Oleh
Agus Abadi
Divisi Kedokteran Fetomaternal
Lab./SMF. Obstetri dan Ginekologi
FK. Unair / RSUD. Dr. Soetomo
Surabaya
ABSTRAK
Penggunaan antibiotika pada kehamilan bisa dengan tujuan terapi
ataupun profilaksis. Pemilihan jenis antibiotika yang akan diberikan
pada ibu hamil seharusnya didasarkan atas uji kepekaan di
laboratorium untuk menentukan secara tepat jenis antibotika yang
diperlukan dengan mempertimbangkan pula efek toksik terhadap ibu
maupun efek teratogenik terhadap janin dalam rahim. Selain itu
penentuan dosis antibiotika juga harus mempertimbangkan
perubahan farmakokinetik yang sesuai dengan perubahan fisiologik
pada ibu hamil. Kondisi fisiologik ibu hamil akan sangat menentukan
apakah sebaiknya obat yang diberikan peroral atau parenteral dan
dosis yang diberikan lebih tinggi atau sama dengan ibu yang tidak
hamil. Barier plasenta merupakan salah satu perlindungan agar janin
seminimal mungkin mendapatkan efek samping obat. Dalam hal ini
harus dipertimbangkan usia hamil saat mendapatkan antibiotika, oleh
karena pada fase embrio (2-8 minggu) barier plasenta ini sangat
lemah (masa kritis) dan meningkat sampai pada puncaknya pada
waktu janin usia 21-28 minggu, setelah itu akan menurun lagi sampai
aterm. Oleh karena keterbatasan waktu dan harus segera
memberikan pengobatan antibiotika seorang dokter di suatu rumah
sakit harus memahami peta mikroorganisme setempat untuk
menentukan pilihan antibiotika pada ibu hamil maupun bersalin.
Pada akhirnya klasifikasi antibiotika berdasarkan efek terhadap janin
yang direkomendasikan oleh FDA pada tahun 1979 tetap merupakan
acuan yang dapat dipakai untuk menentukan pemilihan jenis
antibiotika yang relatif aman untuk diberikan pada ibu hamil
Pendahuluan
Sering ditemui selama kehamilan seorang wanita terpaksa harus
mengkonsumsi obat-obat antibiotika oleh karena infeksi yang diderita.
Tahun 1987, CDC meneliti kasus-kasus ibu hamil di NewYork State,
ternyata sebagian besar mendapatkan rata-rata 3,8 resep obat yang
bukan vitamin. Ditenukan juga bahwa sebagian lagi obat-obat
tersebut dikonsumsi oleh ibu hamil tanpa resep dokter.
Pertanyaan yang selalu timbul pada peristiwa tersebut adalah apakah
obat-obat tersebut menyebabkan kecacatan atau tidak terhadap janin
janin dalam rahim.
Setiap obat yang punya efek sistemik hampir selalu bisa menembus
barier plasenta dalam jumlah yang sangat bervariasi. Sebagian besar
obat tersebut memang belum semuanya terbukti mempunyai
pengaruh jelek terhadap janin.
Semua jenis obat antibiotika yang diberikan pada ibu hamil baik
untuk tujuan pengobatan pada ibu maupun janin tak terkecuali akan
dapat memasuki unit janin. Pada umumnya obat-obat antibiotika ini
merupakan benda asing (Xenobiotic) terhadap sel yang hidup. Obat-
obat antibiotika yang mekanisme kerjanya menghambat atau
membunuh mikroorganisme, tidak sedikit yang menimbulkan efek
toksik atau teratogenik terhadap ibu atau janin didalam rahim. Oleh
karena itu setiap pemberian obat-obat antibiotika ini perlu
dipertimbangkan risikonya terhadap kesehatan ibu maupun hasil
konsepsi didalam rahim.
Tabel 4. Efek toksik antibiotika terhadap ibu dan janin dalam rahim.
Kontraindikasi
Kloramfenicol Depresi Bone Marrow
Sindroma Grey
Tetrasiklin (Tr. I) Hepatotoksik
Pewarnaan abnormal
Pankreatitis Haemorhg. dan
dysplasia gigi
Gagal ginjal
Erithro. Estolate Hepatotoksik
-
Quinolone -
Artropati janin hewan
Pertimbangkan
Aminoglukosida Ototoksik, Nefrotoksik
Toksik N. VII
Clindamisin Alergi
-
Colitis pseudomembrn.
Nitrofurantoin Neuropatia
Hemolitik
Metronidazole Blood dyscrasia
-
Trimethoprim- Vaskulitis
Antagonis as. folat
Sulfamethox.
Sulfonamide Alergi
Kern ikterus
Isoniazid Hepatotoksik
-
Aztrenon Alergi
-
Aman
Penisilin Alergi
-
Sefalosporin Alergi
-
Erythromycin base Alergi
-
Erythr. Ethinylsuccinate Alergi
-
Spectinomisin Alergi
-
Kepustakaan
ooo0AA0ooo
Dibacakan pada :
Simposium Era Baru
Penggunaan
Antibiotika di Hotel
Sheraton Surabaya
Tanggal 1-2
September 2001.