Slide 1
Global financial Crisis : Akibat Subprimer mortgage, suatu keadaan dimana banyak rumah yang disita m
ulai dari Negara di as. Krisis bermula dari meledaknya persediaan rumah di AS dan tingginya angka suku
bunga kredit. Krisis ini mampu merontokkan beberapa lembaga penjamin keuangan raksasa di amerika se
rikat tersebut berimbas ke seluruh penjuru dunia tak terkecuali di Indonesia. Menurut perkiraan para ahli
ekonomi dampak GFC masih akan dirasakan Negara kita hingga 5 th kedepan.
beberapa terkait praktik penggunaan fair value pada aset sebagai faktor yang berkontribusi, Hal ini
dikarenakan standar akuntansi (terutama Financial Accounting Standard (FAS) No. 157 Fair Value
Measurements) memerlukan pengungkapan nilai investasi yang dimiliki oleh bank selama kondisi pasar
sedang bergolak. Kemampuan akan pengungkapan tersebut membuat entitas sulit untuk melakukan
peminjaman. Kenapa? penerapan akuntansi nilai wajar akan menimbulkan efek procyclical dalam pasar
finansial. Efek procyclical ini akan memperparah suatu krisis karena akan mengakibatkan nilai asset
keuangan yang diukur dengan nilai wajar akan terus menurun karena kondisi pasar yang buruk. Pada
akhirnya nilai asset keuangan yang terus menurun ini akan menghilangkan kepercayaan investor akibat
kondisi keuangan perusahaan yang melemah dan memperparah krisis. Nilai pasar yang terus menurun
tidak bisa mencerminkan nilai wajar asset sesungguhnya.
Pro-Kontra : US SEC mempertanyakan peran akan fair value pada saat krisis dan menerbitkan laporan
yang terdiri dari 211 halaman pada akhir tahun 2008. SEC perlu untuk melakukan investigasi akan peran
standar akuntansi, semisal FAS 157 pada kegagalan lembaga keuangan yang terjadi pada tahun 2008.
Laporan tersebut menyimpulkan bahwa ‘kegagalan lembaga keuangan di Amerika muncul sebagai akibat
pertumbuhan kerugian akibat kredit yang probable, terlalu berfokus pada kualitas aset, dan kasus tertentu,
kebangkrutan para peminjam, dan kepercayaan diri yang berlebihan dari investor’, dan tidak sekadar
menyesuaikan nilai aset keuangan terhadap harga pasar. Pandangan terkait peran akuntansi fair valuye
didukung oleh yang lainnya, termasuk mantan chief accountants SEC Conrad Hewitt dan Lynn Turner,
yang memuji akuntansi mark-to-market untuk peningkatan transparansi, memungkinkan pengguna
laporan keuangan untuk melihat kondisi ekonomi institusi dengan sebenarnya.
Akuntansi mark-to-market : akuntansi fair value bekerja melalui akuntansi MTM; prinsip akuntansi
yang harus mencatat nilai perusahaan sesuai dengan harga pasar saat itu (Aset dicantumkan pada harga
pasar mereka jika diperdagangkan secara terbuka)
(-) Menggunkan akuntansi mark to market akan berakibat perubahan yang terus menerus pada laporan
keuangan perusahaan ketika nilai aset mengalami kenaikan dan penurunan serta laba dan rugi yang
dicatat. Hal ini membuat semakin sulit dipastikan apakah laba dan rugi diakibatkan oleh keputusan bisnis
yang dibuat manajemen atau oleh perubahan pasar yang terjadi
Slide 2
Level 2: Input untuk menentukan nilai wajar berdasarkan kuotasi harga sesuaian untuk aset dan
liabilitas yang mirip atau berdasarkan kuotasi harga taksesuaian untuk aset dan liabilitas yang
identik dalam suatu pasar yang tidak aktif;market, valuation techniques). Hierarki ini umumnya
menggunakan pendekatan penghasilan, dimana digunakan teknik penilaian untuk mengubah nilai
masa depan (contohnya aliran kas atau laba) ke nilai kininya terdiskonto (discounted). Pengukuran
nilai wajar dalam pendekatan ini menggunakan dasar nilai yang dilihat dari harapan pasar kini atas
nilai aset (liabilitas) masa depan. Pendekatan ini termasuk menggunakan nilai kini (present value,
option pricing).
Level 3: Input untuk menentukan nilai wajar bukan berdasarkan data pasar (estimasi dan judgement
dari manajemen). Nilai wajar ditentukan dengan suatu model penilaian atau ditentukan oleh seorang
penilai.
Pendekatan ini umumnya disebut pendekatan biaya pengganti kini (current replacement cost). Biaya
pengganti ini adalah jumlah yang diperlukan untuk menggantikan suatu aset.
Dalam penilaian properti, secara konvensional ada tiga metode atau hierarki yang juga sudah
disesuaikan dengan standar akuntansi. Pertama menggunakan pendekatan pasar. Yang digunakan
adalah harga pasar. Pendekatan yang mengambil langsung pembandingnya dari property sejenis yang
nilai di pasar. misalnya, menilai ruko, langsung kita cari berapa pasaran ruko itu. Ini apple to apple,
dan di akuntansi juga diatur masalah ini. Itu namanya pendekatan pasar. Kalau tidak ada yang persis
sama, misalnya tuan A punya rumah tipe 125, dan tuan B punya rumah tipe 125, tapi tuan A tinggal di
Jakarta dan tuan B tinggal di Bandung, kan belum tentu sama nilainya. Atau, sama-sama di Jakarta
jika berbeda spesifikasi, tentu nilainya juga akan beda. Jika pembandingnya terbatas, maka
menggunakan pendekatan kedua. Ini masih menggunakan pendekatan pasar, tapi mempertimbangkan
nilai pendapatan. Misalnya perkantoran, karena dia menghasilkan pendapatan, maka metodenya
menggunakan pendekatan pendapatan. Kalau tidak, menggunakan pendekatan ketiga, yang disebut
dengan depresiated equipment cost atau biaya pengganti terdepresiasi, biasa disebut pendekatan
biaya.
Selain itu, kelemahan lain dari penggunaan akuntansi nilai wajar adalah berkurang keterandalan dari
informasi keuangan yang dihasilkan (terutama untuk aset dan liabilitas yang tidak memiliki nilai pasar)
dan juga dampak kontraintuitif penggunaan nilai wajar pada liabilitas. Keterandalan informasi keuangan
berkurang karena banyak sekali aset dan liabilitas tidak memiliki nilai pasar atau input dari pasar yang
bisa dijadikan dasar pengukuran nilai wajar yang andal sehingga pengukuran berdasarkan data
nonpasar/internal yang berasal dari asumsi penyaji laporan keuangan. Lebih-lebih, proses audit atas
laporan keuangan akan menjadi lebih sulit dan lama karena auditor harus menguji kembali apakah asersi
manajemen atas nilai aset atau liabilitas tersebut sudah mencerminkan nilai yang wajar. Dampak
kontraintuitif penggunaan nilai wajar pada liabilitas akan terjadi apabila suatu entitas bisnis mengalami
kesulitan finansial. Ketika sebuah entitas bisnis (terutama yang bergerak di bidang keuangan) mengalami
kesulitan finansial maka liabilitas yang beredar akan mengalami penurunan nilai jauh dibawah nilai
nominalnya akibat para pelaku pasar keuangan memperhitungkan risiko gagal bayar dalam
perhitungannya. Hal tersebut merupakan kontraintuif karena disaat nilai kewajiban menurun akibat
risiko gagal bayar, laba perusahaan akan meningkat. Menurut Credit Suisse, pada kuartal pertama 2008.
25 perusahaan dengan jumlah utang dengan risiko gagal bayar tinggi menghasilkan untung antara $11
juta sampai $3.6 miliar. Kondisi ini akan merusak konsep dari laporan laba/rugi dan dapat saja
menyesatkan investor dalam pengambilan keputusan.
Penggunaan akuntansi nilai wajar tentu saja tidak hanya membawa dampak yang negatif, tetapi juga
dampak positif. Menurut laporan Fitch Ratings, permasalahan utama dari penggunaan akuntansi nilai
wajar adalah bahwa tia menciptakan kebingungan di kalangan investor sehingga hanya dengan
peningkatan pengungkapan untuk membantu investor memahami penggunaan nilai wajar, terutama
bagi aset atau kewajiban yang tidak dapat memiliki nilai pasar, akan menyelesaikan permasalahan ini.
Bahkan, kebanyakan investor di dunia menanggapi secara positif penggunaan akuntansi nilai wajar.
Mereka menyatakan bahwa standar yang menggunakan nilai wajar membantu mereka dalam memahami
nilai riil terbaru dari aset dan liabilitas entitas bisnis. Nilai riil terbaru yang relevan dan reliabel ini
membantu mereka dalam mengambil keputusan ekonomi yang tepat dan tidak menyesatkan. Tanggapan
positif ini tentunya memenuhi dangan tujuan dari pelaporan keuangan menurut rerangka konseptual
IASB, yaitu asesmen atas stewardship managemen dan penyajian informasi keuangan yang relevan untuk
pengambilan keputusan.
3. Dan akan seperti apakah dampak dari penerapan akuntansi nilai wajar pada kondisi keuangan
perusahaan?
Dampak implementasi akuntansi nilai wajar di Indonesia dapat kita pelajari dari negara-negara lain yang
sudah melakukan implementasi. Awal implementasi akuntansi nilai wajar tentunya akan membawa
dampak yang cukup buruk terutama bagi entitas di industri perbankan dan juga jasa keuangan (seperti
perusahaan investasi). Implementasi awal ini akan mengubah kondisi keuangan entitas bisnis dimana
pengubahan sebagian besar nilai aset dan liabilitasnya ke nilai wajarnya ini akan mengakibatkan
perubahan profitabilitas yang cenderung menurun. Namun, hal ini tidak menandakan kinerja
perusahaan yang buruk karena kerugian tersebut bukanlah kerugian yang permanen. Hal ini dapat
dicontohkan oleh American Capital dimana pada saat awal pengimplementasian tia membukukan
kerugian sebesar $813 juta pada kuartal pertama 2008 dan nilai aset investasinya turun sebesar $447
juta. Kerugian dan penurunan nilai aset pada awal implementasi ini bukanlah gambaran kondisi
keuangan yang sebenarnya karena pada kuartal pertama tahun berikutnya, American Capital berhasil
mengembalikan nilai aset investasinya sepertiga dari penuruan sebelumnya.
Signifikansi dampak dari penerapan implementasi akuntansi nilai wajar terhadap kondisi keuangan
entitas bisnis setelah implementasi awal (selain dari performa riil entitas bisnis dan kondisi ekonomi
makro) akan bergantung pada dua hal, yaitu jenis industri entitas bisnis dan komponen aset dan liabilitas
yang dimiliki dan subjektivitas manajemen (estimasi dan asumsi yang digunakan) dan penilaian
profesional auditor dalam melakukan proses pelaporan keuangan.
Signifikansi dampak penggunaan nilai wajar akan berbeda-beda di industri yang berbeda. Industri
keuangan dan perbankan akan terkena dampak yang lebih signifikan atas penggunaan nilai wajar
dibandingkan dengan industri yang lain karena pada umumnya sebagian besar aset dan liabilitas industri
perbankan dan keuangan terdiri atas aset dan liabilitas keuangan. Aset dan liabilitas keuangan memiliki
dampak yang lebih sugnifikan dibandingkan aset dan liabilitas lain karena tia diukur berdasarkan nilai
wajar secara berkelanjutan (recurring) dan sangat rentan terhadap perubahan nilai akibat perubahan
pasar finansial yang sangat dinamis. Khusus untuk Indonesia, penerapan akuntansi nilai wajar ini akan
memberikan dampak yang lebih signifikan kepada industri yang asetnya masih dinilai terlalu rendah,
yaitu industri perkebunan. Industri perkebunan yang sebagian besar asetnya terdiri dari aset biologis
yang masih undervalued, akan merasakan perubahan pada kondisi keuangannya akibat penggunaan nilai
wajar yang lebih mencerminkan nilai sesungguhnya dari aset biologis tersebut.
Selain itu, signifikansi dampak penggunaan nilai wajar akan bergantung pada keahlian manajemen dan
auditor dalam menentukan asumsi dan estimasi atas nilai wajar atas aset dan liabilitas entitas tersebut.
Pilihan manajemen dalam menentukan aset dan liabilitas termasuk golongan aset dan kewajiban
finansial (Untuk diperdagangkan, Tersedia untuk dijual, dan Hingga jatuh tempo) yang mana, akan
mempengaruhi kondisi keuangan entitas tersebut. Selain itu, variasi penggunaan model penilaian oleh
manajemen (dan judgement auditor) atas aset dan liabilitas yang tidak mempunyai input yang berasal
pasar atau mempunyai input dari pasar yang tidak terandalkan, juga akan mempengaruhi kondisi
keuangan entitas bisnis yang satu dengan yang lain.
Slide 3
Pada Oktober tahun 2008 IASB mengubah aturan terkait reklasifikasi aset keuangan keuangan
sehingga kerugian dari perubahan pada nilai pasar pada aset tersebut dapat diperlakukan dengan
berbeda. Sebelum aturan tersebut berubah, standar internasional menyaratkan kerugian tersebut
untuk disajikan pada laporan keuangan. Setelah aturan berubah, aset dapat direklasifikasi sesuai
dengan kondisi tertentu menghindari pembebanan kerugian penilaian pada pasar pada laporan
keuangan. Namun demikian, terdapat juga perubahan aturan yang menyaratkan peningkatan
pengungkapan instrument keuangan dan pengaruh dari reklasifikasi pada laporan keuangan.
Perubahan ini dibuat melalui amandemen untuk IAS 39 dan IFRS 7.
Reklasifikasi Aset Keuangan (perubahan IAS 39 dan IFRS 7) yang diterbitkan pada tahun
oktober 2008, mengubah ayat 12 dan menmbahkan ayat 12A.
Reklasifikasi Aktiva bersih-Tanggal efektif dan transisi ( Amandemen IAS 39 dan IFRS 7), yang
dikeluarkan pada bulan november 2008 mengubah alinea 44E
G20 mengadakan pertemuan dan menghasilkan rekomendasi untuk perubahan regulasi pasar
keuangan, termasuk standar akuntansi, isu instrumen keuangan, penurunan asset, dan akuntansi
untuk item off neraca. IASB dan FASB merespon rekomendasi tersebut, salah satunya meminta
FASB untuk memperbolehkan bank menggunakan penilaiannya sendiri dalam menentukan nilai
wajar asset, daripada menggunakan pasar sebagai kriteria objektif. Blundell-Wignall, Atkinson
dan Lee dalam papernya menjelaskan hal-hal yang membuat krisis keuangan global, yaitu:
1. Kebijakan likuiditas makro global,
2. Kerangka kerja regulasi yang masih minim.
Slide 4
Namun, sangat sedikit sekali perhatian yang didapat sejauh ini terkait klarifikasi peran auditor pada saat
krisis, padahal terdapat bukti bahwa 28 bank yang bermasalah ketika krisis tersebut mendapat laporan
audit yang unqualified dari perusahaan audit besar pada tahun 2007. Walaupun, ada beberapa komentar
yang mempertanyakan kegunaan dari audit di saat auditornya bahkan tidak melihat efek risiko dari aset-
aset yang ada di balance sheet bank-bank pada saat itu.
Profesi akuntan dan pembuat aturan hukum melihat lebih jauh laporan keuangan dan audit
hampir seluruh dunia telah secara proaktif menerbitkan pedoman bagi akuntan dan direktur
untuk menilai diri mereka sendiri selama masa krisis. Semisal, Dewan Praktik Audit (UK)
menerbitkan bulletin pada bulan Desember tahun 2008 pada penilaian permasalahan
keberlangsungan dan menentukan kecukupan pengungkapan dalam laporan keuangan dan
pengaruh pada laporan audit. Publikasi yang sama datang dari Canadian Institute of Chartered
Accountants dan The Institute of Chartered Accountans di Inggris dan Wales. Publikasi tersebut
menekankan pada risiko yang dihadapi auditor ketika menilai nilai aset dan mempertimbangkan
jasa dari perencanaan yang dibuat manajemen untuk memitigasi risiko keberlangsungan dan
likuiditas selama mengantisipasi resesi. Publikasi juga menekankan pentingnya standar etika
ketika berhadapan dengan tekanan dari manajemen untuk menghindari pengungkapan yang tidak
diterima atau pengungkapan. Analisis peranan auditor dalam GFC mungkin akan berlanjut segera
mungkin di masa yang akan datang.