Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

RETENSIO PLASENTA

Disusun Oleh :

Riska putri utami


Risa kartiko
Sukmaningsih dewipratiwi
Ema
M. Syarifudin
Garit firmansyah

PRODI S1 KEPERAWATAN NON


REGULER
STIK MUHAMMADIYAH PONTIANAK
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perdarahan pascapersalinan adalah kehilangan darah lebih dari 500 ml melalui
jalan lahir yang terjadi selama atau setelah persalinan kala III. Perkiraan kehilangan
darah biasanya tidak sebanyak yang sebenarnya, kadang-kadang hanya setengah dari
yang sebenarnya. Darah tersebut tercampur dengan cairan amnion atau dengan urin.
Darah juga tersebar pada spons, handuk, dan kain, di dalam ember dan di lantai.
Volume darah yang hilang juga bervariasi akibatnya sesuai dengan kadar hemoglobin
ibu. Seseorang ibu dengan kadar hemoglobin normal akan dapat menyesuaikan diri
terhadap kehilangan darah yang akan berakibat fatal pada yang anemia.
Perdarahan pascapersalinan adalah sebab penting kematian ibu; ¼ kematian ibu
yang disebabkan oleh perdarahan (perdarahan pascapersalinan, placenta previa, solutio
plasenta, kehamilan ektopik, abortus, dan ruptura uteri) disebabkan oleh perdarahan
pascapersalinan. Selain itu, pada keadaan dimana perdarahan pascapersalinan tidak
mengakibatkan kematian, kejadian ini sangat mempengaruhi morbiditas nifas karena
anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh. Perdarahan pascapersalinan lebih sering
terjadi pada ibu-ibu di Indonesia dibandingkan dengan ibu-ibu di luar negeri.
Perdarahan setelah melahirkan atau post partum hemorrhagic (PPH) adalah
konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma di traktus
genitalia dan struktur sekitarnya, atau keduanya.—Diperkirakan ada 14 juta kasus
perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya paling sedikit 128.000 wanita mengalami
perdarahan sampai meninggal. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4
jam setelah melahirkan.
Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit, sehingga
sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan post partum terlambat
sampai ke rumah sakit, saat datang keadaan umum/hemodinamiknya sudah memburuk,
akibatnya mortalitas tinggi. Menurut Depkes RI, kematian ibu di Indonesia (2002)
adalah 650 ibu tiap 100.000 kelahiran hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan
oleh perdarahan post partum.
Perdarahan yang disebabkan karena retensio plasenta dapat terjadi karena plasenta
lepas sebagian, yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas
dari dinding uterus karena:
a) Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva)
b) Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus
desidua sampai miometrium- sampai di bawah peritoneum (plasenta akreta-
perkreta).
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan
kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang
menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta). Sehingga dilakukan tindakan
manual plasenta.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Retensio plasenta adalah apabila plasenta belum lahir setangah jam setelah
janin lahir (Winkjosastro, 2010 ).
Retensio plasenta adalah belum lepasnya plasenta dengan melebihi waktu
setengah jam. Keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya
sebagian plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual
dengan segera. Bila r etensio plasenta tidak diikuti perdarahan maka perlu
diperhatikan ada kemungkinan terjadi plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta
inkreta, plasenta perkreta. (Manuaba (2006:176).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa retensio plasenta
ialah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin lahir, keadaan ini
dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian plasenta yang telah
lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera.
Jenis-jenis retensio plasenta:
a) Plasenta Adhesive : Implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga
menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
b) Plasenta Akreta : Implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian
lapisan miometrium.
c) Plasenta Inkreta : Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot
hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
d) Plasenta Prekreta : Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan
serosa dinding uterus hingga ke peritonium.
e) Plasenta Inkarserata : Tertahannya plasenta di dalam kavum uteri disebabkan
oleh konstriksi ostium uteri. (Sarwono, Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, 2002:178).

Perdarahan hanya terjadi pada plasenta yang sebagian atau seluruhnya telah
lepas dari dinding rahim. Banyak atau sedikitnya perdarahan tergantung luasnya
bagian plasenta yang telah lepas dan dapat timbul perdarahan. Melalui periksa dalam
atau tarikan pada tali pusat dapat diketahui apakah plasenta sudah lepas atau belum
dan bila lebih dari 30 menit maka kita dapat melakukan plasenta manual.
Retensio plasenta (Placental Retention) merupakan plasenta yang belum lahir
dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta (rest placenta)
merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim yang dapat
menimbulkan perdarahan postpartum dini (Early Postpartum Hemorrhage) atau
perdarahan post partum lambat (Late Postpartum Hemorrhage) yang biasanya
terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan.

B. Etiologi
Menurut Wiknjosastro (2007) sebab retensio plasenta dibagi menjadi 2
golongan ialah sebab fungsional dan sebab patologi anatomik.
1. Sebab fungsional
a) His yang kurang kuat (sebab utama).
b) Tempat melekatnya yang kurang menguntungkan (contoh : di sudut tuba).
c) Ukuran plasenta terlalu kecil.
d) Lingkaran kontriksi pada bagian bawah perut
2. Sebab patologi anatomik (perlekatan plasenta yang abnormal).
Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh
lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya :
a) Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih
dalam.
b) Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua
endometrium sampai ke miometrium.
c) Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke
serosa.
d) Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum
dinding rahim.

C. Tanda Dan Gejala


1. Plasenta Akreta Parsial / Separasi
a. Konsistensi uterus kenyal
b. TFU setinggi pusat
c. Bentuk uterus discoid
d. Perdarahan sedang – banyak
e. Tali pusat terjulur sebagian
f. Ostium uteri terbuka
g. Separasi plasenta lepas sebagian
h. Syok sering
2. Plasenta Inkarserata
a. Konsistensi uterus keras
b. TFU 2 jari bawah pusat
c. Bentuk uterus globular
d. Perdarahan sedang
e. Tali pusat terjulur
f. Ostium uteri terbuka
g. Separasi plasenta sudah lepas
h. Syok jarang
3. Plasenta Akreta
a. Konsistensi uterus cukup
b. TFU setinggi pusat
c. Bentuk uterus discoid
d. Perdarahan sedikit / tidak ada
e. Tali pusat tidak terjulur
f. Ostium uteri terbuka
g. Separasi plasenta melekat seluruhnya
h. Syok jarang sekali, kecuali akibat inversio oleh tarikan kuat pada tali pusat.

D. Patofisiologi
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah di dalam uterus
masih terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum
spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka.
Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan
menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga
perdarahan akan terhenti. Pada kondisi retensio plasenta, lepasnya plasenta tidak
terjadi secara bersamaan dengan janin, karena melekat pada tempat implantasinya.
Menyebabkan terganggunya retraksi dan kontraksi otot uterus sehingga sebagian
pembuluh darah tetap terbuka serta menimbulkan perdarahan.

E. Penatalaksanaan
a) Retensio plasenta dengan sparasi parsial
1) Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan
yang akan diambil. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk
mengedan. Bila ekspulsi tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.
2) Beri drips oksitosin dalam infuse NS/RL. Bila perlu kombinasikan dengan
misoprostol per rectal. (sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena
kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap
dalam kavum uteri).
3) Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual
plasenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya perforasi
dan perdarahan. Lakukan trasnfusi darah apabila di perlukan.
4) Beri antibiotika profilaksis (ampisilin IV/ oral + metronidazol supositoria/
oral).
5) Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi syok
neurogenik.
b) Plasenta inkaserata
1) Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan
pemeriksaan.
2) Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghilangkan
kontriksi serviks dan melahirkan plasenta.
3) Pilih fluethane atau eter untuk kontriksi serviks yang kuat, siapkan drips
oksitosin dalam cairan NS/RL untuk mengatasi gangguan kontraksi yang
diakibatkan bahan anestesi tersebut.
4) Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilakukan cunam
ovum, lakukan maneuver skrup untuk melahirkan plsenta.
5) Pengamatan dan perawatan lanjutan meliputi pemantauan tanda vital,
kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan pasca tindakan.
Tambahan pemantauan yang di perlukan adalah pemantauan efek samping
atau komplikasi dari bahan –bahan sedative, analgetika atau anastesi
umum misalnya mual, muntah, hipo/ atonia uteri, pusing/ vertigo,
halusinasi, mengantuk
c) Plasenta akreta
1) Tanda penting untuk diagnosis pada pemerisaan luar adalah ikutnya
fundus atau korpus bila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit di
tentukan tepi plasenta karena imolantasi yang dalam.
2) Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah
menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit rujukan
karena kasus ini memerlukan operatif bagan.
d) Sisa plasenta
1) Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan
pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa
plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien
akan kemabali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah
beberapa hari pulang ke rumah dan subinvolusi uterus.
2) Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis.
Antibiotika yang di pilih adalah ampisilin IV dilanjutkan oral
dikombinasikan dengan metronidazol supositoria.
3) Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan
darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument,
lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuretase.
4) Bila kadar Hb<8g/dL berikan transfuse darah. Bila kadar Hb> 8g/ dL,
berikan ferosus.
Pada kelainan yang luas, perdarahan menjadi berlebihan sewaktu
dilakukan upaya untuk melahirkan plasenta. Pada sebagian kasus plasenta
menginfasi ligamentum latum dan seluruh serviks (Lin dkk., 1998). Pengobatan
yang berhasil bergantung pada pemberian darah pengganti sesegera mungkin
dan hampir selalu dilakukan tindakan histerektomi (operasi pengangkatan
rahim).
Pada plasenta akreta totalis, perdarahan mungkin sangat sedikit atau tidak
ada. Paling tidak sampai di lakukan upaya pengeluaran plasenta secara manual.
Kadang-kadang tarikan tali pusat dapat menyebabkan inversion uteri. Inversion
uteri adalah uterus terputar balik sehingga fundus uteri terapat dalam vagina
dengan selaput lendirnya sebelah luar. Inversion uteri paling sering
menimbulkan perdarahan akut yang mengancam nyawa.

F. Gejala Klinis
a. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi
mengenai episode perdarahan post partum sebelumnya, paritas, serta riwayat
multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat postpartum sekarang dimana
plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi
dilahirkan.
b. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis
servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan
hematokrit (Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit.
Pada keadaan yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
2. Menentukanadanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin time
(PT) dan activated Partial Tromboplastin Time (APTT) atau yang sederhana
dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk
menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh faktor lain.

H. Komplikasi
Kompikasi dalam pengeluaran plasenta secara manual selain infeksi /
komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan, multiple
organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan perfusi
organ dan sepsis, ialah apabila ditemukan plasenta akreta. Dalam hal ini villi
korialis menembus desidua dan memasuki miometrium dan tergantung dari
dalamnya tembusan itu dibedakan antara plasenta inakreta dan plasenta perkreta.
Plasenta dalam hal ini tidak mudah untuk dilepaskan melainkan sepotong demi
sepotong dan disertai dengan perdarahan. Jika disadari adanya plasenta akreta
sebaiknya usaha untuk mengeluarkan plasenta dengan tangan dihentikan dan segera
dilakukan histerektomi dan mengangkat pula sisa-sisa dalam uterus.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN RETENSIO PLASENTA

1. Pengkajian
Beberapa hal yang perlu dikaji dalam asuhan keperawatan pada ibu dengan
retensio placenta adalah sebagai berikut:
a. Identitas klien
Data biologis/fisiologis meliputi; keluhan utama, riwayat kesehatan masa lalu,
riwayat penyakit keluarga, riwayat obstetrik (Riwayat kehamilan, persalinan,
dan nifas)
b. Keluhan Utama
Klien mengatakan panas
c. Sirkulasi :
1) Perubahan tekanan darah dan nadi (mungkin tidak tejadi sampai
kehilangan darah bermakna)
2) Pelambatan pengisian kapiler
3) Pucat, kulit dingin/lembab
4) Perdarahan vena gelap dari uterus ada secara eksternal (placentaa tertahan)
5) Dapat mengalami perdarahan vagina berlebihan
6) Haemoragi berat atau gejala syok diluar proporsi jumlah kehilangan darah.
d. Eliminasi:
Kesulitan berkemih dapat menunjukan haematoma dari porsi atas vagina.
e. Nyeri/Ketidaknyamanan :
Sensasi nyeri terbakar/robekan (laserasi), nyeri tekan abdominal
(fragmen placenta tertahan) dan nyeri uterus lateral.
f. Keamanan :
Laserasi jalan lahir: darah memang terang sedikit menetap (mungkin
tersembunyi) Dengan uterus keras, uterus berkontraksi baik; robekan terlihat
pada labia mayora/labia minora, dari muara vagina ke perineum; robekan luas
dari episiotomie, ekstensi episiotomi kedalam kubahvagina, atau robekan pada
serviks.
g. Seksualitas :
1) Uterus kuat; kontraksi baik atau kontraksi parsial, dan agak menonjol
(fragmen placentayang tertahan)
2) Kehamilan baru dapat mempengaruhi overdistensi uterus (gestasi multipel,
polihidramnion, makrosomia), abrupsio placenta, placenta previa.
Pemeriksaan fisik meliputi; keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan
obstetrik (inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi).

2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko tinggi terhadap deficit volume cairan berhubungan dengan perdarahan
b. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler
yang di butuhkan untuk pengiriman oksigen/ nutrient ke sel.
c. Risiko sepsis berhubungan dengan infeksi pada pengambilan placenta.
d. Gangguan aktifitas berhubungan dengan penurunan sirkulasi, kelemahan.
e. Kecemasan berhubungan dengan tindakan invasive.

3. Intervensi
a. Diagnosa 1 : Risiko tinggi terhadap deficit volume cairan berhubungan
dengan perdarahan
Tujuan : Agar tidak terjadi deficit volume cairan, seimbang antara inteks
dan output baik jumlah maupun kualitas.
Intervensi :
a) Kaji kondisi status hemodinamika,
R/ Memberikan pengukuran lebih langsung dari volume sirkulasi dan
kebutuhan penggantian.
b) Pantau pemasukan dan pengeluaran ciran harian
R/ Bermanfaat dalam memperkirakan luas/signifikansi kehilangan cairan.
Volume perfusi/sirkulasi adekuat ditunjukan dengan keluaran 30-50
ml/jam atau lebih besar.
c) Observasi nadi dan tekanan darah
R/ Hal ini dapat menunjukan hipovolemi dan terjadinya syok. Perubahan
pada tekanan darah tidak dapat dideteksi sampai volume cairan telah
menurun sampai 30 - 50%. Sianosis adalah tanda akhir dari hipoksia.
d) Berikan diet makanan berstektur halus
R/ mudah untuk diabsorbsi sistem pencernaan sehingga tidak
membutuhkan energi banyak untuk metabolisme.
e) Nilai hasil lab HB/HT
R/ Membantu dalam menentukan kehilangan darah. Setiap ml darah
membawa 0,5mgHb.
f) Berikan sejumlah cairan IV sesuai indikasi
R/ untuk meningkatkan volume sirkulasi dan mencegah pembekuan.

b. Diagnosa 2 : Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan


penurunan komponen seluler yang di butuhkan untuk pengiriman oksigen/
nutrient ke sel.
Tujuan : Agar tidak terjadi perubahan perfusi jaringan selama
perawatan perdarahan
Intervensi :
a) kaji tanda vital, warna kulit dan ujung jari.
R/ memastikan bahwa tidak adanya perfusi jaringan
b) Pertahankan suhu lingkungan dan tubuh.
R/ Suhu lingkungan dan tubuh berpengaruh dalam vascular, apabila suhu
tubuh rendah maka akan membuat vascular kontriksi sehingga dapat
menghambat distribusi nutrient dan oksigen
c) Nilai hasil lab hb/ ht dan jumlah sel darah merah.
R/ Anemia sering menyertai infeksi, memperlambat pemulihan dan
merusak system imun
d) Berikan sel darah merah dan tambahan o2 sesuai indikasi.
R/ penggantian sel darah merah yang hilang dan memaksimalkan
ketersediaan oksigen untuk transpor sirkulasi kejaringan.
c. Diagnosa 3 : Risiko sepsis berhubungan dengan infeksi pada
pengambilan placenta.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
dirumah sakit di harapkan tidak terjadi peningkatan suhu
Intervensi :
a) Berikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang penyebab panas
R/ Klien dan keluarga mengerti tentang penyebab panas
b) Anjurkan kompres air hangat
R/ Air hangat bias mendilatasi pori – pori
c) Anjurkan klien memakai pakaian yang tipis
R/ Pakaian yang tipis bias meningkatkan evaporasi
d) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotic
R/ Antibiotic akan membunuh bakteri dan kuman

d. Diagnosa 4 : Gangguan aktifitas berhubungan dengan penurunan


sirkulasi, kelemahan.
Tujuan : Klien dapat melakukan aktifitas tanpa adanya
komplikasi
Intervensi :
a) Kaji tingkat kemampuan klien untuk beraktifitas.
b) Kaji pengaruh aktifitas terhadap kondisi uterus.
c) Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan aktifitas sehari-hari.
d) Bantu klien untuk melakukan tindakan sesuai kondisi klien.
e) Evaluasi perkembangan kemampuan klien melakukan aktifitas.

e. Diagnosa 5 : Kecemasan berhubungan dengan tindakan invasive.


Tujuan : Klien mampu beradaptasi dengan tindakan yang
dilakukan
Intervensi :
a) Libatkan keluarga dalam melakukan tindakan perawatan
R/ Pendekatan awal pada pasien melalui keluarga.
b) Hindari persepsi yang salah pada perawat dan RS.
R/ mengurangi rasa takut pasien terhadap perawat dan lingkungan RS
c) Berikan pujian jika klien mau diberikan tindakan perawatan dan
pengobatan.
R/ menambah rasa percaya diri pasien akan keberanian dan
kemampuannya
d) Lakukan kontak sesering mungkin dan lakukan komunikasi baik verbal
maupun non verbal (sentuhan, belaian dll).
e) R/ Kasih saying serta pengenalan diri perawat akan menunbuhkan rasa
aman pada klien
BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut maka ada beberapa hal yang dapat di
simpulkan yaitu sebagai berikut. Retensio plasenta adalah keadaan dimana
plasenta tidak lahir selama dalam waktu atau lebih dari 30 menit setelah bayi
lahir. Ada dua keadaan yang menyebabkan terjadinya retensio placenta yaitu :
a. Placenta belum lepas dari dinding rahim dikarenakan placenta tumbuh
melekat lebih dalam dan.
b. Placenta telah terlepas akan tetapi belum dapat dikeluarkan. (masih ada sisa-
sisa potongan plasenta di rahim).
Masalah yang terjadi akibat dari retensio plasenta adalah perdarahan bahkan
bisa berakibat syok.
2. Saran
Penyebab utama kematian ibu sendiri menurut (WHO) adalah perdarahan,
semoga dalam makalah ini dapat memberikan wawasan sehingga dapat
mencegah terjadinya kematian karena perdarahan akibat dari retensio plasenta.
Penulis menyarankan agar pembaca dapat mencari referensi lain tentang
retensio plasenta pada kehamilan dan juga perdarahan untuk diaplikasikan
sehingga dapat mencegah dan menurunkan angka kematian ibu di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Manuaba, G. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana


Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Prawirohardjo, S. 2000. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai