yaitu 5-5000 nm (Agoes, 2012) sehingga pada

saat pengukuran partikel tidak hanya partikel dari nanoemulgel saja yang terbaca

pada alat PSA namun juga partikel misel. Selain itu, hal ini bisa disebabkan

karena konsentrasi basis gel yang terlalu besar dan dapat disebabkan karena

ketidakhomogenan sediaan akibat pengadukan yang kurang lama dan kurang

merata. Distribusi ukuran globul juga dapat mengalami perubahan selama

penyimpanan. Peningkatan diamter globul merupakan hal yang umum terjadi

karena ada kemungkinan terjadinya peristiwa Ostwald ripening, dimana globul

yang kecil akan menjadi besar dan membentuk globul yang baru (Sharma et al,

2011).

Pengukuran pH sediaan nanoemulgel minyak sereh wangi dilakukan setiap

minggu selama 8 minggu dengan menggunakan alat pH-meter. pH yang

diinginkan dalam sediaan yaitu pH yang berada dalam kisaran pH kulit, yaitu

47
antara 4,5-6,5 (Tranggono dan Latifah, 2007). pH tidak boleh terlalu asam karena

dapat menyebabkan kulit menjadi iritasi dan juga tidak boleh terlalu basa karena

dapat menyebabkan kulit bersisik. Dari hasil pemeriksaan pH selama 8 minggu

diperoleh kisaran rentang pH 6,2-6,6 dimana nilai tersebut masih pada rentang pH

yang dipersyaratkan untuk sediaan topikal yaitu 6-8 (Anonim, 2001). Setelah

dilakukan pengamatan selama 8 minggu terlihat kecenderungan penurunan pH

pada sediaan yang diduga disebabkan oleh pengaruh CO2 pada sediaan. Adanya

CO2 dari udara akan menyebabkan terbentuknya H2CO3 yang akan melepaskan

H+ dan nanoemulsi yang terbentuk akan menjadi semakin asam. Penurunan pH

juga disebabkan karena hidrolisis tween 80 dalam sediaan yang melepaskan asam

lemak (Kishore et al, 2011) dan dapat juga disebabkan oleh kondisi lingkungan

seperti cahaya serta kelembaban udara (Traggono dan Latifah, 2007).

Persen transmitan diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis

dengan menggunakan blanko aquadest pada panjang gelombang 650 nm.

Pengukuran persen transmitan menunjukkan tingkat kejernihan sediaan

nanoemulgel yang terbentuk. pemeriksaan persen transmitan dilakukan dua kali

yaitu pada minggu ke-1 dan ke-8. Pada pemeriksaan minggu ke-1 hasil yang

didapat dari ketiga formula secara berturut-turut adalah (99,402%), (99,792%) dan

(99,756%). Sedangkan pada minggu ke-8 didapat hasil yaitu (99,487%),

(99,683%) dan (99,268%). Dilihat dari hasil persen transmitan minggu pertama

dan ke-8 dapat disimpulkan bahwa ketiga formula tersebut mendekati kejernihan

aquadest yaitu 100 %.

48
Penentuan viskositas dan sifat alir dilakukan dengan menggunakan

viscometer stormer. Uji viskositas ini diperlukan pada suatu sediaan liquid dan

semisolid karena untuk melihat sifat alir dari sediaan tersebut yang akan

diaplikasikan ke kulit. Viskositas menyatakan secara langsung kekentalan sediaan

tersebut, karena yang diamati adalah ketahanan sediaan untuk mengalir dalam

suatu sistem dibawah stress yang diberikan. Makin kental suatu cairan, makin

besar kekuatan yang diperlukan untuk digunakan supaya cairan tersebut dapat

mengalir dengan laju tertentu (Martin et al, 1993). Viskositas sediaan

nanoemulgel diukur awalnya pada minggu pertama dan minggu ke-8. Pada

minggu pertama viskositas sediaan nanoemulgel F1 pada beban 100 g adalah

16,9953 Poise, F2 25,9657 Poise, dan F3 30,9696 Poise. Setelah disimpan

selama 8 minggu pada suhu kamar menunjukkan hasil viskositas pada beban 100

g F1 adalah 12,2339 Poise, F2 20,6506 Poise dan F3 27,1796 Poise. Setelah

dilakuakan pengukuran viskositas pada minggu ke-8 sediaan pada penyimapan

suhu kamar menunjukkan bahwa ketiga formula mengalami penurunan sehingga

viskositasnya lebih rendah dibandingkan dengan minggu ke-1. Penurunan

viskositas tersebut dikarenaka sebagian tween 80 dalam nanoemulgel mengalami

hidrolisis sehingga terjadi penurunan kemampuan tween 80 untuk mencegah

globul minyak berkoalesensi akibatnya ukuran partikel menjadi lebih besar dan

viskositas menurun. Penurunan viskositas juga dipengaruhi oleh suhu, dimana

dengan meningkatnya suhu maka viskositas akan semakin turun (Martin et al,

1993).

49
Hasil rheogram menunjukkan sifat alir sediaan nanoemulgel F1, F2 dan F3

yang telah disimpan selama 8 minggu pada suhu kamar, tidak menunjukkan

adanya perubahan sifat alir, artinya tetap memiliki sifat alir pseudoplastis

tiksotropik. Disebut aliran pseudoplastis karena kurva aliran ini melalui titik (0,0),

berlawanan dengan aliran plastis sehingga aliran pseudoplastis tidak memiliki

yield value. Aliran pseudoplastis disebut juga sebagai sistem geser encer karena

dengan menaikkan tekanan geser, viskositas akan menjadi turun. Sifat alir

nanoemulgel disebut tiksotropik karena kurva aliran menurun berada di sebelah

kiri kurva menaik, karena perubahan struktur yang tidak kembali ke keadaan

semula dengan segera, apabila tekanan dikurangi. Kurva aliran ini bergantung

pada rate of shear yang meningkat dan berkurang serta lamanya zat mengalami

rate of shear. Aliran pseudoplastis tiksotropik adalah suatu sifat yang diinginkan

dari suatu sistem farmasetik yang idealnya harus mempunyai konsistensi tinggi

dalam wadah, namun dapat dituang dengan mudah (Martin et al, 1993).

Pengujian stabilitas dilakukan dengan uji sentrifugasi dan uji stabilitas

Freeze and Thaw. Sediaan nanoemulgel yang stabil yaitu sediaan yang memenuhi

syarat parameter fisik yang ditentukan dan dapat mempertahankan sifat fisiknya

selama masa penyimpanan. Pengujian sentrifugasi dilakukan untuk mengetahui

adanya pemisahan fase yang mungkin terjadi akibat gaya gravitasi. Sediaan

disentrifugasi pada kecepatan 3750 rpm selama 5 jam setara dengan efek gravitasi

kira-kira selama 1 tahun (Lachman and Lieberman, 1994). Berdasarkan hasil yang

didapat, ketiga formula tidak mengalami pemisahan fase. Hal ini menunjukkan

bahwa sediaan nanoemulgel dan gel stabil jika disimpan dalam waktu 1 tahun.

50
Pengujian stabilitas Freeze and Thaw bertujuan untuk melihat adanya

perubahan penampilan yang dikarenakan perubahan suhu yang ekstrim selama

proses pengamatan. Suhu yang digunakan adalah suhu rendah (4ºC) dan suhu

tinggi (40ºC) yang dilakukan selama 6 siklus. Ketika disimpan pada suhu 4ºC,

terlihat sediaan nanoemulgel F1, F2 dan F3 menunjukkan perubahan tampilan

fisik bi la dibandingkan dengan sediaan sebelum disimpan, dan berwarna putih

susu serta lebih kental. Fase minyak cenderung pula membeku pada suhu rendah,

akibatnya partikel-partikel cenderung untuk bergabung membentuk suatu ikatan

antar partikel yang lebih rapat yang mengakibatkan sediaan berwarna putih susu

karena strukturnya lebih rapat dan teratur (Yati et al, 2011). Ketika ketiga sediaan

dikeluarkan dari tempat penyimpanan suhu rendah dan dipindahkan kesuhu ruang,

maka sediaan kembali kebentuk semula. Ketika sediaan disimpan disuhu tinggi

(40ºC), sediaan nanoemulgel F1, F2 dan F3 tidak menunjukkan adanya perubahan

dengan tidak menunjukkan terjadinya pemisahan fase. Secara keseluruhan hasil

pemeriksaan freeze and thaw yang dilakukan selama 6 siklus menunjukkan bahwa

sediaaan nanoemulgel stabil tanpa adanya perubahan fisik maupun pemisahan

fase.

Bobot jenis didefinisikan sebagai ratio kerapatan suatu zat terhadap

kerapatan air pada suhu 25oC atau temperatur lain yang tertentu (Martin et al,

1993). Pengukuran bobot jenis dilakukan dengan menggunakan piknometer.

Berdasarkan perhitungan, bobot jenis sediaan nanoemulgel pada minggu pertama

F1 adalah 1,059 g/ml, F2 adalah 1,060 g/ml, F3 adalah 1,069 g/ml. setelah

penyimpanan selama 8 minggu dilakukan pengukuran dan perhitungan kembali

51
dan didapatkan hasil bobot jenis F1, F2 dan F3 berturut-turut yaitu 1,052 g/ml,

061 g/ml, 1,066 g/ml. Bobot jenis sediaan mengalami penurunan pada minggu

terakhir yang cenderung tidak terlalu besar yang berarti bobot jenis sediaan relatif

stabil selama penyimpanan selama 8 minggu. Hasil pengukuran bobot jenis ketiga

formula sediaan tidak terlalu besar, yang jika nilai berat jenisnya kecil atau

mendekati berat jenis air maka kerapatannya kecil sehingga sediaan mudah

dituang (Yati et al, 2011).

Pemeriksaan iritasi kulit dari sediaan gel dan nanoemulgel dilakukan pada

3 panelis (2 wanita dan 1 pria) yang dilakukan dengan uji tempel tertutup.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengoleskan 0,1 g sediaan gel dan

nanoemulgel pada lengan bagian atas sebelah dalam dengan diameter 2 cm selama

24 jam dan kemudian ditutup dengan plaster. Hasil pemeriksaan ini menunjukkan

bahwa tidak ada terjadi iritasi primer dan sekunder pada panelis baik pria maupun

wanita sehingga sediaan ini aman untuk digunakan (Anonim, 2014).

Metode pengujian antibakteri yang digunakan adalah metode difusi. Metode

ini dilakukan dengan menggunakan cakram disk atau sumuran yang kedalamnya

dimasukkan antibakteri dan ditempatkan pada media padat yang telah

diinokulasikan dengan bakteri yang akan diujikan. Pengujian antibakteri

dilakukan dengan sedian nanoemulgel minyak sereh wangi dengan F1 0,5%, F2

1%, F3 3%, nanoemulsi serta sebagai pembanding digunakan kontrol negatif

yaitu aquadest dan kontrol positif yaitu klindamisin gel. Klindamisin gel

digunakan sebagai kontrol positif dikarenakan klindamisin merupakan salah satu

antibiotik yang paling sering digunakan dalam pengobatan acne vulgaris.

52
Pengujian aktivitas antibakteri dari sediaan nanoemulgel minyak sereh

wangi dilakukan terhadap bakteri Propionibacterium acnes, yang merupakan

salah satu jenis bakteri penyebab jerawat. Pengamatan aktivitas antibakteri ini

dilakukan dengan menghitung luas diameter zona bening yang dihasilkan.

Pengujian dilakukan pada mingu pertama dan minggu kedelapan. Pada minggu

pertama didapatkan zona bening sebesar 13,3 nm (F1), 12,1 nm (F2), 9,7 nm (F3),

11,4 nm (Nanoemulsi), 22,1 nm (kontrol positif), dan 0,0 nm (kontrol negatif).

Pada minggu kedelapan didapatkan zona bening sebesar 13,5 nm (F1), 12,9 nm

(F2), 10,5 nm (F3), 13,4 nm (Nanoemulsi), 23,7 nm (kontrol positif), dan 0,0 nm

(kontrol negatif).

Pada umumnya, diameter zona hambat berbanding lurus dengan

meningkatnya konsentrasi. Tetapi dari penelitian didapatkan bahwa diameter zona

hambat berbanding terbalik dengan meningkatnya konsentrasi, hal ini terjadi

karena perbedaan kecepatan difusi senyawa antibakteri pada media agar serta

jenis dan konsentrasi senyawa antibakteri yang berbeda (Elifah, 2010). Aktivitas

antibakteri sediaan nanoemulgel maupun nanoemulsi yang didapatkan termasuk

dalam kategori rendah-sedang, hal ini dapat terjadi karena minyak sereh wangi

tersolubilisasi pada sediaan, ketidakhomogenan sediaan sehingga aktivitasnya

berkurang. Faktor lain yang mungkin mengakibatkan aktivitas antibakterinya

rendah adalah karena pada formula tidak ditambahkan bahan bahan pengawet dan

antioksidan sehingga minyak sereh wangi yang ada pada formula juga berperan

sebagai pengawet sekaligus antioksidan pada sediaan sehingga aktivitasnya

sebagai zat aktif, yaitu antibakteri berkurang (Natalia, 2012).

53
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil uji stabilitas fisik, ketiga formula nanoemulgel memiliki

stabilitas fisik yang baik dan namun tidak memenuhi kriteria ukuran partikel

nanoemulgel. Dan berdasarkan hasil uji aktivitas antibakteri didapatkan bahwa

sediaan nanoemulgel minyak sereh wangi F1 mempunyai aktivitas yang lebih

besar dibandingkan F2 dan F3 yaitu sebesar 13,3 mm pada minggu 1 dan 13,5

mm pada minggu 8

5.2 Saran

54
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, G, 2012, Sediaan Farmasi Likuida-Semisolid, Bandung: ITB

Anonim, 2001, British Pharmacopeia 2001, The Stationery Office Limited,


London.

Anonim, 2014, Farmakope Indonesia, Edisi 5, Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.

Aprila, D., 2016, Formulasi Dan Evaluasi Nanoemulgel Piroksikam Sebagai


Sistem Penghantaran Transdermal, Skripsi, Pekanbaru: Sekolah Tinggi
Ilmu Farmasi.

Bhosale. R.R., Osmani. R.A., Ghodake. P.P., Shaikh. S.M., and Chavan. S.R.,
2014, Nanoemulsion: A Review on Novel Profusion in Advanced Drug
Delivery, Indian Journal Pharmacy Biology Res, 2(1): 122-127.

Bhura, M. Rahki G., Khusboo A. Bhagat. and Samir K. Shah., 2015, Formulation
and Evaluation of Topical Nanoemulgel of Adapalene, Word of Pharmacy
and Pharmaceutical Scinece, 3(4): 1013-1024.

Brooks, Geo F., Janet S. Butel dan Stephen A. Morse., 2008, Mikrobiologi
kedokteran, alih bahasa Huriawati Hartono. Jakarta: EGC.

Burdock, G., 2002. Fanarali‘s Handbook of Flavor Ingredients. Boca Raton:


CRC Press.

Carter, J.S., 1975, Dispensing For Pharmaceutical Student, 12 Edition, London:


Pitman Medical.

Chellapa, Padmadevi., Mohamed, Aref T. Mohammed., Eseldin I.Keleb., Eid A.


M,. Issa Y. S., and Elmarzugi N. A., 2015, Nanoemulsion and
Nanoemulgel as a Topical Formulation, IOSR Journal Of Pharmacist,
5(10): 43-47.

Dewi, S.A., 2009, Cara Ampuh Mengobati Jerawat, Jakarta: Buana Pustaka.

55
Gozali, D., Rusmiati, D., and Utama, P., 2009, Formulasi dan Uji Stabilitas
Mikroemulsi Ketokonazol Sebagail Antijamur Candida Albicans dan
Tricophyton Mentagrophytes, Farmaka.

Gunawan, D dan Mulyani S, 2004. Ilmu Obat Alam Farmakognosi Jilid I, Jakarta:
Penebar Swadaya.
Gupta, P.K., Pandit, J.K., Kumar, A., Swaroop, P., and Gupta, S., 2010,
Pharmaceutical Nanotechnology Novel Nanoemulsion–High Energy
Emulsification Preparation, Evaluation And Application, The Pharma
Research, 3: 117-138.

Jawetz E, Melnick JL, and Adelberg EA., 2007, Mikrobiologi Kedokteran, Edisi
23, Jakarta: EGC.

Kadarohman, A., 2009, Eksplorasi Minyak Atsiri Sebagai Bioaditif Bahan Bakar
Solar, Jurnal Pengajaran MIPA, 14(2): 12-14.

Ketaren, S., 1985, Pengantar Teknologi Minyak Atsiri, Jakarta: Balai Pustaka.

Kishore, R.S.K., Astrid, P., Isabelle, B.D., Alfred, R., Beatric, B., et al, 2011, The
Degradation Of Polysorbates 20 And 80 And Its Potential Impact on the
Stability of Biotherapeutics. Pharmaceautical Research, 28, pp. 1195-
1210.

Lachman, L., Lieberman, H.A., and Kanig, J.L., 1994, Teori dan Praktek
Farmasi Industri Edisi 3. (Terjemahan : Siti Suyatmi), Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.

Luangnarumitchai, S., Lamlertthon, S., and Tiyaboonchai, W., 2007,


Antimicrobial activity of essential oils against five strains of
Propionibacterium acnes, Mahidol University Journal of Pharmaceutical
Sciences, 34: 60-64.

Lertsatitthanakorn, P., Taweechaisupapong, S. And Arunyanart C., 2010, Effect


of Citronella Oil on Time Kill Profile, Leakage and Morphological
Changes of Propionibacterium acnes, Journal of Essential Oil Research,
22: 270-274.

Mandal, A., dan Bera, A., 2012, Surfactant Stabilized Nanoemulsion:


Characterization and Application in Enhanced Oil Recovery,
International Scholarly and Scientific Research & Innovation, 6(7): 537-
542.

56
Martin, A., Bustamante, P., and Chun, A.H.C., 1993, Physical Pharmacy 4th
Edition. Lea And Febiger, Philadelphia, London.

Movita, T., 2013, Acne Vulgaris, Continuing Medical Education, 40(4): 269-272.

Natalia, M., 2012, Uji Stabilitas Fisik Dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak
Jintan Hitam Yang Diformulasikan Sebagai Sediaan Nanoemulsi Gel,
Skripsi, Depok: Universitas Indonesia.

Nugroho, R.N., 2013, Terapi Topikal Clindamycin Dibandingkan dengan


Niacinamide dan Zinc pada Acne Vulgaris, Jurnal Media Medika Muda,
2(1): 3-15.

Olivera, J.S., Aguiar. T.A., Mezadri. H., and dos Santos O.D.H., 2011, Attainment
of Hydrogel-Thickened Nanoemulsions With Tea Tree Oil (Melaleuca
alternifolia) and Retinyl Palmitate, African Journal of Biotechnology,
10(60): 13014-13018.

Oprica, C., 2006, Characterisation of Antibiotic-Resistant Propionibacterium


Acnes from Acne Vulgaris and Other Disease, Stockhlom: Karolinska
Institutet.

Pratiwi, S.T., 2008, Mikrobiologi Farmasi, Jakarta: Erlangga.

Rowe, R.C., Sheskey, P. J., and Quinn, M.E., 2009, Handbook of Pharmaceutical
Excipients 6th Edition, London: The Pharmaceutical Press.

Santoso, B.M., 2007, Sereh Wangi Bertanam dan Penyulingan, Cetakan ke 10,
Yogyakarta: Kanisius.

Savardekar, P. dan Amrita, B, 2016, Nanoemulsions A Review, International


Journal Of Research In Pharmacy and Chemistri, 6(2): 312-322.

Sharma, P., 2011, Cinnamic acid derivatives: A new chapter of various


pharmacological activities, Journal of Chemical and Pharmaceutical
Research, 3(2): 403-423.

Simic, A., Sokovic, M.D. & Ristic, M., 2004, The chemical composition of some
Lauraceae essential oils and their antifungal activities. Phytother Res,
18(9):713-717.

57
Tadros, T. F, 2005, Applied Surfactants, Wiley – VCH Verlaag GmbH & Co.
KGaA, Weinheim.

Tranggono, R.I., and Latifah, F., 2007, Buku Pengangan Ilmu Pengetahuan
Kosmetik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Utami, P., 2008, Buku Pintar Tanaman Obat, Jakarta: PT Agromedia Pustaka.

Voigt, R., 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi 5, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Wasitaatmadja, S. M., 2008, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, Jakarta: Universitas


Indonesia Press.

Wulansari, A., Jufri, M., and Budianti, A., 2017, Studies On The Formulation,
Physical Stability, And In Vitro Antibacterial Activity Of Tea Tree Oil
(Melaleuca Alternifolia) Nanoemulsion Gel, International Journal Of
Applied Pharmaceutics, 9(1): 135-139.

Yati, K., Henny, L., and Elfi, S.B., 2011, Evaluasi Stabilitas Fisik Mikroemulsi
Natrium Askorbil Fosfat Berbasis Minyak Kelapa Murni (Virgin Coconut
Oil), Farmasains, 1(3).

Yuliani, S.H., Hartini, M., Stephanie, Pudyastutu, B., and Istyastono, E.P., 2016,
Comparison Of Physical Stability Properties Of Pomegranate Seed Oil
Nanoemulsion Dosage Forms With Long-Chain Triglyceride And
Medium-Chain Tryglyceride As The Oil Phase, Traditional Medicine
Journal, 21(2): 93-98.

58
Lampiran 1. Skema Rancangan Penelitian Nanoemulgel Minyak Sereh Wangi

Pemeriksaan bahan baku


Pemeriksaan organoleptis,
kelarutan, bobot jenis pH dan
indeks bias.
Uji pendahuluan

Rancangan Formula

Pembuatan basis gel carbophol

Pembuatan nanoemulsi minyak sereh wangi

Pembuatan nanoemulgel minyak sereh wangi

Evaluasi sediaan:
a. Pemeriksaan organoleptis
b. Penentuan ukuran partikel
c. Pengukuran pH
d. Uji persen transmitan
e. Pengukuran viskositas
f. Uji kestabilan
g. Pengukuran bobot jenis
h. Uji iritasi kulit

Uji aktivitas antibakteri

Analisis data

Gambar 2. Skema Rancangan Penelitian Nanoemulgel Minyak Sereh Wangi

59
Lampiran 2. Skema Pembuatan Nanoemulgel Minyak Sereh Wangi

Penimbangan semua bahan

Fase air
(Tween 80 dan aquadest)

Dipanaskan sampai suhu 50º C,


diaduk dengan magnetic stirrer
kecepatan 1000 rpm

Fase minyak
(oleum citronella)

Dimasukkan ke dalam campuran


tween 80 dan aquadest, aduk selama
15 menit
Tambahkan propilen glikol

Campuran diaduk dengan magnetic


stirer dengan kecepatan 1000 rpm
selama 45 menit pada suhu 50º C

Nanoemulsi
Dihomogenkan dengan homogenizer
Tambahkan basis gel kecepatan 3000 rpm selama 30 menit
dan Ultarsonikasi selama 20 menit

Nanoemulgel

Gambar 3. Skema Pembuatan Nanoemulgel Minyak Sereh Wangi

60
Lampiran 3. Skema Kerja Uji Aktivitas Antibakteri

Sterilisasi alat dan bahan

Pembuatan media pembenihan

Peremajaan bakteri dalam medium NA selama 48 jam


pada suhu 370C

Buat suspensi bakteri: 5 mL NaCl 0,9% tambahkan


bakteri, ukur transmitan hingga 25% pada panjang
gelombang 580 nm

0,3 mL suspensi bakteri tambahkan 15 mL medium NA


dihomogenkan,biarkan memadat

Pada media agar dibuat 6 sumuran yang diisi dengan


nanoemulgel formula 1, 2, 3, nanoemulsi, aquadest
sebagai kontrol negatif dan klindamisin gel sebagai
kontrol positif, sediaan diambil sebanyak 50 mg

Inkubasi selama 24 jam pada suhu 370C

Ukur diameter daerah hambat bakteri menggunakan


jangka sorong

Gambar 4. Skema Kerja Uji Aktivitas Antibakteri

61
Lampiran 4. Pemeriksaan Bahan Baku Minyak Sereh Wangi
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Minyak Sereh Wangi

No Pemeriksaan Persyaratan sertifikat Pengamatan


1 Pemerian
 Bentuk  Cairan  Cairan
 Warna  Kuning pucat hingga  Kuning pucat
 Bau kuning kecoklatan
 Bau citronella yang  Bau citronella
kuat
2 Bobot jenis 0,8500g/ml - 0,8875 g/ml 0,881g/ml
3 Indeks bias 1,4540 - 1,4730 1,459

62
Lampiran 5. Pemeriksaan Bahan Tambahan
Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Tween 80

No Parameter Persyaratan (FI V) Pengamatan


Pemerian
 Bentuk  Cairan seperti minyak  Cairan seperti minyak
 Warna  Jernih berwarna  Jernih berwarna
1
kuning muda Kuning muda
 Bau  Bau khas lemah  Bau khas lemah

Kelarutan Sangat mudah larut dalam Sangat mudah larut


2
air (1: <1) dalam air (1:1)

Tabel 6. Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Propilenglikol

No Pemeriksaan Persyaratan (FI V) Pengamatan


1 Pemerian  Cairan kental  Cairan kental
 Bentuk  Jernih/ tidak  Jernih
 Warna berwarna  Tidak berbau
 Bau  Tidak berbau
2 Kelarutan Dapat campur dengan air Bercampur dengan air

Tabel 7. Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Carbopol 940

Persyaratan (Handbook
No Pemeriksaan Pharmaceutical sixth Pengamatan
edition)
1 Pemerian
 Bentuk  Serbuk  Serbuk
 Warna higrokopis higrokopis
 Bau  Putih  Putih
 Bau khas  Bau khas
2 Kelarutan Mengembang dalam air Mengembang dalam air

63
Tabel 8. Hasil Pemeriksaan Bahan Baku NaOH

No Pemeriksaan Persyaratan (FI V) Pengamatan


1 Pemerian
 Bentuk  Massa melebur  Massa melebur
 Warna berbentuk pellet, berbentuk pellet
 Bau serpihan atau
batang  Putih
 Putih  Tidak berbau
 Tidak berbau
2 Kelarutan Mudah larut dalam air Mudah larut dalam air
(1-10) (1:7)

64
Lampiran 6. Hasil Pemeriksaan Organoleptis
Tabel 9. Hasil Pemeriksaan Organoleptis Sediaan Nanoemulgel Minyak Sereh
Wangi

Formula Minggu ke- Bentuk Warna Bau Kejernihan Pemisahan


Fase
1 CK KB Kh J TM
2 CK KB Kh J TM
3 CK KB Kh J TM
4 CK KB Kh J TM
F1
5 CK KB Kh J TM
6 CK KB Kh J TM
7 CK KB Kh J TM
8 CK KB Kh J TM
1 CK KB Kh J TM
2 CK KB Kh J TM
3 CK KB Kh J TM
4 CK KB Kh J TM
F2
5 CK KB Kh J TM
6 CK KB Kh J TM
7 CK KB Kh J TM
8 CK KB Kh J TM
1 CK KB Kh J TM
2 CK KB Kh J TM
3 CK KB Kh J TM
4 CK KB Kh J TM
F3
5 CK KB Kh J TM
6 CK KB Kh J TM
7 CK KB Kh J TM
8 CK KB Kh J TM

Keterangan:
CK = Cairan Kental J = Jernih
KB = Kuning Bening TM = Tidak Memisah
Kh = Khas

65
Lampiran 7. Hasil Penentuan Ukuran Partikel
Tabel 10. Hasil Penentuan Ukuran Partikel Sediaan Nanoemulgel Minyak Sereh
Wangi

Formula Ukuran Partikel Persyaratan


F1 5475,6 nm 50-500 nm
F2 0,0 nm
F3 2963,8 nm

66
Lampiran 8. Hasil Pengukuran pH
Tabel 11. Hasil Pengukuran pH Sediaan Nanoemulgel Minyak Sereh Wangi

Formula Minggu ke-


1 2 3 4 5 6 7 8
1 6,6 6,6 6,5 6,4 6,4 6,3 6,3 6,3
2 6,6 6,5 6,5 6,4 6,4 6,4 6,3 6,3
3 6,5 6,4 6,4 6,4 6,3 6,3 6,2 6,2

6.65
6.6
6.55
6.5
6.45
pH

6.4 Formula 1
6.35 Formula 2
6.3 Formula 3
6.25
6.2
6.15
0 2 4 6 8 10
Waktu (minggu)

Gambar 5. Grafik pH Nanoemulgel Minyak Sereh Wangi

67
Lampiran 9. Hasil Uji Persen Transmitan
Tabel 12. Hasil Uji Persen Transmitan Sediaan Nanoemulgel Minyak Sereh
Wangi

Transmitan (%)
Formula
Minggu 1 Minggu 8
1 99,402 99,487
2 99,792 99,683
3 99,756 99,268

68
Lampiran 10. Hasil Pengukuran Viskositas
Tabel 13. Hasil Penentuan Konstanta Alat Stormer dengan Gliserin

Beban (g) Waktu (detik) RPM Kv


50 680 8,8235 0,7059
60 533 11,2570 0,7505
70 411 14,5985 0,8342
80 363 16,5289 0,8264
90 316 18,9873 0,8439
100 283 21,2014 0,8480
100 287 20,9059 0,8480
90 318 18,8679 0,8385
80 362 16,5746 0,8287
70 410 14,6341 0,8362
60 498 12,0482 0,8032
50 641 9,3604 0,7488
Jumlah nilai Kv 9,7123
Kv rata-rata 0,8093

69
Lampiran 10. (Lanjutan)
Tabel 14. Data Hasil Evaluasi Penentuan Viskositas Nanoemulgel Minyak Sereh
Wangi Formula 1

Beban Minggu ke-1 Minggu ke-8


(g) Waktu RPM Viskositas Waktu RPM Viskositas
(detik) (poise) (detik) (poise)
50 2881 2,0826 19,4300 2572 2,3328 17,3461
60 2311 2,5963 18,7027 2093 2,8667 16,9386
70 1848 3,2467 17,4488 1587 3,7807 14,9842
80 1642 3,6541 17,7182 1306 4,5942 14,0925
90 1407 4,2644 17,0802 1173 5,1150 14,2398
100 1260 4,7619 16,9953 907 6,6152 12,2339
100 1260 4,7619 16,9953 907 6,6152 12,2339
90 1367 4,3891 16,5949 1054 5,5925 13,0240
80 1612 3,7220 17,3949 1197 5,0125 12,9165
70 1816 3,3039 17,1467 1502 3,9947 14,1815
60 2305 2,6030 18,6546 2078 2,8874 16,8172
50 2881 2,0783 19,4702 2569 2,3355 17,3260

70
Kurva Sifat Alir F1 Minggu 1
5
4.5
4
3.5
3
Rpm

2.5
2 Beban Naik
1.5 Beban Turun
1
0.5
0
0 20 40 60 80 100 120
Beban (gram)

Gambar 6. Rheogram Viskositas F1Minggu 1

Kurva Sifat Alir F1 Minggu 8


6
5
4
Rpm

3
Beban Naik
2
Beban Turun
1
0
0 20 40 60 80 100 120
Beban (gram)

Gambar 7. Rheogram Viskositas F1Minggu 8

71
Lampiran 10. (Lanjutan)
Tabel 15. Data Hasil Evaluasi Penentuan Viskositas Nanoemulgel Minyak Sereh
Wangi Formula 2

Beban Minggu ke-1 Minggu ke-8


(g) Waktu RPM Viskositas Waktu RPM Viskositas
(detik) (poise) (detik) (poise)
50 4562 1,3152 30,7671 4032 1,4880 27,1942
60 3652 1,6429 29,5563 3265 1,8376 26,4246
70 2993 2,0047 28,2591 2517 2,3837 23,7659
80 2527 2,3743 27,2687 2119 2,8315 22,8656
90 2152 2,7881 26,1242 1786 3,3594 21,6815
100 1925 3,1168 25,9657 1531 3,9190 20,6506
100 1925 3,1168 25,9657 1531 3,9190 20,6506
90 2103 2,8530 25,5299 1710 3,5087 20,7589
80 2466 2,4330 26,6107 2091 2,8694 22,5636
70 2951 2,0332 27,8629 2493 2,4067 23,5388
60 3612 1,6611 29,2324 3217 1,8651 26,0350
50 4523 1,3265 30,5050 4003 1,4988 26,9982

72
Kurva Sifat Alir F2 Minggu 1
3.5
3
2.5
2
Rpm

1.5 Beban Naik


1 Beban Turun
0.5
0
0 20 40 60 80 100 120
Beban (gram)

Gambar 8. Rheogram Viskositas F2 Minggu 1

Kurva Sifat Alir F2 Minggu 8


4.5
4
3.5
3
2.5
Rpm

2 Beban Naik
1.5
Beban Turun
1
0.5
0
0 20 40 60 80 100 120
Beban (gram)

Gambar 9. Rheogram Viskositas F2 Minggu 8

73
Lampiran 10. (Lanjutan)
Tabel 16. Data Hasil Evaluasi Penentuan Viskositas Nanoemulgel Minyak Sereh
Wangi Formula 3

Beban Minggu ke-1 Minggu ke-8


(g) Waktu RPM Viskositas Waktu RPM Viskositas
(detik) (poise) (detik) (poise)
50 5371 1,1171 36,2232 4992 1,2019 33,6675
60 4454 1,3471 36,0463 4108 1,4605 33,2475
70 3734 1,6068 35,2570 3425 1,7518 32,3387
80 3165 1,8957 34,1530 2883 2,0816 31,1029
90 2640 2,2727 32,0486 2369 2,5327 28,7586
100 2296 2,6132 30,9696 2015 2,9776 27,1796
100 2296 2,6132 30,9696 2015 2,9776 27,1796
90 2575 2,3301 31,2591 2217 2,7063 26,9138
80 3040 1,9737 32,8033 2801 2,1420 30,2259
70 3660 1,6393 34,5580 3376 1,7772 31,8764
60 4380 1,3698 35,4489 4062 1,4771 32,8738
50 5373 1,1167 36,2362 4987 1,2031 33,6339

74
kurva Sifat Alir F3 Minggu 1
3

2.5

2
Rpm

1.5
Beban Naik
1
Beban Turun
0.5

0
0 20 40 60 80 100 120
Beban (gram)

Gambar 10. Rheogram Viskositas F3 Minggu 1

Kurva Sifat Alir F3 Minggu 8


3.5
3
2.5
2
Rpm

1.5 Beban Naik


1 Beban Turun
0.5
0
0 20 40 60 80 100 120
Beban (gram)

Gambar 11. Rheogram Viskositas F3 Minggu 8

75
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan Kestabilan
Tabel 17. Hasil Pemeriksaan Kestabilan Sediaan Nanoemulgel Minyak Sereh
Wangi

Uji Freeze and Thaw


Uji
Formula Siklus Siklus Siklus Siklus Siklus Siklus
Sentrifugasi
1 2 3 4 5 6
F1 S S S S S S S
F2 S S S S S S S
F3 S S S S S S S

Keterangan:
S = Stabil

76
Lampiran 12. Hasil Pengukuran Bobot Jenis
Tabel 18. Hasil Pengukuran Bobot Jenis Sediaan Nanoemulgel Minyak Sereh
Wangi

Formula Bobot jenis (g/mL)


Minggu 1 Minggu 2
1 1,059 1,052
2 1,060 1,061
3 1,069 1,066

77
Lampiran 13. Hasil Uji Iritasi Kulit
Tabel 19. Hasil Uji Iritasi Kulit Sediaan Nanoemulgel Minyak Sereh Wangi

Formula Panelis 1 Panelis 2 Panelis 3


F1 TI TI TI
F2 TI TI TI
F3 TI TI TI

Keterangan:
TI = Tidak Iritasi

78
Lampiran 14. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri
Tabel 20. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Sediaan Nanoemulgel Minyak Sereh
Wangi

Perlakuan Diameter hambat (mm)


Minggu ke 1 Minggu ke 8
Formula 1 13,3 13,5
Formula 2 12,1 12,9
Formula 3 9,7 10,5
Nanoemulsi 11,9 13,1
Kontrol positif 22,1 23,7
Kontrol negatif 0 0

79
Lampiran 15. Gambar Evaluasi Organoleptis Nanoemulgel Minyak Sereh
Wangi

Gambar 12. Organoleptis Minggu 1

Gambar 13. Organoleptis Minggu 8

80
Lampiran 16. Gambar Evaluasi Uji Kestabilan

Gambar 14. Nanoemulgel Sebelum Uji Sentrifugasi

Gambar 15. Nanoemulgel Sesudah Uji Sentrifugasi

81
Gambar 16. Nanoemulgel Sebelum Freeze and Thaw

Gambar 17. Nanoemulgel Sesudah Freeze and Thaw

82
Lampiran 17. Alat pemeriksaan ukuran partikel (Particel size analyzer)

Gambar 18. Alat Pemeriksaan Ukuran Partikel (Particel Size Analyzer)

83
Lampiran 18. Uji Aktivitas Antibakteri Sediaan Nanoemulgel Minyak Sereh

Wangi

Gambar 19. Uji Aktivitas Nanoemulgel Minyak Sereh Wangi Minggu 1

Gambar 20. Uji Aktivitas Nanoemulgel Minyak Sereh Wangi Minggu 8

84
Lampiran 19. Hasil Pengukuran Ukuran Partikel Menggunakan Alat VASCO

Gambar 21. Hasil Pengukuran Partikel F1

85
Lampiran 19. (lanjutan)

Gambar 22. Hasil Pengukuran Partikel F2

86
Lampiran 19. (lanjutan)

Gambar 23. Hasil Pengukuran Partikel F3

87
Lampiran 20. Sertifikat Analisis Minyak Sereh Wangi

Gambar 24. Sertifikat Analisis Minyak Sereh Wangi

88

Anda mungkin juga menyukai