Anda di halaman 1dari 34

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jenis kelamin merupakan salah satu parameter pokok dalam identitas
biologis dasar (Nayar et al., 2014). Penentuan jenis kelamin sangat penting untuk
menyusun profil biologis dalam bidang identifikasi forensik terutama pada jenazah
yang tidak diketahui identitasnya akibat kejadian bencana massal, kecelakaan,
terorisme, ataupun kejadian lain (Nandiasa et al., 2016). Penentuan jenis kelamin
dengan tepat dapat mengurangi jumlah persamaan dengan probabilitas 50%
(Syafitri et al., 2013), mengingat suatu individu hanya memiliki dua kemungkinan
jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan (Cabo et al., 2012). Proses identifikasi
dapat diselesaikan dengan relatif mudah jika badan yang akan diidentifikasi
memiliki kerusakan jaringan yang sedikit serta memiliki beberapa dokumentasi,
atau catatan sebelumnya (Khanna, 2015). Namun ketika tubuh yang diidentifikasi
menunjukkan tingkat kerusakan jaringan yang tinggi, maka proses pengenalan
menjadi sangat sulit (Basnaker dan Moolrajani, 2016). Oleh karena itu, dibutuhan
teknik yang berbeda untuk memperjelas identitas individu (Verma et al., 2014).
Dalam keadaan tersebut, gigi menjadi elemen yang penting dalam proses
identifikasi. Di Indonesia, korban yang dapat teridentifikasi berdasarkan gigi geligi
yaitu mencapai 56% pada Bom Bali I dan 60% pada kecelakaan lalu lintas bis
terbakar di Situbondo (Prawestiningtyas dan Algozi, 2009).
Identifikasi jenis kelamin menggunakan gigi dapat dilakukan dengan
berbagai metode yaitu analisa morfologi dan morfometrik, analisa histologi, dan
analisa molekular (Syafitri et al., 2013). Metode yang dipilih disesuaikan dengan
kondisi jenazah, ketersediaan sampel, penyebab kematian, dan lain sebagainya.
Gigi dinilai akurat untuk identifikasi dikarenakan jaringan gigi dapat bertahan
terhadap kerusakan secara termal, mekanis, dan kimiawi (Shekhawat dan
Chauhan, 2016). Gigi manusia tersusun atas empat jaringan yaitu enamel, dentin,
sementum, dan pulpa (Scheid dan Weiss, 2013).
Pulpa merupakan struktur unik diantara jaringan gigi lainnya karena pulpa
dilindungi jaringan keras diatasnya sehingga terhindar dari kerusakan akibat
trauma dan panas serta mempertahankan viabilitas sel (Hemanth et al., 2009)
Pulpa berperan penting dalam bidang forensik, dimana jaringan pulpa dinilai akurat
sebagai sumber DNA yang digunakan dalam penentuan jenis kelamin melalui

1
2

analisa molekuler (Sharma et al., 2017). Namun, pemeriksaan analisis DNA baik
dari tulang maupun gigi dinilai mahal, sulit, dan memakan banyak waktu ( Nayer
et al, 2014). Jenis kelamin pada pulpa juga dapat dideteksi pada pulpa dengan
melihat keberadaan kromatin seks yakni kromatin X dan kromatin Y melalui
metode analisa histologi. Metode ini sederhana dan tidak membutuhkan biaya
yang besar namun aplikasinya terbatas pada kasus dengan kerusakan jaringan
yang parah (Syafitri et al, 2013). Selain itu, jaringan pulpa yang digunakan harus
berasal dari gigi yang sehat, atau gigi karies yang terbatas pada enamel dan dentin
(Basnaker dan Moolrajani, 2016). Pada penelitian yang dilakukan oleh
Manokwiche (2014), diketahui pulpa gigi dapat mengekspresikan estrogen.
Estrogen merupakan salah satu hormon seks steroid yang mempunyai
struktur dasar kimia berintikan steroid dengan 18 cincin karbon yang dapat dibagi
menjadi 3 kelompok, yaitu estron (E1), 17ᵝ- estradiol (E2), dan estriol (E3).
Estrogen berperan penting pada keseluruhan fisiologi manusia, terutama dalam
perkembangan karakter seks sekunder baik pada laki-laki maupun perempuan
(Kumar et al., 2016). Jumlah estrogen dalam tubuh dapat memberikan efek sangat
luas pada organ dan jaringan terlebih pada organ reproduksi (Hikmah, 2014). Pada
sistem skeletal, defisiensi estrogen terbukti meningkatkan resiko osteoporosis dan
fraktur tulang yang juga berakibat pada bertambahnya keparahan periodontitis
karena hilangnya tulang alveolar (Wang et al, 2013). Estrogen dapat mencapai sel
target diperantarai reseptor estrogen (Suparman dan Suparman, 2014).
Sejauh ini dikenal dua reseptor esterogen klasik yaitu ERs (ER-α dan ER-
β). Namun dalam dua dekade terakhir ditemukan 10-15% subpopulasi dari ERs
yaitu GPER (G-protein coupled estrogen receptor), sebelumnya dikenal sebagai
GPR30. Menurut pandangan klasik, setelah pengikatan ligan baik ER-α maupun
ER-β ditranslokasikan ke nukleus di mana mereka mengikat DNA bekerja sama
dengan sejumlah co-regulator untuk memengaruhi pola ekspresi gen. Sedangkan
untuk GPER, setelah mengikat ligan GPER menginduksi berbagai fungsi
perubahan seluler melalui jalur pensinyalan cepat (non-genomik) tertentu dimana
mereka juga berkontribusi pada keseluruhan efek transkripsional estrogen
termasuk regulasi proliferasi, migrasi sel, dan pengembangan. Dibandingkan
dengan reseptor estrogen klasik, GPER menunjukkan kinetika pensinyalan yang
berbeda dan lebih terbuka ke berbagai rangsangan seperti parakrin, autokrin, atau
endokrin (Marczell et al., 2018). Selain itu, pengikatan GPER terhadap E2 juga
lebih tinggi daripada ERs (Barton, 2015).
3

GPER berperan penting dalam peristiwa fisiologis dan patologis pada


sistem saraf pusat, kekebalan tubuh, reproduksi dan kardiovaskular. Penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa GPER diekspresikan dalam plasenta, jantung,
paru-paru, hati, prostat, sumsum tulang, hati, dan janin (Filardo, 2018) . Beberapa
kanker yang berhubungan dengan hormon seperti kanker payudara, ovarium, dan
endometrium dapat dideteksi melalui penigkatan ekspresi GPER. Penelitian oleh
Sharma et al (2017) menunjukkan bahwa ekspresi GPER yang berlebihan
adenokarsinoma endometrium stadium lanjut berkorelasi dengan kelangsungan
hidup yang buruk dengan tingkat keparahan penyakit dan penurunan
kelangsungan hidup pasien. Ekspresi GPER pada jaringan tertentu juga
menunjukkan perbedaan seksual seperti di otak dan pulau kecil pancreas, di mana
wanita mengekspresikan tingkat yang lebih tinggi daripada pria (Kim dan Lee,
2014)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Manokawinchoke (2014), GPER
terekpresi pada jaringan pulpa gigi manusia, namun belum ditemukan kejelasan
perbedaan ekspresi pada laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan ER-α danER-
β yang telah terbukti terekspresi berlebih pada sel Schwann pulpa gigi perempuan
(Jukic, 2003). Selain itu, ekspresi GPER menunjukkan pensinyalan E2 dalam
proses odontogenesis dalam pulpa gigi. E2 terbukti melakukan stimulasi pada
mRNA dari gen yang berperan dalam differensiasi odontoblas (Inaba, 2013).
Meskipun GPER dianggap terlokalisasi di membran plasma seperti kebanyakan
GPCR, banyak laporan mengamati bahwa GPER juga terlokalisasi dominan pada
membran intraseluler, khususnya retikulum endoplasma dan aparatus Golgi
(Waters et al, 2015). Banyak penelitian menyebutkan bahwa ketepatan peran
GPER, lokasi intraselulernya, dan peran dalam memediasi fungsi estrogen tetap
kontroversial (Sharma, 2017). Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk
meneliti lebih lanjut mengenai perbandingan ekspresi GPER pada pulpa gigi pria
dan wanita yang diharapkan kelak dapat dijadikan alternatif identifikasi jenis
kelamin.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah “Bagaimana perbandingan ekspresi GPER (G-Protein
coupled Estrogen Receptor) pulpa gigi laki-laki dan perempuan?”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
4

Mengetahui perbandingan ekspresi GPER (G-Protein coupled Estrogen


Receptor) pada pulpa gigi laki-laki dan perempuan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Menganalisis ekspresi GPER (G-Protein coupled Estrogen Receptor) pada
pulpa gigi premolar laki-laki
2. Menganalisis ekspresi GPER (G-Protein coupled Estrogen Receptor) pada
pulpa gigi premolar perempuan
3. Menganalisa perbandingan ekspresi GPER (G-Protein coupled Estrogen
Receptor) pada pulpa gigi premolar laki-laki dan perempuan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik
Menambah referensi, informasi, dan wawasan ilmu pengetahuan mengenai
perbandingan ekspresi (G-Protein coupled Estrogen Receptor) pada pulpa gigi
laki-laki dan perempuan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian dapat digunakan untuk menunjang alternatif dalam identifikasi
jenis kelamin.
5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Identifikasi Jenis Kelamin


Identifikasi merupakan penentuan identitas individu pada orang hidup
maupun orang mati berdasarkan ciri khas yang dimiliki orang tersebut (Septadina,
2015). Dalam proses identifikasi dikenal dua jenis metodologi identifikasi, yaitu
metodologi komparatif dan metodologi rekonstruktif. Metodologi komparatif
digunakan apabila terdapat AMD dan PMD untuk disesuaikan. AMD merupakam
informasi pribadi secara umum suatu individu seperti nama, usia, alamat tempat
tinggal, status pernikahan, gambaran fisik (tinggi dan berat badan, warna mata dan
rambut), riwayat kesehatan dan gigi, ciri khas (tattoo, tanda lahit, skar, dan lain
sebagainya), pakaian ataupun benda-benda lain yang terakhir kali dipakai, serta
hal-hal yang diduga berhubungan dengan hilangnya atau meninggalnya
seseorang (ICRC, 2013)
Metodologi rekonstruktif digunakan apabila tidak tersedia AMD dengan
menyusun kembali sisa-sisa potongan tubuh manusia yang tidak utuh lagi pada
komunitas yang tidak terbatas seperti misalnya pada kasus mutilasi ataupun
bencana massal. Yang merupakan PMD adalah informasi umum tentang sisa
tubuh (rentang usia, jenis kelamin, tinggi), fakta-fakta medis dan dental (tanda
fraktur lama, bekas operasi, kondisi gigi, misalnya tambalan gigi), trauma dan
kerusakan post-mortem, informasi mengenai sidik jari, DNA, pakaian dan
bendabenda lain yang ditemukan bersama/dekat sisa tubuh, informasi tambahan,
seperti: dimana dan bagaimana sisa tubuh ditemukan berdasarkan pengakuan
para saksi (ICRC, 2013).
Identifikasi individu ditentukan melalui empat parameter pokok, yang
disebut ‘Big Four’ dalam konteks forensik. Parameter pokok tersebut yaitu jenis
kelamin, usia, tinggi badan, dan latar belakang etnis (Nayar et al., 2014).
Identifikasi jenis kelamin merupakan komponen profil biologis yang paling
didahulukan untuk diidentifikasi karena dapat menentukan 50% probabilitas
kecocokan dalam identifikasi individu, mengingat kelamin individu hanya terdiri
dari dua status biologis yaitu laki-laki dan perempuan (Cabo et al., 2012).
Identifikasi jenis kelamin juga dapat mempengaruhi beberapa metode identifikasi
lainnya, seperti tinggi tubuh dan estimasi usia individu (Syafitri et al., 2013).
6

Identifikasi jenis kelamin sangat penting dalam bidang forensik, di mana


individu dari satu jenis kelamin membawa fitur lawan jenis. Menentukan identitas
individu dengan tepat amat penting dalam penyidikan karena jika terdapat
kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan (Trisnowahyuni et al,
2017). Hal tersebut berhubungan dalam hal memutuskan kekuatan seseorang
untuk menggunakan hak-hak sipil tertentu yang disediakan hanya untuk satu jenis
kelamin. Selain itu juga untuk memutuskan pertanyaan yang berkaitan dengan
legitimasi, perceraian, paternitas, berafiliasi juga dengan beberapa tindak pidana
Penentuan jenis kelamin akan menjadi prioritas utama dalam beberapa
kasus seperti jenazah yang dimutilasi, pembunuhan, bencana massal besar
seperti bencana alam, longsor, gunung meletus, ledakan bom nuklir, kecelakaan
pesawat dan lain sebagainya (Gupta dan Gupta, 2016). Identifikasi jenis kelamin
juga sangat penting untuk mencari identitas individu yang meninggal dalam kondisi
organ seks primer hancur karena penguraian (Khanna, 2015).
2.1.1 Penentuan Jenis Kelamin Melalui Gigi
Identifikasi jenis kelamin menggunakan gigi sangat penting terutama pada
kasus-kasus tertentu dimana jaringan lunak maupun tulang tidak dapat
memberikan hasil identifikasi yang optimal. Identifikasi menggunakan gigi dinilai
tepat, akurat, dan murah (Nainan dan Parmar, 2015). Gigi digunakan sebagai
media identifikasi karena gigi merupakan bagian tubuh yang paling keras dan
secara kimiawi merupakan jaringan paling stabil dan paling tahan terhadap
degradasi dan dekomposisi, sehingga membuat gigi dapat bertahan untuk periode
yang lama dibandingkan dengan jaringan tubuh lainnya (Syafitri et al., 2013). Gigi
juga memiliki ketahanan terhadap temperatur yang tinggi yakni mencapai 1600̊ C
sehingga sangat bermanfaat dalam identifikasi pada korban bencana kebakaran
(Shekhawat dan Chauhan, 2016). Hal ini disebabkan sedikitnya jaringan organik
yang terdapat pada gigi, terutama lapisan enamel yang merupakan jaringan paling
keras pada tubuh manusia (Kumaraswamy et al., 2017).
Penentuan jenis kelamin untuk keperluan antropologi dan forensik
menggunakan gigi dapat dilakukan dengan berbagai metode. Pada peneltian yang
dilakukan oleh syafitri et al (2013), metode yang dapat dilakukan antara lain
dengan metode morfometrik (pengukuran), karakteristik morfologi, pemeriksaan
histologis, serta pemeriksaan analisis DNA. Pemilihan metode yang digunakan
bergantung pada kondisi jenazah, jenis penyebab kematian, ketersediaan sampel,
dan juga alat yang digunakan (Putri et al., 2013). Metode morfometrik dan
7

karakteristik morfologi merupakan metode penentuan jenis kelamin yang paling


sederhana yakni dengan memanfaatkan dimorfisme seksual pada gigi. Namun,
metode tersebut cenderung bersifat subjektif dan membutuhkan pedoman
pengukuran serta data berbasis populasi sehingga dapat memengaruhi hasil
identifikasi (Joseph et al., 2013).
Identifikasi jenis kelamin melalui pemeriksaan histologis dapat dideteksi
dengan melihat keberadaaan kromatin seks yaitu kromatin-X dan kromatin-Y.
Kromatin X (Barr body) dapat ditemukan pada 40% sel wanita , namun tidak
ditemukan pada sel pria (Khanna, 2015). Barr body tampak secara histologis
dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin (HE), thionine, Papanicolaou, Feulgen,
cresyl-violet, giemsa, aceto-orcein, dan fluorescence seperti acridine orange (AO)
(Khanna, 2015). Kromatin Y dalam sel dapat dilihat selama masa interfase dengan
pewarnaan khusus yakni Quinacrine Mustard. Keberadaan kromatin Y pada
pewarnaan tersebut akan berfluorensi lebih terang sehingga mengindikasikan
kromosom Y dan jenis kelamin positif pria (Sandoval et al., 2014). Pada manusia,
kondensasi kromatin seks dapat ditemukan di tulang, sel retina, sel mukosa
rongga mulut, biopsi sel kulit, darah, tulang rawan, akar batang rambut dan pulpa
gigi . Pulpa yang digunakan untuk identifikasi harus berasal dari jaringan yang
sehat atau gigi dengan karies terbatas pada enamel dentin. Jaringan yang berasal
dari pulpa yang terkena karies dapat menurunkan sensitivitas dan juga reliabilitas
hasil identifikasi (Basnaker dan Moolrajani, 2014).
Metode lain untuk dentifikasi individu adalah dengan menggunakan analisa
DNA. DNA merupakan polimer stabil yang tersusun subunit nukleotida yang
membentuk 22 pasang kromosom autosomal dan satu pasang kromosom seks,
yaitu kromosom X dan kromosm Y. Salah satu teknik yang digunakan dalam
penentuan jenis kelamin yaitu dengan polymerase chain reaction (PCR), dimana
teknik ini dapat membantu menggandakan penanda identifikasi meskipun dengan
sampel yang sangat sedikit. Struktur gigi yang dinilai akurat pada teknik PCR
adalag pulpa (Nainan dan Parmar, 2016). Penanda jenis kelamin yang sering
digunakan antara lain amelogenin, SRY, dan Y-STRs (Kalitsu dan Dogalli, 2016).
Penentuan jenis kelamin dengan metode analisa DNA memiliki tingkat akurasi
yangt inggi , sensitif , dan stabil, namun memerlukan biaya yang lebih mahal dan
prosedur yang lebih rumit, serta memerlukan instrument yang memadai (Naik et
al, 2012).
8

Berdasarkan uraian diatas, pulpa dinilai akurat digunakan pada berbagai


metode dalam proses identifikasi jenis kelamin individu menggunakan gigi. Hal
tersebut dikarenakan jaringan pulpa dilindungi oleh enamel yang merupakan
jaringan terkeras gigi sehingga potensi untuk terjadinya kerusakan sel menjadi
minimal. Kerusakan sel pada pulpa berhubungan dengan keakuratan data yang
diperoleh dalam suatu analisis, terutama pada saat pulpa menjadi sumber DNA
pada teknik PCR. Jaringan pulpa yang rusak kontaminasi bakteri maupun
substansi lain yang berpengaruh pada saat pengamatan (Sandoval et al., 2014).

Gambar 1. Identifikasi menggunakan gigi


2.2 Anatomi Gigi
Gigi merupakan struktur yang keras, menyerupai tulang, dan tertanam pada
rahang atas dan rahang bawah. Fungsi utama gigi adalah menghancurkan
makanan. Selain itu, gigi juga membentuk estetik wajah dan membantu fungsi
bicara (Fidya, 2018). Manusia memiliki dua fase geligi selama hidupnya yaitu gigi
sulung atau gigi desidui yang berfungsi selama masa anak-anak dan juga gigi
permanen yang ada sampai akhir masa dewasa. Gigi pada tulang rahang atas
atau maksila secara kolektif membentuk lengkung yang dikenal sebagai lengkung
maksila dan semua gigi pada tulang rahang bawah atau mandibular secara kolektif
membentuk lengkung mandibula (Scheid and Weiss, 2013). Secara anatomi gigi
terdiri dari beberapa lapisan yaitu enamel, dentin, pulpa, dan juga sementum
Enamel merupakan bagian terluar dan terkeras gigi berupa jaringan
aseluler terkalsifikasi yang melapisi mahkota anatomis. Enamel berkembang dari
sel-sel epitelial khusus yang disebut ameloblas. Komposisi struktur enamel gigi
terdiri dari 96% kandungan mineral berupa kalsium hidroksiapatit, 1-1,5% bahan
organik, dan sisanya adalah air (Scheid dan Weiss, 2013). Struktur enamel terdiri
9

dari enamel tuft, enamel spindle, enamel lamellae, enamel prismata/ enamel rod,
Hunter cshreger bands, garus Retzius, enamel cuticula, dan perykimata (Fidya,
2018). Ketebalan enamel bervariasi, bagian yang paling tebal terdapat pada ujung
tonjol, yakni mencapai 2,5 mm dan yang paling tipis terdapat pada daerah tepi,
yaitu Cementoenamel Junction (CEJ). Warna enamel adalah putih susu atau
kuning muda, tergantung pada ketebalannya dan tingkat mineralisasi. Tingkat
mineralisasi yang lebih tinggi mengarah ke warna enamel yang lebih transparan
yang mencerminkan warna kekuningan dentin di bawahnya (Chen dan Liu, 2014).
Dentin merupakan bagian yang terluas dari struktur gigi, meliputi seluruh
panjang gigi mulai dari mahkota hingga akar. Dentin pada mahkota gigi dilapisi
oleh enamel, sedangkan dentin pada akar gigi dilapisi oleh sementum. Dentin
dibentuk dari odontoblas yang berasal dari ektomesenkim. Dentin yang matang
tersusun oleh 70% bahan anorganik dentin berupa kristal kalsium hidroksiapatit
(Ca10(PO4)6(OH)2), 20% serat kolagen, dan 10% air. Kristal hidroksiapatit ini
mirip dengan yang ditemukan pada enamel tetapi dengan persentase yang lebih
rendah sehingga dentin lebih lunak dibandingkan enamel. Berdasarkan waktu
pembentukannya, dentin dapat dibagi atas tiga macam yaitu dentin primer, dentin
sekunder, dan dentin tersier (dentin reparative). Dentin primer adalah dentin yang
diproduksi sejak gigi dalam masa embrio hingga gigi erupsi sempurna. Dentin
sekunder terbentuk di bagian dalam dentin primer mahkota dan akar. Dentin ini
berkembang setelah mahkota mencapai fungsi oklusal dan akar hampir menutup
sempurna. Dentin sekunder terdeposit lebih lama dari dentin primer. Sedangkan
dentin tersier atau dentin reparatif adalah hasil dari stimulasi pulpa dan terbentuk
hanya pada letak aktivasi odontoblaS (Chen dan Liu, 2014).
Sementum merupakan lapisan luar berwarna kuning muda yang menutupi
permukaan akar gigi. Sementum penting untuk menjaga perlekatan gigi dan
periodontal. Jarigan ini sangat tipis, terutama dekat servikal gigi yaitu hanya
sekitar 20 hingga 50 mikron, dan 150 hingga 200 mikron di apikal akar. Cementum
diekskresikan oleh sel yang disebut sementoblas, yang berkembang dari sel
mesenkimal yang tidak berdiferensiasi di jaringan ikat dental sac. Sementum
sedikit lebih lunak daripada dentin dan terdiri dari sekitar 45-50% mineral
anorganik (terutama kristal apatit), 50–55% bahan organik (terutama kolagen dan
glikoprotein) dan sisanya adalah air (Chen dan Liu, 2014)
Pulpa merupakan jaringan lunak di dalam rongga pulpa yang dikelilingi oleh
dentin dan dihubungkan oleh foramen apikal ke jaringan periodontal. Pulpa
10

berkembang dari jaringan mesoderm yang sama dengan dentin , yaitu papilla
dental. Pulpa adalah jaringan ikat lunak dan longgar yang mengandung sel, serat,
saraf, pembuluh darah, pembuluh limfatik, dan matriks ekstraseluler lainnya.
Seperti dentin, pulpa normalnya tidak dapat dilihat, kecuali pada radiograf dental
atau gigi yang dibelah (Chen dan Liu, 2014).
Pada tiap gigi terdapat jaringan periodonsium yang berfungsi untuk
mendukung dan mempertahankan fungsi gigi. Jaringan periodonsium terdiri dari
gingiva, ligamen periodontal, sementum, dan tulang alveolar. Gingiva atau gusi
adalah jaringan ikat fibrosa ditutupi epitel yang mengelilingi dan melekat ke gigi
dan tulang alveolar. Secara anatomis, gingiva terbagi menjadi marginal gingiva,
attached gingiva, dan interdental gingiva. Ligamen periodontal tersusun dari
pembuluh darah kompleks dan jaringan ikat yang sangat selular, mengelilingi akar
gigi dan melekat pada dinding bagian dalam tulang alveolar. Sementum adalah
jaringan mesenkim terkalsifikasi yang menyelubungi bagian luar akar gigi.
Prosesus alveolar merupakan bagian dari maksila dan mandibular yang
membentuk dan mendukung soket gigi (Newman et al, 2012).

Gambar 2. Anatomi Gigi


Sumber: Nelson dan Ash, 2010

2.3 Pulpa
Pulpa merupakan jaringan yang berasal dari neural crest. Proliferasi dan
kondensasi sel ini menyebabkan pembentukan papila dental yang akan
menghasilkan pulpa yang matur. Jaringan pulpa mirip dengan jaringan ikat lainnya
di dalam tubuh, tetapi memiliki karakteristik khusus. Hal ini dikarenakan jaringan
pulpa dikelilingi oleh jaringan keras dan berada dalam suatu lingkungan yang low
compliance (Okiji, 2012; Hargreaves, 2012). Pulpa terbagi menjadi pulpa mahkota
dan pulpa radikular. Pada pulpa mahkota terdiri atas tanduk pulpa dan kamar
11

pulpa. Tanduk pulpa merupakan perpanjangan pulpa di mahkota ke dalam tonjol


gigi. (Walton dan Torabinejad, 2008). Bentuk setiap pulpa umumnya tergantung
pada bentuk tiap gigi (Heymann et al., 2011).
2.3.1 Histologi Pulpa
Secara histologis, pulpa terdiri dari 4 (empat) zona yaitu zona odontoblas ,
zona bebas sel dari Wei, zona kaya akan sel, dan inti pulpa. Zona odontoblas
terletak pada perifer pulpa yang merupakan zona terluar yang terdiri dari sel-sel
odontoblas, atau disebut juga zona dentinoblas. Di dalam zona ini terdapat
pembuluh darah kapiler, serabut saraf, dan sel dendritik. Zona bebas sel dari Weil
banyak ditemukan di bagian korona pulpa, disebut juga sebagai zona miskin sel
atau zona subdentinoblas. Zona ini mengelilingi zona kaya sel dan relatif bebas
sel, sehingga disebut sebagai zona bebas sel. Zona ini mengandung banyak
pembuluh darah kapiler dan serabut saraf sensoris yang tidak bermielin. Zona
kaya akan sel memiliki densitas tinggi karena mengandung banyak sel seperti
fibroblast, makrofag, sel dendritik, dan undifferentiated mesenchymal atau sel
punca. Inti Pulpa disebut juga zona sentral mengandung banyak pembuluh darah
untul memberi vaskularisasi secara ekstensif pada pulpa, saraf, serta sel jaringan
ikat fibroblast (M Z Hossain et al, 2017).
Di dalam pulpa terdapat berbagai jenis sel yaitu odontoblas, preodontoblas,
fibroblast, sel cadangan, dan sel-sel imun. Odontoblas merupakan sel yang
membentuk lapisan tunggal di perifer pulpa dan juga mensintesis matriks yang
kemudian menjadi dentin. Preodontoblas merupakan sel yang telah terdifirensiasi
sebagian sepanjang garis odontoblas. Fibroblas adalah sel yang menghasilkan
dan mempretahankan kolagen serta zat dasar pulpa jika terdapat penyakit. Sel
cadangan merupakan sel perkusor yang dekat dengan pembuluh darah sehingga
berperan sebaga sumber dari jaringan ikat pulpa. Sel-sel imun, meliputi :
makrofag, limfosit T, dan juga sel dendritk (Golberg dan Hirata, 2017).
Dentin dan pulpa merupakan jaringan tunggal kompleks yang secara
histologik tampilannya bervariasi berdasarkan usia dan rangsangan terhadap
stimuli eksternal Jaringan pulpa dibatasi oleh jaringan dentin yang secara
mikroskopik menyambung dengan lapisan paling luar sel odontoblas, dan daerah
ini disebut pulpodentinal complex. Lapisan terluar sel odontoblas, sitoplasmanya
menjorok masuk ke tubulus dentin mencapai sepertiga tebal dentin, yaitu kira-kira
0,7mm (M Z Hossain et al, 2017).
12

2.3.2 Fungsi Pulpa


Secara fisiologis pulpa memiliki lima fungsi utama yaitu fungsi induktif,
formatif, nutritif, defensif, dan sesatif. Fungsi induktif yakni pulpa berperan dalam
induksi dan pengembangan odontoblas dan juga dentin serta menginduksi
pembentukan email. Fungsi formatif lebih ditekankan pada pembentukan dentin
oleh odontoblas, selama tahap awal perkembangan gigi. Dentinogenesis
umumnya merupakan proses yang cepat, setelah pematangan gigi selesai,
pembentukan dentin terus berlanjut pada kecepatan yang jauh lebih lambat dan
dalam pola yang kurang simetris. Fungsi nutritif yaitu pulpa berperan dalam
memasok nutrien melalui tubulus dentinalis yang sangat diperlukan bagi
pembentukan dentin. Fungsi defensif yaitu pulpa gigi memiliki kemampuan untuk
merespons inflamasi dan imunologis dalam upaya untuk menetralisir atau
meniadakan invasi mikroorganisme. Fungsi sensatif dilakukan pulpa melalui
sistem saraf yakni memancarkan sensasi yang diperantarai oleh email atau dentin
ke pusat-pusat saraf yang lebih tinggi (Walton dan Torabinejad, 2008).
2.4 Odontoblas
Odontoblas merupakan sel utama dari jaringan pulpa. Sel ini membentuk
lapisan tunggal di perifer, mensintesis matriks dan mengontrol mineralisasi dentin.
Oleh sebab itu, sejumlah peneliti memilih nama ’dentinoblas’ untuk menjelaskan
fungsi utama sel ini sebagai pembentuk dentin. Di bagian koronal, odontoblas
berjumlah banyak, tersusun lebih dari 3 lapisan, dengan bentuk relatif besar dan
kolumnar tinggi. Jumlahnya rata-rata 45.000 – 65.000/mm2 di area tersebut. Di
bagian servikal dan tengah akar, jumlahnya lebih sedikit, tersusun dalam 1-2
lapisan, dan berbentuk kolumnar pendek atau kuboid, sedangkan di bagian apeks
berbentuk pipih. Morfologi sel ini mencerminkan tingkat aktivitasnya yaitu sel-sel
yang lebih besar memiliki aparatus sintesis yang terbentuk sempurna, serta
memiliki kapasitas untuk mensintesis matriks lebih banyak (Eroschenko, 2013).
Odontoblas terdiri atas dua komponen utama yaitu badan sel dan
prosesus, dimana badan sel terletak berdekatan dengan matriks dentin tidak
termineralisasi (predentin). Prosesus odontoblas yang berisi sitoplasma sel,
memanjang ke arah luar dengan panjang yang bervariasi melalui tubulus di
predentin dan dentin, mencapai sepertiga ketebalan dentin (0,7 mm). Badan sel
merupakan bagian yang berfungsi dalam sintesis dan terdiri dari nukelus dan
organel sitoplasma yang merupakan ciri khas sel-sel sekresi. Selama
13

dentinogenesis aktif, reticulum endoplasmik dan badan golgi menonjol dan ada
sejumlah mitokondria dan vesikel (Eroschenko, 2013).
Odontoblas merupakan sel tahap akhir yang tidak akan mengalami
pembelahan sel lagi, sehingga disebut disebut sel postmitotic. Selama siklus
hidupnya, mereka mengalami fase fungsional, transisional, dan fase istirahat,
semua itu ditandai oleh ukuran sel dan ekspresi organel. Odontoblas dapat
berlanjut pada berbagai tingkat aktivitas selama hidupnya. Sejumlah sel
mengalami kematian yang terencana (apoptosis) seiring dengan penurunan
volume pulpa. Proses penyakit, terutama karies gigi, dapat merusak odontoblas,
tetapi bila kondisi memungkinkan, sel-sel ini dapat digantikan oleh generasi baru
sel lir-odontoblas yang berdiferensiasi dari sel-sel induk (Eroschenko, 2013).

Gambar 2.X Odontoblas


Sumber : Eckhard et al., 2015
2.5 Estrogen
Estrogen merupakan salah satu hormon steroid yang mempunyai struktur
dasar kimia berintikan steroid dengan 18 cincin karbon yang dapat dibagi menjadi
3 kelompok, yaitu estron (E1), 17β- estradiol (E2), dan estriol (E3). Secara biologis,
estrogen ialah hormon steroid yang merupakan derivat aktif dari kolesterol.
Sintesis hormon steroid pada manusia terjadi terutama di korteks adrenal dan
gonad laki-laki dan perempuan. Persamaan dari semua steroid adalah gambaran
struktur kimia yaitu inti tetracyclic (perhydrocyclopenotanophe- Nanthrene)
(Guyton, 2014). Secara umum, estrogen diproduksi secara normal oleh ovarium
dan diproduksi dalam jumlah kecil oleh jaringan liver, pankreas, kelenjar adrenal,
jaringan adiposa dan payudara. (Barakat, Oakley, Kim, Jin, & Ko, 2016).
Hormon estrogen utama yang disekresi yaitu estradiol (E2 atau 17β-
estradiol). E2 memiliki struktur molekular 17 carbon (C17) dan 2 kelompok hidroksil
(Zulma, 2012), dimana struktur ini pula yang terdapat pada flavonoid dan
antosianin. Estron disekresi dalam jumlah kecil, namun sebagian besar estron
diproduksi dari androgen di jaringan perifer oleh korteks adrenal dan sel teka
14

ovarium. Estron juga dihasilkan di hati melalui konversi 17 β-hydroxysteroid


dehydrogenase dari estradiol. Estriol adalah estrogen utama yang dibentuk oleh
plasenta selama kehamilan. Estriol adalah produk oksidasi yang berasal dari
estradiol dan estron serta merupakan estrogen yang lemah (Guyton, 2014).
Estradiol memiliki efek estrogenik 10 kali lebih poten dibandingkan dengan estron
dan 80 kali lebih poten dibandingkan dengan estriol. Pada masa menopause
produksi estrogen turun yang disebabkan oleh berkurangnya folikel ovarium
(Zulma, 2012). . Estradiol terutama ditemukan terikat dalam aliran darah dengan
protein pembawa. Albumin membawa sekitar 60 % dari estradiol, sedangkan
globulin mengikat 38 % dari estradiol , dan 2 % sisanya bebas dalam aliran darah.
Hormon ini bebas aktif dan mampu memasuki sel target (Beshay,2013).
Estrogen merupakan hormon seks steroid yang memiliki fungsi fisiologis
yang luas. Estrogen berperan sebagai regulator dari proliferasi sel, pertumbuhan
tulang, proliferasi kelenjar mammae, pertumbuhan endometrium, tonus pembuluh
darah, tekanan darah, kontraktilitas miokard, aktivasi simpatis, metabolisme
glukosa, peradangan, adipogenesis, dan metabolism lipid (Barton, 2016)..
Estrogen memainkan peran berbeda dalam fisiologi normal pada laki-laki dan
wanita, namun dalam kondisi fisiologis tertentu, estrogen dapat memainkan peran
yang sama pada kedua jenis kelamin (Simpson et al., 2005). Pada wanita,
estrogen memiliki fungsi utama pada uterus yaitu berperan dalam proliferasi sel
dan pertumbuhan jaringan yang berhubungan dengan fungsi reproduksi.
Sedangkan pada laki-laki, Jumlah kecil estrogen yang dihasilkan berperan untuk
maturasi sperma, fungsi ereksi dan memelihara libido yang sehat (Schulster et al,
2016).
Estrogen disekresi dalam jumlah yang kecil pada masa anak-anak dan
akan terjadi peningkatan serta merangsang timbulnya ciri seks sekunder saat
pada saat pubertas. Estrogen akan mengalami peningkatan jumlah dibawah
pengaruh hormon gonadotropin. Rangsangan hormon gonadotropin yang
meningkat ini akan membuat ovarium, uterus, vagina dan tuba fallopi bertambah
besar. Masa pubertas terjadi peningkatan ukuran uterus dan terjadi perubahan
pada endometrium, kemudian terjadi proliferasi stroma dan peningkatan
perkembangan kelenjar endometrium (Guyton, 2014).
Kadar estrogen meningkat pada keadaan ovulasi, kehamilan, pubertas
prekoks, ginekomastia, atropi testis, tumor ovarium, dan tumor adrenal. Kadarnya
akan menurun pada keadaan menopause, disfungsi ovarium, infertilitas, sindroma
15

turner, amenorea akibat hipopituitari, anoreksia nervosa, keadaan stres, dan


sindroma testikular ferninisas pada wanita. Faktor interfensir yang meningkatkan
estrogen adalah preparat estrogen, kontrasepsi oral, dan kehamilan. Serta yang
menurunkan kadarnya yaitu obat clomiphene (Rahmanisa, 2014).
Estrogen berperan penting dalm meregulasi dan menjaga kesehatan
sistem muskuloskeletal manusia. Penurunan kadar estrogen pada saat
menepouse mengakibatkan degenerasi lumbal yang lebih cepat, begitupula pada
wanita dengan riwayat pernah melakukan ovariektomi . E2 telah terbukti
menstimulasi sel NP muda untuk berploriferasi, dan memberi efek protektif pada
jaringan sendi (Wei et al., 2016). Estrogen juga menghambat sitokin resorpsi
tulang seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α, serta meningkatkan produksi osteoblas.
Kekurangan estrogen dapat menyebabkan osteoporosis primer dan fraktur tulang,
tidak hanya pada wanita yang sudah menopouse namun pada laki-laki dewasa
(Khosla et al. 2011).
Dalam rongga mulut, terdapat keterkaitan antara kadar estrogen dalam
tubuh dengan dentinogenesis pada gigi manusia. Pada penelitian yang dilakukakn
oleh wang et al (2013), defisiensi estrogen mengarah pada menurunnya potensi
osteo/odontogenik melalui jalur Nf-Kb ditandai dengan menurunnya protein marker
pembentukan dentin berupa DSP dan Dspp. Hal ini berhubungan dengan fungsi
estrogen dalam metabolisme tulang. Defisiensi estrgoen berakibat pada
osteoporosis dan fraktur tulang pada wanita post-menopause maupun pria muda
(Khosla et al., 2011). Osteoporosis berakibat pada penyakit periodontal, yang
mengakibatkan hilangnya tulang alveolar dan juga meningkatkan resiko
periodontitis serta kehilangan gigi (Arina, 2008 ; Wang et al, 2013).
2.5.1 Reseptor Estrogen
Reseptor estrogen merupakan sekelompok protein yang memperantarai
aksi hormon estrogen di dalam tubuh (Hakim et al., 2018). Efek estrogen hanya
terlihat pada sel dan jaringan yang memiliki reseptor estrogen. Estrogen adalah
steroid lipofilik yang mudah larut dalam lemak sehingga memungkinkan untuk
berdifusi melalui membran plasma dan juga berinteraksi dengan permukaan
hidrofobik suatu protein serta makromolekul lainnya. Sifat fisik ini memungkinkan
interaksi estrogen dengan reseptor yang berada di permukaan sel dan di dalam
sel untuk melakukan beragam aksi biokimia. Fungsi estrogen dalam tubuh
manusia berhubungan dengan jenis reseptor, interaksinya antar estrogen, lokasi
reseptor, dan struktur lain yang ada pada sel target (Gaudet et al., 2015).
16

Jika suatu reseptor estrogen berikatan dengan ligannya, maka akan terjadi
perubahan konformasi reseptor yang memungkinkan berikatan dengan
koaktivator. Kompleks estrogen-reseptornya kemudian akan berikatan dengan
esterogen reseptor element (ERE) yang terletak di dekat gen yang akan
dikendalikan transkripsinya. Setelah berikatan dengan ERE, kompleks tersebut
akan berikatan dengan suatu protrein koaktivator dan mengaktifkan faktor
transkripsi. Aktivasi transkripsi gen tersebut akan menghasilkan mRNA tang
mengarahkan pada sintesis protein tertentu, yang kemudian mempengaruhi fungsi
sel, tergantung sel targetnya (Zullies, 2006).
Sampai saat ini, reseptor estrogen terbagi menjadi dua famili yang berbeda
yaitu ERs (ER-α dan ER-β) yang dikategorikan sebagai reseptor hormon steroid
(SHRs) dan GPER (G-protein coupled Estrogen Receptor) yang merupakan
anggota superfamil dari GPCR (Filardo, 2018). Setiap jenis reseptor estrogen
dianggap unik dan independen berdasarkan evaluasi genentik, farmakologis,
biologis, dan aksi biokimianya (Gaudet et al., 2015).

Gambar 3. Perbedaan ER dan GPER


Sumber : Filardo,EJ 2018
2.6 GPER (G-Protein Coupled Estrogen Receptor)
GPER (juga dikenal sebagai GPR30, DRY12, FEG-1, LERGU, LyGPR,
CMKRL2, LERGU2 dan GPCR-Br) pertama diteliti melalui pendekatan kloning dan
analisa homologi sebagai salah satu sebagai 7-transmembran GPCR pada
pertengaan 1990-an. Pada awalnya GPER disebut orphan receptor karena tidak
adanya ligan yang teridentifikasi. Setelah melakukan penelitian beberapa kali,
pada 2007 International Union of Basic and Clinical Farmacology (IUPHAR) secara
resmi menyebut GPR30 sebagai GPER karena terbukti menunjukkan pengikatan
17

independen dan menjalankan fungsi dari estrogen. GPER juga terbukti dapat
mengikat ligan alami seperti E2 dan juga ligan sintetis (Baston, 2015).
GPER pada manusia terletak pada kromosom 7p22.3 dan terdiri dari tiga
exon. GPER terdiri atas 375 asam amino, dan mempunyai massa molekul sebesar
41 kDa. Exon3 merupakan regio pengkodean asam amino pada GPER (Mizukami,
2010).
GPER berikatan dengan E2 dengan afinitas tinggi (Kd = 3-7 nM),
sedangkan ER-α dam ER-β berada dibawahnya yaitu pada kisaran 0,1-0,5 nM.
Hal tersebut menunjukkan bahwa GPER lebih banyak teraktivasi baik pada kondisi
lokal maupun sistemik. GPER juga mengikat E2 dengan selektivitas yang lebih
tinggi daripada steroid lain seperti testosteron, kortisol, dan progesteron. dan
berbeda secara struktural dari reseptor estrogen klasik (ERα dan ERβ). GPER
diketahui mengerahkan efeknya melalui pensinyalan cepat (non-genomik) serta
aktivasi transkripsional untuk menghasilkan migrasi sel, pertahanan, dan
proliferasi pada sel normal maupun sel ganas (Wei et al, 2016).
Pensinyalan cepat non-genomik sebagai respons terhadap E2 melalui
GPER dapat mengaktifkan beberapa jalur pensinyalan termasuk MAPK, PI3 K,
PKC, mobilisasi Ca2 + dan adenylyl cyclase. Secara khusus, aktivasi jalur MAPK
mengatur ekspresi gen melalui aktivasi factor transkripsi seperti cAMP-response-
element-binding (CERB) (Thorbrugge et al, 2018). GPER memediasi pensinyalan
transduksi sering melibatkan rapid calcium mobilization dan cAMP elevation jauh
lebih cepat dari ERs.

Gambar 4. Pensinyalan GPER


Sumber : Thorbrugge, 2018

Antibodi anti-GPER telah menunjukkan ekspresi dan distribusi dalam


berbagai sel dan jaringan. Analisis menggunakan metode Western Blot , PCR, dan
18

imunohistokimia (IHC) menunjukkan bahwa GPER diekspresikan dalam plasenta,


jantung, paru-paru, hati, prostat, sumsum tulang dan hati janin, tetapi atlas lengkap
dari ekspresi protein GPER dan peran fungsionalnya belum ditetapkan. Meskipun
GPER sebagai GPCR 7-transmembran, dianggap terletak di membran plasma
seperti kebanyakan GPCR. banyak laporan mengamati bahwa dalam sel dan
jaringan yang beragam. PER dominan, meskipun tidak secara eksklusif,
terlokalisasi pada membran intraseluler, khususnya retikulum endoplasma dan
aparatus Golgi. Pada beberapa sel, GPER terekspresi pada membran sel dan juga
kompartemen inti sel (Weet al, 2016)
Sejak ditemukannya GPER, banyak penelitian yang telah membantu
mengidentifikasi berbagai fungsi dan peran fisiologis dalam banyak organ beserta
patologisnya. GPER terbukti berperan penting dalam regulasi metabolisme lemak,
tonus arteri, tekanan darah, dan fungsi kekebalan tubuh, dan factor-faktor yang
terkait dengan risiko penyakit arteri coroner. Selain itu, ekspresi GPER terbukti
meregulasi perkembangan, seperti dalam perkembangan jaringan reproduksi
wanita dan siklus menstruasi pada wanita. Ekspresi GPER pada jaringan tertentu
juga menunjukkan perbedaan seksual seperti di otak dan pulau kecil pancreas, di
mana wanita mengekspresikan tingkat yang lebih tinggi daripada pria.
Beberapa studi menunjukkan bahwa GPER dapat mengatur proliferasi,
migrasi, invasi, dan pengembangan secara in vivo ada penderita kanker seperti
kanker payudara, ovarium, kolorektal, paru-paru. GPER dapat melakukannya
dengan memodulasi pertumbuhan sel kanker yang responsif terhadap hormonal
secara in vitro. Ekspresi GPER yang berlebihan adenokarsinoma endometrium
stadium lanjut berkorelasi dengan kelangsungan hidup yang buruk .Penelitian lain
juga menyarankan peningkatan GPER pada kanker payudara, ovarium dan
endometrium berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit dan penurunan
kelangsungan hidup. Hasil ini sesuai dengan penelitian menunjukkan hubungan
overpresi GPER di kanker lainnya. (Wei et a.l, 2014)
19

Gambar 5. Fungsi GPER


20

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Gambar 6. Kerangka konsep penelitian

3.1 Penjelasan kerangka konsep penelitian


Jenis kelamin adalah perbedan bentuk, sifat, dan fungsi biologis laki-laki
dan perempuan. Dalam bidang forensik, identifikasi jenis kelamin lebih dahulu
dilakukan karena dapat mengurangi persamaan suatu individu dengan probabilitas
50 %. Gigi merupakan salah satu organ tubuh manusia yang dinilai akurat untuk
identifikasi karena gigi memiliki ketahanan kuat terhadap berbagai macam
penyebab kerusakan jaringan. Identifikasi individu menggunakan gigi dapat
dilakukan dengan berbagai metode. Analisa histologi merupakan metode yang
paling sederhana yakni dengan melihat keberadaan kromatin seks pada sel
odontoblas pulpa gigi.
Sel odontoblas pada pulpa gigi diketahui dapat mengekspresikan suatu
reseptor esterogen. Reseptor esterogen dibutuhkan hormon esterogen untuk
mencapai sel target. Esterogen merupakan salah satu hormone seks yang
21

memiliki fungsi yang luas, salahsatunya yaitu berfungsi membentuk karakter seks
sekunder pada perempuan. Secara kalsik, terdapat dua reseptor estrogen yaitu
ER-α dan ER-β yang melakukan pensinyalan secara genomik. GPER (G-Protein
coupled Estrogen Receptor) merupakan subpopulasi dari ERs (ER-α dan ER-β)
yang memerankan pensinyalan non-genomik. Baik ER-α, ER-β, maupun GPER
terbukti diekspresikan pada pulpa gigi manusia. Aktivitas sel Schwann dalam pulpa
wanita memiliki reaktivitas yang lebih tinggi ER-α dan ER-β. Sedangkan
perbedaan ekspresi GPER pada pulpa gigi laki-laki dan perempuan masih belum
jelas.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan ekspresi sel odontoblas
pada pulpa gigi laki-laki dan perempuan terhadap GPER (G-Protein coupled
Estrogen Receptor).
22

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Desain penelitian ini adalah observasional analitik dengan metode
pendekatan cross sectional. Penelitian observasional dilakukan karena peneliti
tidak melakukan manipulasi, intervensi, ataupun paparan tertentu terhadap
variabel yang diteliti dan hanya melakukan pengamatan (Siswanto et al., 2015).
Penelitian analitik merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
hubungan atau pengaruh antar variabel satu dengan yang lain, maupun
membandingkan atau mengetahui perbedaan satu variabel atau lebih dari
berbagai aspek atau sudut pandang (Siswanto et al., 2015). Pendekatan cross
sectional digunakan karena peneliti melakukan pengukuran atau observasi
variabel-variabelnya hanya satu kali, pada satu waktu (Notoatmodjo , 2016).
4.2 Sampel
4.2.1 Sampling
Sampel dipilih dengan menggunakan teknik non probability sampling ,yaitu
purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel
sumber data dengan menetapkan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-
kriteria tertentu yang harus dipenuhi oleh sampel-sampel yang digunakan dalam
penelitian ini (Nursalam, 2013).
4.2.2 Kriteria Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah gigi yang diindikasikan
pencabutan dalam perawatan ortodonti. Sampel ini diperoleh dari beberapa klinik,
poli gigi, dan tempat praktik dokter gigi.
4.2.2.1 Kriteria inklusi
1. Gigi premolar satu rahang atas yang utuh.
2. Sampel berupa gigi premolar laki-laki dan perempuan berusia 14 – 40
tahun. Usia 14 tahun dipilih karena pada rentang usia ini gigi premolar telah
erupsi dan apikal sudah menutup sempurna, sedangkan usia 40 tahun adalah
usia dimana kadar estrogen pada tubuh manusia berhenti diproduksi (Susanti,
2014).
4.2.2.2 Kriteria ekslusi
1. Gigi premolar dengan restorasi pada mahkota.
2. Gigi premolar karies
3. Gigi premolar anomali
23

4.2.3 Jumlah Sampel


Banyak sampel yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan
berdasarkan penghitungan sampel dengan rumus besar sampel deskriptif
numerik (Dahlan, 2016), yaitu :
n = ( ZɑS )²
d
Keterangan :
n = jumlah subjek
Alpha (ɑ) = kesalahan generalisasi ditetapkan sebesar 5%
Zɑ = nilai standar alpha yaitu 5%
S = simpang baku kadar berdasarkan kepustakaan
d = Kesalahan prediksi rerata yang masih dapat diterima,
ditetapkan sebesar 1

Aplikasi rumus :
n = (1,96 x 1,1877) ²
1
=5
≈6
Berdasarkan perhitungan sampel diatas, sehingga jumlah total
sampel yang digunakan dalam penelitian ini sejumlah 6 buah gigi premolar.
4.3 Variabel Penelitian
4.3.1 Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis kelamin sampel yang
digunakan, yaitu laki-laki dan perempuan.
4.3.2 Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah ekspresi GPER (G-Protein
coupled Esterogen Receptor) pada sel odontoblas gigi.
4.3.3 Variabel Kendali
Variabel kendali pada penelitian ini adaah gigi premolar yang sesuai
dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan.
4.4 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Juni – September 2019.
24

4.5 Bahan dan Alat Penelitian


1. Bahan dan alat untuk fiksasi jaringan gigi
a. 10% neutral buffered formalin
b. Wadah tertutup
2. Bahan dan alat untuk pembuatan preparat jaringan keras gigi
a. Microtom Rotary
b. Beaker glass 250 ml
c. Kuas
d. Object Glass
f. Xylol
g. Wadah
h. Water bath
i. Larutan EDTA 14%
j. Acetone
3. Bahan dan alat untuk pewarnaan Imunohistokimia
a. Phosphate buffer saline (PBS)
b. Xylene
c. Etanol
d. Hidrogen peroksida (H₂O₂)
e. Peroxidase blocking solution
f. Prediluted bocking serum
g. Antibodi monoklonal GPER
h. Antibodi sekunder yang telah tekonjugasi peroksidase
i. 3,3-diaminobenzinidine (DAB)
k. Coverslip
p. Mikroskop cahaya
q. Mikropipet
r. Kotak penyimpanan slide
s. Inkubator
4. Bahan dan alat untuk pemeriksaan sediaan histologi
a. Kamera
b. Mikropipet
c. Mikroskop Cahaya Binokuler
5. Alat sanitasi dan higienisasi
a. Sarung Tangan
25

b. Jas Laboratorium
c. Masker
d. Sabun Antiseptik
4.6 Definisi Istilah/Operasional
4.6.1 Sel Odontoblas
Pada penelitian ini, yang dimaksud sel odontoblas yaitu sel yang terletak
pada perifer pulpa, dan berbentuk kolumnar dengan inti sel berada pada kutub
proksimal prosesus badan sel.
4.6.2 GPER (G-Protein coupled Esterogen Receptor)
GPER (G-Protein coupled Esterogen Receptor) yang dihitung adalah yang
diekspresikan dengan sel odontoblas dengan pewarnaan imunohistokimia.
Perbesaran yang digunakan adalah 1000x dengan 5 lapang pandang.
4.7 Prosedur Penelitian
4.7.1 Pengambilan Sampel Jaringan
Sampel yang didapat segera dimasukkan ke dalam wadah berisi formalin
10% untuk mencegah kematian dari sel.
4.7.2 Pembuatan Preparat Jaringan Keras Gigi
1. Fiksasi dilakukan dengan merendam jaringan dalam formalin 10% selama
minimal 2 hari kemudian dilanjutkan dengan tahap pencucian menggunakan air
mengalir selama 15 menit.
2. Dekalsifikasi jaringan menggunakan larutan EDTA 14% hingga konsentrasi
jaringan lunak dan siap dipotong.
3. Melakukan pencucian kembali menggunakan air mengalir selama 15 menit.
4. Jaringan memasuki proses dehidrasi menggunakan acetone sebanyak 4 kali
dalam 1 jam. Kemudian, dilakukan pembeningan (clearing) guna menarik
alcohol sehingga dapat diganti dengan paraffin menggunakan xylol sebanyak 4
kali dalam 30 menit.
5. Impregnasi menggunakan paraffin cair pada suhu 55̊ C – 80̊ C sebanyak 4 kali
dalam 1 jam.
6. Penanaman jaringan dalam blok paraffin (embedding), kemudian didinginkan
selama 24 jam.
7. Sediaan dilakukan penyayatan dengan ketebalan 3-5 mikron menggunakan
microtom rotary.
8. Hasil sayatan diletakkan pada water bath pada suhu 30̊ C.
26

9. Sayatan diletakkan pada object glass dan didiamkan selama 24 jam, kemudian
dapat dilakukan pewarnaan immunohistokimia.
4.7.3 Pewarnaan Immunohistokimia Indirek
Metode pewarnaan pada penelitian ini menggunakan metode
Immunohistokimia Indirek yang menggunakan dua macam antibodi, yaitu antibodi
primer dan antibodi sekunder yang telah dikonjugasi dengan peroksidase. Antibodi
primer berfungsi untuk mengenali antigen yang diidentifikasi pada jaringan (first
layer). Peroksidase yang terkonjugasi pada antibodi sekunder berfungsi untuk
mengkatalis reaksi antara kromogen (DAB) dan hidrogen peroksida (H₂O₂)
sehingga terbentuk endaan warna coklat yang menunjukkan keberadaan molekul
dalam jaringan.
Prosedur pewarnaan Immunohistokimia pada Protap Pengecatan
Immunohistokimia Fakultas Farmasi UGM adalah sebagai berikut (CCRC UGM,
2009) :
1. Melakukan deparafinisasi preparat (blok paraffin) denga xylene sebanyak 3 kali
masing-masing 3 menit.
2. Melakukan rehidrasi preparat dengan menggunakan etanol 100% selama 2
menit, etanol 95% selama 2 menit, dan etanol 70% selama 1 menit. Media
pengganti zat warna kejar ?
3. Melakukan perendaman dalam peroxidase blocking solution pada suhu kamar
selama 10 menit.
4. Inkubasi preparat dalam prediluted bocking serum 25̊ C selama 10 menit.
5. Merendam preparat di dalam antibodi monoklonal anti-GPER selama 10 menit.
6. Mencuci preparat menggunakan PBS (Phosphate Buffer Saline) selama 5
menit.
7. Inkubasi preparat dengan antibodi sekunder (conjucted to horse radish
peroxidase) 25̊ C selama 10 menit.
8. Mencuci preparat menggunakan PBS (Phosphate Buffer Saline) selama 5
menit.
9. Inkubasi preparat dengan peroxidase 25̊ C selama 10 menit.
10. Mencuci preparat menggunakan PBS (Phosphate Buffer Saline) selama 5
menit.
11. Inkubasi preparat dengan kromogen DAB (diaminobenzinidine) 25̊ C selama
10 menit.
12. Mencuci preparat dengan air mengalir.
27

13. Preparat dibersihkan dan ditetesi dengan mounting media.


14. Preparat ditutup dengan coverslip.
15. Mengamati ekspresi GPER pada sel yang berwarna coklat menggunakan
mikroskop cahaya dengan pembesaran 1000x.
16. Dokumentasi hasil pengamatan.
17. Menghitung jumlah GPER yang terekspresi.
4.7.4 Prosedur Pengambilan Data
Pengamatan dilakukan untuk mengamati jumlah sel odontoblas yang
mengekspresikan GPER per lapang pandang pada sediaan histologi yang telah
dibuat. Indikator ekspresi GPER yaitu sel yang berwarna kecoklatan (Nonaka et
al., 2011). Sel odontoblas dihitung dengan perbesaran 1000 kali dengan
menggunakan mikroskop cahaya merk Olympus CX21. Kemudian preparat discan
dan dilihat menggunakan komputer dengan software olyVIA (Olympus for Viewer
Imaging Applications). Jumlah sel odontoblas yang dilihat dan dihitung pada 5
lapang pandang dijumlah dan dicari rata-rata dari masing-masing kelompok
sampel.
4.8 Analisis Data
Untuk mendapatkan data perhitungan jumlah ekspresi GPER (G-Protein
coupled Esterogen Receptor) diperoleh dari analisis statistika menggunakan
program Statistical Product of Service Solution (SPSS) untuk Windows dengan
tingkat signifikansi 0,05 (p=0,05) dan taraf kepercayaan 95% (α=0,05). Langkah -
langkahnya ialah :
1. Uji Normalitas Data
Uji normalitas dilakukan untuk menilai sebaran data berdistribusi
normal atau tidak normal. Uji Normalitas dapat dilakukan dengan Saphiro Wilk
Test karena jumlah sampel yang digunakan ≤ 50. Apabila data tersebut
terdistribusi normal, maka dapat dilanjutkan dengan uji homogenitas varian.
2. Uji Homogenitas Varian
Uji homogenitas dapat dilakukan dengan Levene test. Jika uji
homogenitas menunjukkan data tersebut terdistribusi secara homogen, maka
dapat dilanjutkan uji parametrik berupa berupa uji Independent t test.
Sedangkan apabila data tidak normal dapat dilanjutkan dengan uji Mann
whitney U test.
3. Uji independent t test
28

Untuk menguji hipotesis penelitian yang mana menilai adakah


perbedaan rerata antara kelompok (2 kelompok).
29

4.9 Rancangan Penelitian

Gigi premolar utuh

Pencabutan gigi premolar

Gigi premolar wanita Gigi premolar laki-laki

Fiksasi, Dekalsifikasi, parafin embed

Slicing dan pembuatan preparat


histologi

Pewarnaan Imunohistokimia
menggunakan antibodi anti-GPER

Penghitungan sel odontoblas


yang mengekspresikan GPER

Analisis data dengan Two


Tailed T-test
30

DAFTAR PUSTAKA

Ata-ali, Javier., Ata-ali, Fadi. 2014. Forensic in Human Identification : A Review of


The Literarure. Journal Section Oral Medicine and Pathology. Vol.6,
No.2.

Basnaker, Maharudrappa., Moolrajani, Chancal. 2016. Determination of Sex by


Dental Pulp Tissue- A Single Blind Study. Bhavnagar Universiy’s Journal
of Dentistry. Vol.6, No.1 : 1-6.

Conceicao, Luciana. Silveira, Isadora., Lund, Rafael. 2015. Forensic Dentistry :


An Overview of the Human Identification’s Techniques of this Dental
Speciality. Journal of Forensic Research. Vol.6 : 256.

Cabo, R M., Gimeno, Ricardo., Nieto, M J. 2012. Gender Diversity on European


Bank’s Boards of Directors. Journal of Buseiness Ethics. Vol.109, No.2 :
145-162.

Eckhard, G. Marino, S.R. Abbey, G. 2015. Overall, The Human Dental Pulp
Proteome and N-Terminome : Levering the Unexplored Potential of
Semitrypic Peptides Enriched by TAILS to Identify Missing Protein in the
Human Proteome Project in Unexplored Tissues. J. Proteome Res. Vol.
14 : 3568-3582.

Filardo, Edward J. 20xx. A Role for G-protein Coupled Esterogem Receptor


(GPER) in Esterogen-induced Carcinogenesis : Dysregulated Glandular
Homeostasis, Survival, and Metastasis. Journal of Steroid Biochemistry
and Molecular Biology. Vol xx, No.xx

Gaudet, H M ., et al. 2015. The G-protein Coupled Esterogen Receptor, GPER :


The Inside and Inside-out Story. Molecular an Cellular Endocrinology.
No.148 : 207-209.

Hakim, Andi., S, Widyanti., Alfianto, Untung. 2018. Hubungan Antara Obesitas


dengan Reseptor Hormonal (Reseptor Estrogen dan Progesteron) dan
Ekspresi HER-2/NEU pada Pasien Kanker Payudara di RS X Surakarta.
Biomedika. Vol.10, No.1.
31

Higgins, D. dan Austin, J.J. 2013. Teeth as Source of DNA for Foresic Identification
of Human Remains : A Review. Science and Justice. Vol.53, No.4 : 433-
441.

Inaba, Tomohiro., et al. 2013. Expression of mRNA for Sex Hormone Receptors in
Human Dental Pulp Cells and The Respons to Sex Hormones in The
Cells. Archives od Oral Biology. Vol.58 : 943-950.

Jala et al. 2010. Enhaced expressiom of G-protein Cooupled Esterogen Receptor


(GPER/GPR30) in Lung Cancer. BMC Cancer. Vol. 12 : 624.

Khanna, Kaveri S. 2015. Efficacy of Sex Determination from Human Dental Pulp
Tissue and its Reliability as a Tool in Forensic Dentistry. Journal of
International Oral Health. Vol.7 : 10-16.

Khrisam, Kewal., Kanchan, Tanuj., Garg, Arun. 2015. Dental Evidence in Forensic
Identification- An Oveview, Methodology and Present Status. The Open
Dentistry Journal. Vol.9 : 250-256.

Kim, Mi-Jin., Kim, Tae-Hee., Lee, Hae-hyeog. 2015. G-protein Coupled Esterogen
Receptor (GPER/GPR30) and Women’s Health. Journal of Menopousal
Medicine. No.21 : 79-81.

Kolkova et al. 2010. G Protein-coupled Esterogen Receptor 1 (GPER, GPR30) in


Normal Human Endometrium and Early Pregnancy Decidua. Molecular
Human Reproduction. Vol.16, No.10 : 743-751.

Kumar, Anil., Chaitanya, M., Sasidhar, R.,. 2016Review on Sex Hormones.


Research & Reviews : Journal of Medical and Health Sciences. Vol.5,
Issues 3.

Li et al. 2013. Activation of GPER Induces Differentation and Inhibition of Coronary


Artery Smooth Muscle Cell Proliferation. PLoS ONE. Vol.8, No.6.

Manokawinchoke, Jeeranan., et al. 2014. Estradiol Induces Osteoprotegerin


Expression by Human Dental Pulp Cells. Odontology.

Marczell, Istvan., et al. 2018. Membrane-bound Estrogen Receptor Alpha Initiated


Signaling is Dynamin Dependent in Breast Cancer Cells. European
Journal of Medical Research. Vol. 23, No.31.
32

Mizukami, Yoichi. 2010. In Vivo Functions of GPR30/GPER-1, a Membrane


Receptor for Estrogen : From Discovery to Functions In Vivo. Endocrine
Journal. Vol.57, No.2 : 101-107.

Monica, Gladys S., Siwu, James., Mallo, Johannis. Identifikasi Personal dan
Identifikasi Korban Bencana Massal di BLU RSUP Prof. dr. R.D. Kandau
Manado Periode Januari 2010- Desember 2012. Jurnal Biomedik (JBM).
Vol.5, No.1. 119-126.

Naik, Prachi R., et al. 2012. Viability of Human Dental Pulp in Determination of Sex
of an Indivodual by Identifying SRY Gene Through DNA Analysis : A
Single Blind Pilot Study. Journal of Indian Academy of Oral Medicine and
Radiology. Vol.4, No.2 : 133-136.

Nainan, Oommen., V.S, Parmar. 2015. Dental Biometrics as an Aid in The


Determination of Human Identity. International Journal of Clinical Case
Reports. Vol.5, No.32 : 1-7.

Nandiasa, S.R., Kiswanjaya, B., Yuniastuti, M. 2016. Penggunaan Radiograf Gigi


Untuk Kepentingan Identifikasi Forensik. Odonto Dental Journal, 3;1

Nayar, Amit., Singh, H P., Leekha, Swati. 2014. Pulp Tissue in Sex Determination
: A Fluorescent Microscopic Study. Journal of Forensic Dental Sciences.
Vol.6, Issue 2

Nainan, Oemmen., Parmar, V.S., 2015. Dental Biometrics as an Aid in The


Determination of Human Identity. International Journal of Clinical Case
Reports. Vol.5., No.32 : 1-7.

Naik et al. 2012. Viability of Human Dental Pulp in Determination of Sex of an


Individual by Identifying SRY Gene Through DNA Analysis : A Single
Blind Pilot Study. Journal of Indian Academy of Oral Medicine and
Radiology. Vol.24, No.2 : 132-136.

Prawestiningtyas, Eriko., Algozi, A M. 2019. Identifikasi Forensik Berdasarkan


Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban
pada Dua Kasus Bencana Masal. Jurnal Kedokteran Brawijaya. Vol.25,
No.2.
33

Rahmanisa, Soraya. 2014. Steroid Sex Hormone and It’s Implementation to


Reproductive Function. JUKE. Vol.4, No.7.

Rago et al. 2011. Identification of The Esterogen Receptor GPER in Neoplastic


and Non-neoplastic Human Testes. Reproductive Biology and
Endocrinology. Vol.9 : 135.

Sandoval,C., Nunez, M., Roa, I., 2014. Dental Pulp Fibroblast and Sex
Determination in Controlled Burial Condition. Int. J. Morphol. Vol.2, No.32
: 537-541.

Sanden et al. 2010. G Protein-Coupled Esterogen Receptor 1 (GPER1)/GPR30


Localizes n The Plasma Membrane and Trafficks Intracellulery on
Cytokeratin Intermediate Filaments. American Society for Pharmacology
and Experimental Therapeutics

Sharma, Geetanjali., Mauvais-Jarvis, F., Prossnitz, E R. 2017. Roles of G Protein-


coupled Esterogen Receptor GPER in Metabolic Regulation. Journal of
Steroid Biochemistry & Molecular Biology.

Septadina, Indri Seta. 2015. Identifikasi Individu dan Jenis Kelamin Berdasarkan
Pola Sidik Bibir. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. Vol.2, No.2 : 231-
236.

Sharma, Shilpi., Priscilia, Maria., A P, Indira. 2017. Gender Determination from


Dental Pulp Tissue. International Journal of Contemporary Medical
Research. Vol.4, Issue 4.

Shekhawat, Kudeep S., Chauhan, Arunima. 2016. Analysis of Dental Hard Tissues
Exposed to Hight Temperatures for Forensic Applications : an In Vitro
Study. J Forensic Dent Sci. Vol.8, No.2 : 90-94.

Syafitri, Kharlina., Auerkari, Elza., Suhartono, Winoto. 2013. Metode Pemeriksaan


Jenis Kelamin Melalui Analisis Histologis dan DNA dalam Identifikasi
Odontologi Forensik.Jurnal PDGI. Vol.62, No.1: 11-16.

Suparman, Erna., Suparman, Eddy. 2014. Peran Esterogen dan Progesteron


terhadap Kanker Payudara.Jurnal Biomedik (JBM)I. Vol.6, No.3: 141-
148.
34

Susanti, Eka H. 2014. Hubungan Dukungan Suami dengan Tingkat Kecemasan


Istri dalam Menghaapi Menepouse. Jurnal Biometrika dan
Kependudukan. Vol.3 , No.2 : 114-119.

Trinowahyuni., Rahim,A H., Doloksaribu, E I. 2017. Rekam Medis Odontogram


sebagai Alat Identifikasi dan Kepentingan Pembuktian di Pengadilan.
Jurnal Hukum Kesehatan. Vol.3, No.1.

Verma et al. 2014. Role of Dental Expert in Forensic Odontology. National Journal
of Maxillofacial Surgery. Vol.5 , Issue 1.

Wang et al. 2013. Esterogen Deficiency Inhibits The Odonto/Osteogenic


Differentiation of Dental Pulp Stem Cells Via Activation of The NF-KB
Pathway. Cell Tissue Res. No.352 : 551-559.

Wei et al. 2016. Expression and Functional Roles of Esterogem Receptor GPR30
in Human Intervertebral Disc. Joural of Steroid Biochemistry & Molecular
Biology. Vol.158 : 46-55.

Anda mungkin juga menyukai