Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

KEBUTUHAN DASAR ELIMINASI URINE PADA PASIEN


DENGAN

Oleh :
Gek Diah Aprillia
1502105045

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
KEBUTUHAN DASAR ELIMINASI URINE PADA PASIEN DENGAN

A. Konsep Kebutuhan Dasar Eliminasi Urine (BAK)


1. Definisi Eliminasi BAK
Eliminasi merupakan suatu proses pengeluaran zat-zat sisa yang tidak
diperlukan oleh tubuh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, eliminasi adalah
pengeluaran, penghilangan, penyingkiran, penyisihan. Dalam bidang kesehatan,
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin
atau feses (tinja). Eliminasi BAK adalah proses pengosongan kandung kemih bila
kandung kemih terisi. BAK ini juga sering disebut dengan miksi.
Sistem yang berperan dalam eliminasi urine adalah sistem perkemihan.
Dimana sistem ini terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Proses
pembentukan urine di ginjal terdiri dari 3 proses yaitu : filtrasi , reabsorpsi dan
sekresi. Proses filtrasi berlangsung di glomelurus. Proses ini terjadi karena
permukaan aferen lebih besar dari permukaan eferen. Proses reabsorpsi terjadi
penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida, fosfat, dan
beberapa ion karbonat. Proses sekresi ini sisa reabsorpsi diteruskan keluar.

2. Anatomi Fisiologi BAK


2.1 Ginjal
Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk seperti kacang buncis,
berwarna coklat agak kemerahan, yang terdapat di kedua sisi vertebra
posterior dengan peritoneum dan terletak pada otot punggung bagian dalam.
Ginjal terbentang dari vertebra torakalis ke-12 sampai vertebra lumbalis ke-3.
Dalam kondisi normal, ginjal kiri lebih tinggi 1,5 – 2 cm dari ginjal
kanan karena posisi anatomi hati. Setiap ginjal secara khas berukuran 12 cm x
7 cm dan memiliki berat 120-150gram. Sebuah kelenjar adrenal terletak
dikutub superior setiap ginjal, tetapi tidak berhubungan langsung dengan
proses eliminasi urine. Setiap ginjal di lapisi oleh sebuah kapsul yang kokoh
dan di kelilingi oleh lapisan lemak.
Fungsi ginjal
a) Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun,
b) Mempertahankan suasana keseimbangan cairan,
c) Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh
d) Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin
dan amoniak.

2.2 Ureter
Sebuah ureter bergabung dengan setiap pelvis renalis sebagai rute
keluar pertama pembuangan urine. Ureter merupakan struktur tubulan yang
memiliki panjang 25-30 cm dan berdiameter 1,25 cm pada orang dewasa.
Ureter membentang pada posisi retroperitonium untuk memasuki kandung
kemih didalam rongga panggul (pelvis) pada sambungan ureter
ureterovesikalis. Urin yang keluar dari ureter kekandung kemih umumnya
steril.

2.3 Vesika Urinaria (Kandung kemih)


Kandung kemih adalah ruangan berdinding otot polos yang terdiri dari
dua bagian besar, yaitu badan (corpus) yang merupakan bagian utama
kandung kemih dimana urin berkumpul dan leher (kollum), merupakan
lanjutan dari badan yang berbentuk corong, berjalan secara inferior dan
anterior ke dalam daerah segitiga urogenital dan berhubungan dengan uretra.
Bagian yang lebih rendah dari leher kandung kemih disebut uretra posterior
karena hubungannya dengan uretra
Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor. Serat-serat ototnya
meluas ke segala arah dan bila berkontraksi, dapat meningkatkan tekanan
dalam kandung kemih menjadi 40 sampai 60 mmHg. Dengan demikian,
kontraksi otot detrusor adalah langkah terpenting untuk mengosongkan
kandung kemih. Sel-sel otot polos dari otot detrusor terangkai satu sama lain
sehingga timbul aliran listrik berhambatan rendah dari satu sel otot ke sel otot
lainnya. Oleh karena itu, potensial aksi dapat menyebar ke seluruh otot
detrusor, dari satu sel otot ke sel otot berikutnya, sehingga terjadi kontraksi
seluruh kandung kemih dengan segera.
Pada dinding posterior kandung kemih, tepat diatas bagian leher dari
kandung kemih, terdapat daerah segitiga kecil yang disebut Trigonum. Bagian
terendah dari apeks trigonum adalah bagaian kandung kemih yang membuka
menuju leher masuk kedalam uretra posterior, dan kedua ureter memasuki
kandung kemih pada sudut tertinggi trigonum. Trigonum dapat dikenali
dengan melihat mukosa kandung kemih bagian lainnya, yang berlipat-lipat
membentuk rugae. Masing-masing ureter, pada saat memasuki kandung
kemih, berjalan secara oblique melalui otot detrusor dan kemudian melewati 1
sampai 2 cm lagi dibawah mukosa kandung kemih sebelum mengosongkan
diri ke dalam kandung kemih.
Leher kandung kemih (uretra posterior) panjangnya 2 – 3 cm, dan
dindingnya terdiri dari otot detrusor yang bersilangan dengan sejumlah besar
jaringan elastik. Otot pada daerah ini disebut sfinter internal. Sifat tonusnya
secara normal mempertahankan leher kandung kemih dan uretra posterior agar
kosong dari urin dan oleh karena itu, mencegah pengosongan kandung kemih
sampai tekanan pada daerah utama kandung kemih meningkat di atas ambang
kritis.
Setelah uretra posterior, uretra berjalan melewati diafragma urogenital,
yang mengandung lapisan otot yang disebut sfingter eksterna kandung kemih.
Otot ini merupakan otot lurik yang berbeda otot pada badan dan leher
kandung kemih, yang hanya terdiri dari otot polos. Otot sfingter eksterna
bekerja di bawah kendali sistem saraf volunter dan dapat digunakan secara
sadar untuk menahan miksi bahkan bila kendali involunter berusaha untuk
mengosongkan kandung kemih.

2.4 Uretra
Urin keluar dari kandung kemih melalui uretra dan keluar dari tubuh
melalui meatus uretra. Dalam kondisi normal, aliran urin yang mengalami
turbulansi membuat urin bebas dari bakteri. Membrane mukosa melapisi
uretra, dan kelenjar uretra mensekresi lendir kedalam saluran uretra. Lendir
dianggap bersifat bakteriostatis dan membentuk plak mukosa untuk mencegah
masuknya bakteri. Lapisan otot polos yang tebal mengelilingi uretra.

2.5 Persarafan Kandung Kemih


Persarafan utama kandung kemih adalah nervus pelvikus, yang
berhubungan dengan medula spinalis melalui pleksus sakralis, terutama
berhubungan dengan medula spinalis segmen S-2 dan S-3. Berjalan melalui
nervus pelvikus ini adalah serat saraf sensorik dan serat saraf motorik. Serat
sensorik mendeteksi derajat regangan pada dinding kandung kemih. Tanda-
tanda regangan dari uretra posterior bersifat sangat kuat dan terutama
bertanggung jawab untuk mencetuskan refleks yang menyebabkan
pengosongan kandung kemih.
Saraf motorik yang menjalar dalam nervus pelvikus adalah serat
parasimpatis. Serat ini berakhir pada sel ganglion yang terletak pada dinding
kandung kemih. Saraf ganglion pendek kemudian mempersarafi otot detrusor.
Selain nervus pelvikus, terdapat dua tipe persarafan lain yang penting untuk
fungsi kandung kemih. Yang terpenting adalah serat otot lurik yang berjalan
melalui nervus pudendal menuju sfingter eksternus kandung kemih. Ini adalah
serat saraf somatik yang mempersarafi dan mengontrol otot lurik pada
sfingter. Kandung kemih juga menerima saraf simpatis dari rangkaian
simpatis melalui nervus hipogastrikus, terutama berhubungan dengan segmen
L-2 medula spinalis. Serat simpatis ini mungkin terutama merangsang
pembuluh darah dan sedikit mempengaruhi kontraksi kandung kemih.
Beberapa serat saraf sensorik juga berjalan melalui saraf simpatis dan
mungkin penting dalam menimbulkan sensasi rasa penuh dan pada beberapa
keadaan, rasa nyeri.
2.6 Sensasi rasa nyeri pada Ureter dan Refleks Ureterorenal.
Ureter dipersarafi secara sempurna oleh serat saraf nyeri. Bila ureter
tersumbat (contoh : oleh batu ureter), timbul refleks konstriksi yang kuat
sehubungan dengan rasa nyeri yang hebat. Impuls rasa nyeri juga
menyebabkan refleks simpatis kembali ke ginjal untuk mengkontriksikan
arteriol-arteriol ginjal, dengan demikian menurunkan pengeluaran urin dari
ginjal. Efek ini disebut refleks ureterorenal dan bersifat penting untuk
mencegah aliran cairan yang berlebihan kedalam pelvis ginjal yang ureternya
tersumbat.
Fisiologi Miksi Sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses
eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Proses ini
terjadi dari dua langkah utama yaitu : Kandung kemih secara progresif terisi
sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang
kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks saraf yang disebut
refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung
kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan
keinginan untuk berkemih.

2.7 Proses Berkemih


a. Proses Filtrasi
Terjadi penyerapan darah, yang tersaring adalah bagian cairan darah
kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen
yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll,
diteruskan ke tubulus ginjal. Cairan yang disaring disebut filtrate
glomerulus.
b. Proses Reabsorbsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,
sodium, klorida, fospat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi
secara pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus proximal. Sedangkan pada
tubulus distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila
diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif)
dan sisanya dialirkan pada papilla renalis.
c. Proses sekresi.
Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan ke
papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar.

2.8 Urin (Air Kemih)


Sifat fisis air kemih, terdiri dari:
 Jumlah ekskresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari pemasukan
(intake) cairan dan faktor lainnya.
 Warna, bening kuning muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.
 Warna, kuning tergantung dari kepekatan, diet obat-obatan dan sebagainya.
 Bau, bau khas air kemih bila dibiarkan lama akan berbau amoniak.
 Berat jenis 1,015-1,020.
 Reaksi asam, bila lama-lama menjadi alkalis, juga tergantung dari pada diet
(sayur menyebabkan reaksi alkalis dan protein memberi reaksi asam).
Komposisi air kemih, terdiri dari:
 Air kemih terdiri dari kira-kira 95% air.
 Zat-zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein, asam urea, amoniak
dan kreatinin.
 Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fospat dan sulfat.
 Pagmen (bilirubin dan urobilin).
 Toksin.
 Hormon.
Ciri-Ciri Urin Normal
 Rata-rata dalam satu hari 1-2 liter, tapi berbeda-beda sesuai dengan jumlah
cairan yang masuk.
 Warnanya bening oranye tanpa ada endapan.
 Reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Eleminasi BAK
3.1 Diet dan Asupan (intake)
Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang memengaruhi output
urine (jumlah urine). Protein dapat menentukan jumlah urine yang dibentuk.
Selain itu, juga dapat meningkatkan pembentukan urine.
3.2 Respons Keinginan Awal untuk Berkemih
Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat menyebabkan
urine banyak tertahan di dalam urinaria sehingga memengaruhi ukuran vesika
urinaria dan jumlah urine.
3.3 Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi
dalam kaitannya terhadap tersedianva fasilitas toilet.
3.4 Stres Psikologis
Meningkatnya stres dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi keinginan
berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk keinginan berkemih
dan jumlah urine yangdiproduksi.
3.5 Tingkat Aktivitas
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk
fungsi sfingter. Hilangnya tonus otot vesika urinaria menyebabkan
kemampuan pengontrolan berkemihmenurun dan kemampuan tonus otot
didapatkan dengan beraktivitas.
3.6 Tingkat Perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga dapat memengaruhi pola
berkemih. Haltersebut dapat ditemukan pada anak, yang lebih memiliki
mengalami kesulitan untukmengontrol buang air kecil. Namun dengan usia
kemampuan dalam mengontrol buang airkecil.
3.7 Kondisi Penyakit
Kondisi penyakit dapat memengaruhi produksi urine, seperti diabetes mellitus
3.8 Sosiokultural
Budaya dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urine, seperti
adanya kultur pada masyarakat tertentu yang melarang untuk buang air kecil
di tempat tertentu.
3.9 Tonus Otot
Tonus otot yang memiliki peran penting dalam membantu proses berkemih
adalah ototkandung kemih, otot abdomen dan pelvis. Ketiganya sangat
berperan dalam kontraksi pengontrolan pengeluaran urine.
3.10 Pengobatan
Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada terjadinya peningkatan
atau penurunan -proses perkemihan. Misalnya pemberian diuretik dapat
meningkatkan jumlah urine, sedangkan pemberian obat antikolinergik dan
antihipertensi dapat menyebabkan retensi urine.

4. Gangguan Eliminasi BAK


a. Retensi Urine
Merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih akibat
ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan isinya, sehingga
menyebabkan distensi dari vesika urinaria. Atau, retensi urine dapat pula
merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengosongan kandung
kemih yang tidak lengkap. Kandungan urine normal dalam vesika urinaria
adalah sebesar 250-450 ml, dan sampai batas jumlah tersebut urine
merangsang refleks untuk berkemih. Dalam keadaan distensi, vesika urinaria
dapat menampung sebanyak 3000-4000 ml urine.
Pada kondisi normal, produksi urine mengisi kandung kemih dengan
perlahan dan mencegah katibitasi reseptor regangan sampai distensi kandung
kemih meregng pada level tertentu. Refleks berkemih terjadi dan kandung
kemih menjadi kosong dalam kondisi retensi urine, kandung kemih tidak
mampu berespon terhadap refleks berkemih sehingga tidak mampu untuk
mengosongkan diri.
Tanda-tanda utama retensi aku ialah tidak adanya haluaran urine
selama beberapa jam dan terdapat distensi kandung kemih. Klien yang berada
di bawah pengaruh anestesi atau analgetik mungkin hanya merasa adanya
tekanan, tetapi klien yang sadar akan merasakan nyeri hebat karena distensi
kandung kemih melampaui kapasitas normalnya.
b. Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan otot sfingter eksternal
sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urine. Secara umum,
penyebab dari inkontinensia: proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat,
penurunan kesadaran dan penggunaan obat narkotik atau sedatif.
Inkontinensia urine terdiri atas:
1. Inkontinensia Urgensi
Merupakan keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urine tanpa
sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat untuk berkemih.
2. Inkontinensia Total
Merupakan keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urine yang
terus-menerus dan tidak dapat diperkirakan.
3. Inkontinensia Stres
Merupakan keadaan sesorang yang mengalami kehilangan urine kurang dari
50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen.
4. Inkontinensia Refleks
Merupakan keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urine yang
tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume
kandung kemih mencapai jumlah tertentu.
5. Inkontinensia Fungsional
Merupakan keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urine secara
tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.
Inkontinesia tidak harus selalu dikaitkan dengan lansia. Inkontinesia
dapat dialami setiap invidu pada usia berapa pun, walaupun kondisi ini lebih
umum di alami oleh lansia. Inkontinesia dapat merusak citra tubuh. Pakaian
yang dapat menjadi basah oleh urine dan bau yang menyertainya dapat
menambah rasa malu. Akibatnya, klien yang mengalamai masalah ini sering
menghindari aktivitas sosial.
c. Enuresis
Merupakan ketidaksanggupan menahan kemih (mengompol) yang diakibatkan
tidak mampu mengontrol sfingter eksterna. Enuresis biasanya terjadi pada
anak atau orang jompo, umumnya malam hari.

5. Pemeriksaan Penunjang Pemenuhan Eliminasi BAK


a. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan sistem perkemihan dapat mempengaruhi berkemih
prosedur, seperti suatu tindakan pielogram intravena atau urogram, tidak
memperoleh klien mengonsumsi cairan per oral sebelum tes di lakukan.
Pembatasan asupan cairan umumnya akan mengurangi haluran urine.
Pemeriksaan diagnostic (sistoskopi) yang melibatkan visulisasi lansung
struktur kemih dapat menyebabkan timbulnya edema local pada jaln keluar
ureter dan spasme pada sfingfer kandung kemih. Klien sering mengalami
retensi urine setelah menjalani prosedur ini dan daapt mengeluarkan urine
berwarna merah atau merah muda karena pendarahan akibat trauma pada
mukosa ureter atau mukosa kandung kemih.
b. Pemeriksaan Urine
Perawat sering mengumpulkan specimen urine untuk pemeriksaan
urine untuk pemeriksaan laboratorium. Tipe pemeriksaan menentukan metode
pengumpulan urine. Semua specimen diberi label yang berisi nama klien,
tanggal dan waktu pengumpulan urine. Spesimen harus di kirim ke
laboratorium dengan tepat waktu untuk memastikan keakuratan hasil
pemeriksaan. Kebijakan pengontrolan infeksi yang di tetapkan lembaga harus
di patuhi sebagai tindakan pencegahan standar oleh semua personel kesehatan
selama menangani spesimen.
Pengumpulan spesimen. Perawat mengumpulkan spesimen urine
secara acak, pengeluaran spesimen bersih atau spesimen yang di ambil dari
aliran pertengahan (midstream) saat berkemih, spesimen waktu tertentu.
Spesimen acak. Spesimen urine yang rutin yang di ambil secara acak dapat
dikumpulkan dari urine klien saat berkemih secara alami dari kateter foley
atau kantung pengumpul urine pada klien yang menjalani diversi urinarius.
Spesimen harus bersih, tetapi tidak perlu steril. Spesime yang diambil secara
acak digunakan untuk mengukur berat jenis pH atau kadar glukosa dalam
urine secara spesifik.
Klien berkemih ke dalam wadah urine yang bersih, urinal, atau pispot.
Banyak klien mampu melakuakn hal ini dengan madiri. Namun, klien yang
menjalni pembatasan mobilitas atau klien yang penglihatannya buruk
mungkin membutuhkan bantuan perawat. Mengumpulkan spesimen akan
lebih mudah jika klien meminum segelas cairan 30 menit sebelum prosedur
dilakukan. Klien harus sebelum defekasi, sehingga feses tidak
mengkontaminasi spesimen. Klien wanita juga diintruksikan untuk menaruh
tisu toilet di pispot. Hanya 120 ml urine yang dibutuhkan untuk pemeriksaan
yang akurat. Setelah spesimen dikumpulkan, perawat memasang tutup dengan
ketat pada wadah spesimen, membersihkan setiap urine yang mengenai bagian
bagian luar wadah, meletakkan wadah di kantung plastic, dan kirim segera
spesmen yang sudah di beri label ke laboratorium.

6. Penatalaksanaan Gangguan Pemenuhan Eliminasi BAK


a. Inkontinensia Urin
Penanganan inkontinesia urin bergantung pada faktor penyebab yang
mendasarinya. Penatalaksanaan yang berhasil bergantung pada tipe
inkontinensia urin dan faktor penyebabnya. Inkontenensia urine dapat bersifat
sepintas atau reversible; setelah penyebabnya yang mendasari diatasi, pola
urinasi pasien akan kembali normal.
Penyebab yang bersifat reversible dan sering terjadi secara singkat dapat
diingat melalui singkat DIAPPERS. Penyebab ini mencakup keadaan berikut:
delirium, infeksi saluran kemih, atrofik vaginitis atau uretritis,
pharmacological agents (agen farmakologi; preparat antikolinergik, sedative,
alcohol, diuretic, relaksan otot, preparat adrenergik) , psychological factor
(faktor psikologis; depresi, regresi), excessive urine production (asupan
cairan yang berlebihan, kelainan endokrin yang menyebabkan dieresis) ,
restricted activity (aktivitas yang terbatas), dan stool infaction (imfaksi fekal)
(AHCPR, 1992). Setelah semua berhasil diatasi, pola urinaria pasien biasanya
kembali normal.
1) Penatalaksanaan medis:
 Pemberian obat deuretik (farmakologis)
 Pemasangan folley kateter
 Perbaikan vagina
 Suspensi kandung kemih pada abdomen dan elevasi kolum vesika urinaria
 Aplikasi stimulasi elektronik pada dasar panggul dengan bantuan pulsa
generator miniatur yang dilengkapi electrode yang dipasang pada sumbat
intra-anal.
 Pengaturan diet dan menghindari makanan/minuman yang mempengaruhi
pola berkemih (seperti kafein dan alkohol).
b. Retensi Urine
Sejumlah tindakan diperlukan untuk mencegah distensi kandung kemih yang
berlebihan dan mengatasi infeksi atau obstruksi. Meskipun demikian, banyak
permasalahan dapat dicegah dengan pengkajian keperawatan yang cermat
dan intervensi keperawatan yang tepat.
1) Penatalaksanaan medis:
 Obat diuretik thiazid (misalnya trichlormetazid) akan mengurangi
pembentukan batu yang baru. ( farmakologi )
 Diet rendah kalsium dan mengkonsumsi natrium selulosa fosfat.
 Ureterotomi adalah tindakan operasi dengan jalan membuat stoma
pada dinding perut untuk drainase urine. Operasi ini dilakukan karena
adanya penyakit atau disfungsi pada kandung kemih. Pada beberapa
kasus, sebuah selang mungkin perlu di tempatkan secara langsung
kedalam pelvis renalis untuk memungkinkan drainase urine. Prosedur
ini disebut nefrostomi.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
A. Identitas
 Pasien
Nama : ...
Umur : ...
Jenis kelamin : ...
Pendidikan : ...
Pekerjaan : ...
Status perkawinan : ...
Agama : ...
Suku : ...
Alamat : ...
Tanggal masuk : ...
Tanggal pengkajian : ...
Sumber Informasi : ...
Diagnosa masuk : ...
 Penanggung
Nama : ...
Hubungan dengan pasien : ...
B. Riwayat keluarga : ...
C. Status kesehatan
 Status Kesehatan Saat Ini
Keluhan utama (saat MRS dan saat ini)
1. Biasanya klien datang dengan keluhan mengalami rasa berat dikaki
atau kelambatan atau kekakuan dalam berjalan atau kelumpuhan.

Alasan masuk Rumah Sakit dan perjalanan penyakit saat ini


Saat datang ke rumah sakit, tanyakan pada keluarga mengenai
alasan klien masuk rumah sakit dan perjalanan terjadinya
myelopati.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
Menanyakan pada keluarga upaya untuk mengatasi myelopati,
misalnya, pergi ke pelayanan kesehatan terdekat.
 Status Kesehatan Masa Lalu
Menanyakan tentang penyakit-penyakit yang berhubungan langsung
dengan penyakit myelopati, seperti riwayat penyakit degenaratif
seperti osteoartrosis vertebra servikal yang dapat menyebabkan
kompresi medula spinalis atau riwayat sklerosis multiple, atau adanya
riwayat terjatuh dari ketinggian, dengan posisi kaki kaki atau bokong
(duduk). Tekanan mengakibatkan fraktur vertebra dan menekan
medula spinalis.
D. Riwayat Penyakit Keluarga : ...
E. Diagnosa Medis dan therapy :
F. Pola Fungsi Kesehatan
 Pemeliharaan dan persepsi terhadap kesehatan
Tindakan yang dilakukan klien untuk mengobati myelopati
kompresi.
 Pola nutrisi atau metabolic
Sebelum MRS apakah klien mual, muntah dan mengalami
penurunan nafsu makan sebelumnya.
 Pola eliminasi
Sebelum MRS apakah klien mengalami gangguan fungsi
berkemih dan BAB. Apakah pasien mengalami inkontinensia
defekasi dan berkemih. Retensi urin, distensi abdomen, peristaltik
usus hilang, melena, emesis berwarna seperti kopi
tanah/hematemesis.
 Pola aktivitas dan latihan
Sebelum MRS apakah klien tiba-tiba mengalai kelemahan atau
kelumpuhan pada separuh bagian tubuh. Kelumpuhan otot (terjadi
kelemahan selama syok spinal) pada/ di bawah lesi. Kelemahan
umum/kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
 Pola tidur dan istirahat.
 Pola kognitif dan perceptual
Sebelum MRS apakah klien mengalami sakit atau nyeri yang
hebat.
 Pola persepsi diri atau konsep diri
Sebelum MRS apakah klien menyangkal, tidak percaya, sedih,
marah. Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
 Pola seksual dan reproduksi
Keinginan untuk kembali seperti fungsi normal, atau mengalami
ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.
 Pola peran hubungan
 Pola manajemen koping stress
 Pola keyakinan-nilai

G. Riwayat Kesehatan dan Pemeriksaan fisik


Keadaan umum : ...
TTV TD : … Nadi : ... Suhu : ... RR : ...
a. Pemeriksaan fisik
1. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan gangguan pada sistem
persarafan klien, dimana klien dapat mengalami kelemahan pada
bagian tubuh, dan penurunan kekuatan otot, adanya edema medulla
spinalis, selain itu dapat ditemukan pula adanya riwayat nyeri pada
area trauma. Intermiten penembakan nyeri ke lengan dan kaki (seperti
tersengat listrik), terutama ketika menekuk kepala mereka ke depan
(dikenal sebagai fenomena Lermitte). Perasaan asimetris pada kaki dan
lengan mengakibatkan sensasi posisi pada lengan dan kaki menghilang
sehingga sulit berjalan. Kehilangan kontrol pada sfingter, akibatnya
terjadi inkontinensia urine.

H. Pemeriksaan Penunjang :
- CT Scan memperlihatkan Otot polos dengan potongan-potongan dapat
menunjukkan osteopit yang berada di dalamspinal colum.
- Sinar X menggambarkan abnormal gerakan atau tidak stabil berupa
foto polos vertebra AP/Lateral/Oblique.
- MRI menunjukkan jaringan lunak di sekitar tulang (saraf, diskus)
selain tulang.
- Pungsi lumbal memperlihatkan adanya peningkatan dan cairan yang
mengandung darah menunjukan adanya infeksi medulla spinalis.
- SSEP (Somato Sensory Evoked Potensial) mengukur kemampuan
sensorik saraf dengan sebuah listrik di lakukan dengan
merangsang lengan atau kaki dan kemudian membaca sinyal di otak.
- Pemeriksaan laboratorium meliputi darah rutin, kimia darah, urin
lengkap.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik d.d respon autonom
(seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi
dan dilatasi pupil), tingkah laku ekspresif (gelisah, merintih, menangis,
waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah).
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular d.d keterbatasan kemampuan untuk melakukan
keterampilan motorik kasar, keterbatasan kemampuan untuk
melakukan keterampilan motorik halus, perubahan gaya berjalan
(misalnya penurunan kecepatan berjalan, kesulitan memulai jalan,
langkah sempit, kaki diseret, goyangan yang berlebihan pada posisi
lateral), bergerak menyebabkan nafas menjadi pendek, usaha yang
kuat untuk perubahan gerak (peningkatan perhatian untuk aktivitas
lain, mengontrol perilaku, fokus dalam anggapan ketidakmampuan
aktivitas), pergerakan yang lambat.
c. Retensi urin berhubungan dengan hambatan dalam refleks berkemih
d.d distensi blader, sedikit sering berkemih atau tidak sama sekali.
d. Inkontinensia urin total berhubungan dengan trauma atau penyakit
yang mempengaruhi saraf medulla spinal d.d Inkontinensia tidak
disadari, Keterbatasan kesadaran pengisian perineal atau blader, Urin
mengalir secara konstan pada waktu yang tak dapat diperkirakan tanpa
bantuan kontraksi atau spasme blader
e. Konstipasi berhubungan dengan kelemahan neurologis pada lumbal
d.d Perubahan pola BAB, Nyeri saat defekasi, Fekuensi BAB
menurun, Perasaan rektal penuh atau tertekan.
f. Inkontinensia bowel berhubungan dengan keabnormalan sfingter
rectum d.d Ketidakmampuan menunda defekasi, Dorongan defekasi,
Laporan ketidakmampuan merasakan rektal penuh.
g. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh atau
fungsi (trauma) d.d Mengungkapkan masalah, Perubahan dalam
mencapai kepuasan seksual, Perubahan hubungan dengan orang yang
berharga, Perubahan dalam mencapai peran seks yang diterima.
h. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kerusakan
fungsional lumbal d.d Mengungkapkan diri yang negative, Bimbang,
perilaku nonasertif, Mengekspresikan tidak berdaya dan tidak berguna.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Terlampir.

4. Evaluasi
Diagnosa Evaluasi
Nyeri akut S : Tanyakan pada pasien apakah level nyeri sudah
berhubungan dengan berkurang atau belum setelah perawatan selama 3 x
agen injuri fisik 24 jam? O : Level nyeri pasien sudah berkurang
A : Tujuan tercapai sebagian
P : Lakukan kontrol nyeri dan manajemen nyeri
selanjutnya
Kerusakan mobilitas S : Tanyakan pada pasien apakah sudah dapat
fisik yang berhubungan bergerak dalam batas fungsi atau belum
O : Pasien sudah memperlihatkan usaha melakukan
dengan kerusakan
latihan dalam batas fungsi
neuromuskular
A : Tujuan tercapai sebagian
P : Melatih pasien dengan ROM
Retensi urin S : Tanyakan pada pasien apakah sudah
mengonsumsi asupan cairan yang adekuat atau
berhubungan dengan
belum?
hambatan dalam refleks O : Pasien sudah mengonsumsi cairan yang adekuat
A : Tujuan tercapai
berkemih
P : Menjaga asupan cairan yang adekuat
Inkontinensia urin total S : Tanyakan pada pasien apakah terjadi tanda-tanda
infeksi pada saluran urine misalnya berkemih jernih
berhubungan dengan
dan urine encer
trauma atau penyakit O : Pasien tidak terjadi tanda-tanda infeksi pada
saluran urine (warna urine jernih dan encer)
yang mempengaruhi
A : Tujuan tercapai
saraf medulla spinal P : Menjaga agar tidak timbul tanda-tanda infeksi
saluran urine selama masih perawatan
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : Penerbit Salemba Mediak.
Brunner & Suddarth, (2002.) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3 .
Jakarta : EGC.
Bulecheck, M.G & Dotcherman. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) 5th
ed. Mosby Year Book. Philadelphia, J.B. Lippincott.
Bulecheck, M.G & Dotcherman. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC) 5 th ed.
Mosby Year Book. Philadelphia, J.B. Lippincott
Perry, Potter.2006.Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik
Edisi 4.Jakarta.EGC
Price, A., Sylvia & Wilson, M., Lorraine.2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2.Jakarta : EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI
Universitas Hasannudin. 2016. BAHAN AJAR II MIELOPATI. Diakses dari:
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/Bahan-Ajar-
2_-Mielopati.pdf

Anda mungkin juga menyukai