Anda di halaman 1dari 6

SPN : Menikahi Potensi

Diskusi mencerahkan beberapa waktu yang lalu tentang bahasan paling populer sepanjang
masa (baca:menikah) telah memberikan satu titik cerah untuk melihat seseorang yang akan kita
tuju sebagai pasangan hidup. Dari sini, aku mendapat satu perspektif baru dalam memandang
manusia. Manusia yang kita lihat hari ini sejatinya tidak sebenar-benarnya, dalam artian bahwa
setiap manusia memakai topeng. Sejatinya dalam diri manusia terkandung masa lalu dan masa
depan.

Bila dia cantik hari ini, jangan mudah tergoda kecantikannya. Karena kita belum pernah
bertemu dia saat usia diatas 50 tahun kan? Ketika keriput memenuhi sekujur tubuhnya. Saat
dia kaya hari ini, jangan mudah tergoda. Sebab kekayaan itu tidak ada yang hakiki. Sesuatu
yang melekat pada manusia dan berasal dari luar dirinya tidak ada yang hakiki. Popularitas,
kecantikan/ketampanan, kekayaan, jabatan, semuanya hanyalah label yang sifatnya bisa lepas-
pasang. Bahkan bisa dibangung dengan pencitraan, make-up salon, dan lain-lain.

Tapi mari, hari ini kita akan belajar melihat sesorang dari potensi. Potensi adalah sesuatu yang
ada didalam diri seseorang. Potensi itu lahir dari karakter-karakter yang melekat pada
seseorang. Dan kita bisa melihat masa depan seseorang hanya dengan melihat dia hari ini.

Ketika kita melihat seseorang, lihatlah potensinya. Apakah dia berpotensi menjadi seseorang
yang berpengaruh, berpotensi menjadi ayah yang baik, berpotensi menjadi seseorang yang
sukses, berpotensi menjadi ibu yang luar biasa, berpotensi menjadi kaya raya, berpotensi
membangun umat, lihatlah potensi itu. Dan tentu potensi tertinggi adalah apakah dia berpotensi
masuk surga dan kita bisa turut serta berjalan bersamanya?

Bila hari ini dia miskin, atau hari ini dia masih belajar. Tidak masalah. Bila hari ini dia
kesulitan, atau dia belum mencapai pencapaian standar-standar dunia. Jangan takut. Bukankah
membersamai perjalanan seseorang dari titik nol-nya adalah sebuah hal yang menarik sekaligus
menantang?

Ingat, lihatlah potensi itu. Bila kita menuntut seseorang mapan (secara materi), ingatlah bahwa
itu tidak melekat. Lihatlah karakternya, sebab dalam kondisi apapun, karakterlah yang akan
menolong seseorang ketika jatuh, pun ketika terbang tinggi.

Menikahlah dengan potensi seseorang. Gunakanlah mata hatimu untuk melihat seseorang hari
ini dengan refleksi masa depan. Lihatlah potensi itu, ajaklah berbicara atau berdiskusi,
kenalilah pikiran dan karakternya. Karena di sana ada banyak hal yang tertutupi oleh paras,
oleh harta, oleh parameter-parameter dunia.

Menikahlah dengan potensinya. Sebab kamu tidak akan menikah hanya hari ini. Ketika dia
masih cantik/tampan. Ketika dia masih kaya. Iya kan?

Bandung, 8 Juli 2014 | ©kurniawangunadi


Mencintai Kehidupan(nya)
Hakikatnya, ketika orang mencintai orang lain. Maka sejatinya ia harus bisa mencintai
kehidupannya, kehidupan orang yang dia cintai tersebut. Ketika ia memutuskan menerimanya.
Ia tidak seharusnya mencintainya sebagai satu individu yang berdiri sendiri, namun satu
individu dengan kehidupannya.
Kehidupan itu meliputi masa lalunya, masa depannya, masa sekarangnya. Meliputi
keluarganya, teman-temannya, pekerjaannya, impian dan cita-citanya. Jika ia mencintai
seseorang sebagai individu tunggal. Maka sejatinya ia hanya mencintai jasad, bukan jiwa.

Kenyataan di kehidupan berkata lain. Banyak yang mencintai seseorang namun sulit menerima
masa lalunya. Sulit menerima bagaimana kondisi keluarganya. Sulit menerima pekerjaannya/
profesinya. Sulit menerima apapun selain dirinya sebagai seseorang yang terlepas dari semua
itu.

Akibatnya banyak yang kemudian sibuk menyembunyikan masa lalu, rendah diri dengan
pekerjaannya, tidak mau mengenalkan keluarganya yang mungkin dianggapnya tidak
berada/tidak baik, rusak (broken home), atau apapun yang menurutnya bisa membuat orang
lain enggan dekat dengannya.

Mencintai seseorang adalah mencintai orang lengkap dengan kehidupannya. Sang Muhammad
pun mengisyaratkan memilih kriteria agama. Itu adalah isyarat yang sangat baik karena agama
(apabila seseorang tersebut memegang teguh) maka kehidupannya yang lain akan menjadi baik
sebab tuntunan agama menjadi pegangannya.

Namun, sebagai manusia. Memilih seseorang pun mari lihat sebagai seorang manusia yang
lengkap dan lebih manusiawi. Masa lalunya, impiannya, dan lain-lain. Orang yang belum baik
bisa diperbaiki. Maka, saya khawatir ketika seseorang mengamalkan saran nabi yang baik itu
dengan satu sudut pandang saja. Maka, akan sangat banyak kehidupan yang mungkin tidak bisa
diselamatkan.

Jika saja laki-laki salih mau memperbaiki agama perempuan yang belum baik. Maka akan ada
satu kehidupan yang terselamatkan. Atau sebaliknya. Ini hanya sudut pandang yang lain dan
sangat subjektif menurut saya sendiri.

Mencintai seseorang itu berarti mencintai kehidupannya. Seandainya kehidupannya belum


baik, sejauh mana ia bisa menerimanya. Jika masa lalunya begitu kelam, sejauh mana ia bisa
melihat masa depannya. Jika hatinya tersesat dalam kehidupan, sejauh mana ia berani
mengambil keputusan untuk membimbing. Jika keluarganya tidak begitu baik, sejauh mana dia
bisa menerima semua itu. Jika kebiasaan sehari-harinya tidak berkanan dihati, sejauh mana ia
bisa meluruskan. Jika agamanya kurang baik, sejauh mana ia bisa mengajarkan.

Menerima seseorang lengkap dengan kehidupannya sangatlah sulit. Hal ini tidak akan terjadi
dalam proses cinta ala remaja yang penuh kamuflase. Memperlihatkan yang terbaik dan
menutup rapat-rapat semua keburukan. Memperkenalkan yang baik-baik saja dan hanya mau
menerima yang baik-baik saja.

Maka coba pertanyakan pada diri masing-masing, ketika pun rasa itu masih dipendam dalam
diam yang sunyi. Sejauh mana kamu bisa menerima orang itu lengkap dengan seluruh
kehidupannya, atau jangan-jangan kamu hanya kagum pada kebaikannya. Menutup mata pada
kehidupannya yang lebih luas.

Mari kita koreksi masing-masing. Sejauh mana kita bisa sanggup menerima semua itu.
Bandung, 22 September 2013
Lelaki Shalih Belum Tentu Menjadi Suami Shalih
Seorang wanita pastinya mengharapkan seorang lelaki shalih untuk menjadi suaminya. Hal ini
tentu baik. Namun, ketika dia sudah mendapatkan seorang suami, apakah masih pantas dia
membayangkan lelaki lain untuk menjadi suaminya, meski dengan alasan lelaki lain itu
– menurut pandangan pribadinya – lebih baik dari suaminya? Kita khawatir perasaan seperti
ini akan menjadikan seseorang tidak mengalah pada takdirnya, setelah sebelumnya dia sudah
berikhtiar.

Saya ingin menuliskan inti jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut di sini, untuk berbagi
dengan yang lain. Semoga bermanfaat :

Nabi Muhammad, dalam hidupnya, juga sering menjadi tukang jodoh. Banyak riwayat yang
menjelaskan hal itu, misalnya kisah perjodohan Julaibib dan lainnya. Nah, setelah mengamati
apa yang dilakukan Nabi, berikut keterangan-keterangan dalam agama, kita sampai pada satu
kesimpulan, ternyata dalam penilaian Nabi, lelaki shalih itu belum tentu menjadi suami shalih.
Dengan ujaran lain, tidak semua lelaki baik, dapat menjadi suami yang baik!

Suami shalih, maknanya lebih luas dari pada lelaki shalih. Lelaki shalih adalah orang yang
selalu melaksanakan perintah Allah baik lahir maupun batin. Misalnya, ia selalu berjama’ah di
masjid, perilaku dan tutur katanya islami, meninggalkan hal-hal yang haram. Namun, dalam
memberikan penilaian tentang siapa lelaki shalih itu, yang bisa kita lakukan hanya dari sisi
lahiriahnya.

Secara lahiriah seseorang dapat dinilai sebagai orang beragama. Namun bisa saja dia ternyata
tipe orang yang mudah marah, sering menghina dan merendahkan orang, ucapannya pahit, dan
sebagainya. Hal ini tentu dapat menganggu ketenangan dan kebahagiaan rumah tangga.

Saya tandaskan, seseorang kelihatannya beragama dan berakhlaq baik. Namun ia memiliki
beberapa sifat yang tidak cocok bagimu. Sebaliknya, justru ia cocok untuk orang lain, bukan
untukmu.

Misalnya, lelaki itu bawaannya serius, sangat pendiam, melankonis, sulit tertawa, memiliki
pergaulan sosial terbatas. Sedang Anda memiliki karakter sebaliknya: seorang sosialita, aktifis
muslimah yang senang bergaul dengan yang lain, suka humor, dan sebagainya.

Saya tidak mengatakan sifat lelaki tersebut jelek. Namun sifat itu bagi Anda yang memiliki
sifat yang saya contohkan tadi, bisa membuat Anda kurang nyaman dalam mengarungi rumah
tangga.

Karena itulah, Nabi mengatakan (yang artinya): “Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai
agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tak kau lakukan, maka akan terjadi fitnah
di muka bumi dan kerusakan yang panjang.” (HR Turmudzi dan Ibnu Majah)

Perhatikan, Nabi tidak mengatakan “Jika datang padamu lelaki beragama dan akhlaknya baik”.
Namun Nabi mengatakan, “Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai agama dan perangainya”

Apa bedanya?
Pernyataan pertama – dan itu tidak diucapkan Nabi – bermakna, orang tua harus menikahkan
anaknya dengan lelaki shalih, dan bahwa lelaki shalih itu pasti akan menjadi suami shalih.
Namun pernyataan kedua – yang diucapkan Nabi – memberikan pengertian pada kita bahwa
orang tua dalam memilih calon menantu, syaratnya harus ridha terhadap agama dan
perangainya, karena memang tidak semua lelaki shalih, kau setujui cara beragama dan
perangainya. Jadi, ada unsur penilaian manusia di sini. Sedang penilaian manusia itu hanya
terbatas pada sesuatu yang lahiriah atau yang tampak.

Kisah Fathimah binti Qays akan menjelaskan hal ini. Suatu saat, ia dilamar dua lelaki. Tak
tanggung tanggung, yang melamar beliau adalah dua pembesar sahabat, yaitu Mu’awiyah dan
Abu al-Jahm. Setelah dikonsultasikan kepada Rasulullah, apa yang terjadi? Nabi menjelaskan,
baik Mu’awiyah maupun Abu al-Jahm, tidak cocok untuk menjadi suami Fathimah binti Qays.

Apa yang kurang dari Mu’awiyah dan Abu al-Jahm? Padahal keduanya adalah lelaki shalih
dan memiliki keyakinan agama yang baik. Namun Nabi tidak menjodohkan Fathimah dengan
salah satu dari keduanya, karena Nabi mengetahui karakter Fathimah, juga karakter Mu’awiyah
dan Abu al-Jahm.

Lebih lanjut, Nabi menawarkan agar Fathimah menikah dengan Usamah bin Zaid, seorang
sahabat yang sebelumnya tidak masuk “nominasi” Fathimah. Setelah Fathimah menikah
dengan pilihan Nabi itu, apa yang dikatakannya setelah itu? Fathimah mengatakan, “Allah
melimpahkan kebaikan yang banyak pada pernikahan ini dan aku dapat mengambil manfaat
yang baik darinya.”

Jadi, kepala rumah tangga yang ideal bagi Anda dan seluruh wanita muslimah adalah: Pertama,
lelaki shalih. Kedua, memiliki perangai yang sesuai dengan karakter Anda, dan ini nisbi atau
relatif, yang tidak mungkin bisa dijawab kecuali oleh Anda sendiri.

Keshalihan seorang lelaki memang menjadi syarat bagi wanita yang ingin menikah. Namun,
itu saja tak cukup. Perlu dilihat kemudian munasabah (kesesuaian gaya hidup, meski tak harus
sama), musyakalah (kesesuaian kesenangan, meski tak harus sama), muwafaqah (kesesuaian
tabiat dan kebiasaan). Sekali lagi, aspek kedua ini sifatnya relatif, tidak bisa dijawab kecuali
oleh wanita yang akan menikah dan keluarganya. Oleh karena itu, kalau ada yang datang
melamar, tanyakanlah karakter dan perangainya pada orang-orang yang mengetahuinya, baik
dari kalangan keluarga atau teman-temannya.

Terakhir, bagi yang belum menikah dan sedang “mencari jodoh”, agama mensyari’atkan
adanya musyawarah dan istikharah. Lakukanlah keduanya! Sementara bagi yang sudah
menikah, terimalah keberadaan suami Anda apa adanya, karena menikah itu “satu paket”: paket
kelebihan dan paket kekurangan dari pasangan. Tinggal bagaimana Anda menyikapi kelebihan
dan kekurangan itu. Orang bijak menyikapi kelebihan dengan syukur, menyikapi kekurangan
dengan sabar. Orang bijak itu “pandai mengubah kotoran yang tidak bermanfaat menjadi pupuk
yang bermanfaat”.

Sesuatu yang baik dari suami, ajaklah dia untuk makin meningkatkannya. Sedang yang jelek
darinya, bersama Anda, hilangkan dari lembar kehidupannya. Janganlah memikirkan lelaki
lain. Karena boleh jadi lelaki lain itu dalam pandangan Anda baik, namun ternyata ia tak baik
dan tak cocok untuk menjadi suami Anda.
Boleh jadi Anda melihat sepasang suami istri yang hidupnya bahagia. Lalu, Anda berkhayal
seandainya lelaki itu yang menjadi suami Anda, pasti hidup Anda akan bahagia. Wah, itu belum
tentu. Karena ternyata, bisa jadi lelaki itu memang cocok untuk perempuan yang sekarang
menjadi istrinya, namun tidak sesuai bila menjadi suami Anda.

Satu yang pasti, percayalah bahwa pasangan hidup Anda adalah manusia terbaik yang
diberikan Allah untuk Anda!

Oleh : Ustadz Faris Khairul Anam

Anda mungkin juga menyukai