Tugas Makalah Keperawatan Hiv Aids
Tugas Makalah Keperawatan Hiv Aids
DI BUAT OLEH :
KELOMPOK VI
HERLIN TUHUSULA
AMINA SUNETH
AYEN WALIULU
SALMA TUHULELE
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul ” Trend, Issue, Etik dan legal pada pasien HIV-Aids
Makalah ini disusun sebagai tugas dari mata kuliah Keperawatan
HIV/AIDS yang tak lain adalah sebagai syarat untuk kelulusan mata kuliah
tersebut.
Penulis mengharapkan adanya saran dan masukan dari pembaca demi
kesempurnaan Makalah ini bila dalam makalah ini terjadi kesalahan yang tidak
diketahui oleh penulis. Dan mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca baik itu sebagai acuan maupun sebagai masukkan dan juga semoga
makalah ini dapat bermanfaat pula bagi penulis.
Penyusun
Kelompok VI
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kasus HIV/AIDS masih menjadi perhatian dunia dikarenakan angka kejadian
kasus yang terus meningkat. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun
2017 di dunia didapatkan 36.900.000 orang terinfeksi HIV/AIDS. Berdasarkan data
Dirjen PP & PL Kemenkes RI tahun 2017, masalah HIVAIDS Triwulan IV (Oktober
sampai Desember) jumlah penderita HIVsebanyak 14,640 orang. Berdasarkan
kelompok umur, persentase kasus HIV tahun 2017 didapatkan tertinggi pada usia 25-
49 tahun (69,2%) diikuti kelompok umur 20 – 24tahun (16,7%), dan kelompok umur
50 tahun (7,6%). Persentase faktor risiko HIV tertinggi adalah hubungan seks berisiko
pada heteroseksual (22%),homoseksual (21%) dan penggunaan jarum suntiktidak
steril pada penasun (2%).Sedangkan jumlah penderita AIDS sebanyak 4.725 orang.
Berdasarkan kelompok umur, persentase kasus AIDS tahun 2017 didapatkan tertinggi
pada usia 30-39 tahun (35,2%), diikuti kelompok umur 20-29tahun (29,5%) dan
kelompok umur 40-49 tahun (17,7%). Persentase faktor risikoAIDS tertinggi adalah
hubungan seks berisiko pada heteroseksual (71%),homoseksual (Lelaki Saks Lelaki)
(20%), perinatal (3%), dan IDU (2%). Rasio HIV dan AIDS antara lakilaki dan
perempuan adalah 2:1 (Kemenkes, 2017).
Pemerintah Indonesia telah mengupayakan penanggulangan HIV/AIDS dengan
berbagai macam cara. Menurut Permenkes RI (2013), penanggulangan HIV/AIDS
dilakukan melalui 5 (lima) kegiatan yaitu; 1) promosi kesehatan; 2) pencegahan
penularan HIV/AIDS; 3) pemeriksaan diagnosis HIV/AIDS; 4) pengobatan,
perawatan dan dukungan; serta 5) rehabilitasi. Menurut Kemenkes RI (2014), layanan
pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV/AIDS diwujudkan melalui
voluntary counseling and testing (VCT).
Infeksi HIV pada kelompok berisiko, populasi berisiko, yakni pengguna
narkoba suntik (penasun), pekerja seks wanita langsung, pekerja seks wanita tidak
langsung (terselubung menggunakan perantara), waria, dan Lelaki Sesama Lelaki
(LSL), hanya prevalensi HIV pada pekerja seks wanita langsung dan tidak langsung
yang tidak meningkat dalam kurun waktu 2003-2017.
Trend prevalensi jumlah HIV dan AIDS yang dilaporkan per tahun sampai
dengan desember 2017, HIV 48.300 dan AID 9280. Kelompok umur pada kelompok
25-49 menjadi kelompok tertinggi yaitu 69,2 %. Demikian juga prevalensi HIV yang
dilaporkan menurut jenis kelamin Oktober-Desember 2017 tertinggi yaitu pada laki-
laki sebesar 62%. Kebijakan pemerintah pada kurun waktu 2013-2017 antara lain
intervensi terhadap populasi berisiko, seperti pengguna narkoba suntik, pekerja
seksual, dan pencegahan penularan dari ibu kepada bayinya. Sebagai contoh, periode
2013 hingga desember 2017, jumlah ibu hamil HIV positif yang mendapat obat
Antiretroviral (ARV) terus meningkat, secara berturut-turut 601 orang, 1.070 orang,
1.544 orang, dan 1.456 orang.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, epidemi HIV di indonesia sebagian
besar terkonsentrasi pada kelompok populasi kunci, dengan tren dan tingkat
pravalensi yang bervariasi antara satu provinsi dengan provinsi lain. Situasi yang
berbeda terdapat di tanah papua yang memiliki epidemi meluas tingkat rendah dan
jumlah Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) perempuan melebihi jumlah ODHA laki-
laki. Angka kasus HIV terbesar terdapat di DKI jakarta, provinsi padat penduduk
lainnya di pulau Jawa, Papua Barat dan Papua. Dalam periode terdahulu epidemi HIV
dipicu oleh perilaku berbagai alat suntik di kelompok penasun, dan saat ini penularan
seksual menjadi mode utama HIV dengan dampak besar pada kelompok Lelaki
Sesama Lelaki (LSL)
Indonesia telah membuat kemajuan yang luar biasa dalam meningkatkan angka
pemeriksaan HIV. Secara bersamaan jumlah ODHA yang menjalani pengobatan ARV
telah meningkat menjadi lebih dari 60.000 pada tahun 2015 dari hanya beberapa ribu
saja di tahun 2011. Meskipun demikian, tingkat cakupan ini tidak cukup mencapai
tujuan 2020. Peran tenaga kesehatan seperti dokter, perawat dan seluruh tim sangatlah
penting untuk tahu tentang trend perilaku yang berisiko tertular dan menular kan
HIV/AIDS.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk membahas tentang tren dan
issue keperawatan HIV-AIDS di Indonesia, Issue dan Etik dalam keperawatan
HIV/AIDS di Idonesia.
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui trend dan issue keperawatan HIV-AIDS di Indonesia
2. Untuk mengetahui issue dan etik dalam keperawatan HIV/AIDS di Idonesia
C. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan sistematika sebagai
berikut:
BAB I - PENDAHULUAN: Memuat latar belakang penulisan, tujuan penulisan dan
sistematika penulisan.
BAB II - TINJAUAN TEORI: Mencakup telaah pustaka yang terdiri dari Trend dan
issue serta etik keperawatan HIV/AIDS di Indonesia.
BAB III - PENUTUP: Mencakup kesimpulan dan saran
BAB II
TINJAUAN TEORI
Ada tiga faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut.
1) Faktor ibu
a) Kadar HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling
utama terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak: semakin tinggi
kadarnya, semakin besar kemungkinan penularannya, khususnya pada
saat/menjelang persalinan dan masa menyusui bayi.
b) Kadar CD4: ibu dengan kadar CD4 yang rendah, khususnya bila
jumlah sel CD4 di bawah 350 sel/mm3 , menunjukkan daya tahan
tubuh yang rendah karena banyak sel limfosit yang pecah/rusak. Kadar
CD4 tidak selalu berbanding terbalik dengan viral load. Pada fase awal
keduanya bisa tinggi, sedangkan pada fase lanjut keduanya bisa rendah
kalau penderitanya mendapat terapi anti-retrovirus (ARV).
c) Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah serta
kekurangan zat gizi terutama protein, vitamin dan mineral selama
kehamilan meningkatkan risiko ibu untuk mengalami penyakit infeksi
yang dapat meningkatkan kadar HIV dalam darah ibu, sehingga
menambah risiko penularan ke bayi.
d) Penyakit infeksi selama kehamilan: IMS, misalnya sifilis; infeksi organ
reproduksi, malaria dan tuberkulosis berisiko meningkatkan kadar HIV
pada darah ibu, sehingga risiko penularan HIV kepada bayi semakin
besar.
e) Masalah pada payudara: misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada
payudara akan meningkatkan risiko penularan HIV melalui pemberian
ASI.
2) Faktor bayi
a) Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi prematur atau
bayi dengan berat lahir rendah lebih rentan tertular HIV karena sistem
organ dan kekebalan tubuh belum berkembang baik.
b) Periode pemberian ASI: risiko penularan melalui pemberian ASI bila
tanpa pengobatan berkisar antara 5-20%.
c) Adanya luka di mulut bayi: risiko penularan lebih besar ketika bayi
diberi ASI.
3) Faktor tindakan obstetrik
Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat
persalinan, karena tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa
menyebabkan terjadinya hubungan antara darah ibu dan darah bayi. Selain
itu, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor-faktor yang
dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama
persalinan adalah sebagai berikut.
a) Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih
besar daripada persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria
memberikan banyak risiko lainnya untuk ibu.
b) Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan
HIV dari ibu ke anak juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi
dengan darah/ lendir ibu semakin lama.
c) Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan
risiko penularan hingga dua kali dibandingkan jika ketuban pecah
kurang dari empat jam.
d) Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep meningkatkan risiko
penularan HIV.
b. Skrining HIV
Angka cakupan HIV pada ibu hamil di Indonesia juga masih rendah.
Pemeriksaan sukarela melalui pelayanan Voluntary Counseling and Testing
(VCT) umumnya menekankan pada kesadaran pasien untuk melakukan
pemeriksaan HIV. Masih banyak pasien yang tidak peduli kesehatan atau
merasa takut diketahui jika menderita HIV. Penyaki HIV masih dianggap tabu
oleh sebagaian masyarakat bahkan petugas medis, membuat paseien
menghindar sehingga pelayanan VCT belum optimal dan tidak mencapai
target. Saat ini dikembangkan pelayanan Provider Initiated Testing and
Counseling (PITC), dimana petugas kesehatan memberikan konseling dan
rekomendasi klinik untuk pemeriksaan HIV. Pelayanan PITC diharapkan dpat
meningkatkan angka cakupan terapi HIV lebih dini.
Peningkatan cakupan HIV diperlukan agar terapi dapat dilakukan lebih
dini pada ibu dan untuk pencegahan penularan bayi. Upaya ini dilakukan
melalui strategi skrinning perempuan usia produktif yaitu :
1) Skrinning sebelum hamil
Wanita yang berencanahamil dianjurkan untuk melakukan tes HIV sesegara
mungkin, demikian juga pasangannya.
2) Skrinning saat hamil
Rekomendasi tes HIV pada kunjungan antenatal pertama. Jika hasil tes
negatif tetapi ibu hamil beresiko tinggi terpajan HIV maka harus dites
kembali pada trimester ketiga atau selama persalinan atau pasca persalinan.
3) Skriniing tes HIV pada pasangan
4) Skrinning saat persalinan
Jika diketahui ibu hamil belum menjalani tes HIV selama kehamilan dpaat
dilakukan tes HIV menggunakan tes diagnostik cepat.
5) Skrinning koinfeksi HIV
Infeksi oportunistik yang paling sering diderita penderita HIV adalah
tuberculosis. Diperkirakan terdapat 78.000 kasus koinfeksi TB-HIV di
Indonesia pada tahun 2015. Infeksi oportunistik lainnya terkait denagn rute
penularan adalah hepatitis dan sifilis. Skrinning TB, Hepatitis B, Hepatitis
C dan siifilis dianjurkan pada ibu hamil dengan HIV.
c. Terapi Antiretroviral (ARV)
Angka HIV AIDS di Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan sekitar
630.000 orang, dimana hanya 9% diantarnya menjalani pengobatan
antiretroviral. Angka cakupan ini rendah jika dibandingka dengan kawasan
Asia Tenggara dengan rerata cakupan 39%. Angka kasus HIV terbanyak di
DKI Jakarta dan Papua.
Obat ARV yang digunakan untuk wanita hamil dan menyusui dengan
HIV bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu dan mencegah anak terinfeksi.
Manfaat lainnya untuk mencegah penularan HIV secara seksual.
Terapi ARV harus mulai pada semua ibu hamil dengan HIV, terlepas
dari stadium klinis WHO dan jumlah CD4, serta terus diberikan seumur hidup.
Ada 4 kategori obat-obatan antireotroviral yang sering digunkan dalam
kehamilan yaitu nucleoside and nucleotide analogue reverse transcriptase
inhibitor (NRTSIs), non-nucleoside reverse transcripate inhibitors (NNRTIs),
protease inhibitors (PIs) dan integrase inhibitors (INSTI).
Tabel 2. Kategori obat Antiretroviral untuk ibu hamil
Kategori ARV
NRTIs NNRTIs PIs INSTI
TDF tenofovir EFV Efavirenz LPV/r Lopinavir RAL
Ftc emtricitabine RPV Rilpivirine (+Ritonavir) Raltegavir
AZT zidovudine ATZ Atazavanir (+Ritonavir)
3TC Lamivudine DRV Daruvanir (+Ritonavir)
ABC Abacavir
Terapi lini pertama ARV terdiri dari kombiasi 2 NRTIs dengan satu
NNRTI atau satu INSTI yaitu :
TDF + 3 TC (atau FTC ) + EFV
Atau jika ada kontraindikasi atau tidak memungkinkan , alternatif pilihan:
1) AZT+ 3TC+ EFV
2) AZT + 3TC + NVP
3) TDF + 3 TC (atau FTC ) + NVP
Efek samping obat-obat NRTIs yang dapat terjadi antara lain :
gangguan hematologi, kardiomiopati dan ganguan fungsi hati. Efek smaping
nevirapine dan efavirenz yang sering adalah ruam (rash) dan hepatotoksik
sehingga nevirapine tidak digunakan sebagai terapi lini pertama kecuali tidak
ada pilihan lain. Efavirenz sebaiknya tidak digunakan pada trimester pertama
karena terdapat kasus yang dilaporkan menyebabkan cacat tabung saraf janin.
Protease inhibitor mempunyai efek samping mual, muntah, diare dan
gangguan fungsi hati. Pada sebuah uji coba pada hewan, dilaporkan tidak ada
efek teratogenik yang ditemukan.
d. Metode Persalinan
Pada tahun 1999, hasil metaanalisis dari 15 penelitian kohort
prospektif menunjukkan pengurangan 50% transmisi vertical melalui
kelahiran seksio sesarea, setelah disesuaikan dengan terapi antiretroviral,
stadium penyakit ibu dan berat lahir bayi. Banyak penelitian tidak
menyesuaikan dengan muatan virus. Pada pasien yang menggunakan ARV
dengan muatan virus tidak terdeteksi, resiko penularan menjadi sangat rendah
sehingga timbul pertanyaan akan manfaat kelahiran sesar pada kondisi ini.
Durasi ketuban pecah dapat dikaitkan dengan tingkat penularan yang
lebih tinggi. Meta analisis kelompok HIV Perinatal Internasional menemukan
bahwa resiko penularan vertical meningkat 2% untuk siap peningkatan 1 jam
durasi ketuban pecah. Data menunjukkan bahwa tidak ada penurunan tingkat
transmisi jika kelahiran sesar dilakukan setelah ketuban pecah. Keputusan
metode persalinan menjadi bersifat individual. Mark dkk meneliti pada
kelompok ibu hamil HIV dengan muatan virus tidak terdektsi, 90 ribu (54%)
memiliki kelahiran pervaginam dan 77 ibu (46%) memiliki kelahiran seksio
sesarea. Tidak ditemukan kasus penularan HIV pada bayi.
Penggunaan terapi yang tepat akan menurunkan muatan virus sebanyak
1 log dalam bulan pertama dan menjadi tidak terdeteksi dalam 6 bulan
kemudian. Semakin tinggi muatan virus, semakin lama penurunannya, namun
jika muatan virus menetap atau meningkat pada 6 bulan, maka dapat
dipertimbangkan sebagai kegagalan pengobatan. Kegagalan virul didefinisikan
sebagai muatan virus yang tetap terdeteksi melebihi 1000 kopi (yaitu dua
pengukuran muatan virus berturut-turut dalam interval 3 bulan) setelah
setidaknya 6 bulan setelah memulai rejimen ARV baru.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trend adalah suatu gerakan (kecenderungan) naik atau turun dalam jangka
panjang, yang diperoleh dari rata–rata perubahan dari waktu ke waktu. Rata-rata
perubahan tersebut bisa bertambah bisa berkurang. Jika rata-rata perubahan
bertambah disebut trend positif atau trend mempunyai kecenderungan naik.
Sebaliknya, jika rata–rata perubahan berkurang disebut trend negatif atau trend yang
mempunyai kecenderungan menurun.
Berdasarkan data Dirjen PP & PL Kemenkes RI tahun 2017, masalah HIVAIDS
Triwulan IV (Oktober sampai Desember) jumlah penderita HIVsebanyak 14,640
orang. Berdasarkan kelompok umur, persentase kasus HIV tahun 2017 didapatkan
tertinggi pada usia 25-49 tahun (69,2%) diikuti kelompok umur 20 – 24tahun
(16,7%), dan kelompok umur 50 tahun (7,6%). Persentase faktor risiko HIV tertinggi
adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual (22%),homoseksual (21%) dan
penggunaan jarum suntiktidak steril pada penasun (2%).Sedangkan jumlah penderita
AIDS sebanyak 4.725 orang. Berdasarkan kelompok umur, persentase kasus AIDS
tahun 2017 didapatkan tertinggi pada usia 30-39 tahun (35,2%), diikuti kelompok
umur 20-29tahun (29,5%) dan kelompok umur 40-49 tahun (17,7%). Persentase
faktor risikoAIDS tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual
(71%),homoseksual (Lelaki Saks Lelaki) (20%), perinatal (3%), dan IDU
(2%). Rasio HIV dan AIDS antara lakilaki dan perempuan adalah 2:1 (Kemenkes,
2017).
B. Saran
1. Saran Bagi Institusi/Pemerintah
Hendaknya institusi pelayanan dan pemerintah melakukan peningkatan
berbagai upaya dalam pencegahan HIV-AIDS, lebih giatnya dilakukan
penyuluhan tentang bahaya HIV-AIDS dan perlunya pengobatan seumur hidup
jika terinfeksi.
2. Saran Bagi Mahasiswa Perawat
Diharapkan dapat menambahkan koleksi sumber refrensi dan buku terbaru di
perpustakaan tentang keperawatan HIV-AIDS yang terbaru.
3. Saran Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat tidak mendiskriminasi pasien HIV AIDS tetapi
memberi dukungan untuk saling mengingatkan pentingnya minum obat secara
teratur. Masyarakat diharapkan memiliki perilaku hidup yang baik, saling percaya
kepada pasangan masing-masing, tidak melakukan seks bebas, minum-minuman,
tato, dan penggunaan jarum suntuk bersamaan.
DAFTAR PUSTAKA