Anda di halaman 1dari 5

KOLIK RENAL

Definisi

Kolik renal berasal dari dua kata yaitu “kolik” dan “renal”. Kolik adalah merupakan nyeri
viseral akibat spasme otot polos organ berongga yang umumnya disebabkan karena hambatan
pasase dalam rongga tersebut. Nyeri ini timbul oleh karena hipoksia, dirasakan hilang timbul,
dapat disertai mual dan muntah. Sedangkan renal adalah ginjal. Kolik renal adalah suatu nyeri
hebat pada pinggang yang disebabkan oleh karena batu di ureter atau di Pelvic Ureter Junction
(PUJ) (urolithiasis).

Epidemiologi

Insiden tahunan sekitar 1-2 kasus /1000 orang. Risikonya lebih tinggi 3 kali pada laki-laki
dibanding perempuan. Risiko rata-rata 5-12% dari total populasi yang menderita BSK di USA.
Frekuensi berulang kolik renal ini pada pasien yang telah menderita batu ginjal yaitu sekitar 60-
80% atau rata-rata 50% setelah 10 tahun.Penyakit ini sering pada kulit putih dan pada iklim tropis.
Risiko menderita BSK pada riwayat keluarga penderita BSK 3 kali lebih besar.

Etiologi

Penyebab kolik ginjal yaitu :

a. Batu Ginjal

1. Kalsium oksalat 70% kasus, kalsium posfat dan kombinasi kalsium


2. oksalat dan posfat
3. Batu asam urat 10%
4. Sturvit 15 %
5. Sistin 1%

b. Penyebab lain :

1. Papila ginjal yang rusak (diabetes, penyakit sel sabit)


2. Kolik akibat bekuan darah (diastesis perdarahan)
3. Kolik akibat tumor.

Patofisiologi

Mekanisme nyeri yang berasal dari ginjal terdiri dari dua tipe yaitu kolik renal dan non
kolik renal. Kolik renal terjadi oleh karena peningkatan tekanan dinding dan peregangan dari
sistem genitourinary. Non kolik renal disebabkan oleh karena distensi dari kapsul renal. Secara
klinis sulit untuk membedakan kedua tipe ini. Peningkatan tekanan pelvis renal oleh karena
obstruksi berupa batu akan menstimulasi sintesis dan pelepasan prostaglandin yang secara
langsung menyebabkan spasme otot ureter. Serta kontraksi otot polos ureter ini akan
menyebabkan gangguan peristaltik dan pembentukan laktat lokal. Akumulasi dari laktat ini akan
menyebabkan iritasi serabut syaraf tipe A dan C pada dinding ureter. Serabut syaraf ini akan
mengirimkan sinyal ke dorsal root ganglia T11 – L1 dari spinal cord dan akan diinterprestasikan
sebagai nyeri pada korteks serebri. Kolik renal terjadi karena obstruksi dari urinary flow oleh
karena BSK, dan diikuti dengan peningkatan tekanan dinding saluran kemih (ureter dan pelvik),
spasme otot polos ureter, edema dan inflamasi daerah dekat BSK, meningkatnya peristaltik serta
peningkatan tekanan BSK di daerah proksimal.

Peningkatan tekanan di saluran kemih ini serta peningkatan tekanan aliran darah dan
kontraksi otot polos uretra merupakan mekanisme utama timbulnya nyeri atau kolik ini. Selain itu
juga karena terjadinya peningkatan sensitifitas terhadap nyeri. Peningkatan tekanan di pelvik
renal akan menstimulasi sintesis dan pelepasan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi dan
diuresis dimana hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan intrarenal. Prostaglandin
berperan langsung pada ureter untuk spasme otot polos ureteral. Permanen obstruksi saluran
kemih oleh karena BSK, menyebabkan lepasnya prostaglandin sebagai respon terhadap inflamasi.
Beberapa waktu pertama obstruksi ini perbedaan tekanan antara glomerulus dan pelvik menjadi
sama sehingga berakibat GFR (Glomerular Filtration Rate) dan aliran darah ginjal menurun. Jika
obstruksi ini tidak diatasi maka dapat terjadi gagal ginjal akut (acute renal failure).

Gejala Klinis

Gejala utama kolik renal ini adalah nyeri dengan onset akut dan intensitas berat,
unilateral yang berawal dari daerah pinggang atau daerah flank yang menyebar ke labia pada
wanita dan pada paha atau testis pada laki-laki. Nyeri berlangsung beberapa menit atau jam, dan
terjadi spasme otot bersifat hilang timbul. Nyeri biasanya sangat berat dan merupakan
pengalaman buruk yang pernah dialami pasien. Derajat keparahan nyeri tergantung pada derajat
obstruksi dan ukuran batu. Posisi batu juga berhubungan dengan penyebaran nyeri. Kolik
biasanya disertai dengan mual, muntah, sering BAK, disuria, oliguria dan hematuria.

Kolik renal muncul oleh karena hasil dari obstruksi saluran kemih oleh batu pada area
anatomi yang sempit di ureter, Pelvic Ureter Junction (PUJ), Vesico Ureteric Juntion (VUJ). Lokasi
nyeri berhubungan dengan prediksi letak batu namun bukan merupakan hal yang akurat. Batu
yang berada pada Pelvic Uretra Junction (PUJ) biasanya nyeri dengan derajat berat pada daerah
sudut kostovertebra dan menyebar sepanjang ureter dan gonad. Jika batu pada midureter, maka
rasa nyeri sama dengan batu di PUJ, namun pasien mengeluhkan nyeri tekan pada regio
abdominal bawah. Batu yang berada pada daerah distal ureter akan menimbulkan rasa nyeri yang
menyebar ke paha serta ke testis pada laki-laki dan ke labia mayor pada perempuan. Pada
pemeriksaan fisik didapati pasien banyak bergerak untuk mencari posisi tertentu untuk
mengurangi nyeri dan hal ini sangat kontras dengan iritasi abdomen yaitu dimana pasien dengan
posisi diam untuk mengurangi nyeri. Selain itu juga didapati nyeri pada sudut kostovertebra
ataupun pada kuadran bawah. Hematuria masif sekitar 90%. Namun absen hematuri tidak
mengeksklusi adanya BSK. Mual dan muntah juga muncul oleh karena distensi sistem saraf
splanchnic dari kapsul renal dan usus.

Jenis batu yang biasanya didapati adalah batu kalsium (kalsium oksalat, kalsium posfat
dan campuran kalsium oksalat dan posfat). Sedangkan 20% lainya disebabkan asam urat, sistin
dan sturvit.

Diagnosis

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah :

a. Urinalisa

Urin dipstik dapat digunakan untu menegakkan suatu diagnosa kolik renal dan untuk
mengeksklusi infeksi. Biasanya ditemukan hematuria yaitu terdapatnya eritrosit pada urinalisa
yang mendukung suatu diagnosa akut kolik renal. Jika tidak ditemukan hematuria bukan berarti
diagnosa ini dapat dieksklusi. Sedangkan adanya nitrit dan leukosit esterase pada urin
menandakan suatu infeksi.

b. Foto polos abdomen

Foto polos abdomen meliputi Kidney Ureter Blader (KUB) memiliki sensitifitas 45-60% .
Keadaan yang dapat mempersulit diagnosa ini yaitu jika didapati keadaan faecolith dan phlebiliths
(kalsifikasi abdomen dan pelvik). KUB tidak dapat memvisualisasi batu radiolusen (10-20%).

Foto polos abdomen memiliki kelemahan yaitu akan sulit mendeteksi batu urat
radiolusen, batu dengan ukuran kecil yang terletak sejajar tulang, interprestasi sulit dan sedikit
sensitif untuk obstruksi. Foto Kidney, Ureter, Bladder ini dapat menilai ukuran, bentuk dan lokasi
dari BSK pada pasien.
c. Ultrasonograpi

Ultrasonograpi dapat menilai BSK pada daerah PUJ, VUJ dan pelvik renal serta kaliks.
Ultrasonograpi merupakan pilihan yang aman pada wanita hamil. Sensitif dalam menilai obstruksi,
namun bergantung kepada operator dan sulit dalam menilai batu berukuran kecil pada ureter.

d. Intravenous Urography (IVU)

Intravenous urography (IVU) merupakan gold standar untuk mendiagnosa kolik renal. IVU
ditemukan pertama kali pada tahun 1923. IVU ini dapat memberikan informasi struktral dan
fungsional dari renal yang terdiri dari ukuran dan derajat obstruksi. IVU dapat mendeteksi sekitar
kasus sekitar 70-90%. Namun IVU hanya dapat mendeteksi batu radioopak (80-90%). Beberapa
efek negatif IVU yaitu paparan radiasi, resiko nefrotoksik dan alergi kontras.

Insiden terjadinya nefrotoksik oleh karena kontras ± 1%, sedangkan pada kondisi dengan
gangguan ginjal sebelumnya serta Diabetes Melitus (DM) insiden terjadinya yaitu ± 25%.
Sedangkan alergi zat kontras yaitu 5-10% meliputi reaksi ringan berupa : muntah dan urticaria,
sedangkan reaksi berat berupa bronkospasme dan reaksi anapilaktik ( yaitu 157 per 100000
kasus). Insiden ini dapat dicegah melalui pemberian kontras dengan osmolalitas rendah.

e. Non – contrast enhanced computed tomography

Computed Tomography (CT) ini merupakan alternatif yang populer pada saat sekarang ini.

Diagnosis Banding

Beberapa keadaan yang dapat menjadi diagnosa banding kolik renal ini adalah :

a. Apendisitis
b. Divertikulitis
c. Pyelonefritis
d. Salpingitis
e. Ruptur aneurisma aorta

Terapi

Manajemen kolik renal akut terdiri dari manajemen nyeri, mual dan muntah dan menilai
indikasi pasien untuk dirawat inap. Manajemen kolik renal akut yaitu memberikan analgesik yang
adekuat sehingga tercapai penurunan skor nyeri dan penurunan dosis. Terdapat dua prinsip
pengobatan penghilang rasa nyeri pada kolik renal akut yaitu Nonsteroidal anti inflammatory
drugs (NSAIDS) dan opioid. Nyeri yang berhubungan dengan kolik renal selama ini diterapi dengan
opioid. Namun sesuai dengan berkembangnya penelitian terbaru bahwa penggunaan NSAID (Non
steroidal antiinflammatory drugs) dan COX-2 inhibitors (Cyclooxygenase-2) lebih efektif dalam
mengatasi nyeri dengan mekanisme memblok vasodilatasi arteri afferen sehingga menurunkan
diuresis, edema dan stimulasi otot polos ureter. NSAID menyebabkan muntah yang minimal
dibanding narkotik. Namun NSAID dapat menyebabkan fungsi renal yang semakin buruk pada
pasien dengan obstruksi. Opioid khususnya pethidin memiliki banyak efek samping, hal sesuai
dengan hasil penelitian Anna Holdgate dan Tamara Pollock tahun 2006. Berdasarkan data yang
ada bahwa penggunaan ketorolak dengan dosis tertentu hanya akan menyebabkan risiko minimal
gangguan fungsi renal dan tidak meningkatkan risiko perdarahan pada saat operasi. Penggunaan
intravena lebih, efektif dan cepat dalam mengatasi nyeri.

Beberapa contoh obat yang sering digunakan pada kolik renal dan sebagai Medical
Expulsion Therapy (MET) yaitu :

a. Opioid
Narkotik memiliki efek dalam mengontrol kolik renal namun tidak sesuai
dengan patofisiologi yeri yang terjadi pada kolik renal. Beberapa contoh opiod
yang sering digunakan adalah morphin, codein dan meperidin. Keuntungan dalam
menggunakan opioid yaitu : biaya rendah, efek analgesik kuat dan dapat dititrasi.
Sedangkan efek sampingnya lebih banyak yaitu : mual, muntah, sedasi, dizziness,
adiksi, depresi nafas dan hipotensi.Morphin memiliki efek yang lebih kuat dan
adiksi yang lebih rendah dibandingkan dengan mepiridine. Tramadol merupakan
jenis narkotik yang berguna untuk analgesik dengan skala nyeri sedang.
b. NSAIDS
NSAIDS bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin.
Kemudian NSAIDS mencegah vasodilatasi arteri afferent dan meningkatkan
permiabilitas vaskuler sehingga menyebabkan diuresis dan peningkatan tekanan
pada pelvis renal. NSAIDS juga berperan dalam mengurangi edema, inflamasi dan
aktivitas otot ureter. Cyclooxygenase inhibitor berfungsi pada kolik renal akut
yaitu dalam mengatasi inflamasi dan edema oleh karena BSK. COX-2 inhibitor
selective bekerja dengan cara menurunkan tekanan atau kontraksi melalui
penghambatan aksi yang dimediasi oleh calsium channel. Pada penelitian
sebelumnya dilaporkan bahwa diclofenac dan celecoxib tidak memiliki efek
expulsi terhadap batu.
c. Rowatinex
Merupakan kombinasi terpenes yang berfungsi sebagai diuretik
antiinflamasi dan analgetik. Rowatinex memiliki efek expulsi terhadap batu.
d. Antimuscarinik
Berperan dalam merelaksasikan otot polos dari saluran urinari dan dapat
menurunkan kolik renal, namun antimuscarinik tidak berperan pada expulsi batu.
e. Kortikosteroid
Berperan sebagai antiinflamasi untuk memfasilitasi expulsi batu.
Prednisone 10 mg 2 x sehari selama 5 hari tanpa menurunkan dosis. Dapat 12
dikombinasikan dengan Calsium Chanel Blocker (CCB) atau alpha blocker. Hal ini
berguna dalam mereduksi waktu batu untuk keluar oleh karena terlalu besar
serta mereduksi reaksi inflamasi.
f. Terapi alpha blocker
Beberapa obat alpha blocker seperti tamsulosin, alfuzosin, terazosin dan
doxazosin pada pasien dengan BSK, berdasarkan metaanalisis Seitz et al
dilaporkan berguna dalam expulsi batu dan menurunkan kolik renal. Tamsulosin
(Flomax) 4 mg setiap hari bekerja dalam merangsang alpha reseptor blocker dan
meningkatkan kemungkinan keluarnya batu secara spontan. Efek samping
berupa: hipotensi, asthenia, dizziness, malaise dan diare pada ±4% pasien.
g. α1D blockers
α1D reseptor antagonist naftopidil telah dievaluasi pada 60 pasien dan
secara signifikan meningkatkan expulsi batu dibandingkan dengan kontrol serta
memiliki efek samping minimal.
h. Calsium channel blocker
Nifedipin memiliki efek expulsi terapi meskipun tidak mengurangi kolik
renal. Waktu yang diperlukan untuk expulsi terapi sekitar 12 hari pada batu di
distal ureter atau pada vesikoureter junction. Nifedipin Xl 30 mg setiap hari dapat
mengeluarkan batu ±35%-79% ketika dikombinasi dengan steroid, dengan nilai
number needed to treat (NNT) 3,9. Efek samping berupa : hipotensi, palpitasi,
efek gastrointestinal, sakit kepala, edema dan asthenia ± 15,4%.
i. Paracetamol
Aman & efektif, memiliki efek samping minimal dibandingkan opioid &
NSAID. Pemberian oral, rektal & IV, mekanisme kerja melalui CNS, menghambat
sintesis prostaglandin & metabolitnya →inhibit endogen canabinoid→efek
analgesik. Efek samping minimal : lemah, hipotensi, LFT↑. Pada gangguan ginjal
pemberian/6jam.

MET dengan ukuran batu memiliki hubungan yang erat. Jika pasase batu kecil dengan
MET, maka tindakan intervensi diindikasikan. Anatomi ureter terdiri atas proximal dan distal.
Shock wave lithotripsy digunakan pada btu ureter proximal dengan ukuran ≤ 1 cm. Sedangkan
ureteroskopi digunakan pada batu ureter proximal dengan diameter > 1 cm. Sedangkan batu
ureter proximal diindikasikan shock wave lithotripsy, ureteroscopy dan percutaneus
nephrolithotomy. Pemberian antibiotik hanya pada kondisi yang diduga tersangka infeksi saluran
kemih atau sepsis. Pada kondisi obstruksi komplit juga pemberian antibiotik dilakukan. Selain itu
dilakukan kultur urin.

Rawat inap perlu dipertimbangkan jika terdapat hal-hal sbb:

a. Pasien dalam keadaan shok, demam dan atau dalam kondisi sepsis
b. Tanda-tanda kerusakan ginjal ataupun resiko peningkatan fungsi ginjal
c. Terjadinya obstruksi bilateral oleh karena BSK
d. Pasien dehidrasi oleh karena mual dan muntah.
e. Penyebab lain yang belum diketahui.

Beberapa indikasi dalam melakukan rujukan sbb:

 Batu berukuran > 10 mm


 Obstruksi derajat tinggi
 Urosepsis
 Gagal ginjal akut
 Anuria
 Nyeri persisten, mual dan muntah
 Pasase batu tidak berhasil setelah 4-6 minggu.

Anda mungkin juga menyukai