Anda di halaman 1dari 23

HIGHER ORDER THINKING SKILL

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Rusgianto H.S

Disusun Oleh:
Kelompok III

1. Sri Wahyuni Ningsih (15709251039)


2. Erni Kurnianingsih (15709251021)
3. Nurul Fitrokhoerani (15709251026)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015
HIGHER ORDER THINKING SKILL

A. Definisi Higher Order Thinking Skill


Tran Vui mendefinisikan bahwa higher order thinking occurs when a
person takes new information and information stored in memory and interrelates
and/or rearranges and extends this information to achieve a purpose or find
possible answers in perplexing situations. Dengan demikian, higher order
thinking skill akan terjadi ketika seseorang mengaitkan informasi baru dengan
informasi yang sudah tersimpan di dalam ingatannya dan menghubung-
hubungkannya dan/atau menata ulang dan mengembangkan informasi tersebut
untuk mencapai suatu tujuan ataupun menemukan suatu penyelesaian dari suatu
keadaan yang sulit dipecahkan.
Selanjutnya, Alice Thomas dan Glenda menyatakan bahwa higher order
thinking skill adalah berpikir pada tingkat lebih tinggi daripada sekedar
menghafalkan fakta atau mengatakan sesuatu kepada seseorang persis seperti
sesuatu itu diceritakan kepada kita. Pada saat seseorang menghafalkan dan
menyampaikan kembali informasi tersebut tanpa harus memikirkannya, disebut
memori hafalan (rote memory). Orang tersebut tak berbeda dengan robot, bahkan
ia melakukan apapun yang diprogram dilakukannya, sehingga ia juga tidak dapat
berpikir untuk dirinya sendiri. Higher order thinking skill secara singkat dapat
dikatakan sebagai pencapaian berpikir kepada pemikiran tingkat tinggi dari
sekedar pengulangan fakta-fakta. HOTS mengharuskan kita melakukan sesuatu
atas fakta-fakta. Kita harus memahamnya, menghubungkan satu sama lainnya,
mengkategorikan, memanipulasi, menempatkannya bersama-sama dengan cara-
cara baru, dan menerapkannya dalam mencari solusi baru terhadap persoalan-
persoalan baru.

B. Konsep Utama HOTS


Konsep utama mengenai HOTS didasarkan pada tiga asumsi tentang
berpikir dan belajar, yaitu tingkat berpikir tidak bisa dikaitkan dengan tingkat
pembelajaran, berpikir bisa dipelajari tanpa isi materi pelajaran hanya titik teoritis,
dan HOTS melibatkan berbagai proses berpikir pada situasi yang kompleks.
King, Goodson, & Rohani menyatakan konsep-konsep utama mengenai
HOTS adalah sebagai berikut:
1. Konteks
Tingkat pemikiran tergantung pada konteks, dengan situasi dunia nyata
menawarkan beberapa variabel untuk menantang proses berpikir. Crowl, et al.
mencontohkannya dengan seseorang yang sedang berada di antrian sebuah kantin
dimana ia sedang membuat keputusan tentang jenis dan jumlah makanan yang
harus ia makan. Pembuatan keputusan tersebut membutuhkan jauh lebih canggih
proses berpikir daripada menghitung karbohidrat dan lemak di kelas. Sukses
berpikir tingkat tinggi tergantung pada kemampuan individu untuk menerapkan,
menata, dan memperindah pengetahuan dalam konteks situasi pemikiran.
2. Metakognisi
Metakognisi adalah kemampuan untuk mengontrol ranah atau aspek
kognitif. Metakognisi termasuk kesadaran proses berpikir seseorang, self-
monitoring, dan penerapan heuristik serta langkah-langkah berpikir. Seseorang
yang sukses dengan metakognisi tergantung pada keyakinan dalam kemampuan
seseorang untuk menjadi lebih cerdas serta keyakinan terhadap kemampuan orang
lain.
3. Pengetahuan prosedural
Pengetahuan prosedural melibatkan analisis dan sintesis dari dua atau lebih
konsep akan dianggap berpikir tingkat tinggi. Pengetahuan prosedural merupakan
penguasaan proses yang meliputi pengetahuan tentang keterampilan khusus,
tahapan sistematis mengenai sistem suatu program.
4. Pemahaman
Pemahaman merupakan integrasi dalam pengembangan kemampuan
berpikir. Bahkan, beberapa penelitian dan strategi pengajaran berfokus pada
pemahaman seolah-olah dalam domain yang lebih tinggi tetapi tidak lebih tinggi
dari kemampuan berpikir tingkat tinggi. Crowl, et al. (King, Goodson, & Rohani)
berpendapat bahwa pemahaman menetapkan suatu proses dimana individu
membangun makna dari informasi dan membentuk skema baru melalui kegiatan
tertentu, seperti menghasilkan dan menjawab pertanyaan yang menuntut berpikir
tingkat tinggi tentang ide-ide lama dan baru, mengeksplorasi dan membuat
penemuan, mengaitkan pemahaman baru untuk konsep lain, dan lain sebagainya.
5. Kreativitas
Tindakan menghasilkan solusi untuk masalah memerlukan proses kreatif
yang melampaui aturan dan konsep belajar sebelumnya. Kreativitas melibatkan
berpikir divergen dan konvergen untuk menghasilkan ide-ide baru. Fitur utama
dari kreativitas diantaranya adalah melibatkan penggunaan konsistensi prinsip-
prinsip dasar atau aturan dalam situasi baru, melibatkan menemukan dan
memecahkan masalah, serta membutuhkan banyak kondisi yang sama untuk
belajar keterampilan berpikir tingkat tinggi lainnya.
6. Wawasan
Schooler, et al. (King, Goodson, & Rohani) berpendapat bahwa wawasan
adalah solusi yang tak terduga dari suatu masalah. Kompleksitas tampaknya
menjadi pemacu untuk memecahkan masalah melalui wawasan.
7. Intelegensi
Beberapa dekade terakhir, para pakar seperti Crowl, et al., Kauchak &
Eggen, dan Kirby & Kuykendall mendefinisikan intelegensi didefinisikan sebagai
berikut:
 Tidak lagi terbatas pada gagasan tentang kemampuan tunggal atau kapasitas
global untuk belajar, beradaptasi, dan berpikir rasional;
 Inklusif dalam kemampuan umum dan khusus untuk merangkul pengetahuan
umum, pemahaman, pemikiran, dan pemecahan masalah;
 Multidimensi di proses mental yang melibatkan berpikir konvergen dan
divergen;
 Bertingkat, termasuk linguistik-verbal, logika matematika, spasial, musikal,
kinestetik jasmani, interpersonal, dan kemampuan interpersonal yang
mempengaruhi kemampuan berpikir dan pemecahan masalah.
8. Pemecahan masalah
Crowl, et al. mendefinisikan bahwa sebuah masalah adalah situasi dimana
individu ingin melakukan sesuatu tetapi tidak tahu tindakan yang diperlukan
untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Proses pemecahan masalah
memerlukan serangkaian keputusan yang berurutan, masing-masing tergantung
pada hasil dari orang-orang yang mendahuluinya.
9. Berpikir kritis
Beberapa peneliti menggunakan istilah berpikir kritis dan tingkat tinggi
berpikir secara bergantian, sementara yang lain mendefinisikan berpikir kritis
sebagai bentuk berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis juga dapat dijelaskan dengan
cara-cara berikut:
 Diarahkan pada tujuan, reflektif, dan keterampilan penalaran;
 Komponen penting dalam proses metakognitif;
 Analisis, kesimpulan, interpretasi, penjelasan, dan pengaturan diri.

C. Strategi Mengajar dalam Mengingkatkan HOTS


Higher order thinking skill meliputi kritis, logis, reflektif, metakognitif, dan
berpikir kreatif. Kemampuan berpikir tingkat tinggi diaktifkan ketika individu
mengalami masalah yang tidak biasa, ketidakpastian, pertanyaan, atau dilema.
Keberhasilan menerapkan kemampuan berpikir tingkat tinggi menghasilkan
penjelasan, keputusan, pertunjukan, dan produk yang berlaku dalam konteks
pengetahuan dan pengalaman yang tersedia dan yang terus memajukan
pertumbuhan dan keterampilan intelektual lainnya. Strategi pengajaran yang tepat
dan lingkungan belajar memfasilitasi perkembangan kemampuan berpikir mereka
seperti halnya ketekunan siswa, pemantauan diri, dan berpikiran terbuka, sikap
fleksibel.
Mengajar dengan HOTS saat ini sedang menjadi pusat perhatian
pendidikan. Hal ini didukung oleh prinsip-prinsip dalam APA Summary of Basic
Principles of Learning yang menunjukkan menunjukkan bahwa belajar adalah
kegiatan yang sangat individual, artinya tujuan dan tugas-tugas belajar yang
bermakna untuk seorang guru atau siswa mungkin tidak berarti bagi yang lain.
Dalam proses pembelajaran, individu mencari representasi pengetahuan yang
kohern yang sesuai dengan apa yang mereka sudah ketahui maupun apa yang
sekiranya memiliki kegunaan di masa depan. Seberapa baik kemajuan mereka
tergantung pada seberapa besar peran guru; iklim keberadaan guru, dan strategi
instruksional yang digunakan guru dapat memotivasi siswa untuk belajar dan
berpikir pada tingkat yang lebih tinggi.
Faktor utama dalam mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi
adalah kelas yang berpusat pada siswa. Hal ini mendukung ekspresi terbuka dari
ide, menyediakan pemodelan aktif dari proses berpikir, mengembangkan
keterampilan berpikir, dan memotivasi siswa untuk belajar. Tanpa itu, siswa tidak
akan bertahan dalam proses berpikir tingkat tinggi. Dalam lingkungan yang
terbuka ini, kesadaran guru tentang motivasi siswa secara dramatis dapat
mempengaruhi kemajuan siswa. Seorang guru yang tidak benar mengasumsikan
bahwa seorang siswa tidak memiliki motivasi untuk berpikir pada tingkat yang
lebih tinggi mungkin dikarenakan kurangnya pengetahuan prasyarat dan
keterampilan atau kurangnya minat dalam konten atau kegiatan; atau guru
mungkin tidak memahami bahwa motivasi siswa kadang-kadang dipengaruhi oleh
perbedaan budaya dari nilai-nilai yang ditempatkan dalam pembelajaran. Namun,
perbedaan motivasi bukan karena ras, etnis, atau status ekonomi (Crowl, et al.,
1997).
Dalam lingkungan student-centered, harapan besar menyebabkan
pencapaian yang lebih besar. Guru yang mengharapkan lebih dari siswa mereka
mengungkapkan lebih banyak interaksi positif; lebih sering tersenyum;
menggunakan lebih kontak mata; memiliki pendekatan lebih dekat dengan siswa;
memberikan penjelasan yang lebih jelas dan menyeuruh; memberikan lebih
banyak instruksi antusias dan pertanyaan tindak lanjut; membutuhkan jawaban
yang lebih lengkap dan akurat; menyediakan lebih banyak dorongan; memberikan
lebih banyak waktu untuk menjawab pertanyaan; dan memberikan lebih banyak
pujian, mengurangi kritik, memberikan umpan balik yang lebih lengkap, dan
memberikan lebih banyak evaluasi-evaluasi yang konseptual (Kauchak & Eggen,
1998).
Guru menghindari membandingkan siswa satu sama lain. Tanggapan yang
kritis dan konstruktif terhadap pekerjaan siswa sangat berharga untuk memberikan
strategi dalam mengatasi kesulitan belajar siswa- "prosedur seperti menampilkan
nilai siswa, menunjukkan tugas siswa, atau berbagi dengan cara lain tentang
prestasi siswa ternyata dapat menurunkan tingkat motivasi siswa yang memiliki
pencapaian rendah "(Crowl, et al., 1997, hal. 246, 248). Guru yang berhasil adalah
guru yang menyampaikan pesan bahwa "membuat kesalahan tidak apa-apa; pada
kenyataannya, itu adalah bagian penting dari pembelajaran" (hal. 273).
Dalam perencanaan pembelajaran, guru menetapkan tujuan instruksional
jangka pendek dan jangka panjang yang tepat karena harapan yang tidak realistis
dapat meningkatkan kecemasan. Siswa akan bertahan dalam mencapai tujuan
yang "menantang, spesifik, dan dapat dicapai dalam waktu dekat" melalui upaya
yang wajar dan ketekunan (Crowl, et al., 1997, hal. 241). Dalam hal ini,
pencapaian siswa dipantau menggunakan beberapa metode dan bukan hanya tes.
Setelah guru menetapkan kelas yang berpusat pada siswa dan menciptakan
kerangka kerja untuk menggabungkan kemampuan berpikir ke dalam
pembelajaran, kemudian dia dapat mempertimbangkan strategi dan metode yang
dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa.
1. Komunikasi-komunikasi instruksional
Untuk mengurangi risiko ambiguitas dan kebingungan dan untuk
meningkatkan sikap siswa tentang tugas berpikir, guru harus memberikan siswa
instruksi yang jelas pada tugas-tugas yang diberikan seperti yang disarankan
dalam penelitian oleh Hines, Cruickshank, dan Kennedy; dan Snyder, et al.
(dalam Kauchak & Eggen, 1998). Untuk alasan ini, merencanakan pembelajaran
dengan hati-hati adalah hal yang penting. Faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam perencanaan pembelajaran yaitu organisasi kegiatan,
kejelasan penjelasan, pemodelan keterampilan berpikir dalam tindakan, contoh
penerapan pemikiran, umpan balik pada proses berpikir siswa, keselarasan
instruksional antara tujuan dan kegiatan, dan adaptasi untuk memberagamkan
kebutuhan siswa.
Kauchak dan Eggen (1998) menemukan bahwa strategi berikut
berkontribusi pada jenis-jenis tertentu komunikasi instruksional yang diperlukan
untuk mengembangkan keterampilan berpikir yang lebih tinggi.
a. Sesuaikan tujuan belajar, sasaran, konten ide dan keterampilan, tugas belajar,
kegiatan penilaian, serta bahan-bahan dan alat bantu.
b. Adakan kegiatan yang terorganisir dan rutin.
1) Siapkan analisis tugas keterampilan berpikir yang harus akan dipelajari:
mengidentifikasi keterampilan berpikir tertentu yang harus dipelajari,
pengetahuan prasyarat dan keterampilan, urutan subskills terkait, dan
kesiapan siswa untuk belajar (diagnosis pengetahuan dan keterampilan
prasyarat).
2) Siapkan masalah sampel, contoh, dan penjelasan.
3) Siapkan pertanyaan sederhana yang dapat memancing informasi faktual
untuk memfokuskan siswa pada pemahaman tingkat lanjutan seperti
Bagaimana? Mengapa? dan Seberapa baik?
4) Rencanakan strategi untuk diagnosis, bimbingan, latihan, dan perbaikan.
5) Menjelaskan dan mengikuti rutinitas yang sudah ada, seperti mulai tepat
waktu dan mengikuti urutan kegiatan yang telah direncanakan.
6) Menyampaikan antusiasme, minat yang murni terhadap topik, kehangatan,
dan pendekatan bisnis dengan persiapan yang matang dan pengorganisasian,
waktu transisi minimal antar kegiatan, harapan yang jelas, dan suasana
nyaman yang tidak mengancam.
c. Jelaskan tugas dengan jelas.
1) Tetapkan tujuan di awal penugasan.
2) Memberikan contoh produk jadi.
3) Hindari ketidakjelasan, istilah ambigu seperti "mungkin," "sedikit lebih,"
"beberapa", "biasanya," dan "mungkin." Hal ini menunjukkan disorganisasi,
kurangnya persiapan, dan gugup.
4) Kenalkan tugas dengan kerangka pengorganisasian yang jelas dan sederhana
seperti diagram, grafik, pratinjau, atau suatu paragraf pendahuluan.
5) Kenalkan konsep-konsep kunci dan istilah sebelum penjelasan dan studi
lebih lanjut.
6) Gunakan pertanyaan yang memusatkan perhatian pada informasi penting.
7) Berikan penekanan dengan pernyataan verbal, perilaku nonverbal,
pengulangan, dan tanda tertulis.
8) Buat ide-ide yang jelas dengan gambar, diagram, contoh, demonstrasi,
model, dan perangkat lainnya.
d. Beri sinyal transisi untuk mengkomunikasikan bahwa satu ide berakhir dan ide
yang lain dimulai.
e. Memberikan umpan balik pada interval yang sering dengan umpan balik
korektif untuk mengklarifikasi tanggapan yang salah atau sebagian saja yang
salah.
2. Scaffolding
Scaffolding termasuk di dalamnya memberikan siswa dukungan pada awal
suatu pembelajaran dan kemudian secara bertahap mengalihkan tanggung jawab
kepada siswa untuk beroperasi sendiri (Slavin, 1995). Dukungan yang terbatas
dan sementara ini membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir tingkat
tinggi. Scaffolding harus terbatas pada "hanya dukungan cukup agar peserta didik
mampu membuat kemajuan mereka sendiri" (Kauchak & Eggen, 1998, hal. 313).
Terlalu banyak dukungan atau terlalu sedikit dapat mengganggu dalam
pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Misalnya, ketika guru
memberikan siswa bantuan meskipun siswa tidak meminta untuk itu, seperti yang
dilaporkan dalam sebuah studi oleh Graham (dikutip dalam Crowl et al., 1997),
siswa mendapatkan pesan bahwa mereka tidak dapat melakukan tugas mereka
sendiri.
Siswa memiliki cara yang berbeda dalam mengatur pengetahuan dan
peristiwa dalam memori mereka (juga dikenal sebagai "skema" atau "pengetahuan
script"). Perbedaan ini mempengaruhi bagaimana mereka memahami informasi
dan peristiwa saat ini dan "sebagian dijelaskan oleh latar belakang budaya"
(Crowl, et al., 1997, hal. 98), tetapi tidak tetap. Scaffolding dapat mengubah
skema dan skrip dimana siswa belajar informasi baru dan keterampilan (Crowl, et
al., 1997). Strategi berikut memberikan jenis dukungan struktural yang diperlukan
untuk mengembangkan kemampuan berpikir.
a. Gunakan scaffolding pada waktu berikut (Kauchak & Eggen, 1998):
1) Selama pembelajaran awal, menggunakan scaffolding bersama dengan
berbagai contoh untuk menggambarkan proses berpikir yang terlibat.
2) Gunakan scaffolding hanya bila diperlukan, dengan terlebih dahulu
memeriksa pemahaman dan, jika perlu, memberikan contoh-contoh
tambahan dan penjelasan.
3) Gunakan scaffolding untuk membangun kekuatan siswa dan
mengakomodasi kelemahan.
b. Menyediakan representasi terstruktur dan diskusi tugas berpikir.
1) Sajikan secara visual dan atur masalah dalam contoh konkrit seperti gambar,
grafik, tabel, hirarki, atau tabel (Clarke, 1990;. Crowl, et al, 1997; Kauchak
& Eggen, 1998).
2) Tunjukkan bagaimana untuk cara memecah masalah pemikiran ke dalam
langkah yang lebih mudah, menggunakan sejumlah contoh dan dorong
siswa untuk memberikan contoh tambahan (Glaser, 1941).
3) Diskusikan contoh masalah dan solusi, menjelaskan sifat masalah secara
rinci dan keterkaitan dalam pemecahan masalah. Praktek ini mengurangi
kebutuhan siswa akan bantuan tambahan dari guru (Kauchak & Eggen,
1998).
c. Memberikan kesempatan untuk berlatih dalam memecahkan masalah (Kauchak
& Eggen, 1998; Howe & Warren, 1989).
3. Strategi belajar mengajar
Strategi berikut telah dikenal untuk membantu mengembangkan
pembelajaran dan kemampuan berpikir individu.
a. Merancang pembelajaran atau program dengan tujuan pembelajaran yang
spesifik dan strategi berpikir (Darmer, 1995, abstrak; Kauchak & Eggen, 1998,
hal 310).
b. Ajarkan refleksi diri dan evaluasi diri tentang proses berpikir (Cotton, 1997,
hal 4;. Easterwood, 1996, abstrak). Berikut ini pendekatan yang efektif
dilaporkan dalam beberapa penelitian oleh Crowl, et al. (1997).:
1) Menantang ide-ide yang sudah ada sebelumnya (keyakinan, konsep, dan
kesalahpahaman) dengan menghadirkan situasi bahwa siswa mampu
menjelaskan-paradoks, dilema, dan kebingungan.
2) Membimbing siswa dalam melakukan penyelidikan sistematis yang
memungkinkan mereka untuk berpikir secara mandiri, tapi mencegah
mereka dari berpikir buntu dan memperoleh jawaban sederhana.
3) Mendorong siswa untuk merenungkan dan memahami informasi baru
dengan membuat penilaian secara tertulis atau diskusi tentang relevansinya,
mengatakan dalam kata-kata mereka sendiri bagaimana mengintegrasikan
temuan mereka dengan ide, pendapat, atau pendekatan yang sudah ada.
4) Mendorong dan membimbing siswa untuk merumuskan hipotesis,
berspekulasi tentang konsekuensi, menebak, brainstorming, dan membahas
bagaimana proses berpikir mereka telah bekerja untuk mengubah ide-ide
mereka.
5) Memantau dan memperbaiki strategi tidak efisien.
6) Mendorong refleksi terus menerus untuk memperoleh keyakinan tentang
pemikiran, proses berpikir, dan evaluasi efektivitas.
c. Ajarkan strategi awal dan latihan untuk tugas-tugas kompleks (Crowl et al.,
1997).
1) Mengajarkan bagaimana untuk melihat, bertanya, membaca, merenungkan,
membaca, dan review (PQ4R) ketika belajar dari materi tertulis (Crowl et
al., 1997).
2) Memberikan instruksi untuk "mengabstraksi, menganalisis, menguraikan,
meringkas, dan generalisasi"; ini meningkatkan "penalaran dan kemampuan
membaca" (Glaser, 1941, hal. 70).
d. Memperkuat pemahaman dan keterampilan dalam menerapkan konsep-konsep
yang terkait, aturan (prinsip dan prosedur), proses pengambilan keputusan, dan
strategi pemecahan masalah.
4. Instruksi langsung
Instruksi langsung, melibatkan presentasi atau pemberian informasi yang
berpusat pada guru, umumnya tidak bekerja dengan baik untuk mengembangkan
keterampilan berpikir tingkat tinggi (Crowl, et al., 1997).
5. Strategi-strategi bertanya
Untuk menghasilkan proses berpikir tingkat tinggi, pertanyaan harus
mendapatkan jawaban yang belum disajikan. Perencanaan pertanyaan sebelum
waktu belajar yang sebenarnya membantu meyakinkan pertanyaan melampaui
mengingat informasi sederhana. Mengingat langkah-langkah dalam prosedur
utama atau keterampilan mungkin berguna, tetapi menghafal langkah-langkah
tidak membantu siswa memahami mengapa atau bagaimana langkah-langkah
tersebut harus digunakan, juga tidak membantu siswa menerapkan langkah-
langkah dalam situasi masalah. Berikut strategi untuk mengajukan pertanyaan
yang telah terbukti untuk meningkatkan pengembangan kemampuan berpikir.
a. Ajukan pertanyaan ke semua siswa sama rata (Kauchak & Eggen, 1998).
b. Untuk merangsang rasa ingin tahu atau keinginan pemecahan masalah,
bertanyalah tentang paradoks, dilema, dan masalah serta pendekatan baru
(Crowl, et al, 1997;. Kauchak & Eggen, 1998).
c. Mintalah siswa menghasilkan pertanyaan-pertanyaan mereka sendiri tentang
topik yang dibicarakan (Crowl, et al., 1997).
d. Mulailah dengan pertanyaan yang tingkat rendah dan mengarah ke pertanyaan
tingkat tinggi (Kauchak & Eggen, 1998).
e. Memberikan waktu tunggu setelah pertanyaan diajukan karena siswa memiliki
tingkat berbeda dalam merespon (Crowl, et al, 1997;. Kauchak & Eggen,
1998).
6. Feedback (umpan balik)
Umpan balik menginformasikan peserta didik tentang kemajuan mereka.
Berikut strategi untuk memberikan umpan balik yang efektif.
a. Gunakan pemeriksaan informal seperti diacungi jempol atau diacungi jempol
ke bawah untuk menunjukkan siapa yang menyelesaikan masalah dengan tepat
(Rosensine & Stevens dikutip dalam Kauchak & Eggen, 1998).
b. Sediakan informasi langsung, spesifik, dan korektif, menggunakan nada
emosional yang positif (Brophy & Baik; Rosenshine & Stevens, semua dikutip
dalam Kauchak & Eggen, 1998).
c. Hindari umpan balik tidak tulus atau pujian yang berlebihan karena tidak akan
bekerja kecuali untuk anak-anak yang sangat muda (Kauchak & Eggen, 1998).
Pujian hanya efektif ketika siswa percaya bahwa mereka telah mendapatkan
itu. Gunakan pujian untuk membantu siswa "mengembangkan standar mereka
sendiri untuk sukses" (Crowl, et al., 1997).
7. Aktivitas-aktivitas kelompok
Ukuran kelompok harus dibatasi sampai enam orang atau lebih sedikit untuk
bekerja kelompok, hal ini agar kelompok tetap dapat dikelola dan terfokus.
Sebelum mereka dapat bekerja dengan baik dalam tim atau kelompok, siswa harus
belajar keterampilan-keterampilan seperti mendengarkan dengan hati-hati,
mempertahankan fokus, dan memberikan dukungan dan dorongan (Kauchak &
Eggen, 1998). Siswa juga harus menerima tantangan tugas, dorongan untuk tetap
pada tugas ketika bergulat dengan pertanyaan terbuka, dan umpan balik yang
sedang berlangsung tentang kemajuan mereka (Crowl, et al., 1997).
Tim atau kelompok kerja memfasilitasi proses konstruksi pengetahuan
melalui interaksi sosial. Bentuk-bentuk kerja kelompok efektif untuk
pengembangan keterampilan berpikir mencakup diskusi siswa, tutor sebaya, dan
pembelajaran kooperatif. Dalam setiap situasi ini, gunakan kegiatan pengantar
untuk mengembangkan hubungan atau "pemanasan" untuk tim atau kelompok
dapat memfasilitasi interaksi kelompok (Kauchak & Eggen, 1998).
8. Computer mediation
Komunikasi dengan media komputer memberikan kesempatan untuk akses
ke sumber data asing, kolaborasi pada proyek kelompok dengan siswa di lokasi
lain, dan berbagi pekerjaan untuk evaluasi atau respon terhadap siswa lain
(Kauchak & Eggen, 1998). Computer Assisted Instruction (CAI) dan Computer
Based Instruction (CBI), bila dikombinasikan dengan instruksi biasa dapat
meningkatkan sikap, motivasi, dan prestasi akademik siswa (Crowl, et al., 1997,
hal. 35).
D. Assesment HOTS
Pengukuran kemampuan berpikir tingkat tinggi membutuhkan soal yang
tidak biasa atau soal-soal non rutin. Selain itu, siswa harus memiliki kemampuan
awal yang memadai sehingga mereka dapat menggunakannya untuk
menyelesaikan masalah. Untuk memenuhi persyaratan ini bukanlah hal yang
mudah.
Budiman dan Jaelani (2014) menjelaskan bahwa soal-soal yang memuat
tuntutan berpikir tingkat tinggi berkaitan dengan ranah kognitif, penalaran yang
antara lain mencakup kemampuan menemukan konjektur, analisis, generalisasi,
koneksi, sintesis, pemecahan masalah tidak rutin, dan jastifikasi atau pembuktian.
Karakteristik HOTS yang diungkapkan Resnick (1987, hal. 3) diantaranya adalah
non algoritmik, bersifat kompleks, multiple solutions (banyak solusi), melibatkan
variasi pengambilan keputusan dan interpretasi, penerapan multiple criteria
(banyak kriteria), dan bersifat effortfull (membutuhkan banyak usaha). Conklin
(2012, p.14) menyatakan karakteristik HOTS sebagaiberikut: “characteristics of
higher-order thinking skills: higher-order thinking skills encompass both critical
thinking and creative thinking” artinya, karakteristik keterampilan berpikir tingkat
tinggi mencakup berpikir kritis dan berpikir kreatif. Berpikir kritis dan kreatif
merupakan dua kemampuan manusia yang sangat mendasar karena keduanya
dapat mendorong seseorang untuk senantiasa memandang setiap permasalahan
yang dihadapi secara kritis serta mencoba mencari jawabannya secara kreatif
sehingga diperoleh suatu hal baru yang lebih baik dan bermanfaat bagi
kehidupannya. Pendekatan yang disarankan untuk mengukur berpikir tingkat
tinggi yaitu dengan menggunakan context dependent item sets atau seperangkat
butir soal yang terdiri dari pengantar dan diikuti oleh pilihan jawaban dan
Context-dependent item sets atau latihan menafsirkan. Materi pengantar untuk
membuat butir soal tes HOTS diantaranya menggunakan gambar, grafik, tabel dan
sebagainya yang menuntut peserta didik pada tingkat penerapan taksonomi tujuan
pendidikan dan melibatkan proses kognitif tingkat yang lebih tinggi.
Metode penilaian untuk mengukur berpikir tingkat tinggi termasuk item
pilihan ganda, item pilihan ganda dengan penilaian tertulis, item jawaban
dibangun, tes kinerja, dan portofolio. Metode ini dapat digunakan di kelas dan
penilaian seluruhnya, tetapi untuk kenyamanan, mempertimbangkan dua jenis
penilaian secara terpisah.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat diukur dengan berbagai item dan
tes formatif. Sugrue (1994, 1995) untuk mengukur kemampuan HOTS dapat
memadukan 3 format jawaban, yaitu: (1) seleksi (pilihan ganda, pencocokan), (2)
generasi (jawaban singkat, esai, kinerja), dan (3) penjelasan (memberikan alasan
untuk pemilihan atau generasi respon).
1. Pilihan ganda
Peneliti terkemuka berpikir kritis telah mendukung penggunaan format
pilihan ganda dalam mengukur setidaknya beberapa keterampilan yang lebih
tinggi. Paulus dan Nosich (1992) merekomendasikan penggunaan pilihan ganda,
multiple-rating, dan item pendek esai dalam membangun instrumen untuk
penilaian nasional berpikir tingkat tinggi. Item pilihan ganda dapat digunakan
untuk menilai "kemampuan berpikir kritis mikro-dimensi, seperti mengidentifikasi
asumsi yang paling masuk akal, mengakui tujuan penulis, memilih kesimpulan
paling dipertahankan, dan seperti seperti" (hlm. 7).
Killoran (1992) digambarkan berbagai cara yang pilihan ganda dapat
digunakan untuk menilai baik rendah dan tinggi tingkat kemampuan berpikir
dalam studi sosial. Standard item pilihan ganda dapat dikembangkan untuk
mengukur (1) pengakuan syarat dan orang-orang penting, (2) perbandingan dan
kontras, (3) sebab dan akibat, (4) generalisasi, (5) kronologi, dan (6) item khusus
jenis, seperti fakta dan opini dan penggunaan sumber. Berbasis Data pertanyaan,
termasuk peta, tabel, menguraikan, kartun, dll, dapat mengukur (1) pemahaman,
(2) penjelasan, (3) kesimpulan atau generalisasi, dan (4) prediksi (pp. 106-107).
Facione (1989), Norris (1989), dan Ennis (1993) semua mengakui bahwa
mata pelajaran dapat memilih tanggapan berkunci untuk item pilihan ganda untuk
alasan yang salah dan jebakan dapat dipilih untuk alasan yang sah. Facione (1989)
dan Norris (1989) merekomendasikan bahwa berpikir-keras prosedur digunakan
untuk menyelidiki validitas konstruk item pilihan ganda selama konstruksi tes.
Subyek diminta untuk memberitahu apa yang mereka pikirkan ketika mereka
memilih jawaban mereka. Ketika respon yang benar dipilih melalui pemikiran
yang rusak atau tanggapan yang salah melalui pemikiran yang valid, item bisa
dimodifikasi atau dibuang. Norris dan Raja (1984) menggunakan metodologi ini
dalam membangun Uji pada Menilai Pengamatan.
Simpson dan Cohen (1985) menggunakan prosedur berpikir-keras
sehubungan dengan data item yang analitik untuk menunjukkan validitas item
pilihan ganda dikategorikan sebagai pengetahuan atau berpikir item berdasarkan
taksonomi Bloom.
Ennis (1993) menyarankan bahwa jawaban penilaian dimasukkan ke dalam
tes yang sebenarnya. Subyek akan diminta untuk memilih jawaban yang benar dan
kemudian untuk memberikan pembenaran tertulis untuk pilihan mereka.
Keuntungan dari prosedur ini adalah bahwa tanggapan subjek dapat dipecaya jika
mereka disediakan penilaian yang memadai. Penilaian jawaban untuk item HOTS
pertama kali direkomendasikan oleh Bloom (1956), bahwa baik penilaian per Item
dan penilaian dalam format pilihan ganda berperan dalam penilaian HOTS.
Hancock (1994) mengutip sejumlah studi empiris di mana pilihan ganda dan
membuat respon jawaban pada tes sama-sama dapat mengukur kemampuan yang
lebih tinggi. Pilihan ganda dan jawaban tes mengukur pengetahuan, pemahaman,
aplikasi, dan kemampuan analisis mahasiswa sarjana dan pascasarjana di
pengantar pengukuran dan statistik penelitian pendidikan kursus. Temuannya
menunjukkan bahwa format dua-item umumnya sebanding untuk semua empat
tingkat keahlian.
Writing test items to evaluate higher order thinking skills (Haladyna, 1997)
merupakan sumber penting bagi guru yang ingin membuat item untuk mengukur
keterampilan yang lebih tinggi. Buku ini memberikan petunjuk tentang cara untuk
menulis dan mencetak pilihan ganda dan membuat jawaban item, tugas kinerja,
dan portofolio dalam tiga domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Prosedur
untuk meninjau Item dan analisis statistik dari respon item disajikan.
2. Tes kinerja
Tes kinerja, termasuk esai, jawab singkat, dan portofolio, telah banyak
direkomendasikan untuk mengukur keterampilan berpikir yang lebih tinggi.
Mereka telah diusulkan sebagai pengganti tes pilihan ganda (Shepard, 1989;
Wiggins, 1989, 1993), yang telah dikritik sebagai menempatkan "terlalu banyak
penekanan pada pengetahuan faktual dan pada penerapan prosedur untuk
memecahkan terstruktur dengan baik, masalah decontextualized "(Linn, Baker, &
Dunbar, 1991, hal. 19). Dengan beberapa pengecualian (misalnya, Ennis-Weir
Berpikir Kritis Essay Test), tes kinerja adalah penilaian domain tertentu. Tes
kinerja bisa menjadi "asli" bahwa mereka dapat sangat terkait dengan instruksi
sebagai contoh yang baik dari prosedur mengajar. Mereka dapat menangani
masalah kehidupan nyata yang kompleks sehingga mengharuskan mahasiswa
untuk mengaplikasikan kemampuan berpikir tingkat tinggi untuk mendapatkan
solusi dari permasalahan.
Tes kinerja juga memiliki keterbatasan. Tes kinerja membutuhkan biaya dan
memakan waktu serta kurang dapat digeneralisasi. (Linn, Baker, & Dunbar,
1991; Shavelson, Baxter, & Gao, 1993; Shavelson, Baxter, & Pine, 1992). Selain
itu, Facione (1990) mencatat bahwa penerapan banyak pemikiran dari sub
keterampilan yang penting, terutama inferensi dan evaluasi, mungkin tidak terlihat
dalam versi final dari sebuah esai ini.
Newmann (1990) telah yang diperlukan siswa mengatakan bahwa tes esai
keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam studi sosial untuk menulis persuasif
tentang isu-isu konstitusional. Tujuannya adalah untuk menilai interpretasi siswa,
analisis, dan penggunaan pengetahuan dalam ilmu sosial daripada untuk
mengukur "kemampuan berpikir diskrit seperti pengujian hipotesis atau
mengevaluasi keandalan sumber" (hal. 369). Ini dirancang untuk mengizinkan
"perbandingan siswa dari waktu ke waktu, dan antara guru, sekolah, kabupaten,
dan negara-negara" (hlm. 369). Tugas terdiri dari (1) narasi dua halaman, yang
menggambarkan sebuah kasus pengadilan yang melibatkan pencarian dari dompet
siswa dan ganti oleh kepala sekolah tinggi yang diduga dia merokok dan menjual
ganja, (2) latar belakang informasi tentang hak-hak konstitusional, dan (3)
instruksi untuk merespon. Setiap esai ditugaskan salah satu dari lima nilai: (1)
tidak memuaskan, (2) minimal, (3) yang memadai, (4) diuraikan, atau (5) teladan.
Enright dan Beattie (1992) mengembangkan model lima langkah yang
disebut SOLVE untuk menilai keterampilan berpikir kritis dalam matematika.
Lima langkah yang studi masalah (S), organizing data (O), line up plan (L),
verifikasi rencana (V), dan evaluasi pertandingan (E).
3. Portofolio
Portofolio adalah koleksi tugas siswa dan proyek (esai, tugas kinerja, dll),
yang dikumpulkan selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun akademik.
Tergantung pada tujuannya, portofolio juga mungkin berisi evaluasi guru, nilai tes
standar, dan refleksi siswa pada prestasi mereka. Portofolio yang dimaksudkan
untuk menunjukkan pertumbuhan dan kemahiran sering terbatas pada daerah
subyek tunggal. Lankes (1995) mengutip contoh dari salah satu sekolah di mana
siswa diminta untuk melengkapi 14 portofolio di berbagai daerah konten. Namun,
portofolio juga berisi tugas dunia nyata yang melintasi banyak bidang studi dan
memungkinkan siswa berkesempatan untuk menerapkan keterampilan yang lebih
tinggi dalam menyelesaikan mereka. Pertunjukan portofolio yang berbeda dari
tugas-tugas kinerja yang dikutip di atas dalam bahwa mereka dapat terjadi selama
jangka waktu yang lama dan dapat direvisi oleh siswa sebagai hasil dari masukan
guru atau refleksi diri. Kekurangan portofolio untuk penilaian formal termasuk
biaya tinggi skor (McRobbie, 1992) dan pertanyaan tentang kepenulisan entri
portofolio (Gearhart, Herman, Baker, & Whittaker, 1993).
Haladyna (1997) menyediakan template untuk membantu guru dalam
merancang portofolio evaluasi. Ini harus berisi (1) daftar isi; (2) ketentuan untuk
surat reflektif yang memungkinkan siswa untuk merangkum nya keberhasilan,
frustrasi, wawasan, perasaan, dll .; (3) tugas-tugas khusus yang akan dicapai dan
dievaluasi; (4) batas halaman; (5) tingkat kolaborasi diperbolehkan dengan siswa
lain; (6) pernyataan kebolehan bantuan editorial; (7) indikasi apakah atau tidak
lampiran yang berisi draft awal, dll, diperlukan; dan (8) kriteria penilaian (scoring
rubrik) yang membuat siswa menyadari bagaimana poin akan ditugaskan ke
berbagai bagian dari portofolio.
DAFTAR PUSTAKA

King, FJ., Goodson, L., dan Rohani,F., (2015), Higher order thinking skills,
diakses tanggal 25 Oktober 2015 di www.cala.fsu.edu.

Utari Sumarmo. (2010). Berfikir Dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, Dan
Bagaimana Dikembangkan Pada Peserta Didik. Bandung: FPMIPA UPI.

Agus Budiman & Jaelani. (2014). Pengembangan instrumen asesmen higher order
thinking skill (HOTS) pada pelajaran matematika SMP kelas VIII semester
1 [Versi elektronik]. Jurnal Riset Pendidikan Matematika, 1, 141-142.
LAPORAN HASIL DISKUSI HOTS

1. Penanya: Karina Nurwijayanti


Pertanyaan:
Apa perbedaan berpikir kritis dan berpikir kreatif?
Jawab:
Perbedaan berpikir kritis dan berpikir kreatif:
Berpikir kreatif lebih sulit untuk diukur daripada berpikir kritis. Karena
kretifivitas orang sulit untuk diukur. Misal seniman pertama dan kedua sama-
sama kreatif, akan tetapi tidak dapat ditentukan mana yang lebih kreatif.
Berpikir kritis, dua orang diberi masalah, cara memecahkannya berbeda. Maka
dapat dilihat mana yang lebih kritis dari dari dua orang tersebut.
Tambahan dari Rusi Ulfa Hasanah:
Berpikir kritis lebih ketika seseorang mampu menyampaikan alasan-alasan
atas pemecahan masalah yang diambilnya. Sedangkan berpikir kreatif lebih
ketika seseorang mencari jalan yang berbeda dalam menyelesaikan masalah.
Pedoman penilaian berpikir kreatif diantaranya kelancaran, keluesan,
fleksibility, dan lain sebagainya. Namun kreativitas seseorang tidak dapat
dinilai secara mutlak karena hal tersebut bersifat relatif.
Jawaban lain:
Berpikir kritis merupakan salah satu jenis berpikir yang konvergen, yaitu
menuju ke satu titik. Lawan dari berpikir kritis adalah berpikir kreatif, yaitu
jenis berpikir divergen, yang bersifat menyebar dari suatu titik
Menurut Ennis (1962), berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan
dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang
harus dipercayai atau dilakukan. Sedangkan Beyer (1985) berpendapat bahwa
berpikir kritis adalah kemampuan (1) menentukan kredibilitas suatu sumber,
(2) membedakan antara yang relevan dari yang tidak relevan, (3) membedakan
fakta dari penilaian, (4) mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak
terucapkan, (5) mengidentifikasi bias yang ada, (6) mengidentifikasi sudut
pandang, dan (7) mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung
pengakuan.
Menurut Harriman, berpikir kreatif adalah suatu pemikiran yang
berusaha menciptakan gagasan yang baru. Berpikir kreatif dapat juga diartikan
sebagai suatu kegiatan mental yang digunakan seorang untuk membangun ide
atau gagasan yang baru. Halpern menjelaskan bahwa berpikir kreatif sering
pula disebut berpikir divergen, artinya adalah memberikan bermacam-macam
kemungkinan jawaban dari pertanyaan yang sama.

2. Penanya: Titin Rusmawati


Pertanyaan:
Apa yang dimaksud dengan konjektur?
Jawab:
Konjektur berarti rumus dugaan. Atau dapat dikatakan sebagai cara mencari
generalisasi suatu rumus dengan cara coba-coba.
Contoh: akan membuktikan bahwa f(n) = n + n2 + 41 adalah rumus untuk
bilangan prima.
Dengan cara mencoba memasukkan nilai n maka diperoleh:
untuk n = 1 maka nilai f(n) = 43 (bilangan prima);
untuk n = 2 maka nilai f(n) = 47 (bilangan prima);
untuk n = 3 maka nilai f(n) = 53 (bilangan prima)
maka dapat diduga bahwa f(n) = n + n 2 + 41 adalah rumus untuk bilangan
prima. Padahal hal tersebut tidak benar. Karena untuk n = 41 maka akan
didapat f(n) = 41 + 412 + 41 = 41 x 43 (bukan bilangan prima).

3. Penanya: Dyah Purboningsih


Pertanyaan: Apakah ada pengaruhnya jika soal HOTS diterapkan dalam
pembelajaran pada sekolah biasa (bukan sekolah unggulan)?
Jawab:
Seperti yang telah dijelaskan bahwa cakupan HOTS adalah ranah berpikir
tingkat tinggi. Untuk mendapatkan kemampuan tersebut tentunya dibutuhkan
stimulus-stimulus yang tepat. Dengan inovasi-inovasi yang saat ini sedang
banyak dikembangkan dalam pembelajaran khususnya pembelajaran
matematika, baik dalam bentuk penelitan maupun sebagai bentuk usaha guru
meningkatkan kemampuan berpikir siswanya maka HOTS dapat
dikembangkan. Meskipun sekolah yang diterapkan inovasi pembelajaran
termasuk sekolah biasa dengan kemampuan siswa biasa saja namun jika
diterapkan metode pembelajaran yang tepat akan mampu meningkatkan
kemampuan berpikir tingkat tingginya. Sebagaimana pengalaman salah satu
penelitian yang meneliti tingkat kemampuan berpikir kreatif siswa kelas VII
di suatu SMP yang termasuk dalam kategori sekolah biasa dengan
menerapkan metode pembelajaran penemuan terbimbing diperoleh hasil
bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa cenderung lebih tinggi dari
sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa HOTS dapat ditingkatkan dengan
pemberian stimulus yang baik dalam hal ini metode pembelajarannya mesi
diterapkan disekolah yang biasa.

4. Penanya: Diena Frentika


Pertanyaan:
a. Seperti apakah pembelajaran dengan pendekatan HOTS itu?
b. Bagaimana cara guru menangani keberagaman karakteristik siswa?
c. Apa perbedaaan scaffolding dan ZPD?
Jawab:
a. Pendekatan pembelajaran dengan pendekatan HOTS memiliki fokus pada
student center dan bersifat konstruktivis.
b. Salah satu cara guru untuk menangani keberagaman karakteristik siswa
adalah dengan pembelajaran kooperatif sehingga semua siswa dapat
berperan aktif di dalam kegiatan pembelajaran, dimana siswa yang pintar
akan dapat membantu siswa yang kurang pintar dan siswa yang kurang
pintar pun akan termotivasi untuk memahami pelajaran. Selain itu, dapat
pula digunakan berbagai macam LKS yang berbeda dan diberikan sesuai
dengan kemampuan siswa, sehingga siswa yang pintar tidak akan merasa
jenuh karena menunggu siswa yang kurang pintar.
c. Scaffolding yaitu suatu teknik pemberian dukungan belajar secara
terstruktur, yang dilakukan pada tahap awal untuk mendorong siswa agar
dapat belajar secara mandiri. Pemberian dukungan belajar ini tidak
dilakukan secara terus menerus,  tetapi seiring dengan terjadinya
peningkatan kemampuan siswa, secara berangsur-angsur guru harus
mengurangi dan melepaskan siswa untuk belajar secara mandiri.
ZPD yaitu serangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak secara
sendirian tetapi dapat dipelajari dengan bantuan dari orang dewasa atau
anak yang lebih mampu. Jadi, batas bawah dari ZPD adalah tingkat
problem yang dapat dipecahkan oleh anak seorang diri sedangkan batas
atasnya adalah tingkat tanggung jawab atau tugas tambahan yang dapat
diterima anak dengan bantuan dari instruktur yang mampu. Penekanan
Vygotsky pada ZPD menegaskan keyakinannya akan arti penting
pengaruh sosial, terutama pengaruh instruksi atau pengajaran, terhadap
perkembangan kognitif anak.

Anda mungkin juga menyukai