PA -
aristaevie@gmail.com
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan dalam bidang pendidikan merupakan usaha yang dilakukan untuk memperbaiki
kelemahan dan kekurangan untuk mencapai pendidikan yang berkualitas. Begitu pula dengan
kurikulum pendidikan di negara kita saat ini yang mengalami perubahan dari KTSP ke Kurikulum
2013. Kurikulum 2013 berpegang pada [1] prinsip bahwa belajar bukanlah proses transfer ilmu dari
guru pada siswa melainkan usaha mencari, mengolah, dan membangun pengetahuan sendiri. Sesuai
dengan standar kopetensi lulusan dan standar isi maka prinsip pembelajaran yang digunakan salah
satunya, dari peserta didik diberi tahu menuju peserta didik mencari tahu . Pembelajaran ini tentunya
lekat dengan prinsip konstruktivisme. Refrensi [2] mengungkapkan ciri-ciri pembelajaran
konstruktivisme salah satunya adalah mendorong siswa berpikir tingkat tinggi.
Keahlian atau kemampuan berpikir siswa merupakan tuntutan keras dalam dunia pendidikan
salah satunya mata pelajaran matematika. Refrensi [3] matematika merupakan ilmu universal yang
mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan
mengembangkan daya pikir manusia . Siswa tidak hanya dituntut mampu berhitung matematis atau
kemampuan prosedural tetapi lebih kepada pembentukan pola pikir secara rasional, logis dan kritis
dalam memahami suatu pengertian dan penalaran suatu hubungan konsep matematis. Untuk itu,
pembelajaran matematika di sekolah hendaknya diupayakan mampu meningkatkan kemampuan
berpikir tingkat tinggi siswa yang dikenal dengan istilah high order thinking skill (HOTS). Salah satu
materi dalam pelajaran matematika adalah peluang. Hasil penelitian Wiraldy menunjukkan ada empat
tipe learning obstacles (kesulitan yang dihadapi siswa) dalam mempelajari materi peluang,
diantaranya siswa kesulitan menghubungkan konsep-konsep yang ada dalam materi peluang dengan
1
ISBN.
materi lainnya dan siswa kesulitan dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah. Pemecahan
masalah dan pengkaitan konsep-konsep merupakan bagian dari HOTS. Hal ini kemudian menjadi
alasan pengkaji memilih materi peluang untuk dikaji lebih lanjut.
Untuk dapat melatih kemampuan HOTS siswa perlu diberikan stimulus berupa pembelajaran
yang memungkinkan siswa untuk memiliki peran lebih dalam mengkonstruksi konsep dan prinsip
serta melibatkan proses-proses kognitif yang potensial. Proses pengkonstruksian pengetahuan kental
dengan paham konstruktivisme. Dalam standar proses tersirat bahwa pembelajaran pada kurikulum
2013 berfokus pada pembelajaran konstruktivisme. Metode yang diarahkan selaras dengan
pemahaman konstruktivisme itu sendiri, diantaranya metode guided discovery. Refrensi [4]
mengemukakan bahwa guided discovery merupakan metode yang digunakan untuk membangun
konsep dibawah pengawasan guru. Tentunya, meskipun pembelajaran berada dibawah pengawasan
guru, namun, partisipasi siswa tetap menjadi fokus utama dalam pembelajaran. kurikulum 2013
mengharapkan siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Guru adalah fasilitator, pembimbing
arah sekaligus motivator dalam proses pembelajaran.
Dengan kata lain pembelajaran harus berkenaan dengan kesempatan siswa dalam menyelidiki
dan membangun pengetahuannya sendiri dalam proses kognitif siswa serta memberikan kesempatan
partisipasi aktif siswa. Salah satu pembelajaran yang memungkinkan hal ini terjadi adalah
pembelajaran kolaboratif. Pembelajaran kolaboratif ditekankan bukan pada pencapaian hasil tetapi
lebih mengutamakan bagaimana proses belajar dapat berlangsung secara baik dan didalamnya
memungkinkan adanya proses pengkonstruksian pengetahuan pada diri setiap siswa. Kolaboratif juga
menekankan adanya pengkonstruksian pengetahuan dengan interaksi sosial dan proses berpikir kritis
sehingga inisiatif siswa masing-masing menjadi hal penting dalam proses pembelajaran ini.
Kurikulum 2013 menerapkan pendekatan saintifik dalam proses pembelajaran, dimana salah satu
tahap dalam pendekatan ini ialah membuat jejaring, yang juga bisa disebut pembelajaran kolaboratif.
Artinya, pembelajaran kolaboratif sangat relevan diterapkan dalam kurikulum 2013.
Dalam pembelajaran kolaboratif memiliki ciri khas yakni berpikir kritis [5] yang merupakan
salah satu ciri dari HOTS yang menuntut adanya proses berpikir pada diri siswa yang tidak hanya
sebagai proses mengingat dan menghafal tetapi bagaimana memahami, mengkonsep, menerapkan
serta mengembangkan hasil pengetahuannya. Dengan demikian, akan sangat relevan jika
pembelajaran kolaboratif digabungkan dengan pembelajaran guided discovery yang notabene
berfokus pada pengkonstruksian pengetahuan. Hal ini menjadi latar belakang penulis untuk mengkaji
penerapan pembelajaran kolaboratif dengan metode guided discovery untuk meningkatkan HOTS
siswa dalam pembelajaran matematika. Pengkajian ini diharapkan mampu memberikan salah satu
masukan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran matematika.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi HOTS?
2. Apakah definisi pembelajran guided discovery?
3. Apakah definisi pembelajaran kolaboratif?
4. Bagaimana penerapan pembelajaran kolaboratif dengan guided discovery untuk meningkatkan
HOTS pada Materi Peluang di kelas VII SMP?
C. Tujuan
1. Mendefinisikan HOTS
2. Mendifinisikan pembelajaran guided discovery
3. Mendefinisikan pembelajaran kolaboratif
4. Mendeskripsikan penerapan pembelajaran kolaboratif dengan guided discovery untuk
meningkatkan HOTS pada Materi Peluang di kelas VII SMP
D. Manfaat
Memberikan wawasan dalam mengembangkan kualitas pembelajaran matematika khususnya
untuk meningkatkan HOTS melalui pembelajaran kolaboratif dengan guided discorvery.
2
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA UNISSULA 2016
II. PEMBAHASAN
A. High Order Thinking Skill
The National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 1989) dalam [6] menyatakan
bahwa “higher-order thinking as solving a non-routine problem”. Jadi, higher-order thinking
merupakan penyelesaian masalah non-rutin. Stein dan Lane (1996) [6] mendefinisikan “high order
thinking skill adalah the use of complex, nonalgorithmic thinking to solve a task in which there is
not a predictable, well-rehearsed approach or pathway explicitly suggested by the task, task
instruction, or a worked out example.” Jadi, high order thinking merupakan penggunaan pemikiran
non algoritma, kompleks untuk menyelesaikan suatu tugas yang mana ada suatu pendekatan terlatih
dengan baik, terduga atau jalan yang secara eksplisit disarankan oleh insruksis tuga atau suatu
contoh yang diberikan. Artinya, higher-order thinking skill identik dengan penyelesaian masalah
non rutin yang menggunakan pemikiran non algoritma kompleks.
Karakteristik higher-order thinking skill telah dijelaskan oleh para ahli. McDavitt (1993)
dikutip oleh [7] menyatakan bahwa “Higher order skills include analysis, synthesis, and evaluation
and require mastery of previous levels, such as applying routine rules to familiar or novel
problems”. Jadi, higher order skills termasuk menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi dan
memerlukan penguasaan materi sebelumnya, seperti menerapkan aturan rutin ke masalah yang
sudah lazim atau baru. Senk,et al (1997) dalam [6] menjelaskan karakteristik high order thinking
skill sebagai : “solving tasks where no algorithm has been taught, where justification or explanation
are required, and where more than one solution may be possible.” Jadi high order thinking skill
adalah kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas dimana tidak ada algoritma yang telah
diajarkan, yang membutuhkan justifikasi atau penjelasan dan mungkin mempunyai lebih dari satu
solusi yang mungkin
Refrensi [7] menyatakan bahwa “Higher order thinking involves breaking down complex
material into parts, detecting relationships, combining new and familiar information creatively
within limits set by the context, and combining and using all previous levels in evaluating or making
judgments.” Jadi, higher order thinking termasuk pemecahan materi menjadi bagian-bagian,
mendeteksi hubungan, mengabungkan informasi baru dan yang sudah ada secara kreatif dengan
aturan batasan konteks, dan menggabungkan dan menggunakan semua level sebelumnya dalam
mengevaluasi atau membuat keputusan. Artinya, high order thinking skill termasuk dalam tiga
ranah tertinggi dalam taksonomi Bloom. Untuk dapat menyentuh ranah ini diperlukan pemahaman
materi sebelumnya, menggabungkan dengan materi selanjutnya, dan menyelesaikan masalah non
rutin.
Refrensi [8] mengutip pernyataan Krathwohl (2002) yaitu A revision of Bloom's Taxonomy: an
overview - Theory Into Practice yang menyatakan bahwa indikator untuk mengukur kemampuan
high order thinking skill meliputi: (1) Menganalisis • Menganalisis informasi yang masuk dan
membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali
pola atau hubungannya • Mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari
sebua skenario yang rumit. • Mengidentifikasi/merumuskan pertanyaan (2) Mengevaluasi •
Memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, dan metodologi dengan menggunakan kriteria yang
cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya. • Membuat
hipotesis, mengkritik dan melakukan pengujian • Menerima atau menolak suatu pernyataan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan (3) Mengkreasi • Membuat generalisasi suatu ide atau
cara pandang terhadap sesuatu • Merancang suatu cara untuk menyelesaikan masalah •
Mengorganisasikan unsur-unsur atau bagian-bagian menjadi struktur baru yang belum pernah ada
sebelumnya.
B. Pembelajaran Kolaboratif
Menurut Refrensi [5], pembelajaran kolaboratif merupakan suatu pembelajaran yang berpusat
pada siswa dengan interaksi sosial antar siswa maupun kepada guru yang menjadikan siswa
mengkonstruk secara mandiri pengetahuannya. Dengan adanya interaksi tersebut menjadikan
pengetahuan yang dapat bertumpu pada interaksi yang dijalani siswa pada konteks belajar. Sehingga
proses pembelajaran kolaboratif terjadi suatu peristiwa sosial dimana didalamnya terdapat dinamika
kelompok (Kriscner, Jochems, & Kreijns, 2005 [5]). Pada pembelajaran kolaboratif, siswa dan guru
dituntut bagaimana menyelesaikan masalah secara bersama sama untuk mencapai tujuan bersama.
Pada pembelajaran kolaboratif , kewenangan guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar,
sebaliknya peserta didiklah yang harus lebih aktif. Bruffe [9] menyatakan bahwa pengajar tidak
3
ISBN.
boleh hanya menjadi pemantau proses belajar, sebaliknya pengajar harus mampu menjadi anggota
seperti halnya para pelajar, dari sebuah komunitas yang tengah mencari pengetahuan.
Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam
situasi ini, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati dan menerima kekurangan
dan kelebihan masing-masing. Pembelajaran ini menerapkan adanya keaktifan sosial siswa dan
pengkonstruksian pengetahuan siswa sehingga lingkungan belajar diciptakan untuk mendorong dan
menyalurkan berbagai inisiatif dan kemampuan pemecahan masalah siswa.
Menurut Refrensi [2] tujuan pembelajaran kolaboratif adalah membangun pribadi yang
otonom dan pandai mengartikulasikan pemikirannya. Ada empat sifat dalam pembelajaran
kolaboratif:
1) Guru dan peserta didik saling berbagi informasi
Dengan pembelajaran kolaboratif, peserta didik memilki ruang gerak untuk menilai dan
menimba ilmu pengetahuan, pengalaman personal, bahasa komunikasi, strategi dan konsep
pembelajaran sesuai dengan teori, serta menautkan kondisi sosialbudaya dengan situasi
pembelajaran. Disini peran guru lebih banyak sebagai pembimbing dan manajer belajar
daripada hanya memberi instruksi dan mengawasi pembelajaran.
2) Berbagi tugas dan kewenangan
Pada pembelajaran kolaboratif guru berbagai tugas dan kewenangan dengan peserta
didik, khususnya untuk hal-hal tertentu. Cara ini memungkinkan peserta didik menimba
pengalaman mereka sendiri, berbagi strategi dan informasi, menghormati antarsesama,
mendorong tumbuhnya ide-ide cerdas, terlibat dlaam pemikiran kreatif dan kritis serta
memupuk dan menggalakkkan mereka mengambil peran secara bermakna dan terbuka.
3) Guru sebagai mediator
Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berperan sebagai mediator atau perantara.
Guru berperan membantu menghubungkan informasi baru dengan pengalaman yang ada serta
membantu peserta didik jika mereka mengalami kebutuhan dan bersedia menunjukkkan cara
bagaimana mereka memiliki kesungguhan belajar.
4) Kelompok peserta didik yang heterogen
Sikap, keterampilan dan pengetahuan peserta didik yang tumbuh dan berkembang sangat
penting untuk memperkaya pembelajaran dikelas. Pada kelas kolaboratif, peserta didik dapat
menunjukkan kemampuan dan keterampilan mereka, berbagi informasi serta mendengar atau
membahas sumbangan informasi dari peserta didik lainnya. Dengan cara seperti ini, akan
muncul”keseragaman: didalam heterogenitas peserta didik.
Dalam pembelajaran kolaboratif memilki ciri-ciri yang meliputi 1) saling ketergantungan
secara positif; 2) adanya interkasi saling ketemu muka dalam kerjasama; 3) rasa tanggungjawab
individu untuk meyelesaikan tugas bersama; 4) dibutuhkannya keterampilan interpersonal dan
kerjasama kelompok kecil (Johnson dan Jonhson, 1987 dalam [5]). Seperti dicirikan diatas jelas
bahwa dalam pembelajaran kolaboratif siswa dalam pembelajaran kolaboratif dituntut dengan
adanya kerjasama yang menjadikan mereka berinteraksi sosial secara intensif karena adanya
tanggung jawab penuh dari setiap siswa terhadap apa yang disampaikannnya dalam forum belajar.
Pembelajaran kolaboratif terkait dengan bagaimana konstruktivis sosial yang menegaskan bahwa
pengetahuan dan otoritas pengetahuan telah berubah secara dramatis pada akhir abad yang lalu.
Lebih spesifikasi menurut Gunawan (2003) [2] bahwa pembelajaran kolaboratif bukan hanya
sekedar bekerja sama dalam satu kelompok, tetapi lebih kepada suatu proses pembelajaran yang
melibatkan proses komunikasi secara utuh dan adil didalam kelas.
Refrensi [10] mengemukakan bahwa “The activities of collaboratively analyzing the tiling
and constructing the design imply that the students work with the transformations, discuss them and
discover many properties of them”. Jadi, kegiatan kolaboratif menganalisis susunan pengetahuan
dan membangun desain menyiratkan bahwa siswa bekerja dengan transformasi, mendiskusikannya
dan menemukan banyak sifat-sifat mereka Sementara, Kieran and Dreyfus, 1998; Sfard, 2003;
Webb, 1991 dikutip oleh [11] menyatakan bahwa “When students are trying to learn something
difficult, they benefit from sharing their ideas with their peers, especially when their peers have a
different point of view” Jadi, ketika siswa mencoba untuk belajar sesuatu yang sulit, mereka
mendapatkan keuntungan dari berbagi ide-ide mereka dengan rekan-rekan mereka, terutama ketika
4
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA UNISSULA 2016
bahan yang disediakan oleh guru dan sampai seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada
kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari. Dengan begitu guided discovery akan melatih
siswa dalam kemampuan pemecahan masalah.
Menurut [12] tahapan guided discovery adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Tahapan dalam Guided Discovery
Teachers Menyajikan contoh
Student Mendeskripsikan contoh
Teachers Menyajikan contoh tambahan
Student Mendeskripsikan contoh kedua dan membandingkan dengan contoh
pertama
Teachers Menyajikan contoh tambahan dan bukan contoh
Student Membandingkan dan membedakan contoh
Teachers Mendorong siswa untuk mengidentifikasi karakteristik atau hubungan
Students Menyatakan definisi atau hubungan
Teachers Menanyakan contoh lain
Dari tabel diatas dapat dideskripsikan bahwa guru memberikan bimbingan dengan contoh dan
non contoh yang diperlukan. Bimbingan ini membantu siswa dalam menemukan konsep-konsep
berdasarkan contoh dengan melakukan kegiatan pendeskripsian, pembandingan dan
pengidentifikasian hubungan. Dua kegiatan inji merupakan kegiatan penemuan yang bertujuan
untuk menemukan konsep secara mandiri.
D. Pembelajaran kolaboratif dengan metode guided discovery untuk meningkatkan HOTS
Berdasarkan kajian pustaka di atas penulis akan mengkaji pembelajaran kolabaratif dengan
metode guided discovery untuk meningkatkan kemampuan HOTS siswa. Pembelajaran kolaboratif
yang menekankan pada interaksi sosial, membangun pengetahuan secara mandiri dengan
berdiskusi. Siswa saling bertukar pikiran dalam memahami suatu konsep. Kegiatan ini akan
menjadikan siswa lebih antusias dalam proses pembelajaran. Sedangkan metode guided discovery
dapat dijadikan pendukung dalam pembelajaran kolaboratif. Guided discovery mengunggulkan
pembelajaran bermakna . Sijswa membangun pengetahuan maka siswa akan bertukar pikiran
dengan anggota kelompoknya dalam membedakan contoh dan non contoh, serta berdiskusi dalam
mengidentifikasi karakteristik dan hubungan antar konsep. Adapun kerangka berpikir teoritis
penulis sehingga mengkaji pembelajaran kolaboratif dengan metode guided discovery untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran matematika terutam ditinjau dari HOTS siswa adalah sebagai
berikut.
Tabel 2 Relevansi HOTS, metode guided discovery, dan pembelajaran kolaboratif
HOTS GUIDED PEMBELAJARAN
DISCOVERY KOLABORATIF
Siswa Guru
Memerlukan Mengaitkan Menyajikan
penguasaan pengetahuan informasi baru
materi sebelumnya dengan
sebelumnya pengetahuan baru
Dapat diukur 1. Mendeskripsikan 1.Menyajikan Mengkonstruk
dengan melihat informaasi- pengetahuan dengan
kemampuan: 2. Membandingkan informasi berbantu hasil diskusi
3. Mengidentifikasi tambahan
1. Menganalisis
informasi dan 2.Memberi
membagi dorongan
kebagian yang
6
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA UNISSULA 2016
kecil
2. Mengenali dan
membedakan
3. Mengidentifikasi
atau membuat
pertanyaan
Terdiri dari Meningkatkan Menyediakan
kemapuan kemampuan fasilitas yang
pemecahan pemecahan masalah diperlukan
masalah
Pembelajaran kolaboratif , guided discovery dan HOTS memiliki hubungan yang relevan
berdasarkan kriteria masing-masing. Pada Tabel 2 diperlihatkan hubungan pembelajaran
kolaboratif, metode guided discovery dan HOTS. Menurut referensi [7] menyatakan bahwa salah
satu karakteristik HOTS yang dimiliki siswa ialah mengabungkan informasi baru dan yang sudah
ada secara kreatif dengan aturan batasan konteks. Hal ini telah difasilitasi dalam guided discovery.
Menurut referensi [2] mengungkapkan bahwa ciri utama discovery learning yang ditekankan dari
teori konstruktivisme salah satunya ialah, menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang
sudah ada. Dalam hal ini, guru berperan dalam menyajikan informasi baru untuk dipahami oleh
siswa.
Referensi [8] mengutip pernyataan Krathwohl (2002) dalam A revision of Bloom's Taxonomy:
an overview - Theory Into Practice yang menyatakan bahwa salah satu indikator untuk mengukur
kemampuan high order thinking skill adalah menganalisis . Kegiatan menganalisis itu sendiri terdiri
dari 1) Menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke
dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya; 2) Mampu mengenali serta
membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebua skenario yang rumit; 3)
Mengidentifikasi/merumuskan pertanyaan. Ketiga kegiatan tersebut telah terimplikasi dalam tahap
guided discovery sebagaimana dilampirkan dalam Tabel 1. Dalam hal ini, guru berperan dalam
menyajikan informasi tambahan dan memberi dorongan kepada siswa untuk mendeskripsikan,
membandingkan dan mengidentifikasi informasi yang telah diberikan.
Refrensi [7] menyatakan sembilan konsep-konsep utama mengenai HOTS, diantaranya ialah
kemampuan pemecahan masalah. Metode guided discovery akan melatih siswa dalam kemampuan
pemecahan masalah, sebagaimana [12] ungkapkan bahwa dalam pembelajaran guided discovery,
guru dapat membuat siswa melakukan kegiatan pemecahan masalah dengan memberikan
permasalahan dan menuntut siswa untuk menyimpulkan solusi permasalahan tersebut. Dalam hal
ini, guru berperan sebagai penyedia fasilitas yang diperlukan dalam penyelesaian masalah, termasuk
memberikan permasalahan yang harus diselesaikan oleh siswa.
Pembelajaran kolaboratif berperan sebagai jembatan bagi siswa utuk mengkonstruk
pengetahuan berdasarkan hasil diskusi. Kieran and Dreyfus, 1998; Sfard, 2003; Webb, 1991 dikutip
oleh [11] menyatakan bahwa “When students are trying to learn something difficult, they benefit
from sharing their ideas with their peers, especially when their peers have a different point of view”
Jadi, ketika siswa mencoba untuk belajar sesuatu yang sulit, mereka mendapatkan keuntungan dari
berbagi ide-ide mereka dengan rekan-rekan mereka, terutama ketika rekan-rekan mereka memiliki
sudut pandang yang berbeda.Proses pengkonstruksian pengetahuan yang dilakukan dapat dilakukan
dengan saling bertukar pikiran dengan teman. Setiap kegiatan siswa pada tahapan guided discovery
dapat disisipkan dengan kegiatan diskusi dengan teman maupun guru sebagai wujud pembelajaran
kolaboratif.
Berdasarkan hubungan HOTS, metode guided discovery dan pembelajaran kolaboratif yang
relevan, maka dibuat suatu penerapan pembelajaran kolaboratif dengan metode guided discovery
untuk meningkatkan HOTS. Tahapan pembelajaran kolaboratif dan tahapan metode guided
discovery dikombinasikan menjadi suatu kegiatan pembelajaran yang terpadu, seperti pada tabel 3
berikut:
Tabel 3 Tahapan Pembelajaran Kolaboratif dengan Metode Guided Discovery
Tahap Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
7
ISBN.
Pembelajaran
8
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA UNISSULA 2016
Pada kegiatan awal, langkah pembelajaran kolaboratif masih diperankan oleh guru, karena pada
pembelajaran kolaboratif tahap pertama siswa masih bekerja secara individu. Pada tahap ini,
Siswa melakukan kegiatan pendeskripsian yang merupakan kegiatan analisis yang relevan dengan
dimensi kognitif HOTS berdasarkan taksonomi Bloom. Pada kegiatan inti, langkah pembelajaran
kolaboratif mulai banyak diperankan oleh siswa, karena hal ini menyesuaikan pada tahap
pembelajaran kolaboratif selanjutnya yang mulai memberikan kesempatan kepada siswa untuk
bekerja sama.
Kegiatan pembelajaran kolaboratif dengan metode guided discovery lebih banyak berkontribusi
dalam meningkatkan kemampuan HOTS khususnya dalam dimensi kognitif menganalisis.
Pengembangan dimensi kognitif ini paling banyak terfokus pada langkah 3 pembelajaran
kolaboratif yakni menganalisis dan memformulasikan, selanjutnya pada tahap 2, 3, 4, dan 5 pada
metode guided discovery yakni membandingkan, mengidentifikasi dan mendefinisikan.
Dari kajian didapatkan bahwa (HOTS) high order thinking skills merupakan penggunaan
pemikiran non algoritma, kompleks untuk menyelesaikan suatu tugas yang mana ada suatu
pendekatan terlatih dengan baik, terduga atau jalan yang secara eksplisit disarankan oleh insruksi
tugas atau suatu contoh yang diberikan. Pada pembelajaran dengan metode guided discovery,
guru membimbing siswa jika diperlukan dan siswa didorong untuk berfikir sendiri sehingga
dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru dan sampai
seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang
dipelajari. Pembelajaran kolaboratif dipahami sebagai suatu rangkaian proses yang membantu
para siswa dalam berinteraksi bersama untuk mewujudkan tujuan spesifik yang telah disepakati
bersama dalam kelas tersebut. Hal ini menuntut adanya tujuan pembelajaran yang jelas dan baru
sehingga siswa bukan hanya mengkonstruksi pengetahuan sendiri namun bagaimana
mengkonstruksi pengetahuan secara bersama-sama.
9
ISBN.
B. Saran
2. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan pembelajaran kolaboratif,
guided discovery dan HOTS dalam kajian ini. Khususnya pada ranah lain dalam dimensi
kognitif pada taksonomi Bloom yang berhubungan erat dengan HOTS.
10
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA UNISSULA 2016
Daftar Pustaka
[1] Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses dalam kurikulum Sekolah
Menengah.
[2] Hosnan. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia. 2014, hal 280-318.
[3] Depdiknas. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.
[4] Sani, Ridwan Abdullah. Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurikulum 2013. 2014, hal 97-125.
[5] Utomo, Bendot Trio. “Penerapan Pembelajaran Kolaboratif dengan Assesmen Teman Sejawat pada Pembelajaran
Matematika SMP. JP3 Vol 1 No. Maret 2011, hal 54-56
[6] Thomson, Tony. An Analysis of Higher-Order Thinking on Algebra I End-of Course Tests. Department of Mathematics,
Science, and Instructional Technology Education, College of Education, East Carolina University, Greenville. Hal 1-26
[7] King, F. J., Goodson, L., & Rohani, F. Higher Order Thinking Skills Definition, Teaching. 1988.
[8] Lewy, Zulkardi, Nyimas dan Aisyah. Pengembangan Soal Untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Pokok
Bahasan Barisan Dan Deret Bilangan Di Kelas Ix Akselerasi Smp Xaverius Maria Palembang. Jurnal pendidikan
matematika Vol 3 No. 2. 2009, hal 1-15
[9] Barklay, Cross dann Major. Collaborative Learning Techniques (terjemahan). San Fansisco: Jossey Bass. 2012, hl 7-10
[10] Dekker, R dan Mohr, M.E. Teacher Interventions Aimed At Mathematical Level Raising During Collaborative Learning.
Educational Studies in Mathematics. 2004, 56: 39–65
[11] Pijls, M. Dekker, R. dan Wolters, B.V.H. Reconstruction Of A Collaborative Mathematical Learning Process. 2007
Educational Studies In Mathematics 2007 65: 309–329
[12] Jacobsen, D., Eggen P., dan Kauchak D. Methods For Teaching A Skills Approach 3rd ed. Colombus: Ohio. 1981, hal 181-
183
11