Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN TUTORIAL 1

BLOK RESPIRASI

“SKENARIO 1”

TUTOR : dr. Andi Fahira Asal

DISUSUN OLEH:
Kelompok 4
KHUSNUL KHATIMAH SYARIF 11020150012
ASYARATUN QAMILA RAHMAN 11020150119
MUHAMMAD RHEZA RIFKY UTAMA 11020150155
JIHAN ADJDJIBIYAN S. AZZUBAIDI 11020170105
UMMUL KALSUM 11020170053
NI’MA SAHABUDDIN 11020170041
RIFKA YUSRAENI 11020170075
RADHI IJTIHADI 11020170119
ANDI SAFA FAUZIAH 11020170062
NURUL AZIZAH AN’NAAJIYYAH 11020170148
ARDIANSAH M. ARFA 11020170160
Skenario 1

Seorang pria 35 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan batuk bercak


darah yang dialami sejak 3 hari. Sebelumnya pasein mengalami batuk selama 2
bulan terakhir. Keluhan ini disertai nafsu makan dan berat badan menurun serta
keringat pada malam hari. Berat badan pasien saat ini 45 kg. Tinggi Badan 160
cm.
Kata sulit : -

Kata kunci :

 Pria 35 tahun
 Batuk bercak darah dialami 3 hari sebelumnya
 Sebelumnya batuk selama 2 bulan terakhir
 Nafsu makan dan berat badan menurun
 Keringat pada malam hari
 Berat badan 45 kg
 Tinggi badan 160 cm

Pertanyaan :

1. Jelaskan patomekanisme terjadinya batuk dan batuk darah pada pasien


berdasarkan skenario!
2. Jelaskan patofisiologi dan hubungan penurunan berat badan yang dikeluhkan
pasien berdasarkan scenario!
3. Jelaskan patofisiologi dan hubungan keringat pada malam hari yang
dikeluhkan pasien berdasarkan skenrio!
4. Jelaskan langkah langkah diagnosis !
5. Jelaskan diferensial diagnosis penyakit terkait scenario beserta
penatalaksanaanya!
6. Bagaimana pencegahan terkait scenario diatas!
Jawaban pertanyaan :

anatomi, fisiologi, histologi sistem respirasi!

ANATOMI SISTEM PERNAPASAN

HIDUNG

Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke


bawah: Pangkal hidung (bridge), batang hidung, (dorsum nasi), puncak hidung
(tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang 1) tulang hidung (os nasal), 2)
prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal; serta tulang rawan
yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.

Udara memasuki hidung dan melewati permukaan konka nasal (nasal turbinates)
yang luas. Permukaan yang luas dan bergelombang ini berfungsi untuk
menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang masuk.

Bagian dari rongga hdung atau kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi,
tepat dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial
(septum nasi), dinding lateral (terdapat 4 buah konka), dinding inferior dan
superior.

Batas Rongga Hidung Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan
dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung
sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung
Kompleks Ostiomeatal (KOM) Kompleks ostiomeatal merupakan celah pada
dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea.
KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase
dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid,frontal.
Vaskularisasi Hidung Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.
etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.
karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.
maksilaris interna, bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-
cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a.
palatinemayor, yang disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area).

Persarafan Hidung Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius. Saraf ini


turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.

FARING

1. Nasofaring Batas nasofaring dibagian atas adalah dasar tengkorak,


dibagian bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung
sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.

2. Orofaring Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adala


palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah
rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.
Dinding Posterior Faring Secara klinik dinding posterior faring penting
karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik faring, abses
retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut.

Tonsil Tonsil adalah masa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang
oleh jaringan ikat dengan kapsul didalamnya. Terdapat 3 macam tonsil
yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatine dan tonsil lingual yang
ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.

3. Laringofaring (Hipofaring) Batas laringofaring di sebelah superior adalah


tepi atas epiglottis, batas anterior ialah laring, batas inferior ialah
esophagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal.
Ruang Faringal

4. Ruang Retrofaring (Retropharyngeal Space) Dinding anterior ruang ini


adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia
faringobasilaris dan otot-otot faring. Abses retrofarin sering ditemukan
pada bayi atau anak.

5. Ruang Parafaring (Fosa Faringo-maksila) Ruang ini berbentuk kerucut


dengan dasar tengkorak dekat foramen jugularis dna puncaknya pada
kornu mayus os hyoid.

LARING

Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napsa bagian atas.
Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar
daripada bagian bawah. Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu
tulang hyoid, dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti
huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan
tengkorak tendo dan otot-otot. Sewaktu menelan, kontraksi otot-otot ini akan
menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot
ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu menggerakan lidah.

Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglottis, kartilago tiroid.
Kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis
dan kartilago tritisea. Kartilago krikoid dihbungkan dengan kartilago tiroid oleh
ligamentum krikotiroid. Bentuk kartilago krikoid berupa lingkaran.
Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum seratokrikoid
(anterior, lateral, dan posterior), ligamentum krikotiroid medial, ligamentum
krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringal, ligamentum hyoid lateral,
ligamentum hiotiroid medial, ligamentum hioepiglotika, ligamentum
ventrikularis, ligamentum vokale yang menghubungkan kartilago aritenoid
dengan kartilago tiroid, dan ligamentum tiroepiglotika.

Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot


intrinsik. Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara
kesulruhan,sedangkan otot-otot intrinsic menyebabkan gerak bagian-bagian laring
tertentu yang berhubungan dengan pita suara.

Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak di atas tulang hyoid (suprahioid), m.
digastrikus, m. geniohioid. Otot intrinsik laring ialah m. krikoaritenoid lateral, m.
tiroepiglotika.

Rongga Laring Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan
ligamentum ventrikulare, maka tebentuklah plika vokalis (pita suara asli) dan
plika ventrikularis (pita suara palsu). Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan,
disebut rima glottis, sedangkan antara kedua plika ventrikularis, disebut rima
vestibule.

Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu
vestibulum laring (supraglotik), glotik dan subglotik (rongga laring yang terletak
dibawah plika vokalis). Rima glottis terdiri 2 bagian, yaitu bagian intermembran
dan bagian interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang anatara kedua plika
vokalis, dan terletak di bagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak
antara kedua puncak kartilago aritenoid, dan terletak di bagian posterior.

Epiglotis membantu melindungi laring saat proses menelan dengan mengarahkan


makanan kea rah esophagus. Kartilago aritenoid yang membantu proses
pembukaan dan penutupan glotis kurang jelas terlihat pada anak dibandingkan
orang dewasa. Ruang subglotis menyempit kea rah krikoid yang meruupakan
bagian dari trakea. Pada anak usia kurang dari 3 tahun, cincin krikoid (cincin
trakea pertama yang berbentuk lingkaran utuh) merupakan bagian tersempit jalan
napas, sementara pada anak besar atau dewasa, glotis merupakan

HISTOLOGI SISTEM RESPIRASI

HIDUNG

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu
(mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga
hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang
mempunyai silia (ciliated pseudostratified collumner epithelium) dan diantaranya
terdapat sel-sel goblet.

Mukosa olfaktorius dan konka superior, yaitu salah satu sekat bertulang
dalam ronngga hidung. Epitel olfaktorius dikhususkan untuk menerima rangsang
baud an karenanya, berbeda dengan epitel respiratorius; epitel ini adalah
bertingkat semu silindris tinggi tanpa sel goblet. Epitel olfaktorius terdapat di
rongga hidung, pada kedua sisi septum, dan di dalam konka nasal superior.

Dibawah lamina propria terdapat kelenjar olfaktoris tubuloasinar (kelenjar


Bowman). Kelenjar ini menghasilkan secret serosa, berbeda dengan sekret campur
mukosa dan serosa yang dihasilkan kelenjar di bagian lain rongga hidung.

FARING

Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada


nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia,
sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Orofaring, dan
laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna , epitelnya gepeng berlapis
tidak bersilia.
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang
terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem
retikuloendotelial.

LARING

Pita suara superior, atau pita suara palsu laring dibentuk oleh mukosa dan
diteruskan sebagai permukaan posterior epiglottis. Epitel pelapisnya
adalah epitel bertingkat semu silindris bersilia dengan sel goblet.

Dibawah epitel, yaitu di dalam lamina propria, terdapat kelenjar campur


yang terutama terdiri dari mukosa. Duktus ekskretorius yang bermuara di
permukaan epitel, terlihat antara asini kelenjar. Limfonoduli terlettak di
dalam lamina propria pada sisi ventricular pita suara.

Ventrikel adalah lekukan atau ceruk dalam memisahkan pita suara palsu
dengan pita suara sejati. Mukosa pada dinding lateral ventrikel serupa
dengan mukosa pada pita suara palsu.

Mukosa pita suara sejati terdiri atas epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk dan lamina proopria padat dan tipis tanpa kelenjar, jaringan
limfoid, maupun pembuluh darah. Pada apeks pita suara sejati terdapat
ligamentum vocal yang terdiri atas serabut elastin padat menyebar ke
dalam lamina propria dan otot rangka vocal didekatnya.

Otot rangka tiroaritenoid dan tulang rawan tiroid membentuk sisa


dindingnya. Epitel laring bagian bawah berubah menjadi epitel bertingkat
semu silindris bersilia, dan lamina propria dibawahnya mengandung
kelenjar campur. Tulang rawan krikoid adalah tulang rawan paling bawah
laring.
FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN

HIDUNG

 Fungsi Respirasi
Udara masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior,
lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah
kearah nasofaring. Fungsi pengatur suh dimungkinkan oleh banyak
pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konkadan septum
yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama
udara akan disaring di hidung oleh: rambut pada vestibulum nasi, silia,
palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-
partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.

 Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap denganadanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum.

 Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).

 Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti.

FARING

 Fungsi Menelan
Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disengaja.
Fase faringal yaitu pada waktu transport bolus makanan melalui faring.
Gerakan disini tidak disengaja. Fase esofagal, bolus makanan bergerak
secara peristaltik di esophagus menuju lambung.

 Fungsi Faring dalam Proses Bicara


Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring

LARING

 Fungsi Proteksi
Mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan
menutup aditus laring dan rima glotis secara bersamaan.

 Fungsi Respirasi
Mengatur besar kecilnya rima glotis. Bila m. krikoaritenoid posterior
berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago aritenoid
bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka (abduksi).

 Fungsi Fonasi
Membuat suara serta menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi
rendahnya nada diatur oleh ketegangan plika vokalis. Bila plika vokalis
dalam aduksi, maka m. krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid ke
bawah dan ke depan, menjauhi kartilago aritenoid.1

1. patomekanisme terjadinya batuk

Definisi Batuk
Batuk merupakan suatu rangkaian refleks yang terdiri dari reseptor batuk,
saraf aferen, pusat batuk, saraf eferen,dan efektor. Refleks batuk tidak akan
sempurna apabila salah satu unsurnya tidak terpenuhi. Adanya rangsangan pada
reseptor batuk akan dibawa oleh saraf aferen ke pusat batukyaitu medula untuk
diteruskan ke efektor melalui saraf eferen (Guyton, 2008). Reseptor batuk terdapat
pada farings, larings,trakea, bronkus, hidung (sinus paranasal), telinga,
lambung,dan perikardium sedangkan efektor batuk dapat berupa ototfarings,
larings, diafragma, interkostal, dan lain-lain. Proses batuk terjadi didahului
inspirasi maksimal, penutupan glotis,peningkatan tekanan intra toraks lalu glotis
terbuka dan dibatukkan secara eksplosif untuk mengeluarkan benda asing yang
ada pada saluran respiratorik. Inspirasi diperlukan untuk mendapatkan volume
udara sebanyak-banyaknya sehingga terjadi peningkatan tekanan intratorakal.
Selanjutnya terjadi penutupan glotis yang bertujuan mempertahankan volume paru
pada saat tekanan intratorakal besar.Pada fase ini terjadi kontraksi otot ekspirasi
karena pemendekan otot ekspirasi sehingga selain tekanan intratorakal tinggi
tekanan intraabdomen pun tinggi. Setelah tekanan intratorakal dan intraabdomen
meningkat maka glotis akan terbuka yang menyebabkan terjadinya ekspirasi yang
cepat, singkat, dan kuat sehingga terjadi pembersihan bahan-bahan yang tidak
diperlukan seperti mukus dan lain-lain. Setelah fase tersebut maka otot
respiratorik akan relaksasi yang dapat berlangsung singkat atau lama tergantung
dari jenis batuknya. Apabila diperlukan batuk kembali maka fase relaksasi
berlangsung singkat untuk persiapan batuk
Batuk bukanlah sebuah penyakit melainkan salah satu tanda atau gejala
klinis yang paling sering dijumpai pada penyakit paru dan saluran nafas. Batuk
merupakan salah satu cara untuk membersihkan saluran pernafasan dari lendir
atau bahan dan benda asing yang masuk sebagai refleks pertahanan yang timbul
akibat iritasi trakeobronkial (Susanti, 2013). Batuk juga berfungsi sebagai imun
dan perlindangan tubuh terhadap benda asing namun, dapat juga merupakan gejala
dari suatu penyakit. (LM, 2006).

Mekanisme batuk :

 Fase Iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus d laring, trakea, bronkus besar,
atau serat aferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan
batuk.Batuk juga timbul bila reseptor batuk dilapisan faring dan esophagus,
rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.

 Fase Inspirasi
Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga dengan cepat dan dalam
jumlah banyak masuk ke dalam paru-paru.

 Fase Kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis dan batuk dapat terjadi tanpa
penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu meningkatkan tekanan
intrathoraks walaupun glotis tetap terbuka.

 Fase Ekspirasi
Pada fase ini glottis terbuka secara tiba-tiba akibat konst\raksi aktif otot-otot
ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluarana udara dalam jumlah besar dengan
kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda – benda asing dan bahan
–bahan lain. Gerakan glotis, otot – otot pernafasan, dan bronkus sangat penting
dalam mekanisme batuk karena merupakan fase batuk yang sesungguhnya. Suara
batuk bervariasi akibat getaran secret yang ada dalam saluran nafas atau getaran
pita suara (Guyton, 2008)

Klasifikasi batuk menurut Nadesul Hendrawan adalah :


 Batuk akut
Batuk akut adalah fase awal batuk dan mudah untuk disembuhkan dengan kurun
waktu kurang dari tiga minggu. Penyebab utamanya adalah infeksi saluran nafas
atas,seperti salesma, sinusitis bakteri akut, pertusis, eksaserbasi penyakit paru
obstruktif kronis,rhinitis alergi, dan rhinitis karena iritan.

 Batuk sub-akut
Batuk Sub-akut adalah fase peralihan dari akut menjadi kronis yang terjadi
selama 3-8 minggu.Penyebab paling umum adalah batuk paska infeksi, sinusitis
bakteri, atau asma.
 Batuk kronis
Batuk kronis batuk kronis adalah fase batuk yang sulit untuk disembuhkan
karena terjadi pada kurun waktu yang cukup lama yaitu lebih dari delapan
minggu. Batuk kronis juga bisa digunakan sebagai tanda adanya penyakit lain
yang lenih berat misalkan ; asma, tuberculosis (tbc), penyakit paru obstruktif
kronis (ppok), gangguan refluks lambung, dan kanker paru-paru. Berdasarkan
penelitian, 95% penyebab batuk kronis adalah post nasal drip, sinusitis, asma,
penyakit refluks gastroesofageal (gerd), bronchitis kronis karena merokok,
bronkiektasis, atau penggunaan obat golongan ACE I, 5 % sisanya dikarenakan
kanker paru, sarkoidosis, gagal jantung kanan, dan aspirasi karena disfungsi
faring. Jika tidak ada sebab lain, batuk kronis bisa juga dikarenakan faktos
psikologis.

Faktor Penyebab Batuk menurut Ikawati adalah :


- Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab dari batuk diantaranya :
- Rangsangan mekanis, misalnya asap rokok, debu, dan tumor
- Adanya perubahan suhu yang secara cepat dan mendadak
- Rangsangan kimiawi, misalnya gas dan bau – bauan
- Adanya peradangan atau infeksi karena bakteri atau jamur
- Reaksi alergi.

Patomekanisme batuk darah

Etiologi batuk berdarah berhubungan dengan gangguan sirkulasi arteri


pada paru-paru. Gangguan ini menyebabkan sekresi faktor pertumbuhan
neoangiogenesis dan mengarah ke proliferasi arteri bronkial. Proliferasi
menyebabkan dinding arteri bronkial menjadi lebih tipis dan lebih rapuh,
tekanan arteri sistemik meningkat, dan pembukaan arteri ke zona
peradangan kronik atau neoplasma, ruptur dan perdarahan saluran napas
bermanifestasi secara klinis sebagai hemoptisis.
Kerusakan ini dapat disebabkan oleh : vasokonstriksi hipoksik,
tromboembolisme arteri pulmonal atau thrombosis, vaskulitis, penyakit
paru-paru inflamasi kronis atau neoplastik, malformasi arteriovenosa
pulmonal (misalnya, penyakit Osler).
Jadi, berdasarkan scenario pasien mengeluh batuk dengan bercak darah,
penyababnya adalah bakteri yang masuk menginfeksi sehingga batuk
disertai dahak bewarna kekuningan timbul peradangan yang memuat sifat
batuk menjadi produktif. Karena batuk yang terus menerus menyebabkan
iritasi pada bronkus, keadaan berlanjut berupa batuk berdarah karena
terdapat pembuluh darah yang pecah. Batuk seperti ini kebanyakan terjadi
pada kavitas, tetapi dapat pula terjadi pada ulkus dinding bronkus

2. Patofisiologi dan hubungan penurunan nafsu makan pada pasien


berdasarkan scenario.

Hipotalamus adalah bagian dari otak yang berperan penting dalam regulasi
proses-proses homeostasis, termasuk mengatur perilaku dan nafsu makan. Dalam
dekade terakhir, peran hipotalamus dalam regulasi nafsu makan telah semakin
difahami. Nukleus arkuata yang terletak di sekeliling dasar ventrikel III, memiliki
dua populasi neuron yang berbeda untuk mengatur asupan makanan. Neuron yang
memproduksi neuropeptida Y (NPY) bertindak sebagai akselerator yang bekerja
untuk menstimulasi makan. Sedangkan populasi neuron yang lain didekatnya
yang memproduksi pro-opiomelanocortin (POMC) bekerja pada area otak yang
sama dengan area NPY untuk menyebabkan inhibisi makan. Ketika salah satu
neuron teraktivasi, maka populasi lain mengalami inhibisi. Contohnya,ketika
neuron NPY teraktivasi oleh penurunan kadar leptin, maka NPY yang
disekresikan akan berikatan dengan reseptornya di neuron POMC (reseptorY1)
dan menyebabkan inhibisi terhadap aktivitas neuron POMC tersebut. Neuron yang
memproduksi NPY juga menghasilkan agouti related peptide (AgRP) yang dapat
memblok reseptor MC4R (reseptor bagi α-MSH, turunan POMC) di neuron orde
kedua (gambar 2) Aktivasi neuron yang mengekspresikan NPY/AgRP ini pada
saat keseimbangan energi negatif, dapat menstimulasi makan dengan dua cara,
yaitu dengan pelepasan perangsang nafsu makan NPY dan dengan menurunkan
kerja penekan nafsu makan melanocortin/POMC.

NPY kemudian akan berikatan dengan reseptor Y1 dan Y5 di area lateral


hipotalamus (LHA).Pengikatan dengan reseptor Y1 dan Y5 di LHA menyebabkan
aktivasi neuron melano-concentrating hormone (MCH) dan orexin (sebagai
neuron orde kedua). Aktivasi neuron MCH dan orexin akan berakibat peningkatan
nafsu makan melalui regulasi perilaku oleh pusat yang lebih tinggi yaitu korteks
prefrontal bagian median dan insular. Hipotalamus menerima masukan input
neural, endokrin serta sinyal metabolik, kemudian mengintegrasikannya dan
menggunakan berbagai jalur efektor untuk menimbulkan respons perilaku,
otonom atau endokrin. Selain hipotalamus, pusat regulasi nafsu makan dan
keseimbangan energi juga melibatkan sistem saraf secara luas meliputi batang
otak, korteks serebri, area olfaktori dan lainnya.Gambar 3 memperlihatkan
mekanisme sinyal perifer sampai ke hipotalamus, yang dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
1. Melalui sirkulasi darah. Sinyal metabolik dan hormon dapat melalui sawar
darah otak sehingga dapat sampai ke hipotalamus melalui sirkulasi darah.
2. Melalui persarafan. Sinyal mekanik dan kimia dari organ visera dan saluran
cerna dan disampaikan ke otak melalui serat aferen simpatis ke tingkat servikal
yang dintegrasikan terlebih dahulu di nukleus traktus solitaries.

Pasien tuberkulosis sering menderita berat badan yang berat, yang


dianggap imunosupresif dan penentu utama keparahan dan hasil penyakit. Karena
leptin terlibat dalam pengaturan berat badan dan imunitas seluler, peran yang
mungkin dalam pembasahan terkait tuberkulosis diselidiki. Di klinik perkotaan di
Indonesia, konsentrasi leptin plasma, indikator massa adiposit, nafsu makan,
protein C-reaktif (CRP), reaktivitas tuberkulin, dan tanggapan sitokin diukur pada
pasien tuberkulosis dan kontrol yang sehat. Konsentrasi leptin plasma lebih
rendah pada pasien daripada di kontrol (615 vs 2.550 ng / liter; P <0,001).
Analisis regresi multivariat menunjukkan bahwa massa lemak tubuh dan
peradangan merupakan dua faktor independen yang menentukan konsentrasi
leptin plasma; ada korelasi positif antara lemak dan leptin, sedangkan, secara tak
terduga, leptin berbanding terbalik dengan CRP dan tumor necrosis factor-alpha
production. Konsentrasi CRP dan leptin secara independen terkait dengan
hilangnya nafsu makan. Hasil kami tidak mendukung konsep bahwa penurunan
berat badan pada tuberkulosis disebabkan oleh peningkatan produksi leptin.
Sebaliknya, kehilangan lemak tubuh menyebabkan konsentrasi leptin plasma yang
rendah, dan peradangan yang berkepanjangan dapat semakin menekan produksi
leptin. Karena leptin penting untuk imunitas seluler, produksi leptin yang rendah
selama tuberkulosis aktif dapat berkontribusi untuk meningkatkan keparahan
penyakit, terutama pada pasien cachectic.

3. Patofisiologi dan hubungan keringat pada malam hari yang dikeluhkan


pasien berdasarkan scenario.

Tampaknya keringat malam yang terkait dengan tuberkulosis aktif adalah respons
dalam molekul berpartai karena mereka bereaksi terhadap organisme yang
menular. Bakteri itu sendiri mungkin juga melepaskan sinyal penyebab demam.
Sebagai tanggapan terhadap sinyal kimia yang beredar, hipotalamus mengatur
ulang suhu tubuh ke tingkat yang lebih tinggi untuk sementara waktu. Kemudian,
suhu tubuh kembali normal, dan panas hilang karena berkeringat. TNF-α factor
(TNF-α) adalah salah satu molekul sinyal peptida yang terlibat dalam keringat
malam intensif. Monosit (sejenis sel darah putih) adalah sumber signifikan TNF-
α. Monocytes meninggalkan aliran darah dan menjadi makrofag bermigrasi, yang
menempati mycobacteria yang menyebabkan thetuberculosis. Dan sel-sel lain
mampu membelah dan mengandung kelompok bakteri dan mencegah penyebaran
lebih lanjut melalui jaringan. Kelebihan TNF-α yang dilepaskan selama respon
imun ini tampaknya terkait dengan demam, kelemahan, keringat malam, nekrosis,
dan berat badan progresif. kehilangan yang merupakan karakteristik tuberkulosis
adalah mungkin untuk mengurangi tingkat TNF-α. Misalnya, thalidomide
menekan produksi TNF-α dan membantu memoderasi gejala-gejala dan tanda-
tanda khas tuberkulosis. Ini ditoleransi dengan baik oleh terapi anti-tuberkulosis,
dan dikaitkan dengan peningkatan berat badan yang dipercepat. Namun,
perawatan harus diambil ketika memanipulasi TNF-α toavoid level mengurangi
kekebalan alami seseorang terhadap tuberkulosis. Sebagai contoh, telah
ditunjukkan bahwa antibodi terhadap TNF-α (Infliximab) diberikan dalam
pengobatan penyakit Crohn dan rheumatoid arthritis, pasien memiliki peningkatan
risiko mengembangkan TB laten sebelumnya. Infliximab mengurangi jumlah
makrofag yang mengalami apoptosis, dan ini mempengaruhi jaringan
granulomatosa yang mengatur sekitar kelompok bakteri tuberkulum. Hal ini
diamati pada kasus berkeringat di malam hari yang dikaitkan dengan pasien
miskin yang tidak dirasakan oleh pasien yang sedang tidur. , yang lebih mungkin
dipengaruhi oleh kenyamanan keringat berikutnya. Ini mungkin juga situasi
dengan orang tua yang berkeringat di malam hari. Tidak jelas mengapa demam
yang disebabkan oleh tuberkulosis terjadi pada malam hari. Suhu tubuh manusia
normal menampilkan ritme sirkadian, dan sebelum naik ke 37,4 ° C atau lebih
tinggi pada sore hari sehingga demam / berkeringat mungkin terkait dengan siklus
harian ini . Ada tiga fase demam. Pada fase inisiasi, vasokonstriksi kulit
meningkatkan retensi panas dan menggigil menghasilkan panas tambahan. Titik
yang ditinggikan tercapai, produksi panas menyeimbangkan kehilangan panas dan
transmisi berhenti. Dengan kekuatan titik set normal, vasodilatasi kulit
meningkatkan kehilangan panas ke lingkungan dalam bentuk berkeringat.

4. Jelaskan Langkah-langkah diagnosis


I. Anamnesis

Keluhan secara umum


Demam. Biasanya menyerupai demam influenza tetapi kadang-kadang panas
badan dapat mencapai 40-41C. serangan demam pertama dapat sembuh sebentar
tetapi kemuadian dapat timbul kembali. Keadaan ini sangay dipengaruhi oleh
daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk.
Malaise. Penyakit TB bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, sakit kepala, meriang, nyeri
otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi
hilang timbul secara tidak teratur.
Berat badan turun. Biasanya pasien tidak merasakan berat badan turun.
Sebaiknya tanyakan berat badan sekarang dan beberapa waktu sebelum pasien
sakit.
Rasa lelah. Hamper tidak dirasakan oleh pasien.
Keluhan pada pernapasan.
Batuk/batuk darah. Mungkin saja batuk yang ada pada TB berkembang dalam
jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu hingga berbulan-bulan peradangan
bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering kemudian timbul peradangan
berubah menjadi batuk produktif. Keadaan lebih lanjut berupa batuk darah karena
terdapat pembuluh darah yang kecil yang pecah.
Sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit TB paru yang sudah
lanjut, dimana infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru .
Nyeri dada. Nyeri dada timbul akibat infiltrasi radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi desekan kedua pleura sewaktu pasien
menarik/ melepas nafasnya.
Sering terserang flu. Gejala batuk lama kadang diserati pilek karena daya tahan
tubuh pasien rendah sehingga mudah terserang infeksi virus seperti influenza.

II. Pemeriksaan Fisik

Bila kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah apex paru. Bila dicurigai
adanya infiltrate yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan
auskultasi suara napas bronkial. Mungkin didapatkan juga suara napas tambahan
ronki basah kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi penebalan pleura,
suara napas menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavita yang cukup besar,
perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan
suara amforik.
Bila TB paru mengenai pleura akan terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat
agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi
memberikan suara nafas lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam
penampilan klinik, TB paru sering tidak ditemukan (asimptomatik) dan penyakit
baru dicurigai bila adanya kelainan radiologic dada pada pemeriksaan rutin dan uji
tuberculin yang positif.

III. Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Sputum
Pasien terduga TB diperiksa contoh uji dahak SPS (Sewaktu-Pagi-
Sewaktu).
Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal satu dari pemeriksaan
contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif.
2. Pemeriksaan TCM
Tes Cepat Molekuler (TCM) dengan Xpert MTB/RIF yang cepat dapat
mengidentifikasi keberadaan M. Tuberkulosis dan resistensi terhadap
ripamfisin sehingga dapat menegakkan diagnosis TB secara akurat.
Namun, tidak dapat dilakukan untuk monitoring pasien setelah
pengobatan.
3. Kultur Bakteri
Kultur M. tuberculosis adalah teknik yang lebih sensitif untuk diagnosis
tetapi karena lambatnya pertumbuhan organisme (waktu replikasi 24-30
jam) kultur sputum membutuhkan waktu 4-6 minggu untuk menjadi
positif pada media padat dan 10-21 hari dalam cairan media. Kultur padat
biasanya dilakukan pada media media Lowenstein Jensen (LJ), Ogawa
atau Middlebrook 7H10 / 11.
5. Jelaskan Diagnosis banding dari penyakit yang terkait dengan scenario!

A. TUBERCULOSIS PARU

Tuberculosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang menyerang


hamper semua organ tubuh Tb berasala dari bakteri yaitu mycobacterium
tuberculosis.
 PATOFISIOLOGI TB
INFEKSI TUBERCULOSIS PRIMER
Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam tergantung pada ada
tidaknya sinar ultra-violet, ventilasi yang buruk dan kelembaban.
Dalam suasana gelap kuman dapat bertahan berhari-hari sampai
berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang yang sehat,
maka ia akan menempel pada saluran nafas atau jaringan paru. Partikel
bisa masuk ke alveolar paru bila ukurannya <5 mm. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dapat mencapai alveolus. Masuknya
kuman TB injakan segera diatasi oleh mekanisme imunologik tubuh
yang non spesifik.

Makrofag alveolus akan melakukan fagositosis terhadap kuman TB dan


biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Sebagian
orang yang terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit primer (infeksi
primer) yang biasanya terlokalisir di paru dan limfonodi regional dalam
cavum thoracis. Pada infeksi primer biasanya pasien tidak mengeluh
terhadap infeksi primernya, namun hasil tes tuberkulinnya positif. Pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman
TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk
koloni ditempat tersebut. Kuman membelah diri setiap 25-32 jam di
dalam makrofag dan tumbuh selama 2-12 minggu hingga jumlahnya
cukup untuk menginduksi respon imun. Lokasi pertama koloni kuman
TB di jaringan paru di sebut fokus primer GOHN.

Dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju


kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya
inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadinitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru
bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru,
yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer
merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang
membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman Tb hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal
ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain,
yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya
gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu
4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa
inkubasi tersebut kuman tumbuh hingga mencapai jumlah >100 kuman
yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas seluler.

Selama berminggu-mimggu awal proses infeksi terjadi


pertumbuhan logaritmik pada kuman TB, sehingga jaringan tubuh yang
awalnya belum tersensitasi terhadap tuberculin, mengalami
perkembangan sensivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer
inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai
oleh terbentuknya hipersensivitas terhadap tuberkulo-protein, yaitu
timbulnya respon positif terhadap uji tuberculin. Selama masa
inkubasi, uji tuberculin masih negative. Infeksi primer menyebabkan
perubahan tes tuberculin menjadi positif sekitar 3-8 minggu setelah
terinfeksi. Sesudah kompleks primer terbentuk imunitas seluler
terhadap TB juga sudah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan
system imunitas yang berfungsi baik, begitu system imunitas seluler
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB daoat tetap hidup dalam garunuloma.

Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk


kedalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas seluler
terbentuk, focus primer dijaringan paru biasanya mengalami
resolusisecara sempurna menjadi fibrosis atau klasifikasi setelah
mengalami nekrosis perkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional
juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya
biasanya tidak sesempurna focus primer dijaringan dijaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetas selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi.
Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer diparu dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Focus Ghon akan
membesar dan bisa pecah kedalam kavum pleura menyebabkan
pleurisy, sementara itu limfonodi hilar juga dapat membesar hingga
menyebabkan penekanan pada bronkus.

Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meningglakan rongga
dijaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang
mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena
reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Penekanan
ini menyebabkan lobus paru kolaps atau erosi limfonodi kedalam
kavum pericardial atau kedalam bronkus sehingga menyebabkan
penyebaran kuman TB ke kavum endobronkial. Infeksi primer ini dapat
menimbulkan klasifikasi pada limfonodi hilar dan luka parut pada
parenkim paru. Namun, komplikasi jarang terjadi pada infeksi primer
ini. Sebanyak 95% infeksi primer akan membaik sendiri tanpa
pengobatan dan hanya 5% saja yang sakit TB. Obstruksi parsial pada
bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan atelectasis
kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkejuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
meyebabkan tb endobronkial atau membentuk fistula.

Massa keju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus


sehingga dapat menyebabkan gabuangan pneumonitis dan atelectasis
yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps konsolidasi. Selama
masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks
primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman Tb masuk
kedalam sirkulasi darah dan menyebar keseluruh tubuh. Adanya
peneyebaran hematogen inilah yang menyebabkan Tb disebut sebagai
penyakit sistemik. Penyebaran yang paling sering terjadi adalah dalam
bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenis spread).
Melalui cara ini kuman tb menyebar secara sporiadik dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.

Kuman Tb kemudian akan mencapai berbagai organ diseluruh tubuh.


Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik. Misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri.
Terutama apeks paru atau lobus atas paru. Diberbagai lokasi tersebut,
kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum
terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.
Didalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya dengan imunita seluler , kuman tetap hidup dalam
bentuk dormant. Focus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi
penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reactivasi. Focus
potensial apeks paru disebut sebagai focus SIMON. Bertahun-tahun
kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus Tb ini dapat
mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit Tb diorgan terkait misalnya
meningitis, Tb tulang dan lain-lain.

Bentuk penyebaran yang lain adalah penyebaran hematogenik


generalisata akut. Pada bentuk ini sejumlah besar kuman Tb masuk dan
beredar dalam darah menuju keseluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit Tb secara akut,
atau yang disebut Tb diseminata. Tb diseminata ini timbul dalam waktu
2-6 bulan setelah terjadinya infeksi. Timbulnya penyakit bergantung
pada jumlah virulensi kuman Tb yang beredar serta frekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberculosis diseminta terjadi karena tidak
adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi Tb,
misalnya pada balita. Tuberculosis milier merupakan hasil dari acute
generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar.
Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai
ukuran lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi
diseminata yang mempunyai butir padi-padian/ jewawyt (milled seed).
Berukuran 1-3 mm yang secara histologi merupakan granuloma. Bentuk
penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protected
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila sati focus
perkejuan menyebar kesalah saluran vascular didekatnya, sehingga
jumlah kuman Tb akan masuk dan beredar didalam darah.

INFEKSI TUBERCULOSIS SEKUNDER (PASCA PRIMER)

Kuman yang bersifat dormant (tidur) pada TB primer akan muncul


bertahin-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa
(TB sekunder = TB pasca Primer). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%.
TB sekunder terjadi karena imunitas tubuh menurun seperti pada
penyakit malnutrisi DM, HIV/AIDS, kanker gagal ginjal alcoholism dll.
TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi diregio atas
paru (bagianapical-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya
adalah kedaerah parenkim paru dan tidak ke nodul hilus paru. Sarang
dini ini juga mula-mula berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yaitu suatu granuloma yang terdiri
atas sel-sel histiosit dan datia Langerhans (sel besar dengan banyak
inti) yang dikelilingi oleh sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. TB
sekunder juga dapat berasal dari dari infeksi eksogen dari usia muda
menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis)

Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas pasien,


sarang dini ini dapat menjadi:

 Di absorbs kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.


 Sarang yang mula-mula meluas tapi dapat segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras
menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma
brkembang menghancurkan jaringan ikat disekitarnya dan bagian
tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan
keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas.
Kavitas ini mula- mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal
karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar, sehingga
menjadi kavitas skelerotik (kronis). Terjadinya perkijuan dan kavitas
adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang
diproduksi oleh makrofag dan proses yang berlebihan dari sitokin
dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang terjadi adalah
cryptic disseminate TB yang terdapat pada imunodifisiensi dan usia
lanjut. Disini lesinya sangat kecil, tetapi berisi kuman yang sangat
banyak.
 Langkah-langkah diagnosis
 Pada anamnesis didapatkan :
Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau
banyak di temukan TB paru tampa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan kesehatannya.

Keluhan secara umum

Demam.Biasanya subfebris menyerupai demam influenza,tetapi


kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41 c, serangan demam
pertama dapat sembuh sebentar,serangan demam pertama dapat sembuh
sebentar,tetapi dapat timbul kembali. Begitulah seharusnya hilang
timbulnya demam seperti influenza ini,sehingga pasien merasa tidak
pernah terbebas dari serangan demam. Kedaan ini sangat dipengaruhi
oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman TB
yang masuk.

Malaise. Penyakit TB bersifat radang yang menahun. Gejala malaise


sering ditemukan berupa anoreksia,tidak ada nafsu makan,sakit
kepala,meriang,nyeri otot,keringat malam,dll. Gejala malaise ini makin
lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

Berat badan menurun.Biasanya pasien tidak merasakan badanya


menurun. Sebaiknya kita tanyakan berat badan sekarang den beberapa
waktu sebelum pasien sakit. Pada pasien anak-anak biasanya berat
badannya sulit naik bulan terakhir atau status gizinya kurang.

Rasa lelah. Keluhan ini juga pada kebnayakan hampir tidak


dirasakannya.

Keluhan pada pernafasan

Batuk/batuk berdarah. Gejala ini sering ditemukan batuk terjadi


karena adanya iritasi pada brongkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar dari saluran napas bawah.
Karena terlibatnya brongkus pada setiap penyakit tidak sama,mungkin
saja batuk baru ada stelah penyakit TB berkembang dalam jaringan
paru yakni dalam berminggu-minggu atau berbulan-bulan perdangan
bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif)
kemudian stelah timbul perdangan berubah menjadi produktif
(meghasilkan dahak). Kedaan lebih lanjut dapat batuk darah karena
terdapat pembuluh darah kecil yang pecah. Kebanyakan batuk darah
pada TB terjadi pada kavitas, tapi dapat terjadi pada ulkus dinding
brongkus. Batuk ini sering sulit dibedakan dengan batuk karena sakit:
pneumonia,asma,brongkitis alergi,penyakit paru obstruksi kronik,dll.

Sesak nafas.pada penyakit TB paru yang ringan (baru tumbuh) belum


di rasakan adanya sesak nafas. Sesak nafas akan di temukan pada
penyakit TB paru yang sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah meliputi
setengah bagian paru-paru.

Nyeri dada. Gejala ini agak jarang di temukan. Nyeri dada timbul bila
infiltrasi rdang sudah sampai di pleura shingga menimbulkan pleuritis.
Terjadi geskan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan
nafasnya.

Sering terserang flu. Gejala batuk-batuk lama kadang disertai pilek


sering terjadi karena daya tahan tubuh pasien yang rendah sehinggah
mudah terserang infeksi virus seperti influenza

 Pada pemeriksaan fisik didapatkan


Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin di temukan
sakitnya mulai dari ringan sampai berat. Pasien bisa terlihat kurus atau
beratbadan menurun,suhu badan demam(subfebris),kunjungtiva mata
atau kulit pucat karen anemia,sering pada pemeriksaan fisik pasien
tidak menunjukkan suatu kelainanpun trutama pada kasus-kasus dini
atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demiakian juga kalau
sering penyakit terletak di dalam ,akan sulit menemukan kelainan pada
pemikiraan fisik,karena hantaran getaran/suara yang kedalamannya
pada jaringan paru >4 cm sulit dinilai secara palpasi,perkusi dan
auskultasi,. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisikpun,TB paru sulit
dibedakan dengan pneumonia biasa.

Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian


apeks(puncak)paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas,maka
didapatkan perkusi yang didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi
suara nafas brongkial. Mungkin didapatkan juga suara tambahan nafas
tambahan berupa rongki basah kasar yang nyaring. Tetapi bila infiltra
diliputi oleh penebalan pleura,suara nafasnya menjadi vesikuler
melemah,bila terdapat kafitas yang cukup besar,perkusi memberikan
suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara anforik.

Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering


ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang
sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau jaringan paru
lainnya. Bagian paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. Bila
jaringan fibrotiknya amat luas yakni > stengah jumlah semua jaringan
paru,akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya
meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) di ikuti
terjadi terjadinya kor-pulmonal dan gagal jantung kanan. Disini akan
didapatkan tanda-tanda kor-polmunalatau gagal jantung kanan seperti
takipnea takikardi,sianosis, right ventricular lift,right atrial
gollop,murmur Grahamsteel,bunyi P yangap mengeras ,tekanan vena
jugularis yang meningkat ,hepatomegali,ascites dan edema.
 Dapat dilakukkan pemeriksaan penunjang
 Pada pemeriksaan Radiologi didapatkan:

Pada saat ini pemeriksaan radiologik dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi TB. Pemeriksaan ini memang membutuhkan
biaya lebih dibandingkan pemeriksaan dahak langsung, tetapi dalam
beberapa hal ia memberikan keuntungan seperti pada TB anak dan TB
milier. Pada kedua keadaan tersebut diatas diagnosis dapat diperoleh
melalui pemeriksaan radiologik dada, sedangkan pada pemeriksaan
sputum hampir selalu negatif.
Lokasi lesi TB umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus
atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus
bawah bagian inferior atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (pada
TB endobronkial). Pada awal penyakit lesi masih merupakan sarang-
sarang pneumonia dengan gambaran radiologik berupa bercak- bercak
seperti awan dan batas batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi
jaringan ikat maka bayangan akan terlihat berupa bulatan dengan batas
yang tegas. Lesi ini dikenal dengan tuberkuloma.
Pada kavitas bayangannya dapat berupa cincin yang mula- mula
berdinding tipis, lam –lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal.
Bila terjadi fibrosis maka terlihat sebgai bayanagan yang bergaris-
garis. Pada klasifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak
padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat sebagai fibrosis
yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau 1
lobus maupun 1 bagian paru. Bila terjadi TB milier terlihat berupa
bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh
lapangan paru.
Gambaran radiologik lain yang sering menyertai TB paru adalah
penebalan pleura (pleuritis), perselubungan cairan di bagian bawah paru
(efusi pleura/empiema), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru /
pleura (pneumo-toraks). Pada satu foto dada TB yang sudah lanjut
sering di dapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus seperti
infiltrat, garis – garis fibrotik, kalsifikasi kavitas (non
sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.
TB sering memeberikan gambaran yang aneh – aneh terutama
gambaran radiologik, sehingga dikatakan tuberculosis is the great
imitator. Gambaran infiltrat dan tuberkuloma sering diartikan dengan
pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis
di paru. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru.
Disamping itu perlu di ingat juga faktor kesalahan dalam membaca
foto. Faktor kesalahan ini dapat mencapai 25%. Oleh sebab itu untuk
diagnostik radiologi sering dilakukan juga foto lateral, top lordotik,
oblik, tomografi dan foto dengan densitas keras. Adanya lesi
(bayangan) pada foto dada bukanlah menunjukkan adanya aktifitas
penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul betul nyata. Lesi penyakit
yang sudah nonaktif sering menetap selama hidup pasien. lesi yang
berupa fibrotik, kalsifikasi, kavitas dan scwarte sering dijumpai pada
pasien- pasien yang sudah tua.
Pemeriksaan khusus yang kadang kadang juga diperlukan adalah
bronkografi yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang
disebabkan oleh TB. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien
akan menjalani pembedahan paru. Pemeriksaan ini sekarang jarang
dilakukan lagi karena sudah ada pemeriksaan yang lebih canggih dan
benyak dipakai di rumah sakit rujukan yakni Computed Tomography
Scanning (CT-scan). Pemeriksaan ini lebih superior dibandingkan
pemeriksaan radiologi toraks biasa. Perbedaan densitas jaringan terlihat
lebih jelas dan sayatannya dapat dibuat secara transversal, sagital, dll.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih juga adalah Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Pemeriksaan MRI pada toraks tidaklah sebaik CT-scan,
tetapi ia dapat menngevaluasi proses-proses dekat apeks paru,
perbatasan dada-perut, tulang belakang dan jalur sarafnya. Sayatan juga
dapat dibuat secara transversal, sagital dan koronal.
 Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan :
 Darah
Pemeriksaan ini kurnag ,endapat perhatia karena gasilnya kadang-
kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik, pada
saat TB paru mulai (aktif) didalam darah tepinya akan didaptkan jumlah
leukosit yang sedikit meninggi dan hitung jenisnya terdapat pergeseran
ke kiri. Jumlah limfosit masih normal. Laju endap darah mulai
meningkat. Bila penyakit mulai sembuh jumlah leukosit kembali
normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun
kearah normal lagi.
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga
1. Anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer.
2. Gama globulin meningkat
3. Kadar natrium darah menurun
Pemeriksaan darah tersebut diatas juga nilainya tidak spesifik.
Pemeriksaan serologi darah yang pernah dipakai adalah reaksi
Takahashi. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses TB yang masih
aktif atau tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer
1/128. Pemeriksaan ini juga kurang mendapatkan perhatian karena
adanya positif palsu dan negatif palsu yang masih besar. Pemeriksaan
ini sudah tidak dipakai lagi.
Beberapa tahun yang lalu terdapat pemeriksaan serologik peroksidase
Anti peroksidase TB (PAP_TB) yang oleh beberapa peneliti dinyatakan
mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifitas yang cukup tinggi (85-
95%), tetapi oleh peneliti lain meragukannya karena mendapat angka-
angka yang lebih rendah. Pemeriksaan ini sudah ditinggalkan dan tidak
dapat dipakai sebagai sarana tunggal diagnostik. Hasil positif palsu
sering ditemukan pada pasien reumati, kehamilan dan masa 3 bulan
vaksinasi BCG.
Uji serologik lain terhadap TB yang hampir sama cara dan nilainya
adalah uji mycodot. Pemeriksaan serologik tersebut diatas juga hampir
tidak dipakai lagi.

Belakangan ditemukan juga pemeriksaan T-cell interferron-gamma


release assay (IGRA) sebagai pemeriksaan immuno-diagnostik untuk
mendeteksi infeksi M.tuberculosis dasarnya adalah dengan mengukur
respon imunoseluler limfosit T terhadap infeksi TB yang terjadi. Disini
peru penelitian lebih jauh untuk menilai validitas uji serologik ini,
walaupun beberapa laporan menyatakan sensitivitas dan spesivitasnya
cukup tinggi dan uji ini dinyatakan lebih baik dibandingkan uji
tuberkulin. Sampai saat ini WHO dan IUALID masih belum
merekomendasikan uji ini untuk diagnosis TB.

 Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya
kuman BTA, diagnosis TB sudah dapat dipastikan. Di samping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap
pengobatan TB yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan
murah sehingga dapat dikerjakan dilapangan (puskesmas). Tetapi sering
tidak mudah untuk mendapatkan sputum , terutama pada pasien yang
jarang batuk atau batuknya non-produktif. Dalam hal ini dianjurkan, 1
hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien minum air sebanyak kurang
lebih 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk yang benar. Dapat
juga diberi tambahan obat-obat mukolitik-ekpektoransia atau di inhalasi
memakai larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila tetap
masih sulit, maka sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi
pengambilan dengan cara bronchial washing atau BAL (Broncho
Alveolar Lavage). BTA juga bisa didapat dengan cara bilasan lambung.
Cara ini sering dikerjakan pada pasien TB anak karena mereka sulit
mengeluarkan dahaknya. Sputum yang mau diperiksa hendaknya
hendaknya dilakukan sesegera mungki. Didalam ISTC dikatakan,
semua pasien (dewasa remaja dan anak-anak yang dapat mengeluarkan
dahak) yang diduga menderita TB paru, harus menjalani pemeriksaan
dahak secara mikroskoik minimal 2 kali dan sebaiknya 3 kali secara
SPS (Sewaktu datang, pagi besoknya dan sewaktu anatar spesimen).
Bila memungkinkan minimal 1 spesimen harus berasal dari dahak pagi
hari.

Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit


ditemukan. Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat
prose penyakit TB ini terbuka keluar, sehingga sputum yang
mengandung kuman BTA mudah diperoleh. Diperkirakan di Indonesia
terdapat seitar 50% pasien TB dengan BTA positif , tetapi kuman
tersebut tidak ditemukan dalam sputum mereka. Kriteria sputum BTA
positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman
BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlkan 5.000 kuman dalam
1 ml sputum. Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan sputum untuk BTA
dilakukan dengan skala IUALID yakni:

 Negatif. Tidak ditemukan BTA dalan 100 lapang pandang


 Ada 1-9 BTA per 100 lapang pandang. Sebutkan jumlah kuman
yang ditemukan
 Ada 10-99 BTA per lapang pandang. Disebut + atau 1+
 Ada 1-10 BTA per lapang pandang. Disebut ++ atau 2+
 Ada >10 BTA per lapang pandang. Disebut +++ atau 3+

Untuk pewarnaan sedian dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok


yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan kinyoun dan gabbet.

Beberapa cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah:

 Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa.


 Pemeriksaan sediaan lagsung dengan mikroskop fluoresens
(pewarnaan khusus)
 Pemeriksaan dengan biakan (kultur)
 Pemeriksaan kuman terhadap resistensi obat.

Pemeriksaan dengan mikroskop fluoresens dengan sinar ultra-violet


walaupun sensitifitasnya tinggi sangat jarang dilakukan karena,
pewarnaan yang dipakai (auromin-rhodamin) dicurigai bersifat
karsigonik. Pada pemeriksaan dengan biakan setelah 4-6 minggu
penanaman sputum dalam medium biakan, koloni kuman TB mulai
tampak. Bila setelah 8 minggu penanaman koloni juga tidak tampak,
maka biakan dinyatakan negatif. Biasanya hasil biakan yang tumbuh
adalah sekitar 50%. Medium biakan yang sering digunakan adalah
Lowenstein Jensen, kudoh atau ogawa.

Pada saat ini sudah dikembang biakan sputum BTA dengan cara bactec
(bactec 400 radiometric system), dimana kuman sudah dapat dideteksi
dalam 7-10 hari. Disamping itu dengan teknik polymerase Chain
Reaction (PCR) dapat dideteksi DNA kuman TB dalam waktu yang
lebih cepat atau mendeteksi M. Tuberkulosis yang tidak tumbuh dalam
sediaan biakan. Dari hasil biakan, biasanya ditemukan identifikasi
kuman dan dilakukan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat,
kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopik biasanya terdapat
kuman BTA (positif) tetapipada biakan hasil negatif. Ini terjadi pada
fenomena dead bacilii ataau non-cultubrale bacilii yang disebabkan
keampuhan paduan obat anti TB jangka pendek yang cepat sekali
mematikan kuman BTA dalam waktu pendek.

Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopik biasa dan sediaan


biakan, bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan
bronkus, jaringan paru, pleura, cairan pleura, cairan lambung, jaringan
kelenjar, cairan serebro-spinal, urin dan tinja. Metode cepat uji
resistensi obat (uji diagnostik molekular cepat). Saat in terdapat
pemeriksaan sputum dengan Xpert assay yang dapat mengidentifikasi
M.tuberkulosis dan sekalian mendeteksi resistensi terhadap rifampisin
yang hasilnya diperoleh dalam beberapa jam. Sungguhpun begitu
konfirmasi TB resisten obat dengan kepekaan obat secara konvensional
masih dipakai sebagai baku emas (gold standard). Penggunaan Xpert
MTB/Rif tidak menyingkirkan kebutuhan metode biarkan dan uji
resistensi obat konvensional yang penting untuk menegakkan diagnosis
definitive TB pada pasien dengan apusan BTA negatif dan uji resistensi
obat untuk menentukan kepekaan obat anti TB lainnya selain rifamfisin.

 Uji tuberculin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai Tes
Mantoux dengan menyuntikkan 2TU (Tuberculin Unit) dalam 0.1 mL
PPD-RT23 (rekomendasi WHO dan IUALTD) secara intra-kutan.
Pembacaan hasil setelah 3 hari menunjukkan reaksi positif bila terdapat
indurasi di kulit tempat suntikan dengan diameter >10 mm. untuk
pasien dengan HIV positif, tes Mantoux >5mm sudah dianggap positif.
Tes yang kuat positif tentunya merupakan indikasi pada diagnosis TB.
Di banyak Negara dngan infeksi mikobakterium lain yang sering
bersifat nonpatogen, dapat berakibat tes tuberculin positif lemah. Tes
positif juga disebabkan oleh vaksinasi BCG sebelumnya. Hendaknya
selalu diingat bahwa bila ada petunjuk lain yang mengarah diagnosis
TB, tes negatif tidak menyingkirkan kemungkinan adanya TB.
Sedangkan tes yang positif bahkan yang positif kuat hanya
menunjukkan bahwa pasien pernah terinfeksi kuman TB sebelumnya.
Hal ini tidak membuktikan bahwa ia penyakit TB aktif.

Terdapat beberapa keadaan yang memberikan reaksi tuberculin


berkurang (negative palsu) yakni:

 Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan TB.


 Alergi, penyakit sistemik berat ( Sarkoidosis, Lupus eritematosus.
 Penyakit eksantematosus dengan panas akut (morbili,cacar air,
poliomyelitis).
 Reaksi hipersensitifitas menurun pada penyakit limforetikuler
(Hodgkin).
 Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obat
imunosupresi lainnya
 Usia tua, malnutrisi, penyakit keganasan.

Dasar tes tuberculin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Pada penularan
dengan kuman pathogen baik yang virulen ataupun tidak (M.
Tuberculosis ata BCG), tubuh manusia akan mengadakan reaksi
imunologi dengan dibentuknya antibody seluler pada permulaan dan
kemudian diikuti oleh pembentukan antibody humoral yang dalam
perannya akan menekan antibodi seluler. Bila pembentukan antibody
seluler cukup, misalnya dengan penularan kuman yang sangat virulen
dan jumlah kuman sangat besar atau pada keadaan dimana
pembentukan antibody humoral amat berkurang (pada hipogama
globulinemia), maka akan mudah terjadi penyakit sesudah penularan.
Setelah 48-72 jam tuberculin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa
indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni
persenyawaan antar antibodi seluler dan antigen tuberculin. Banyak
sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi seluler dan antigen tuberkulin
amat dipengaruhi antibodi humoral, makin kecil indurasi yang
ditemukan.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, hasil tes Mantoux dibagi dalam:

A. Indurasi diameter 0-5 mm, Mantoux negatif = golongan no sensitivity.


Disini peran antibody humoral paling menonjol.
B. Indurasi diameter 6-9 mm, hasil meragukan=golongan low grade
sensitivity. Disini peran antibody humoral masih cukup menonjol.
C. Indurasi diameter 10-15 mm, Mantoux positif = golongan normal
sensitivity. Disini peran kedua antibody seimbang.
D. Indurasi diameter > 15 mm, Mantoux positif kuat = golongan
hypersensitivity. Disini peran antibody seluler paling menonjol.

Untuk alur diagnose pasien dinyatakn TB di Indonesia

Pada pasien baru, tidak ada riwayat ataupun tidak ada kasus HIV maka
dapat dilakukkan pemeriksaan bakteriologis dengan mikroskop atau tes
cepat molekuler (TCM)

 Untuk pasien yang tidak memiliki akses untuk TCM dapat


dilakukkan demgan pemeriksaan mikroskopi BTA, jika pada
pemeriksaan BTA (-) maka pasien dapat diminta untuk melakukkam
foto Torak (foto radiologi) dan terapi antibiotic non OAT
 Pada pemeriksaan foto toraks akan didapatkan :
 Lokasi lesi yang umum pada daerah apek paru tetapi dapat juga
mengenai lobus bagian inferior atau didaerah hilus menyerupai tumor
paru, pada walnya lesi berupa sarang-sarang pneumonia dengan
gambaran berupa bercak-bercak seperti awan dan batas-batas yang tidak
tegas.
Jika pada hasil yang didapatkan gambar yang mendukung maka TB
terkonfirmasi klinis dan pasien dapat melakukkan PENGOBATAN TB
LINI 1
 Pada terapi antibiotic non OAT
 Selama terapi non OAT diberikan ada perbaikkan klinis maka
pasien tidak terkonfirmasi sebagai pasien TB maka yang dilakukkan
mencari kemungkinan penyebab penyakit lain.
 Jika selama terapi antibiotic non OAT tidak ada perbaikkan klinis
da nada factor resiko TB dan atas pertimbangan dokter maka pasien
terkonfirmasi sebagai pasien TB selanjutnya dapat dilanjutkan dengan
pengobatan TB lini 1.

 Sedangkan untuk pasien yang memiliki akses untuk TCM TB


ataupun pasien dengan riwayat pengobatan TB, TB RO dan dengan
pasien HIV (+) Maka dilakukkan pemeriksaan TCM TB.

 Jika setelah lakukkan TCM TB didapatkan MTB Pos, Rif sensitive maka
TB terkonfirmasi bakteriologis pasien diminta untuk pengobatan TB lini 1
 Jika TCM TB didapatkan MTB Pos, Rif Indeterminate maka pasien
diminta untuk melakukkan kembali TCM
 Jika TCM TB didapatkan MTB Pos, Rif Resistance TB RR maka
pasien diminta untuk mulai pengobatan TB RO; laukkan pemeriksaan
biakan dan uji kepekaan OAT lini 1 dan lini 2
 TB RR; TB MDR lanjutkan pengobatan TB RO
 TB pre XDR pengobatan TB RO dengan panduan baru
 TB XDR pengobatan TB RO dengan panduan baru.
 Jiak TCM didapatkan MTB (-) maka pasien diminta untuk laukkan foto
toraks dengan mengikuti alur yang sama dengan alur pada hasil
pemeriksaan mikroskopis BTA negative (--)

 DOSIS OBAT
Table dibawah in menunjukkan dosis obat anti TB lini pertama yang
dipkai di Indonesia yang disesuaikan dengan rekomendasi WHO.

Panduan obat standar untuk pasien TB dengan kasus baru

Berdasarkan meta-analisis dari beberapa penelitian, WHO


merekomendasikan panduan OAT yang terbaik adalah 2HRZE/4HR.
sedangkan paduan 2 HRZE/ 6 HE ternyata lebih banyak menyebabkan
kasus kambuh dan kematian. Pasien yang menerima OAT 3 kali
seminggu memiliki angka resistensi obat yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yang menerima dosis harian. Oleh sebab itu WHO me-
rekomendasikan pengobatan dengan paduan harian sepanjang periode
pengobatan OAT (2 HRZE/4 HR) pada pasien dengan TB kasus baru
dengan aternatif paduan 2 HRZE/4 H3R3 dengan pengawasan ketat secara
langsung oleh PMO.

Panduan obat standar untuk pasien TB dengan riwayat OAT sebelumnya.

Global plan to stop TB 2006-2015 mencanangkan target untuk semua


pasien denga riwayat pengobatan OAT harus diperiksa uji resistensi OAT pada
awal pengobatan. Uji resistens oabt dilakukkan sedikitnya untuk INH dan
Rifampisin dan tujuannya adalah identifikasi TB resisten sedini mungkin sehingga
dapat diberikan pengobatan yang tepat.
Terapi Tuberkulosis pada pasien HIV

Pada prinsipnya terlaksana terapi TB pada pasien infeksi HIV sama seperti
pasien TB tanpa HIV. OAT pada pasien HIV sama efektifnya dengan pasien tanpa
HIV. Terapi pasien ko-infeksi TB-HIV lebih sulit dari pada TB pada pasien tanpa
HIV. Pasien TB-HIV mempunyai system imunitas yang rendah dan sering-sering
ditemukkan juga infeksi hepatitis, sehingga sering terjad efek samping obat,
interaksi antar obat yang akan memperburuk kondisi pasien dan obat harus
dihentikan atau dikurangi dosisnya maka pengobatan jadi lebih panjang serta
kepatuhan pasien jadi berkurang.

Dalam ISTC dikatakan semua pasien TB termasuk yang terinfeksi HIV


harus diberika OAT lini 1 yang disepakati secara international dengan
menggunakan obat yang bioavilbilitasnya telah diketahui. Panduannya tetap 2
HRZE difase awal dan 4 HR atau 6 HE difase lanjutan. Pemberian 4 H3 R3 difase
lanjut hanya sebagai alternative bila pemberian tiap hari tidak mungkin dilakukan,
tetapi pasien harus dalam pengawasan yang ketat. Pemberian 6 HE difase lanjut
tidak direkomendasikan karena mudah terjadi gagal terapi atau kambuh.
Pengobatan dengan anti retro-viral (ARV) mestinya dimulai sesegera mungkin
setelah OAT dapat ditoleransi dalam 2-8 minggu terapi fase awal. Terapi dengan
ARV sebaiknya dilakukan oleh dokter yang telah mendapat pelatihan khusus HIV
karena obat ARV bisa berinteraksi dengan OAT dan dapat juga meningkatkan
resiko efek samping. Efavirenz (EFV) mewakili golongan NNRTI baik
digunakkan untuk pemberian ARV pada pasien dalam terapi OAT. Efavirensz
lebih direkomendasikan karena mempunyai interaksi dengan Rifampisin yang
lebih ringan dibandingkan dengan Nevirapine.
2. PNEUMONIA

Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat


konsolidasi dan terjadi pengisian alveoli oleh eksudat yang disebabkan
oleh bakteri, virus, dan benda – benda asing.

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang


mengenai parenkim paru. Menurut anatomis pneumonia pada anak
dibedakan menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris, pneumonia lobularis
(bronchopneumonia), Pneumonia interstisialis (Mansjoer, 2000).

 ETIOLOGI

 Pneumonia terbilang penyakit berbahaya karena cara penularannya yang


sangat mudah. Penyakit pneumonia dapat menular melalui percikan ludah
yang menyebar lewat udara saat bersin batuk, ataupun bicara.
 Pneumonia bukanlah penyakit tunggal.
 Penyebabnya bisa bermacam – macam dan diketahui 30 sumber infeksi,
dengan 4 sumber utama yaitu :
 Pneumonia oleh bakteri
Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi
sampai usia lanjut. Orang – orang dengan gangguan pernafasan, sedang
terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya, adalah orang yang
paling beresiko. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling
umum adalah Streptococcos pneumonia sudah ada di kerongkongan
manusia sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun karena sakit, tua, atau
malnutrisi, bakteri segera memperbanyak diri dan menyebabkan
kerusakan.
 Pneumonia oleh virus
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus.
Saat ini makin banyak saja virus yang berhasil diidentifikasi. Meski virus
ini kebanyakan menyerang saluran pernafasan bagian atas terutama pada
balita, gangguan ini bisa memicu pneumonia.
 Pneumonia Mikoplasma
Pneumonia jenis ini berbeda gejala dan tanda fisiknya bila dibandingkan
dengan pneumonia pada umumnya. Karena itu, pneumonia yang diduga
disebabkan oleh virus yang belum ditemukan ini sering juga disebut
pneumonia yang tidak tipikal atau atypical pneumonia.

 Pneumonia jenis lain

Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii pneumonia (PCP)


yang diduga disebabkan oleh jamur. Sedangkan dari sudut pandang
sosial, penyebab pneumonia menurut Depkes RI (2005) antara lain :

1. Status gizi bayi


2. Imunisasi tidak lengkap
3. Lingkungan
4. Kondisi sosial ekonomi orang tua
 PATOFISIOLOGI PNEUMONIA

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja, dari
bayi sampai usia lanjut. Pecandu alcohol, pasien pasca operasi, orang-
orang dengan gangguan penyakit pernapasan, sedang terinfeksi virus
atau menurun kekebalan tubuhnya , adalah yang paling berisiko.
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada
tenggorokan yang sehat. Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya
karena penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi, bakteri pneumonia akan
dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru.

Patogen yang sampai ke trakea berasal dari aspirasi bahan yang ada di
orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi dan
sumber patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. Faktor
risiko pada inang dan terapi yaitu pemberian antibiotik, penyakit
penyerta yang berat, dan tindakan invansif pada saluran nafas. Faktor
resiko kritis adalah ventilasi mekanik >48jam, lama perawatan di ICU.
Faktor predisposisi lain seperti pada pasien dengan imunodefisien
menyebabkan tidak adanya pertahanan terhadap kuman patogen
akibatnya terjadi kolonisasi di paru dan menyebabkan infeksi. Proses
infeksi dimana patogen tersebut masuk ke saluran nafas bagian bawah
setelah dapat melewati mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan
mekanik (epitel,cilia, dan mukosa), pertahanan humoral (antibodi dan
komplemen) dan seluler (leukosit, makrofag, limfosit dan sitokinin).
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru
banyak disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan
oleh pejamu. Selain itu, toksin-toksin yang dikeluarkan oleh bakteri
pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak sel-sel
system pernapasan bawah. Pneumonia bakterialis menimbulkan respon
imun dan peradangan yang paling mencolok. Jika terjadi infeksi,
sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun seluruh lobus, bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan
dua di paru-paru kiri) menjadi terisi cairan. Dari jaringan paru-paru,
infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah. Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
Kemudian infeksi menyebabkan peradangan membran paru bagian dari
sawar-udara alveoli) sehingga cairan plasma dan sel darah merah dari
kapiler masuk. Hal ini menyebabkan rasio ventilasi perfusi menurun,
saturasi oksigen menurun. Pada pemeriksaan dapat diketahui bahwa
paru-paru akan dipenuhi sel radang dan cairan , dimana sebenarnya
merupakan reaksi tubuh untuk membunuh patogen, akan tetapi dengan
adanya dahak dan fungsi paru menurun akan mengakibatkan kesulitan
bernafas, dapat terjadi sianosis, asidosis respiratorik dan kematian.

 Manifestasi klinis

Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa batuk, takipnu,


ekspektorasi sputum, napas cuping hidung, sesak napas, merintih dan
sianosis. Anak yang lebih besar dengan pneumonia akan lebih suka
berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada.
Tanda Pneuomonia berupa retraksi atau penarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam saat bernafas bersama dengan peningkatan frekuensi
nafas, perkusi pekak, fremitrus melemah. Suara napas melemah, dan
ronkhi. (Mansjoer,2000,hal 467)

Gejala penyakit pneumonia berupa napas cepat dan sesak napas, karena
paru meradang secara mendadak. Batas napas cepat adalah frekuensi
pernapasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2
bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada
anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun. Pada anak dibawah usia
2 bulan, tidak dikenal diagnosis pneumonia. Pneumonia berat ditandai
dengan adanya batuk juga disertai kesukaran bernafas, napas sesak atau
penarikan dinding dada sebelah bawah ke dalam pada anak usia 2 bulan
sampai kurang dari 5 tahun. Pada kelompok usia ini dikenal juga
pneumonia sangat berat, dengan gejala pneumonia sangat berat, dengan
gejala batuk, kesukaran bernapas disertai gejala sianosis sentral dan
tidak dapat minum.

Pada awalnya keluhan batuk tidak produktif, tapi selanjutnya akan


berkembang menjadi batuk produktif dengan mucus purulen
kekuningan, kehijauan, kecoklatan atau kemerahan, dan sering kali
berbau busuk. Klien biasanya mengeluh mengalami demam tinggi dan
menggigil (onset mungkin tiba – tiba dan berbahaya ). Adanya keluhan
nyeri dada pleuritis, sesak napas, peningkatan frekuensi pernapasan,
lemas dan nyeri kepala.

 PEMERIKSAAN PNEUMONIA

 Pemeriksaan fisik
1.Inspeksi
Perlu diperhatikan adanya takipnea dispne, sianosis sirkumoral,
pernapasan cuping hidung, distensi abdomen, batuk semula nonproduktif
menjadi produktif, serta nyeri dada pada waktu menarik napas. Batasan
takipnea pada anak berusia 12 bulan – 5 tahun adalah 40 kali / menit atau
lebih. Perlu diperhatikan adanya tarikan dinding dada ke dalam pada fase
inspirasi. Pada pneumonia berat, tarikan dinding dada kedalam akan
tampak jelas.
2. Palpasi
Suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membesar, fremitus raba
mungkin meningkat pada sisi yang sakit, dan nadi mungkin mengalami
peningkatan atau tachycardia.
3. Perkusi
Suara redup pada sisi yang sakit.
4. Auskultasi
Auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara mendekatkan telinga
ke hidung / mulut bayi. Pada anak yang pneumonia akan terdengar
stridor. Sementara dengan stetoskop, akan terdengar suara napas
berkurang, ronkhi halus pada sisi yang sakit, dan ronkhi basah pada
masa resolusi. Pernapasan bronchial, egotomi, bronkofoni, kadang
terdengar bising gesek pleura (Mansjoer,2000).

 Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboraturium

 Leukosit 18.000 – 40.000 / mm3


 Hitung jenis didapatkan geseran ke kiri.
 LED meningkat

2. X-foto dada
Terdapat bercak – bercak infiltrate yang tersebar (bronco pneumonia)
atau yang meliputi satu/sebagian besar lobus/lobule (Mansjoer,2000).

 PENGOBATAN PNEUMONIA

Menurut Mansjoer (2000), pengobatan pneumonia dapat dilakukan dengan


cara pemberian antibiotik sesuai hasil biakan atau berikan :

1. Untuk kasus pneumonia community base :

 Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian


 Klorampenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian

2. Untuk pneumoni hospital base :

 Sefotaksim 100 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian


 Amikasin 10 – 15 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian
 PENCEGAHAN PNEUMONIA

Pencegahan Pneumonia dapat dilakukan dengan cara hidup bersih dan


sehat dan memberikan nutrisi yang baik pada balita. Disamping itu,
perlu diberikan vaksin pneumokokus pada bayi dan anak sedini
mungkin., menjaga keseimbangan nutrisi anak, menjaga daya tahan
tubuh anak dengan cara cukup istirahat dan juga banyak olahraga,
mengusahakan agar ruangan tempat tinggal mempunyai udara yang
bersih dan ventilasi yang cukup.

3. KANKER PARU

DEFINISI
Kanker paru umumnya dibagi menjadi dua kategori besar, yakni kanker
paru sel kecil (small cell lung cancer-SCLC) dan kanker paru non-sel
kecil (non-small cell lung cancer-NSCLC). Kategori NSCLC terbagi
lagi menjadi adenokarsinoma, karsinoma sel skuamosa, dan karsinoma
sel besar. Sekitar 80% kasus kanker paru merupakan NSCLC.

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Penyebab pasti kanker paru belum diketahui, namun paparan atau
inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan
faktor penyebab utama, disamping adanya faktor lain seperti kekebalan
tubuh, genetik,dan lain-lain. Dari beberapa kepustakaan, telah dilaporkan
bahwa etiologi kanker paru sangat berhubungan dengan kebiasaan
merokok. Lombard dan Doering (1928) melaporkan tingginya insiden
kanker paru pada perokok dibandingkan dengan yang tidak merokok.
Terdapat hubungan antara rata-rata jumlah rokok yang dihisap per hari
dengan tingginya insiden kanker paru. Dikatakan bahwa 1 dari 9 perokok
berat akan menderita kanker paru. Laporan beberapa penelitian
mengatakan bahwa perokok pasif pun berisiko terkena kanker paru.
Diperkirakan 25% kanker paru dari pasien bukan perokok berasal dari
perokok pasif. Terdapat perubahan/mutasi beberapa gen yang berperanan
dalam kanker paru, yakni proto oncogen,tumor suppressor gene, dan
gene encoding enzyme.

 Etiologi
lain dari kanker paru yang pernah dilaporkan adalah sebagai berikut:
 Paparan zat karsinogen, seperti :
• Asbestos, sering menimbulkan mesotelioma
 Radiasi ion pada pekerja tambang uranium
 Radon, arsen, kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, vinil klorida
 Polusi udara
 Penyakit paru seperti pneumonitis intersisial kronik
 Riwayat paparan radiasi daerah torake.Genetik

 PATOLOGI
1.NSCLC
• Adenokarsinoma Kanker khas dengan bentuk formasi glandular dan
kecenderungan ke arahpembentukan konfigurasi papilari.
Biasanyamembentuk musin dan sering tumbuh dari jaringan fibrosis
paru. Dengan penanda tumor carcinoma embrionic antigen(CEA),
karsinoma ini bisa dibedakan dari mesotelioma.
• Karsinoma sel skuamosa/karsinoma bronkogenik Karsinoma sel
skuamosa memiliki ciri khas yaituadanya proses keratinisasi dan
pembentukan jembatan intraselular. Studi sitologi memperlihatkan
perubahan yangnyata dari dysplasia skuamosa ke karsinoma insitu.
• Karsinoma bronkoalveolarKanker ini merupakan subtipe dari
adenokarsinoma yang mengikuti permukaan alveolar tanpa menginvasi
atau merusak jaringan paru.
• Karsinoma sel besar Jenis ini merupakan suatu subtype dengan
gambaran histologis yang dibuat secara ekslusi. Karsinoma sel besar
tidak memberikan gambaran diferensiasi skuamosa atau glandular
dengan sel bersifat anaplastik, tidak berdiferensiasi,dan biasanya disertai
infiltrasi sel neutrofil.

2.SCLC
Gambaran histologi khas adalah dominasi sel kecil yang hampir
semuanya diisi oleh mucus dengan sebaran kromatin dan sedikit
nukleoli.Jenis ini disebut juga oat cell carcinoma karenabentuknya mirip
dengan bentuk biji gandum. Karsinoma sel kecil cenderung berkumpul
disekeliling pembuluh darah halus menyerupai pseudoroset. Sel-sel yang
bermitosis banyak ditemukan disertai gambaran nekrosis.Komponen
DNA yang terlepas menyebabkanwarna gelap di sekitar pembuluh darah.

 Gejala dan tanda


Pada stadium awal, sebagian besar kanker paru tidak menunjukkan
gejala klinis. Gejala dan tanda kanker paru umumnya terjadi pada kasus
stadium lanjut, antara lain:
• Lokal:
a. Batuk baru atau batuk yang lebih hebat pada batuk kronis
b. Hemoptisis
c. Mengi/ stridorkarena obstruksi saluran napas
d. Kadang terdapat kavitas seperti abses paru
e. Atelektasis
• Invasi lokal:
a. Nyeri dada
b. Sesak napas karena efusi pleura
c. Invasi ke perikardium yang menyebabkan tamponade atau aritmia
d. Sindrom vena kava superior
e. Sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis)
f. Suara serak, karena penekanan berulang pada N. laringeal
g. Sindrom Pancoast, karena invasi pada pleksus brachialis dan saraf
simpatisservikalis
• Gejala penyakit metastasis:
a. Pada otak, tulang, hati, adrenal
b. Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai
metastasis)
• Sindroma Paraneoplastik: Terdapat pada 10% pasien dengan kanker
paru
a. Sistemik: penurunan berat badan,anoreksia, demam
b. Hematologi: leukositosis, anemia,hiperkoagulasi
c. Endokrin: sekresi berleb ihan hormone paratiroid
d. Dermatologik : eritema multiformis,hiperkeratosis, jari tabuh
e. Renal: syndrome of inappropriate andiuretic hormone(SIADH)
f. Neurologik: dementia, ataksia, tremor,neuropati perifer
g. Neuromiopati
h. Hipertrofi osteoartropati
• Asimtomatik dengan kelainan radiologis
a. Sering terdapat pada perokok dengan PPOK yang terdeteksi secara
radiologis
b. Kelainan berupa nodul soliter

 DIAGNOSIS
Modalitas diagnosis yang dapat digunakan berupa:
a. Sitologi sputum
b. Foto toraks
c. CT-scanparu
d. Bronkoskopi
e. PET/CT-scan
f. Penentuan stadium dilakukan dengan menilai kondisi tumor primer,
kelenjar getah bening, dan status metastasis.

 TATALAKSANAAN
1. terapi bedah

2. kemoterapi

6. pencegahan yang terkait dengan scenario.


 Vaksinasi BCG
Vaksin BCG yang dipergunkan berupa vaksin yang berisi M. bovis
hidup yang dilemahkan. Dari beberapa penelitian diketahui bahwa
vaksinasi BCG yang telah dilakukkan pada anak-anak selama ini hanya
dapat memberikan daya proteksi sebagian saja terhadap TB yakni 0-
80%. Tetapi BCG ini masih tetap dipakai karena dapat mengurangi
kemungkinan terhadap TB yang berat seperti TB milier, meningitis, TB
eksta paru lainnya.

 Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis terhadap TB merupakan masalah tersendiri dalam
penanggulangan TB paru disamping diagnosis yang cepat dan terapi
yang adekuat. Sekitar 50-60% anak kecil tinggal dengan pasien TB paru
dewasa dengan sputum BTA(+), akan teriinfeksi kuman TB. Kira-kira
10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB infeksi kuman TB
pada anak kecil beresiko tinggi menjadi TB diseminata yang berat (TB
milier, meningitis), sehingga diperlukan pemberian Kemoprofilaksis
untuk mencegah sakit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Jurnal Sistem Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi


2. Guyton, A.C.,Hall.J.E.2014.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC. 1022
3. Gurnida, Dr.Dida A. 2011. peran dalam regulasi nafsu makan. Fakultas
kedokteran Universitas Padjajaran. Hal.7-10
4. Djojodibroto, Dr.R.Darmanto.2014.Buku Kedokteran Respirologi
(Respiratory medicine) Edisi 2.Jakarta: EGC. Hal 157-158
5. Amin, Zulkifli dan Asril Bahar.2010.Tuberkulosis Paru,Buku Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 2.Jakarta:Interna Publishing. Hal 1001-1002.
6. Amin Z. Kanker Paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI; 2006.
hal.1015-20.
7. Lung Cancer. In: Brown KK, Lee-Chiong T, Chapman S, Robinson G, et
al. Oxford American Handbook of Pulmonary Medicine. Oxford:Oxford
University Press; 2009. p.161-86
8. Lee-Chiong TL, Matthay RA. Lung Cancer. In: Parsons PE, Heffner JE.
Pulmonary Respiratory Therapy Secrets. Colorado: Hanley & Belfus;
1997. p.330-6.
9. Tan WW. Non-Small Cell Lung Cancer. [updated 2012, accessed on May
9, 2012]. Available from: http://emedicine.medscape. com/article/279960-
overview
10. Jurnal pedoman penatalaksana TB (konsekuensi TB)
11. Sudoyo, Aru W., Setiyo Hadi Bambang, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta : internapublishing
12. Pratter MR . Cough and the common cold: ACCP evidence based clinical
practice guidelines. Chest. Jan 2006
13. Department of Internal Medicine, University Medical Center Nijmegen,
6500 HB Nijmegen, The Netherlands.
14. Timbal J, Colin J, Boutelier C. Circadian variations in the sweating
mechanism. J Appl Physiol 1975;39:226–30
15. Harald Ittrich, PD Dr. et al. 2017. The Diagnosis and Treatment of
Hemoptysis. Dtsch Arztebl Int. 2017 Jun; 114(21): 371–381.

Anda mungkin juga menyukai