Anda di halaman 1dari 13

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA KEHAMILAN

Oleh
Agus Abadi
Divisi Kedokteran Fetomaternal
Lab./SMF. Obstetri dan Ginekologi
FK. Unair / RSUD. Dr. Soetomo
Surabaya

ABSTRAK
Penggunaan antibiotika pada kehamilan bisa dengan tujuan terapi
ataupun profilaksis. Pemilihan jenis antibiotika yang akan diberikan
pada ibu hamil seharusnya didasarkan atas uji kepekaan di
laboratorium untuk menentukan secara tepat jenis antibotika yang
diperlukan dengan mempertimbangkan pula efek toksik terhadap ibu
maupun efek teratogenik terhadap janin dalam rahim. Selain itu
penentuan dosis antibiotika juga harus mempertimbangkan
perubahan farmakokinetik yang sesuai dengan perubahan fisiologik
pada ibu hamil. Kondisi fisiologik ibu hamil akan sangat menentukan
apakah sebaiknya obat yang diberikan peroral atau parenteral dan
dosis yang diberikan lebih tinggi atau sama dengan ibu yang tidak
hamil. Barier plasenta merupakan salah satu perlindungan agar janin
seminimal mungkin mendapatkan efek samping obat. Dalam hal ini
harus dipertimbangkan usia hamil saat mendapatkan antibiotika, oleh
karena pada fase embrio (2-8 minggu) barier plasenta ini sangat
lemah (masa kritis) dan meningkat sampai pada puncaknya pada
waktu janin usia 21-28 minggu, setelah itu akan menurun lagi sampai
aterm. Oleh karena keterbatasan waktu dan harus segera
memberikan pengobatan antibiotika seorang dokter di suatu rumah
sakit harus memahami peta mikroorganisme setempat untuk
menentukan pilihan antibiotika pada ibu hamil maupun bersalin.
Pada akhirnya klasifikasi antibiotika berdasarkan efek terhadap janin
yang direkomendasikan oleh FDA pada tahun 1979 tetap merupakan
acuan yang dapat dipakai untuk menentukan pemilihan jenis
antibiotika yang relatif aman untuk diberikan pada ibu hamil

Pendahuluan
Sering ditemui selama kehamilan seorang wanita terpaksa harus
mengkonsumsi obat-obat antibiotika oleh karena infeksi yang diderita.
Tahun 1987, CDC meneliti kasus-kasus ibu hamil di NewYork State,
ternyata sebagian besar mendapatkan rata-rata 3,8 resep obat yang
bukan vitamin. Ditenukan juga bahwa sebagian lagi obat-obat
tersebut dikonsumsi oleh ibu hamil tanpa resep dokter.
Pertanyaan yang selalu timbul pada peristiwa tersebut adalah apakah
obat-obat tersebut menyebabkan kecacatan atau tidak terhadap janin
janin dalam rahim.
Setiap obat yang punya efek sistemik hampir selalu bisa menembus
barier plasenta dalam jumlah yang sangat bervariasi. Sebagian besar
obat tersebut memang belum semuanya terbukti mempunyai
pengaruh jelek terhadap janin.
Semua jenis obat antibiotika yang diberikan pada ibu hamil baik
untuk tujuan pengobatan pada ibu maupun janin tak terkecuali akan
dapat memasuki unit janin. Pada umumnya obat-obat antibiotika ini
merupakan benda asing (Xenobiotic) terhadap sel yang hidup. Obat-
obat antibiotika yang mekanisme kerjanya menghambat atau
membunuh mikroorganisme, tidak sedikit yang menimbulkan efek
toksik atau teratogenik terhadap ibu atau janin didalam rahim. Oleh
karena itu setiap pemberian obat-obat antibiotika ini perlu
dipertimbangkan risikonya terhadap kesehatan ibu maupun hasil
konsepsi didalam rahim.

Teratologi pada manusia.


Aspek yang paling penting dalam masalah ini adalah pengaruh obat-
obat pada saat tertentu selama pembuahan sampai dengan kehamilan.
Periode pertumbuhan hasil konsepsi dibagi menjadi :
1. Periode ovum, yakni sejak saat fertilisasi sampai dengan
implantasi.
2. Periode embrionik, yakni sejak minggu kedua sampai dengan
minggu kedelapan setelah fertilisasi.
3. Periode fetal (janin), yakni setelah 8 minggu sampai dengan aterm.
Periode embrionik adalah periode yang paling kritis oleh karena saat
ini sedang dalam fase pembentukan organ-organ (organogenesis).
Pada periode fetal/janin, terutama trimester III, pengaruh antibiotika
yang diberikan pada ibu hamil tidak akan mempengaruhi
pembentukan organ (malformasi/dismorfogenik). Pengaruh obat-
obatan terhadap janin berkaitan dengan jumlah bahan didalam
peredaran darah (serum), absorbsi dalam usus, metabolisme, ikatan
dengan protein (protein binding), penyimpanan dalam sel, uuran
molekul dan kelarutan bahan tersebut dalam lemak yang merupakan
faktor yang menentukan kemampuan obat untuk menembus barier
plasenta. Beberapa jenis obat memang telah diketahui memberikan
efek teratogenik pada dosis yang relatif rendah pada saat yang tepat
misalnya alkohol, thalidomide, antagonis asam folat dan lain-lainnya,
akan tetapi yang penting diketahui adalah bahwa pemakaian obat-
obat tersebut meskipun mempunyai efek teratogenik bila diberikan
setelah periode yang kritis tersebut tidak lagi memberikan kelainan-
kelainanyang bersifat struktural.
Beberapa kriteria yang harus dipenuhi sebagai bahan teratogenik
antara lain :
1. Telah terbukti bahwa kelainan yang terjadi pada janin
berhubungan dengan pemberian obat tertentu selama masa
perkembangan perinatal.
2. Temuan-temuan yang konsisten oleh dua atau lebih penelitian
epidemiologik yang berbobot, kuat uji dan risiko relatif yang
memadai (RR. 6 atau lebih ).
3. Batasan klinis untuk menentukan kelainan bawaan atau gejala-
gejala yang spesifik.
4. Paparan yang jarang berhubungan dengan kejadian kecacatan
yang jarang pula.
5. Hubungan tersebut harus dapat dijelaskan melalui patofisiologi
yang benar.
Klasifkasi FDA tentang obat yang mempunyai efek terhadap
janin.
Pada tahun 1979, FDA merekomendasikan 5 kategori obat yang
memerlukan perhatian khusus terhadap kemungkinan efek terhadap
janin.
A. Obat yang sudah pernah diujikan pada manusia hamil dan terbukti
tidak ada risiko
terhadap janin dalam rahim. Obat-obat golongan ini aman untuk
dikonsumsi oleh ibu
hamil (vitamin)
B. Obat yang sudah diujikan pada binatang dan terbukti ada atau
tidak ada efek terhadap
janin dalam rahim akan tetapi belum pernah terbukti pada
manusia. Obat-obat
golongan ini bila diperlukan dapat diberikan pada ibu hamil
(Penicillin).
C. Obat yang pernah diujikan pada binatang / manusia akan tetapi
dengan hasil yang
kurang memadai. Meskipun sudah dujikan pada binatang terbukti
ada efek terhadap
janin akan tetapi pada manusia belum ada bukti yang kuat. Obat-
obat golongan ini
boleh diberikan pada ibu hamil apabila keuntungannya lebih besar
dibanding efeknya
terhadap janin (Kloramfenicol, Rifampisin, PAS, INH).
D. Obat yang sudah dibuktikan mempunyai risiko terhadap janin
manusia. Obat-obat
golongan ini tidak dianjurkan untuk dikonsumsi ibu hamil.
Terpaksa diberikan apabila
dipertimbangkan untuk menyelamatkan jiwa ibu (Streptomisin,
Tetrasiklin,
Kanamisin).
X. Obat yang sudah jelas terbukti ada risko pada janin manusia dan
kerugian dari obat ini
jauh lebih besar daripada manfaatnya bila diberikan pada ibu
hamil, sehingga tidak
dibenarkan untuk diberikan pada ibu hamil atau yang tersangka
hamil.

Tabel 1. Klasifikasi (FDA) untuk antibiotika dan risikonya terhadap


janin.

Golongan/nama generik Klasifikasi Golongan/nama


generik Klasifikasi

Gol. Penisilin B Gol. Anti Virus


C

Gol. Sefalosporin B Gol. Anti TBC


Moxalactam C Ethambutol
B
PAS
C
Gol. Aminoglikosida INH
C
Amikasin C Rifampisin
C
Gentamisin C
Neomisin C Gol. Anti malaria
Kanamisin D Chloroquine
C
Streptomisin D Primaquine
C
Tobramisin D Pyrimethamin
C
Quinine
D/X
Gol. Tetrasiklin D
Gol. Sulfa
Lain-lain Sulfasalazine
B/D
Basitrasin C Sulfonamida
B/D
Kloramfenikol C
Clindamisin B Gol. Urinary
Germicide
Colistimethate B Cinoxasin
B
Eritromisin B Mandelic Acid
C
Furazolidone C Methenamine
C
Lincomisin B Nalidixic Acid
B
Novobiosin C Nitrofurantoin
B
Oleondomisin C
Polymyxin B B Gol. Anti Scabies
Spectinomisin B Lindane
C
Trimetoprim C Pyrethrins
C
Troleandomisin C
Vancomisin C Gol. Antiseptic Kulit
Iodine
C
Gol. Anti amuba
Carbarzone D Gol. Anti Jamur
Iodoquinol C Amfoterasin B
B
Metronidazol B Clotrimazole
B
Griseofulvin
C
Miconazole
B
Nystatin
B

Mekanisme kerja obat anti infeksi


Mekanisme kerja obat anti infeksi terhadap mikroorganisme dapat
berupa :
1. Menghambat sintesa metabolit-metabolit yang esensial, protein
dan asam nukleat.
2. Menghambat sintesa dinding sel atau membran plasma.
3. Merusak dinding sel atau membran plasma.
Dilihat dari mekanisme kerjanya maka antibiotika ini dapat
mempunyai efek :
a. Bactericidal, bila menyebabkan sel mikroorganisme tersebut mati
oleh karena efek obat yang merubah, menghambat atau merusak
sel mikroorganisme.
b. Bacteriostatic, bila menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme
terhenti oleh karena ada hambatan terhadap metabolisme
mikroorganisme.
Obat-obat ini sebagian dalam bentuk terikat dengan protein (protein
binding) atau mengalami proses metabolisme sehingga terbentuk
metabolit-metabolit yang tidak dapat menembus barier plasenta.
Sebagian lagi dalam bentuk bebas tidak terikat dengan protein dan
tidak mengalami metabolisme, bentuk ini yang mampu menembus
barier plasenta.
Tabel 2. Mekanisme kerja obat anti infeksi.

Mekanisme kerja Nama generik


obat anti infeksi

Menghambat sintesa metabolit Sulfonamide


PAS
esensial Trimethoprim
INH

Menghambat pembentukan Streptomisin


Erithromisin
protein Neomisin
Axithromisin
Kanamisin
Clarithromisin
Gentamisin
Lincomisin
Tobramisin
Clindamisin
Amikasin
Kloramfenikol
Netilmisin
Tetrasiklin
S
pectinomisin

Menghambat pembentukan Rifampisin


Ofloxasin
asam nukleat Nalidixic acid
Norfloxasin
Cinoxasin
Ciprofoxasin
Actinomisin D
Enoxasin

Menghambat pembentukan Penisilin


Amoxilin-Clav.
dinding sel Sefalosporin
Ticarcilin- Clav.
Sefamisin
Ampisilin- Sulbact.
Carbapenem
Vancomisin
Piperasilin-
Tazobactam

Merusak membran sel Polimixin B


Amfoterasin B
Colistin
Nistatin

Farmakokinetik obat-obat anti infeksi pada kehamilan


Famakokinetik obat-obat saat hamil jelas tidak sama dengan tidak
hamil, oleh karena adanya perubahan fisiologik pada saat hamil.
Perubahan-perubahan farmakokinetik saat hamil antara lain :
1. Volume darah dan cairan tubuh meningkat sehingga kadar obat
dalam plasma darah
akan menurun.
2. Kadar protein dalam plasma relatif rendah, akibatnya ikatan obat
dengan protein akan menurun sehingga kadar obat bebas dalam
darah akan meningkat.
3. Aliran darah ke ginjal meningkat sehingga filtrasi glumerolus akan
meningkat dan ekskresi obat melalui ginjal juga meningkat
sehingga masa aksi kerja obat dalam tubuh akan lebih singkat.
4. Kadar progesteron saat hamil meningkat, sehingga metabolisme di
hepar akan meningkat pula , hal ini mengakibatkan kadar obat
bebas dalam darah akan menurun.
5. Peristaltik menurun sehingga absorpsi melalui usus akan menurun,
dengan demikian kadar obat per oral dalam serum ibu hamil akan
lebih rendah dibanding dengan ibu yang tidak hamil. Oleh karena
itu dosis obat per oral yang diberikan pada ibu hamil relatif harus
lebih tinggi dibanding ibu tidak hamil untuk mendapatkan dosis
terapeutik dalam darah yang sama.
Kondisi seperti diatas menjadi masalah yang harus dipertimbangkan
dalam pemberian obat pada ibu hamil, oleh karena setiap obat yang
diberikan pada ibu hamil hampir selalu ada sebagian yang mampu
menembus barier plasenta dan masuk kedalam unit janin dalam
rahim. Sebagai contoh Sulfonamide yang diberikan pada ibu,
sebanyak < 1% akan menembus barier plasenta kedalam unit janin.
Jumlah obat Xenobiotic yang mampu menembus barier plasenta
tergantung pada :
a. Jenis obat. Oleh karena jumlah obat yang terikat pada protein dan
mengalami metabolisme sangat tergantung pada jenis antibiotika
yang dipakai.
b. Dosis obat. Makin tinggi dosis yang diberikan, akan makin tinggi
pula kadar Xenobiotic yang masuk kedalam unit janin.
c. Kondisi plasenta. Pada umumnya kondisi plasenta berkaitan erat
dengan usia hamil. Proses pertumbuhan plasenta akan sempurna
pada usia hamil 16-20 minggu. Pada usia hamil 21-28 minggu
barier plasenta akan lebih kuat dibanding dengan usia hamil diatas
28 minggu.
Xenobiotic yang beredar dalam unit janin seharusnya mencapai kadar
terkecil yang mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme
(Minimal Inhibitory Consentration/MIC) atau kadar terkecil yang
mampu membunuh mikroorganisme (Minimal Bactericidal
Consentration/MBC) tanpa menimbulkan risiko terhadap janin atau
hasil konsepsi. Akan tetapi hal ini yang sangat sulit dilaksanakan oleh
karena menentukan dosis terapeutik obat dalam tubuh janin dalam
rahim belum dilaksanakan secara rutin sedangkan MIC dan MBC
ditentukan berdasarkan atas uji kepekaan di laboratorium. Alasan
lainnya adalah bahwa kemampuan obat yang diberikan pada ibu hamil
tergantung pada kondisi patologik dari jaringan yang terinfeksi.
Sebagai contoh misalnya mikroorganisme dalam kantung abses lebih
sulit dicapai oleh obat anti infeksi.
Dikatakan bahwa efek toksik / teratogenik obat antibiotika pada janin
selalu dikaitkan dengan pemakaian obat pada usia hamil yang muda
(trimester I). Namun anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Setiap
pemakaian obat pada kehamilan , tanpa memandang usia hamil
kemungkinan dapat menimbulkan kelainan pada janin baik fisik
maupun mental dlam tingkat ringan sampai berat. Aminoglikosida
akan menembus barier plasenta dan akan memberikan efek toksik
rata-rata 3-11% pada janin. Kelainan pada janin ini dapat langsung
dipantau dalam rahim, atau bahkan tidak jarang pula baru bisa
diketahui setelah lahir atau timbul pada masa anak-anak atau remaja.

Tabel 3. Kadar antibiotika dalam serum ibu hamil dibanding


dengan tidak hamil.

Kadar dalam serum ibu Nama


generik obat

Lebih rendah pada kehamilan Ampisilin Piperasilin


Penisilin V

Diduga lebih rendah pada Methisilin Sefalexin


Sefalothin
kehamilan Sefazolin Sefoxitin
Sefamandole
Sefotetan Seftriaxone
Sefotaxime
Moxalactam
Sefoperazone
Amoxilin-Clav.
Ticarsilin-Clav.
Ampisilin-Sulb.
Piperasilin-Tazobact.
Gentamisin
Kanamisin Amikasin
Tobramisin
Nitrofurantoin Seftizoxime

Kemungkinan tidak berbeda Pivmesilinam


Clindamisin Sefaloridine
Thiamfenicol
Sulfamethoxasole

Penggunaan klinis dan pemilihan jenis antibiotika pada


kehamilan
Penggunaan antibiotika pada kehamilan bisa dengan tujuan terapi,
akan tetapi bisa juga dengan tujuan profilaksis. Untuk tujuan terapi
sering dipakai pada kasus-kasus kehamilan dengan tanda-tanda klinis
adanya infeksi baik lokal maupun sistemik misalnya kehamilan yang
disertai dengan penyakit-penyakit infeksi sistemik misalnya typhoid,
tuberkulose dan lain sebagainya. Sedangkan infeksi lokal misalnya
adanya tanda-tanda infeksi genetalia, vaginosis bakteri, infeksi jamur
atau infeksi intrauterin sebagai akibat suatu persalinan yang lama
(partus kasep) akan tetapi bisa juga pada kasus dengan tanda-tanda
persalinan preterm yang membakat yang diduga disebabkan oleh
infeksi genetalia. Sedangkan untuk tujuan profilaksis sering
digunakan pada kasus-kasus kehamilan dengan kelainan katub
jantung, ketuban pecah dini. perdarahan pada kehamilan dan
eklamsia. Pada keadaan ini sebenarnya belum tampak adanya gejala
infeksi, akan tetapi kondisi ibu seperti ini merupakan faktor risiko
untuk terjadinya infeksi yang membahayakan ibu dan / atau janin
didalam rahim.
Pemilihan jenis antibiotika yang akan diberikan pada ibu hamil
seharusnya didasarkan atas uji kepekaan di laboratorium untuk
menentukan secara tepat jenis antibotika yang diperlukan. Dengan
menggunakan tehnik kultur yang saat ini dikerjakan, hal ini
memerlukan waktu yang relatif lama sedangkan kita harus mengejar
waktu untuk segera memberikan terapi antibiotika. Pada akhirnya
seorang dokter di suatu rumah sakit harus memahami peta
mikroorganisme setempat untuk menentukan pilihan antibiotika pada
ibu hamil maupun bersalin yang memerlukan. Seperti di RSUD. Dr.
Soetomo Surabaya berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan
(kultur cairan peritoneum dan air ketuban) pada kasus-kasus ruptura
uteri dan ditemukan sebagian besar adalah kuman Gram Negatip
seperti E. Coli, Pseudomonas, Enterobacter dan kuman Gram Positip
seperti Streptococcus fecalis, Staphylococcus dsb. Akan tetapi
menurut beberapa peneliti dari negara maju sebenarnya lebih banyak
jenis kuman yang bisa ditemukan pada ibu hamil / bersalin yang
mengalami infeksi. Dikemukakan sebagian besar kuman Anaerobe
seperti Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealithicum, Bacteroides
dan Gardnerella vaginalis yang memerlukan tehnik kultur yang
khusus sangat berperan pada infeksi dibidang kebidanan.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka saat ini penggunaan
antibiotika terutama penggunaan kombinasi lebih dari satu jenis obat
makin meningkat.
Ditinjau dari bidang farmakologis maka penggunaan antibiotika
kombinasi ini mempunyai beberapa keuntungan maupun kerugian.
A. Keuntungan.
1. Mengurangi resistensi terhadap antibiotika oleh karena dengan
menggunakan kombinasi yang sinergistik akan meningkatkan
daya kemampuan untuk membunuh mikroorganisme ( lebih dari
satu jenis mikroorganisme).
2. Mengurangi efek toksik. Hal ini berkaitan dengan dosis obat.
Semakin rendah dosis tiap jenis antibiotika akan makin rendah
pula efek toksik obat. Efek sinergistik ini akan bisa menurunkan
masing-masing dosis obat kombinasi yang diberikan.
B. Kerugian.
1. Biaya yang diperlukan akan lebih banyak.
2. Efek antagonis dari 2 obat atau lebih yang mempunyai
mekanisme dan titik tangkap kerja yang sama akan sangat
merugikan karena mengurangi manfaat utama dari obat.
3. Meningkatkan risiko reaksi allergi.
Beberapa antibotika yang relatif aman digunakan pada ibu hamil
antara lain adalah golongan Penisilin, Sefalosporin (kecuali
Moxalactam), Erithromisin (kecuali Erythromycin Estolate) dan
Spectinomisin.

Tabel 4. Efek toksik antibiotika terhadap ibu dan janin dalam rahim.

Jenis antibiotika Efek toksik


Pada ibu
Pada janin

Kontraindikasi
Kloramfenicol Depresi Bone Marrow
Sindroma Grey
Tetrasiklin (Tr. I) Hepatotoksik
Pewarnaan abnormal
Pankreatitis Haemorhg. dan
dysplasia gigi
Gagal ginjal
Erithro. Estolate Hepatotoksik
-
Quinolone -
Artropati janin hewan

Pertimbangkan
Aminoglukosida Ototoksik, Nefrotoksik
Toksik N. VII
Clindamisin Alergi
-
Colitis pseudomembrn.
Nitrofurantoin Neuropatia
Hemolitik
Metronidazole Blood dyscrasia
-
Trimethoprim- Vaskulitis
Antagonis as. folat
Sulfamethox.
Sulfonamide Alergi
Kern ikterus
Isoniazid Hepatotoksik
-
Aztrenon Alergi
-

Aman
Penisilin Alergi
-
Sefalosporin Alergi
-
Erythromycin base Alergi
-
Erythr. Ethinylsuccinate Alergi
-
Spectinomisin Alergi
-

Kepustakaan

Abadi A; Santosa B. 1998. Uji klinis komparatif pengggunaan


Sultamisilin dan
Terbutalin dibanding dengan Terbutalin tunggal dalam upaya
menunda persalinan
pada persalinan preterm membakat. Majalah Obgin.Vol.7, 2; 1 –
13.
Abadi A. 1999. Radang selaput ketuban & plasenta serta interleukin-6
dalam air ketuban
sebagai faktor penentu terjadinya persalinan pada persalinan
kurang bulan
membakat. Desertasi. Program Pascasarjana Unair.
Cunningham F; Mc Donald PC; Gant MT. 1997. Drugs and
Medications. Williams
Obstetrics. 20th Ed. Chap. 41. Prentice Hall International Inc. p.
943-961.
Eschenbach DA; Nugent RP; Rao AV. 1991. A Randomized Placebo
Control Trial of
Erythrocyn for the Treatment of Ureaplasma Urealythicum to
Prevent Preterm
Delivery. AJOG. 169; p. 734-742.
Joesoef MR; Wignjosastro G; Norojono W. 1995. Coinfection with
Chlamydia and
GonorrhoeaAmong Pregnant Women with Bacterial Vaginosis.
International Journal
of STD and AIDS (6). 599.1- 4.
Jones KL. 1999. Effects of Therapeutic, Diagnostic and Environment
Agents. In
Maternal – Fetal Medicine. 4th Ed. By CreasyResnik. Chap. 10.
WB. Saunders Company. Philadelphia. pp. 132-141.
Lewis DF; Brody K; Edward MS. 1996. A Randomized Trial of Steroid
after Treatment
of Antibiotics. Obgin. 88. P. 801 – 5.
Morales WJ; Achorr S; Albritton J. 1994. Effect of Metronidazole in
Patients with
Preterm Birth in Preceding Pregnancy and Bacterial Vaginosis.
Obgin. 72. P. 829-33.
Newton ER; Shields L; Rigway LE. 1991. Combination Antibiotics and
Indomethacin in
Idiophatics Preterm Labor. A Randomized Double Blind Clinical
Trial. AJOG. 165.
5;1. P. 1753 – 9.
Niebyl JR. 1994. Medication in Late Pregnancy and Lactation. Factors
of High Risk
Pregnancy. In Management of High Risk Pregnancy by. Queenan
JT. IIIrd Ed.
Blacwell Scientific Publication. Part one. pp. 36-42.
Owen J; Groome RJ; Hauth JC. 1993. Randomized Trial of Prophylactic
Antibiotic
Therapy after Preterm Amnion Rupture. AJOG. 169. P. 976 – 81.
Romero R; Sibai B; Caritis S. 1993. Antibiotics Treatment of Preterm
Labor with Intact
Membranes. A Multicentre Randomnized, Double Blinded,
Placebo Controlled Trial.
AJOG. 169 (4); 764 –74.
Sibuea D. 2000. Pemakaian Obat nti Infeksi pada Kehamilan. Journal
Kedokteran dan
Farmasi. Medika. No. 7. XXVI. 457-461.

ooo0AA0ooo

Dibacakan pada :
Simposium Era Baru
Penggunaan
Antibiotika di Hotel
Sheraton Surabaya
Tanggal 1-2
September 2001.

Anda mungkin juga menyukai