Anda di halaman 1dari 10

Perbandingan Metode FIFO, LIFO,

Dan Biaya Rata-Rata, Mana


Terbaik?
19 Juni 2019 Oleh Wadiyo, SE

Daftar isi [Buka]

Aplikasi nyata metode penilaian persediaan pada sebuah bisnis adalah


sebagai berikut:

Setiap mobil memiliki nomer seri yang unik, sehingga sebuah diler mobil
dapat menghitung biaya unit yang terjual melalui metode identifikasi spesifik.

Metode ini bisa juga digunakan untuk toko perhiasan dan galeri seni.

Namun, untuk banyak perusahaan, unit yang identik tidak dapat dikenali
secara terpisah, sehingga suatu asumsi arus biaya perlu dibuat.

Unit mana saja yang telah dijual dan unit mana saja yang masih berada dalam
persediaan harus diasumsikan dengan menggunakan metode penilaian
persediaan FIFO (firs-in, first-out), LIFO (last-in, first-out), atau metode biaya
rata-rata.
Saat sistem persediaan periodik digunakan, maka hanya pendapatan yang
dicatat setiap kali terjadi penjualan.

Tidak ada ayat jurnal yang dibuat pada saat penjualan untuk mencatat harga
pokok penjualan (HPP).

Pada akhir periode akuntansi, perhitungan fisik persediaan dilakukan untuk


menghitung biaya persediaan dan HPP.

01. Metode Penilaian Persediaan FIFO

Sebagai ilustrasi mengenai metode penilaian persediaan FIFO dalam sistem


persediaan periodik, saya sajikan contoh ayat jurnal persediaan awal dan
pembelian barang pada bulan Januari 2018 berikut ini :

Perhitungan fisik pada tanggal 31 Januari 2018 terdapat sisa persediaan


sebanyak 150 unit.

Dengan menggunakan metode FIFO, biaya sisa persediaan pada akhir


periode berasal dari biaya perolehan paling akhir.

Biaya 150 unit dalam persediaan akhir pada tanggal 31 Januari 2018 dihitung
sebagai berikut :
Mengurangkan biaya persediaan per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.250.000
dari biaya barang tersedia untuk dijual sebesar Rp 5.880.000 akan
menghasilkan harga pokok penjualan sebesar Rp 2.630.000.

Sebagaimana ditunjukkan seperti berikut ini :

Persediaan akhir 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.250.000 berasal dari biaya


perolehan paling akhir.

HPP sebesar Rp 2.630.000 berasal dari biaya persediaan awal dan biaya
paling awal.

Dan untuk menggambarkan hubungan antara harga pokok penjualan (HPP)


untuk bulan Januari 2018 dan persediaan akhir per 31 Januari 2018, saya
sajikan sebuah gambar.

Perhatikan gambar ilustrasi berikut ini:


A. Penggunaan Metode Penilaian Persediaan FIFO
Ketika metode penilaian persediaan FIFO digunakan selama periode inflasi
atau kenaikan harga-harga secara umum, biaya unit yang lebih awal akan
lebih rendah dibandingkan dengan biaya unit paling akhir, seperti ditunjukkan
dalam contoh di atas.

Oleh karena itu metode FIFO akan menghasilkan laba kotor yang lebih tinggi.
Akan tetapi, persediaan perlu diganti dengan harga yang lebih tinggi daripada
yang ditunjukkan oleh HPP (harga pokok penjualan).

Kenyataannya, neraca akan melaporkan persediaan akhir pada nilai yang


kurang lebih sama dengan biaya penggantian atau biaya untuk membeli
barang persediaan sejenis saat ini.

Ketika tingkat inflasi mencapai dua digit, seperti yang pernah terjadi pada
tahun 1970 an di Amerika Serikat, laba kotor yang tinggi yang dihasilkan dari
penggunaan metode FIFO sering disebut laba persediaan atau laba ilusi.

Sebaliknya, selama periode deflasi atau penurunan harga-harga secara


umum, pengaruhnya adalah kebalikannya.

02. Metode Penilaian Persediaan LIFO


Saat metode penilaian persediaan LIFO digunakan, sisa biaya persediaan
pada akhir periode berasal dari biaya perolehan paling awal.

Berdasarkan data seperti yang sama dengan contoh metode FIFO, biaya 150
unit dalam persediaan akhir per 31 Januari 2018 dihitung sebagai berikut :

Mengurangkan biaya persediaan per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.050.000


dari biaya barang tersedia untuk dijual sebesar Rp 5.880.000 akan
menghasilkan harga pokok penjualan (HPP) sebesar Rp 2.830.000

Perhatikan seperti ditunjukkan berikut ini :


Persediaan akhir per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.050.000 berasal dari
biaya perolehan paling awal.

HPP (harga pokok penjualan) sebesar Rp 2.830.000 berasal dari biaya


persediaan paling akhir.

Hubungan harga pokok penjualan untuk bulan Januari 2018 dan persediaan
akhir per 31 Januari 2018 bisa dilihat pada gambar ilustrasi berikut ini :

A. Penggunaan Metode Penilaian Persediaan LIFO


Saat metode LIFO digunakan selama periode inflasi atau kenaikan harga-
harga hasilnya adalah kebalikan dengan dua metode yang lain.

Seperti ditunjukkan dalam contoh di atas, metode LIFO akan menghasilkan


jumlah yang lebih tinggi untuk HPP (Harga Pokok Penjualan).
Dan jumlah yang lebih rendah untuk laba kotor dan jumlah yang lebih rendah
untuk persediaan akhir, dibandingkan dengan metode yang lain.

Alasan pengaruh ini adalah biaya peroehan unit yang paling akhir kurang
lebih sama dengan biaya penggantiannya.

Dalam periode inflasi, biaya unit yang lebih baru akan lebih tinggi
dibandingkan dengan harga unit yang lebih awal.
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa metode LIFO nyaris berhasil
membandingkan biaya saat ini dengan pendapataan saat ini (matching
current costs against current revenues).
Selama periode kenaikan harga-harga, metode LIFO menawarkan
penghematan dalam pajak penghasilan.

Karena melaporkan jumlah laba bersih yang lebih rendah dibandingkan


metode FIFO dan biaya rata-rata.

Pada saat inflasi dua digit tahun 1970-an di AS, banyak perusahaan beralih
dari metode FIFO menjadi LIFO untuk menghemat pembayaran pajak.

Tapi, persediaan akhir dalam neraca bisa berbeda dari biaya penggantian
saat ini.

Dalam kasus seperti ini, Laporan Keuangan biasanya memasukkan catatan


yang menyebutkan selisih yang diperkirakan antara persediaan LIFO dan
persediaan FIFO.

Dan perlu disadari bahwa pada saat deflasi, atau secara umum terjadi
penurunan harga-harga, maka pengaruhnya sebaliknya.

03. Metode Penilaian Persediaan Biaya Rata-rata


Metode biaya rata-rata disebut juga dengan metode biaya rata-rata tertimbang
(weighted average method).
Ketika metode ini digunakan biaya dipadankan terhadap pendapatan sesuai
dengan rata-rata biaya unit yang terjual.

Biaya unit rata-rata tertimbang yang sama digunakan dalam menghitung biaya
persediaan pada akhir periode.

Untuk perusahaan yang memiliki barang penjualan yang terdiri dari berbagai
pembelian unit yang identik, penerapan metode biaya rata-rata hampir
menyerupai arus fisik barang.

Biaya unit rata-rata tertimbang dihitung dengan membagi jumlah biaya unit
setiap barang yang tersedia untuk dijual selama periode tertentu dengan
jumlah unit barang terkait.

Dengan menggunakan data biaya yang sama dengan contoh metode FIFO
dan LIFO, biaya rata-rata 280 unit adalah sebesar Rp 21.000, dan biaya 150
unit dalam persediaan akhir, dihitung sebagai berikut :

Biaya unit rata-rata : Rp 5. 880.000 /280 unit = Rp 21.000


Persediaan 31 Januari 2018, 150 unit dengan biaya Rp 21.000 per unit = Rp
3.150.000

Mengurangi biaya persediaan per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.150.000 dari


biaya barang tersedia untuk dijual sebesar Rp 5.880.000 akan menghasilkan
harga pokok penjualan (HPP) sebesar Rp 2.730.000, seperti ditunjukkan
berikut ini :

A. Penggunaan Metode Penilaian Persediaan Biaya Rata – rata


Metode biaya rata-rata adalah hasil kompromi antara metode FIFO dan LIFO.
Pengaruh kecenderungan harga diambil rata-ratanya dalam menghitung HPP
(Harga Pokok Penjualan) dan persediaan akhir.

Untuk serangkaian pembeliaan, biaya rata-rata akan tetap sama, tanpa


memperhatikan arah kecenderungan harga.
Sebagai contoh, urutan biaya unit yang secara keseluruhan dibalik dengan
biaya unit seperti disajikan dalam contoh di atas, tidak akan berpengaruh
terhadap harga pokok penjualan (HPP), laba kotor atau persediaan akhir yang
dilaporkan.

Untuk me-refresh kembali, sekarang ada satu contoh lagi perhitungan biaya
persediaan.
Perhatikan Contoh soal berikut ini:
PT MK Network memiliki data-data unit suatu barang yang tersedia untuk
dijual selama tahun berjalan adalah sebagai berikut :

Terdapat 16 unit barang dalam penghitungan fisik persediaan per 31


Desember. Menggunakan sistem periodik dalam menentukan persediaan.

Hitunglah biaya persediaan menggunakan:

 1) metode FIFO,
 2) Metode LIFO, dan
 3) Metode biaya rata-rata.
Jawaban :
#1. Metode FIFO
= 16 unit X Rp 62.000 = Rp 992.000

#2. Metode LIFO


= (6 unit X Rp 50.000) + (10 unit X Rp. 55.000)
= Rp 850.000

#3. Metode Biaya Rata-rata


= Rp 2.310.000 / 40 = Rp 57.750
= 16 unit X Rp. 57.750 = Rp 924.000

04. Kesimpulan
Dari pembahasan ketiga metode di atas, arus biaya yang berbeda
diasumsikan untuk masing-masing dari tiga metode alternatif biaya
persediaan.

Perhatikan bahwa jika biaya unit tetap stabil, seluruh metode akan
mendapatkan hasil yang sama.
Akan tetapi karena harga berubah-ubah, tiga metode tersebut biasanya akan
menghasilkan jumlah yang berbeda untuk :

 Harga pokok penjualan (HPP) untuk periode berjalan


 Laba kotor dan laba bersih untuk periode tersebut
 Persediaan akhir
Dengan menggunakan contoh, misalnya penjualan sebesar Rp 3.900.000,
hasil dari perhitungan 130 unit x Rp 30.000, penggalan laporan laba rugi
berikut ini menunjukkan pengaruh setiap metode saat harga naik.

Perhatikan laporan laba rugi sebagian di atas, metode FIFO menghasilkan


jumlah paling rendah untuk HPP (Harga Pokok Penjualan)

Dan jumlah paling tinggi untuk laba kotor dan laba bersih dan juga persediaan
akhir.

Di satu sisi, metode penilaian persediaan LIFO menghasilkan jumlah paling


tinggi untuk HPP (harga pokok penjualan).

Dan jumlah paling rendah untuk laba kotor dan laba bersih, dan juga
persediaan akhir.

Metode penilaian persediaan biaya rata-rata menghasilkan jumlah di antara


yang dihasilkan FIFO dan LIFO.

Anda mungkin juga menyukai