Anda di halaman 1dari 4

Potret "Buram" Penyelenggaraan Pendidikan Kejuruan 10 November 2016 21:59:26 Diperbarui: 10 November

2016 22:11:26 Dibaca : 460 Komentar : 0 Nilai : 2 Durasi Baca : 9 menit Siswa SMK Sedang Melakukan
pengukuran, pemeriksaan dan perakitan komponen sepeda motor (foto. yosep efendi) Dalam Undang-undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan di Indonesia dikategorikan
menjadi 7 jenis, yaitu pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Yang
menarik untuk dikaji adalah pendidikan kejuruan dan vokasi. Sebab, dua jenis pendidikan tersebut berpengaruh
besar terhadap upaya membangun sumber daya manusia dan berkontribusi terhadap kondisi perekonomian
suatu negara. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu pakar pendidikan kejuruan, Jhon F. Thompson dalam
bukunya yang berjudul Foundations of Vocational Education, yang menyatakan bahwa pendidikan kejuruan
menggerakkan pasar kerja dan berkontribusi pada kekuatan ekonomi suatu negara (1973: 93). Pendidikan
kejuruan dan vokasi memiliki hubungan yang sangat erat , memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya
yaitu sama-sama membekali peserta didiknya dengan kompetensi yang sesuai dengan dunia kerja.
Perbedaanya adalah pada jenjang, istilah pendidikan kejuruan berada pada jenjang Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) atau Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Sedangkan pendidikan vokasi berada pada jenjang
pendidikan diploma atau jenjang pendidikan tinggi lain yang fokus memberikan keahlian khusus pada peserta
didiknya. Begitu menurut UU Nomor 20 tahun 2013 tentang Sisdiknas. Dari dua jenis pendidikan jalur vokasional
tersebut, yang lebih mudah dijangkau masyarakat luas adalah pendidikan kejuruan pada jenjang SMK/MAK.
Alasannya klasik, yaitu masalah pembiayaan. Tak semua masyarakat bisa menjangkau pendidikan vokasi,
karena tak sedikit yang menganggap bahwa biayanya mahal. Meskipun ada beasiswa, namun jumlahnya
terbatas. Besarnya populasi SMK dan peserta didiknya, menjadi alasan utama mengapa penting membahas
pendidikan kejuruan, lebih mendalam. Revitalisasi SMK Tidak Berdasar Pada Masalah? Ilustrasi Inpres Nomor 9
tahun 2015 (sumber gambar: ditpsmk.kemdikbud.go.id) Sebelum melihat potret permasalahan yang lama, mari
Kita lihat apa yang relatif baru di pendidikan kejuruan Indonesia. Pada bulan September 2016 lalu, Presiden
Republik Indonesia, Joko Widodo, membuat “gebrakan” terkait pendidikan kejuruan. Gebrakan tersebut berupa
dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) nomor 9 tahun 2016, yang berisi tentang Revitalisasi SMK dalam
rangka peningkatan kualitas dan daya saing SDM Indonesia. Secara umum, isi Inpres tersebut adalah mengajak
berbagai pihak untuk bersama-sama mendukung peningkatan kualitas pembelajaran dan lulusan SMK. Pertama
yang menarik yang untuk dikaji adalah alasan atau dasar dikeluarkannya Inpres nomor 9 tahun 2016. Ini penting
untuk mengukur keberhasilan Inpres tersebut. Direktur Pembinaan SMK Kemdikbud, Mustaghfirin Amin,
menyebutkan bahwa "Justru Inpres itu adalah jawaban pemerintah terhadap animo masyarakat yang tinggi untuk
menyekolahkan anak di SMK. Makanya, Presiden ingin kualitas SMK menjadi lebih baik, jadi bukan lahir dari
masalah" (sumber). Kalimat akhir pernyataan tersebut mengidikasikan bahwa Inpres revitalisasi SMK muncul
bukan karena masalah yang terjadi pada penyelenggaraan SMK. Melainkan hanya untuk meningkatkan kualitas
lulusan SMK yang jumlahnya terus meningkat. Direktorat Pembinaan SMK adalah lembaga pemerintah yang
memiliki tugas untuk mengawal penyelenggaraan dan pengembangan SMK. Menjadi “aneh” jika ternyata tidak
menyadari bahwa penyelenggaraan SMK masih mengalami berbagai masalah dan perlu perbaikan. Rasanya,
Kita akan sepakat bahwa kualitas pendidikan SMK memang harus ditingkatkan. Bahkan, tak hanya SMK, semua
jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia. Tetapi, jika masalah-masalah yang terjadi dan dialami tidak dapat
diidentifikasi, maka akan sulit untuk mencapai kualitas terbaik. Padahal, revitalisasi ini sangat penting untuk
menjawab tantangan dan peluang MEA dan Dekade Bonus Demografi Indonesia 2020-2030. Sebab, lulusan
SMK akan berperan penting untuk menjawab tantangan dan mengisi peluang tersebut. Oleh sebab itu, mari Kita
telusuri berbagai permasalahan nyata terjadi di SMK yang kerap disorot dan menjadi “Potret Buram”. Perlu
ditekankan bahwa pemotretan masalah ini bukan bertujuan untuk mendiskriditkan SMK, melainkan untuk
mencari solusinya. Agar program revitalisasi SMK bisa berjalan dengan baik. Kurang Mesranya Hubungan SMK
dan Industri Orientasi pendidikan kejuruan adalah memberikan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan di
Dunia Usaha/Dunia Industri (DU/DI). Artinya, pendidikan kejuruan, SMK, harus memiliki hubungan yang erat
dengan DU/DI, harus “mesra”. Kemesraan tersebut bisa bermanfaat untuk penyusunan kurikulum, proses
pembelajaran, sarana hingga evaluasi pembelajaran SMK. Termasuk untuk memberikan wawasan dan pelatihan
industri bagi guru SMK. Dengan demikian, kompetensi yang diberikan pada siswa, benar-benar sesuai dengan
kebutuhan di DU/DI. Sehingga, lulusan SMK yang tergolong usia produktif dan memiliki kompetensi, bisa
diterima di dunia kerja. Namun, faktanya tidak demikian. Tahun 2012, dalam penelitian Tesis saya yang berjudul
“Pengelolaan Kemitraan SMK dan Dunia Usaha/Dunia Industri Di Daerah Istimewa Yogyakarta” mengungkap
bahwa kemitraan SMK dan industri masih tergolong lemah, mulai dari point kerjasama hingga pelaksanaannya.
Artinya, antara SMK dan Industri belum terjalin hubungan yang “mesra”. Akibatnya, program Link and
Match menjadi “jurus ampuh” kesuksesan pelaksanaan pendidikan kejuruan di Indonesia, menjadi tidak berjalan.
Masalah lainnya adalah SMK sulit mencari mitra (institusi pasangan) yang relevan dan representatif. Padahal,
SMK dan industri harus memiliki hubungan kemitraan yang baik, karena sejatinya Mereka saling membutuhkan.
Pihak SMK bertugas untuk memberi kompetensi pada peserta didik, yaitu kompetensi yang sesuai dengan
kebutuhan industri. Pihak industri akan “menampung” tenaga kerja dari lulusan SMK. Itulah bentuk nyata dari
program Link and Match yaitu untuk menghubungkan dan menyesuaikan pelaksanaan pendidkan kejuruan dan
kondisi di industri. Jika tidak terjalin hubungan antara kedua pihak dan Link and Matchtidak berjalan, maka
kompetensi lulusan SMK tidak akan relevan dengan kebutuhan industri. Akibatnya, lulusan SMK tidak dapat
diserap industri. Ini adalah “hukum alam” di dunia pendidikan kejuruan. Tiga tahun kemudian, yaitu tahun 2015
dan masih di Yogyakarta, ternyata belum ada perubahan signifikan. Portal berita Koran Sindo mengabarkan
bahwa lulusan SMK masih belum siap kerja dan ada perusahaan yang mengeluhkan kompetensi lulusan SMK
(sumber). Jika ada hubungan baik antara SMK dan Industri, maka industri mitra tidak akan mengeluh. Jika ada
keluhan disalah satu pihak, berarti ada masalah pada program kemitraan tersebut. Begitu “hukum” dalam sebuah
kerjasama/kemitraan. Lemahnya hubungan antara SMK dan Industri tidak hanya terjadi di Yogyakarta, yang
menjadi lokasi penelitian saya. Hal itu terjadi di banyak daerah. Seperti yang terjadi di Makassar, portal berita
ANTARA mengabarkan bahwa pelaku usaha mengeluhkan lulusan SMK yang belum memiliki kompetensi
standarisasi kerja. (sumber). Masih menurut ANTARA, di Medan pun mengalamai hal yang sama, yaitu
kompetensi lulusan SMK masih rendah dan perlu ditingkatkan (sumber). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud), Muhadjir Effendi, menyadari pentingnya kemitraan SMK dan Industri. Beliau mengatakan bahwa
"Saya mendorong SMK untuk menjalin hubungan erat dengan industri, perusahaan yang berkaitan langsung
produksinya, sehingga karya siswa tidak hanya satu namun bisa diperbanyak" (sumber). Sepakat bahwa SMK
harus didorong untuk menjalin kerjasama dengan industri, namun pertanyaannya, upaya apa yang bisa
dilakukan untuk mendorong? Tentu tak cukup hanya dengan dorongan nasihat! Upaya yang dapat dilakukan
oleh Mendikbud adalah mengajak Kementerian Perindustrian untuk membuat regulasi yang mengharuskan
industri untuk bermitra dengan SMK. Di mana Peran Pemerintah Dalam Menguatkan Kemitraan SMK dan
Industri? Selain mengungkap lemahnya kemitraan SMK dan industri, penelitian Tesis saya (yang saya tuliskan di
paragraf sebelumnya) juga menemukan fakta bahwa ada oknum industri yang enggan untuk bermitra dengan
SMK. Alasannya, Mereka tidak mau direpotkan dengan urusan kompleks dalam penyelenggaraan SMK. Apa
yang harus dilakukan terhadap industri yang enggan bermitra dengan SMK? Tidak ada!. Sebab tidak ada
regulasi Kementerian Perindustrian yang mengatur itu. Yang terus digaungkan Pemerintah sebagai regulator
adalah SMK harus bekerjasama dengan Industri. Namun, tidak dengan industri. Tidak ada peraturan khusus
yang mengatur bahwa industri harus bekerjasama dengan SMK, terutama SMK yang berada di sekitarnya. Inilah
penyebab dari masalah sulitnya SMK menjalin kerjasama dengan industri yang sesuai dengan kebutuhan SMK.
Jadi selama ini, pihak SMK seolah dibiarkan mencari mitra dari industri sebagai institusi pasangannya. Meskipun
secara manajemen dan sumber daya manusia di SMK, sanggup melakukan pendekatan ke industri. Namun, jika
tidak disambut baik dengan industri, maka upaya tersebut tidak akan berhasil. Lantas, bagaimana dengan
pemerintahan saat ini? Dengan Menteri Perindustrian yang baru, yaitu Erlangga Hartarto. Dalam pernyataannya
di sebuah media, Menteri Perindustrian Erlangga Hartarto berkata “SMK kita dorong agar menjadi gerakan
secara nasional agar SMK melakukan joining program dengan industri” (sumber). Ternyata, masih menggunakan
“wejangan” lama, yaitu mendorong SMK untuk bermitra dengan industri. Mestinya, yang didorong oleh
Kementerian Perindustrian adalah industri/ badan usaha untuk bermitra dengan SMK. Jika memang ingin
mendukung peningkatan kualitas SMK, sebaiknya Menteri Perindustrian membuat regulasi yang mengharuskan
setiap industri memiliki hubungan kerjasama dengan SMK. Tentunya harus ada kesesuaian antara bidang kerja
di industri dan spektrum keahlian di SMK. Misalnya industri logam bekerjasama dengan SMK bidang Pemesinan,
Indsutri otomotif dengan SMK Teknik Kendaraan Ringan dan Teknik Sepeda Motor, dan sebagainya. Terkait
keharusan kerjasama ini, Kementerian Perindustrian harus memberikan wawasan kebermanfaatan pada industri
jika bekerjasama dengan SMK. Karena memang banyak manfaat yang akan diperoleh industri, misalnya
kesesuaian antara kompetensi lulusan SMK dan kebutuhan kerja di industri dan tentunya mendapat calon
tenaga kerja bagi industri. Kementerian Perindustrian hendaknya membuat regulasi yang ketat, agar industri
bersedia bermitra dengan SMK. Tak menutup kemungkinan untuk memberikan sanksi tertentu pada industri
yang tidak bersedia bekerjasama dengan SMK. Jika ini dilakukan, maka masalah kemitraan SMK dan industri,
dapat terselesaikan. Ledakan Jumlah Siswa SMK, Minimnya Sarana-Prasarana Pembelajaran dan
Pengangguran Dari Lulusan SMK Hingga saat ini, Pemerintah terus berusaha meningkatkan jumlah SMK.
Berdasar pada orientasi pendidikan kejuruan SMK yaitu lulus bisa siap kerja, SMK menjadi solusi untuk
mengurangi angka pengangguran. Tahun 2005, jumlah murid SMK “hanya” 750.000 orang. Tahun ini, 2016,
angka itu melonjak tajam menjadi sekitar 4,5 juta orang (sumber). Lonjakan ini dikarenakan terjadi peningkatan
jumlah SMK, sesuai dengan rencana pemerintah untuk mencapai rasio 60:40 (60% SMK dan 40% SMA). Sebab,
dahulu, lulusan SMA banyak yang menjadi pengangguran, karena tidak memiliki keterampilan. Saya sependapat
dengan logika penambahan rasi SMK:SMA menjadi 60:40 untuk mengurangi angka pengangguran. Namun,
penambahan rasio SMK:SMA tak cukup hanya berdasar logika. Permasalahannya adalah apakah penambahan
jumlah unit SMK diimbangi dengan kualitas sarana-prasarana pembelajaran?. Pendidikan kejuruan di SMK
adalah pendidikan yang mahal, sebab sarana dan prasarananya harus disesuaikan dengan yang ada di industri
dan itu biayanya sangat tinggi. Sebab, pendidikan kejuruan bukan pendidikan “teori”, yang bisa berjalan tanpa
media pembelajaran yang relevan dengan bidang keahlian. Pendidikan kejuruan adalah pendidikan “Hands On
Experience”, yang menuntut peserta didiknya memiliki pengalaman nyata sesuai bidang keahlian yang dipilih.
Contoh, siswa bidang keahlian Teknik Kendaraan Ringan yang mempelajari Sistem Transmisi kendaraan. Ia
harus benar-benar memahami secara teori dan praktik dengan unit sistem trasmisi. Tak cukup hanya berteori,
tanpa praktikum. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana potret perlengkapan sarana dan prasarana di SMK saat
ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, izinkan saya bercerita. Hari Sabtu dan Minggu (5 dan 6 Nopember 2016)
lalu, saya mendapat kepercayaan untuk menjadi juri Lomba Kompetensi Siswa (LKS) SMK tingkat provinsi, untuk
bidang keahlian Teknik Sepeda Motor (TSM). Sebelum hari pelaksanaan lomba, pihak guru diundang Technical
Meeting untuk membahas kompetensi, alat dan unit kendaraan yang akan dilombakan. Kegiatan ini bertujuan
agar guru dan siswa bisa mempersiapkan diri. Pada saat hari pelaksanaan lomba, banyak siswa yang tidak
mengetahui fungsi dan cara penggunaan alat yang telah disediakan. Alatnya sangat sederhana, yaitu Clutch
Spring Compressor, yang digunakan sebagai penahan saat akan membongkar atau memasang pegas pada
Pully sekunder sepeda motor matic. Mereka tidak mengetahui alat tersebut karena belum pernah melihat dan
menggunakannya di sekolah. Padahal, untuk ukuran lembaga pendidikan, harga alat tersebut tidaklah mahal,
hanya sekitar Rp 200.000 hingga Rp 250.000. (Clutch Spring Compressor (foto. yosep efendi) Potret
keterbatasan peralatan praktik di SMK adalah potret klasik dan terjadi di banyak berbagai daerah. Penyebabnya
pun juga klasik, yaitu masalah keterbatasan dana untuk membeli peralatan praktik. Sebenanarya, masalah
keterbatasan sarana pembelaaran ini bisa diatasi melalui kerjasama dengan industri. Namun, ternyata, seperti
yang saya tuliskan pada paragraf-paragraf seblumnya, kerjasama dengan industri juga menemui masalah. Jadi,
mengapa pemerintah “terburu-buru” meningkatkan jumlah siswa dan unit SMK? Mengapa tidak berusaha untuk
terlebih dahulu memperbaiki kualitas sarana pembelajaran di SMK yang telah berdiri. Agar kualitas lulusan
menjadi lebih baik. Sebab, yang terpenting dari pendidikan adalah kualitas, bukan kuantitas. Ketika kuantitas
lebih didahulukan daripada kualitas, ditengah terbatasnya sarana pembelajaran, maka kompetensi lulusan SMK
menjadi dipertanyakan. Menjadi hal “wajar” jika ada industri yang mengeluh dengan rendahnya kompetensi
lulusan SMK, seperti yang telah saya tuliskan pada paragraf sebelumnya. Jika kualitas lulusan yang rendah dan
industri mengeluh, maka berdampak pada sulitnya lulusan SMK untuk masuk ke industri dan menjadi
pengangguran. Berdasarkan data terbaru yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 7 November 2016,
tercatat bahwa lulusan SMK menyumbang angka tertinggi pada akumulasi pengangguran terbuka di Indonesia.
Dari 7,03 juta pengangguran di Indonesia, persentase tertinggi disumbang oleh lulusan SMK, yaitu 11,11%. Ini
adalah salah satu bukti jika lebih mengedepankan kuantitas daripada kualitas. Persentase Pengangguran
Terbuka Bedasarkan Tingkat Pendidikan (sumber gambar: www.bps.go.id) Jadi, jika memang pemerintah ingin
meningkatkan kualitas lulusan SMK, sebaiknya pemerintah mengevaluasi lagi program penambahan jumlah
siswa dan unit SMK. Lebih baik terlebih dahulu meningkatkan kualitas SMK yang telah ada dan siswa yang
sudah masuk SMK. Pemerintah hendaknya memberikan alokasi dana khusus untuk peningkatan kualitas SMK.
Membangun Manusia Indonesia dan Mewujudkan Nawacita Melalui Pendidikan Kejuruan Pemerintahan Presiden
Joko Widodo memiliki 9 agenda prioritas atau dikenal dengan istilah Nawacita. Tiga dari 9 agenda prioritas
tersebut sangat dekat hubungannya dengan pendidikan kejuruan, yaitu poin ke-5, ke-6 dan ke-7. Inti dari ketiga
point tersebut meningkatkan kualitas hidup melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan, meningkatkan
produktivitas rakyat dan mewujudkan kemandirian ekonomi. Pendidikan kejuruan yaitu SMK, memiliki peran yang
stretegis untuk mewujudkan 3 cita-cita tersebut. Pendidikan kejuruan di SMK membekali peserta didiknya
dengan kompetensi. Kompetensi merupakan gabungan dari aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Lulusan SMK yang kompeten akan membentuk pribadi yang produktif dan kreatif. Sehingga, barisan lulusan
SMK akan menjadi garda terdepan dalam mewujudkan peningkatan kualitas hidup, produktifitas dan kemandirian
ekonomi bangsa dan negara. Maka, sudah sepatutnya, pemerintah harus lebih memperhatikan SMK. Salah
satunya dengan mengutamakan alokasi anggaran pendidikan untuk penyelenggaraan SMK. Tiga tahun lagi,
yaitu tahun 2020 hingga 2030, Indonesia akan memasuki era Bonus Demografi. Suatu era dimana jumlah usia
produktif lebih banyak daripada usia non-produktif. Era tersebut bisa menjadi peluang sekaligus ancaman bagi
Indonesia. Peluangnya antara lain adalah pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena banyak
masyarakat yang produktif dan bisa menghasilkan sesuatu. Salah satu ancaman besarnya adalah terjadi ledakan
jumlah pengangguran. Kondisi tersebut bisa saja terjadi jika ternyata masyarakat usia produktif tidak memiliki
kompetensi untuk menghasilkan sesuatu. Di sinilah peran strategis SMK, yaitu membekali calon masyarakat
produktif dengan kompetensi. Dengan syarat, berbagai “catatan merah” pada penyelenggaraan SMK dapat
diperbaiki dan tetap mengutamakan kualitas. Meskipun diselimuti banyak potret buram, namun SMK masih
memberi harapan besar bagi pengembangan potensi sumber daya manusia Indonesia. Yang selanjutnya
berdampak pada kesejahteraan Indonesia.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/yosepefendi/potret-buram-penyelenggaraan-pendidikan-
kejuruan_5824863487afbd0f35b8037f

Anda mungkin juga menyukai