Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS

DISUSUN OLEH:

dr. Nurul Akla

PEMBIMBING:

dr. Jerry Nasarudin, SP.PD

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PESANGGRAHAN

JAKARTA SELATAN

AGUSTUS 2019
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 3

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 3

BAB 2 STATUS PASIEN ...................................................................................... 4

2.1. IDENTITAS PASIEN ...................................................................................... 4

2.2 ANAMNESIS ................................................................................................... 4

2.3. PEMERIKSAAN FISIK .................................................................................. 5

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 14

3.1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik .................................................................... 14

3.1.1 Definisi ..................................................................................................... 14

3.1.2 Epidemiologi ............................................................................................ 14

3.1.3 Etiologi ..................................................................................................... 14

3.1.4 Patogenesis ............................................................................................... 16

3.1.5 Patofisiologi.............................................................................................. 18

3.1.6 Manifestasi Klinis..................................................................................... 20

3.1.7 Diagnosis .................................................................................................. 20

3.1.7 Derajat PPOK ........................................................................................... 25

3.1.8 Penatalaksanaan ........................................................................................ 28

3.1.9 Komplikasi ............................................................................................... 36

BAB 4 PEMBAHASAN KASUS ......................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 38

2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak
menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya
antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan
faktor risiko. PPOK menempati urutan ke-4 penyebab kematian diseluruh dunia,
namun akan diperkirakan menjadi penyebab ke-3 pada tahun 2020. Lebih dari 3
juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2012 dan dengan prevalensi 6%
kematian di seluruh dunia.1,2
. The Asia Pacific COPD Round Table Group memperkirakan, jumlah
penderita PPOK sedang hingga berat dinegara-negara Asia pasifik tahun 2006
mencapai 56,6 Juta penderita dengan prevalensi 6,3 %. Sementara di Indonesia
diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita dengan prevalensi 5,6%. Di Indonesia
tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. SKRT Depkes RI 1992
menunjukkan angka kematian karena asma, bronchitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.1
PPOK merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas
diseluruh dunia. Diperkirakan penyakit ini akan terus meningkat dalam beberapa
dekade kedepan karena eksposur terus-menerus dari faktor risiko PPOK dan usia
dari sebuah populasi, seperti banyaknya jumlah perokok khususnya pada
kelompok usia muda; serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar
ruangan dan di tempat kerja.1,2
Disamping itu dari kompetensi sumber daya manusia serta peralatan standar
untuk mendiagnosis PPOK seperti sprirometri hanya terdapat di rumah sakit besar
saja, sering kali jauh dari Puskesmas yang merupakan fasilitas pelayanan primer
yang mudah diakses oleh penduduk. Untuk itu perlu disosialisasikan baik untuk
kalangan medis maupun masyarakat luas dalam upaya pencegahan, diagnosis dini,
penatalaksanaan yang rasional dan rehabilitasi.1

3
BAB 2

STATUS PASIEN

2.1. IDENTITAS PASIEN


 Nama: Tn. H J
 Umur: 64 Tahun
 Nomor Rekam Medis: 00039906
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Agama: Islam
 Status: Menikah
 Alamat: Jl. Masjid Al Muflihun RT/RW 007/010 Bintaro Pesanggrahan
 Tanggal Kunjungan : 28 Juli 2019

2.2 ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan pada tanggal 28 Juli 2019. Anamnesa yang dilakukan


berupa autoanamnesa dan alloanamnesa.

Keluhan Utama

Pasien datang dengan keluhan sesak napas.

a. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak tadi malam. Sesak muncul secara
tiba-tiba, tidak berhubungan dengan cuaca, suhu, waktu, dan perubahan posisi.
Pasien hanya dapat berbicara dalam kata-kata. Napas berbunyi mengi dijumpai.
terbangun tengah malam karena sesak tidak dijumpai. sesak ketika beraktifitas
disangkal. Bengkak pada kaki tidk dijumpai, nyeri dada tidak dijumpai. pasien
juga mengeluhkan batuk yang sudah dialami 1 bulan ini dan tidak berkurang jika
diberikan obat batuk yang dibeli di warung. Batuk bersifat hilang timbul disertai

4
dengan dahak yang bening. Penurunan berat badan dan keringat malam tidak
dijumpai. Demam tidak dijumpai. Riwayat sesak terakhir kemarin, Keluhan sesak
ini sudah berulang 5 kali selama setahun ini. Riwayat penggunaan obat symbicort,
amlodipin, salbutamol.

b. Riwayat Penyakit Dahulu


- Pasien memiliki riwayat hipertensi
- Sebelumnya pasien memiliki riwayat hernia dan dioperasi pada tahun
2017
c. Riwayat diet:
- Makan 2x/hari nasi sejumlah dua centong nasi, dengan lauk pauk 1
potong dan sayuran. Pasien minum kopi 2 gelas dalam sehari.
d. Riwayat Pribadi dan Sosial
- Pasien merokok sejak usia 15 tahun, dan baru berhenti merokok 2
tahun ini
- Pembayaran dengan JKN
- Riwayat alergi makanan dan obat-obatan tidak dijumpai.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal Pemeriksaan : 28 Juli 2019

Keadaan Umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : compos mentis

Berat Badan : 63 kg

Tinggi Badan : 160 cm

IMT : 24,60 kg/m2

Tanda Vital

Tekanan darah : 140/90 mmHg

5
Nadi : 119x/ menit.

Frekuensi Napas : 31x/ menit.

Suhu : 36,5OC.

SaO2 : 84% room air

Status Lokalis

 Kepala : normocephal, bekas luka (-), rambut hitam distribusi


merata
 Muka : normofacies
 Mata :
o Palpebra edema (-)
o Kornea jernih, ulkus (-), infiltrat (-)
o Pupil isokor 3mm/3mm reaktif RCL +/+ RCTL+/+
o konjungtiva anemis (-/-)
o sklera ikterik (-/-)
 Hidung : septum deviasi (-), sekret (-/-), hiperemis (-/-)
 Telinga : normotia (+/+), serumen (-/-), sekret(-/-), pendengaran
kedua telinga normal
 Mulut ,bibir : dalam batas normal
 Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-), deviasi trakea (-), kelenjar parotis dbn
 Axilla : Tidak terlihat maupun teraba benjolan ataupun
pembesaran kelenjar getah bening
 Jantung : S1/S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)
 Paru : Pergerakan kedua dada simetris, retraksi (+/+), tactile
vocal fremitus simetris, pengembangan dada simetris. Perkusi sonor
seluruh lapang paru, peranjakan paru-liver ICS 6. Suara nafas vesikuler
(+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (+/+)
 Abdomen :

6
o Inspeksi : cembung, capus medusae(-), bekas luka (-), massa (-)
o Auskultasi : BU (+) 12x/menit.
o Perkusi : dull pada lateral abdomen, shifting dullness (-)
o Palpasi :
 Supel, Nyeri tekan (-), massa (-).
 Inguinal : pembesaran kelenjar getah bening (-)
 Ekstremitas : Akral hangat, CRT< 2 detik, pitting edema -/- tungkai bawah
Pemeriksaan Laboratorium

Nama Pemerikaan Hasil Nilai Normal Satuan

Pemeriksaan Hematologi

Hemoglobin 12,7 11.2-17.5 gr/dL

Hematokrit 38 34-50 %

Leukosit 12.330 3.980-10.040 Ul

Trombosit 226.000 163.000-369.000 Ul

Eritrosit 4.12 3.93-6.08 Juta/ul

MCV 91 79.0-94.8 fL

MCH 30.8 25.6-32.2 Pg

MCHC 33.9 32.2-36.5 Gr/Dl

Hitung jenis leukosit

Basofil 0 0-1 %

Eosinofil 1 1-7 %

Neutrofil 93 34-71 %

7
Limfosit 4 19-53 %

Monosit 2 5-13 %

Elektrokardiografi

Foto Thorax AP

8
Corakan bronkovaskular meningkat, tak tampak penebalan pleural space bilateral,
kedua diafragma licin, tak mendatar, cor CTR>0,56, Sistema tulang yang
tervisualisasi intak
Kesan : Cardiomegali + Corakan bronkovaskular meningkat
2.4 RESUME
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak tadi malam. Sesak
muncul secara tiba-tiba, tidak berhubungan dengan cuaca, suhu, waktu, dan
perubahan posisi. Pasien hanya dapat berbicara dalam kata-kata. Napas berbunyi
mengi dijumpai. pasien juga mengeluhkan batuk 1 bulan ini, berdahak warna
bening. Demam tidak dijumpai. Riwayat sesak terakhir kemarin, Keluhan sesak
ini sudah berulang 5 kali selama setahun ini. Riwayat penggunaan obat symbicort,
amlodipin, salbutamol. Pasien merokok sejak usia 15 tahun, dan baru berhenti
merokok 2 tahun ini.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 140/90mmHg nadi 119


kali/menit isi cukup, laju napas 31 kali/menit, suhu 36,1oC, SaO2 84% room air.
Pada pemeriksaan thoraks dijumpai retraksi pada kedua dada, suara tambahan
ronchi dan wheezing saat inspirasi dan ekspirasi. Pada pemeriksaan laboratorium
dijumpai leukositosis (12.330 ul) dengan peningkatan neutrofil 93. Hasil foto
thoraks menunjukkan kesan corakan bronkovaskuler meningkat dan kardiomegali.

DIAGNOSIS KERJA

Penyakit Paru Obstruksi Kronis Eksaserbasi Akut

Dasar diagnosis:

Anamnesis: sesak napas, napas berbunyi, riwayat mengalami keluhan serupa


sebelumnya, riwayat asma -, riwayat merokok +

Pemeriksaan Fisik: dijumpai dyspnoe, retraksi pada dada, suara tambahan ronchi
dan wheezing dijumpai

9
Pemeriksaan Laboratorium:

Darah lengkap: leukositosis, neutrofil meningkat

Pemeriksaan foto thoraks: corakan bronkovaskuler meningkat dan kardiomegali

TATALAKSANA

FARMAKOLOGIS

 Nebu Ventolin + pulmicort (I)


Sp : ves +/+ rh +/+ wh+/+ inspirasi ekspirasi
 Nebu ventolin + pulmicort (II)
Denyut nadi: 112 kali/menit, laju napas 28 kali/menit, Saturasi oksigen 96-
97% dengan nasal canule 4L
Retraksi dijumpai, Suara pernapasan: ves +/+, rh+/+, wh+/+ inspirasi
ekspirasi
 Nebu combivent
Denyut nadi: 107 kali/menit, laju napas 28 kali/menit, Saturasi oksigen
100% dengan nasal canule 2L
Retraksi tidak dijumpai, suara pernapasan ves +/+, rh+/+, wh+/+ inspirasi
ekspirasi
 Injeksi Metilprednisolon 62,5 mg
Denyut nadi: 89 kali/menit, laju napas 22 kali/menit, Saturasi oksigen 98%
dengan nasal canule 2L
Suara pernapasan ves+/+ rh+/+ wh+/+
 Nebu ventolin
Sesak tidak dijumpai, Denyut nadi: 87 kali/menit, laju napas 22 kali/menit,
Saturasi oksigen 97% dengan nasal canule 2L
Suara pernapasan ves+/+ rh+/+ wh-/-
 Injeksi Ceftriaxone 1x 2 gram
 Injeksi Metilprednisolon 2 x 62,5 mg
 Injeksi omeprazol 1 x 40 mg

10
 Inhalasi ventolin/8jam
 Inhalasi pulmicort/12 jam

NON-FARMAKOLOGIS

 Bedrest
 Edukasi komplikasi yang dapat timbul.

PROGNOSIS

 ad vitam : dubia ad bonam


 ad fungsionam : dubia ad bonam
 ad sanationam : dubia ad bonam

FOLLOW UP

Peraw S O A P
atan
Hari II Pasien sesak Compos - PPOK - O2 3 Liter dengan
29 Juli (+), batuk (+) mentis eksaserbasi nasal canule
2019 Gcs : 15 akut - Inj ceftriaxone
TD : 120/70 1x2gr
HR : 71x/m - Inj omeprazole
RR : 25x/m 1x40mg
S : 36 C - Injeksi
metilprednisolon 2
Thorax :Rh x 62,5 mg
+/+ wh+/+ - Inhalasi Ventolin/6
jam
- Inhalasi
pulmicort/12 jam
Hari III Sesak Compos - PPOK - O2 3 Liter dengan
30 Juli berkurang, mentis eksaserbasi nasal canule
2019 batuk (+) Gcs : 15 akut - Inj ceftriaxone

11
TD : 1x2gr
140/80mmHg - Inj omeprazole
HR : 79x/m 1x40mg
RR : 24x/m - Injeksi
S : 36,4 C Metilprednisolon 2
SPO2 : 95% x 62,5 mg
- Inhalasi Ventolin/6
GDS: 169 jam
MG/dL - Inhalasi
Ureum : 62 pulmicort/12 jam
mg/dL
Creatinin: 0,8
mg/dL
Hari IV Sesak Compos - PPOK - O2 3 Liter dengan
31 Juli berkurang mentis eksaserbasi nasal canule
2019 GCS : 15 akut - Inj ceftriaxone
TD : 130/80 1x2gr
HR : 76x/m - Inj omeprazole
RR : 20x/m 1x40mg
SPO2 : 97% - Injeksi
Metilprednisolon 1
x 62,5 mg
- Inhalasi Ventolin/6
jam
Inhalasi pulmicort/12
jam

Hari V Sesak Compos - PPOK - O2 3 Liter dengan


1 berkurang mentis Eksaserbasi nasal canule
Agustu Gcs : 15 akut - Inj ceftriaxone
s 2019 TD : 140/90 1x2gr

12
HR : 73x/m - Inj omeprazole
RR : 24x/m 1x40mg
S : 36 C - Metilprednisolon
SPO2 : 93% 3x4mg
- Salbutamol 2x4mg
- Inhalasi
pulmicort/12 jam
Hari VI Perbaikan Compos PPOK - Rawat jalan
2 KU, pro mentis eksaserbasi - Symbicort 2x2puff
Agustu rawat jalan Gcs : 15 akut - Cefixime 2x200mg
s 2019 TD : 110/70 - Metilprednisolon 3
HR : 106x/m x 4mg
RR : 24x/m - Salbutamol 2 x 4
S : 36 C mg
SPO2 : 99% - Kontrol penyakit
dalam

13
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik

3.1.1 Definisi
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan penyakit yang dapat
dicegah dan dapat diobati, dengan karakteristik hambatan aliran udara menetap
dan progresif yang disertai dengan peningkatan respon inflamasi kronis pada
saluran napas dan paru terhadap partikel berbahaya. Eksaserbasi dan komorbid
berkontribusi pada beratnya penyakit ini. 2

3.1.2 Epidemiologi
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan salah satu penyakit yang
menjadi masalah kesehatan global saat ini. Data prevalensi, morbiditas, dan
mortalitas berbeda di tiap negara dan terus mengalami peningkatan. Hal ini
berhubungan dengan meningkatnya usia harapan hidup rata-rata masyarakat dan
semakin tingginya pajanan terhadap faktor risiko.1
Jumlah penderita PPOK pada tahun 2006 untuk wilayah Asia diperkirakan
sekitar 56,6 juta dengan prevalensi 6,3%. Di Cina angka kasus mencapai 38,16
juta jiwa, sedangkan di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta jiwa pasien
dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa meningkat seiring semakin banyaknya
jumlah perokok, karena 90% penderita PPOK adalah perokok atau mantan
perokok.1

3.1.3 Etiologi
Banyak hal yang dapat menjadi penyebab penyakit paru obstruktif kronis,
diantaranya yaitu:
1. Merokok
Penelitian menyebutkan bahwa kebiasaan merokok merupakan penyebab
terbanyak terjadinya PPOK. Kejadian PPOK karena merokok mencapai 90%
kasus. Merokok mempengaruhi makrofag untuk melepaskan faktor kemotaktik

14
dan elastase, yang akan menyebabkan kerusakan jaringan. Secara signifikan,
PPOK berkembang pada 15% perokok sigaret, walaupun jumlah ini pasti bukan
nilai sebenarnya. Usia memulai merokok, jumlah bungkus pertahun, dan status
merokok saat ini memprediksi mortalitas.3
Orang yang merokok mengalami penurunan FEV1: secara fisiologis
normal, penurunan FEV1diperkirakan sekitar 20-30 ml/tahun, tetapi pada
pasien PPOK biasanya menurun 60 ml/tahun atau lebih besar. Sebuah studi
menyimpulkan bahwa gangguan fungsi paru dan perubahan struktural paru
sudah muncul pada perokok sebelum tanda klinis obstruksi muncul.3
2. Faktor Lingkungan dan Pekerjaan
PPOK juga dapat terjadi pada individu yang tidak pernah merokok. Pada
negara berkembang, penggunaan kayu bakar dan bahan bakar biomass di
ruangan ventilasi yang buruk untuk memasak atau memanaskan dapat
meningkatkan faktor risiko terutama pada wanita (indoor pollution). Status
sosioekonomi mempengaruhi peningkatan risiko PPOK, seperti kemisikinan
dan kurangnya pengetahuan. Sedangkan outdoor pollution relatif mempunyai
efek yang kecil untuk menyebabkan PPOK. Selain itu pekerjaan yang berkaitan
dengan paparan bahan kimia dan partikel yang lama dan terus-menerus dapat
meningkat risiko.2,3
3. Hiperesponsif jalan napas
Pasien PPOK juga memiliki kecenderungan adanya hiperesponsif jalan
napas, seperti pada asma. Asma dilihat sebagai fenomena alergi, sedangkan
PPOK merupakan hasil dari kerusakan dan radang karena rokok. Studi
longitudinal yang membandingkan kepekaan saluran napas pada awal studi
yang kemudian mengalami penurunan fungsi paru telah menunjukkan bahwa
peningkatan kepekaan saluran napas secara jelas merupakan prediktor
penurunan fungsi paru di waktu mendatang.4
4. Defisiensi Alfa-1 antitripsin (AAT)
Alfa-1-antitripsin merupakan salah satu fraksi protein serum yang dapat
dipisahkan melalui elektroforesis dan dapat menetralisir elastase netrofil di
interstisium paru sehingga melindungi paru dari penghancuran elastolisis. Pada

15
keadaan defisiensi, maka mekanisme perlindungan terhadap elastolisis ini
berkurang, sehingga bisa menyebabkan emfisema.Penelitian Erikson tahun
1963 menyatakan bahwa defisiensi AAT diwariskan secara autosomal-
kodominan dan keadaan ini menyebabkan emfisema. Defisensi AAT
disebabkan karena mutasi pada gen AAT.3
5. Infeksi, bronkitis kronis, dan sindrom immunodefisiensi
Riwayat infeksi pernapasan berat saat kecil dihubungkan dengan
penurunan fungsi paru-paru dan peningkatakan gejala saat dewasa. Bronkitis
kronis dapat meningkatakan frekuensi dan derajat keparahan eksaserbasi.
Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan faktor resiko untuk
PPOK, bahkan setelah mengontrol variabel pengganggu seperti merokok, obat
IV, ras dan usia. Pada pasien defisiensi autoimun dan infeksi Pneumocystis
carinii terjadi kerusakan paru yang kortikal dan apikal. 2,3
6. Pertumbuhan dan Perkembangan Paru
Faktor apapun yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru
selama masa kehamilan dan masa kanak-kanak (BBLR, infeksi respirasi, dan
lainnya) dapat meningkatkan risiko PPOK pada individu.2
3.1.4 Patogenesis
PPOK dapat terjadi karena berbagai mekanisme patogenesis. Patogenesis
terjadinya PPOK diantaranya adalah:
1. Hipotesis Proteinase-antiproteinase
Hipotesis proteinase-antiproteinase didasarkan pada asumsi bahwa
kerusakan jaringan dan emfisema terjadi karena ketidakseimbangan proteinase
dan inhibitornya. Telah dinyatakan bahwa ada peningkatan kuantitas enzim
pendegradasi elastik dibandingkan inhibitornya pada emfisema. Konsep ini
diusulkan untuk emfisema yang digambarkan dengan defisienasi AAT. Pasien
dengan defisiensi AAT mengalami mutasi pada gen AAT. Mutasi Z adalah
mutasi paling umum dan mutasi ini menggangu sekresi protein dari hepatosit.
Hasilnya ditandai dengan penuruan level penghambat serin protease di
sirkulasi. Dilaporkan bahwa PiZ-α1 AT cenderung mengalami polimerisasi
yang dapat menghambat sekresi hepatik, menggangu inhibisi elastase netrofil

16
dan menyebabkan inflamasi. Matrix metalloproteinases (MMP) memiliki
kemampuan untuk membelah protein struktural seperti kolagen dan elastin,
sehingga berperan dalam patogenesis PPOK. Peningkatan banyak Matrix
Metalloprotein dilaporkan pada emfisema karena rokok dan 3 MMP (MMP-2, -
9, dan 12) mendegradasi elastin Protease lain yang berperan penting dalam
patogenesis PPOK adalah cathapsins S, L (dalam makrofag), dan G, serta
proteinase-3 (dalamnetrofil) 5,6
2. Mekanisme Imunologis
PPOK berhubungan dengan respon inflamasi paru yang abnormal
terhadap partikel atau gas berbahaya, terutama rokok. Pasien dengan PPOK
dilaporkan mengalami peningkatan netrofil di sputum, jaringan paru dan
bronchoalveolar lavage (BAL) dan neutrofil berperan penting dalam
patogensis PPOK. Level serum immunoglobulin free light chains (IgLC)
meningkat pada PPOK karena rokok. IgLC mengikat netrofil dan cross-linking
IgLC pada netrofil menghasilkan peningkatan produksi IL8yang merupakan
atraktan selektif untuk netrofil. Sel B juga meningkat pada pasien PPOK dan
sel ini memproduksi IgCL, selain memproduksi IgG dan IgA. Level serum IgE
juga meningkat dan berhubungan dengan merokok.2,6
3. Keseimbangan Oksidan-antioksidan
Stress oksidatif dapat menggangu vasodilatasi dan pertumbuhan sel
endotel. Ketika oksidan melebihi antioksidan paru; modifikasi protein, lemak,
karbohidrat, dan DNA terjadi dan menghasilkan kerusakan jaringan. Oksidan
tersebut dapat memodifikasi elastin, sehingga lebih rentan terhadap
pembelahan proteolitik. Merokok dapat menginaktivasi histone deacetylase
(HDAC2) dan menyebabkan transkripsi kemokin/sitokin netrofil (TNF-α dan
IL-8) dan MMP sehingga terjadi degradasi matriks yang mendukung
terbentuknya emfisema.6
4. Inflamasi Sistemik
PPOK juga memiliki manifestasi ekstrapulmomal. Dinyatakan bahwa
inflamasi pulmonal persisten dapat menyebabkan pelepasan kemokin dan
sitokin proinflamasi ke sirkulasi. Mediator ini dapat menstimulasi liver,

17
jaringan adiposa dan sumsum tulang untuk melepaskan sejumlah leukosit,
CRP, interleukin (IL)-6, IL-8, fibrinogen dan TNF-α ke sirkulasi dan
menyebabkan inflamasi sistemik. Inflamasi sistemik dapat memulai atau
memperburuk penyakit komorbid, seperti penyakit jantung iskemik,
osteoporosis, anemia normositik, kanker paru, depresi, dan lain-lain.6,7
5. Apoptosis
Studi terbaru menyatakan bahwa apoptosis terlibat dalam perkembangan
PPOK dan telah ditunjukkan adanya peningkatan apoptosis epitel alveolar dan
sel endotel di paru pasien PPOK.Karena tidak diimbangi dengan peningkatan
proliferasi protein struktural, maka hal ini akan berakhir dengan kerusakan
jaringan paru dan emfisema.6
6. Perbaikan yang Tidak Efektif
Ada perbaikan yang tidak efektif pada emfisema dan keterbatasan
kemampuan paru dewasa untuk memperbaiki alveolus yang rusak. 6
3.1.5 Patofisiologi
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh PPOK merupakan konsekuensi dari
mekanisme patofisiologi PPOK, diantaranya adalah:
1. Pembatasan Aliran udara dan Udara yang Terjebak
Inflamasi luas, fibrosis dan eksudat lumen pada saluran pernapasan kecil
berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC, dan mungkin
dengan percepatan penurunan FEV1 (karakteristik PPOK), obstruksi saluran
napas ini akan menjebak udara saat ekspirasi dan menyebabkan hiperinflasi.
Emfisema juga berperan dalam menjebak udara selama ekspirasi. Hiperinflasi
mengurangi kapasitas inspirasi demikian juga kapasitas residual fungsional
meningkat, khususnya selama aktivitas, menghasilkan peningkatan dispnea dan
keterbatasan kapasitas saat aktivitas. Hiperinflasi berkembang pada tahap awal
penyakit dan menjadi mekanisme utama dispnea saat aktivitas.2,8
2. Abnormalitas Pertukaran Gas
Abnormalitas pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia.
Distribusi abnormal rasio ventilasi-perfusi adalah mekanisme pertukaran gas
abnormal pada PPOK. Umumnya transfer oksigen dan karbon dioksida

18
memburuk selama perjalanan penyakit. Hal ini menyebabkan retensi karbon
dioksida saat dikombinasikan dengan penurunan ventilasi selama kerja
pernapasan tinggi karena obstruksi berat dan hiperinflasi bersamaan dengan
gangguan dari otot ventilasi.9
3. Hipersekresi Mukus
Hipersekresi mukus adalah abnormalitas fisiologis pertama pada PPOK.
awalnya adalah stimulasi sekresi dari kelenjar mukus yang membesar.
Lamakelaman hipersekresi mukus terjadi karena metaplasia epitel skuamosa.
Hipersekresi mukus ini menghasilkan batuk produktif yang kronis. Pasien
dengan hipersekresi mukus adalah bila terjadi peningkatan jumlah sel goblet
dan pembesaran kelenjar submukosa.8
4. Hipertensi Pulmonal
Terjadi pada kasus PPOK yang sudah lama, biasanya setelah terjadi
abnormalitas pertukaran gas. Faktor yang berkontribusi menyebabkan
hipertensi pulmonal pada PPOK termasuk vasokonstriksi, disfungsi endotel,
dan remodelling arteri pulmonal. Kombinasi ini mungkin suatu saat
menyebabkan pembesaran ventrikel jantung kanan. Ada respon inflamasi pada
pembuluh darah yang sama dengan yang terjadi pada saluran napas. Emfisema
dan hilangnya capillary bed juga berkontribusi terjadinya peningkatan tekanan
di sirkulasi pulmonal.2,8
5. Gambaran Sistemik
Keterbatasan aliran udara dan khususnya hiperinflasi mempengaruhi
fungsi jantung dan pertukaran gas. Mediator inflamasi ke sirkulasi mungkin
berkontribusi pada penurunan massa otot skeletal dan kaheksia, dan mungkin
memulai atau memperburuk penyakit komorbid seperti penyakit jantung
iskemik, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, diabetes, sindroma
metabolik, dan depresi. Efek sistemik ini berkontribusi pada pembatasan
kapasitas aktivitas pada pasien dan memperburuk prognosis, tidak bergantung
pada fungsi paru mereka.2

19
3.1.6 Manifestasi Klinis
Gejala dari PPOK adalah seperti susah bernafas, batuk kronis dan
terbentuknya sputum kronis, episode yang buruk atau eksaserbasi sering muncul.
Salah satu gejala yang paling umum dari PPOK adalah sesak napas (dyspnea).
Orang dengan PPOK umumnya menggambarkan ini sebagai:. "Saya merasa
kehabisan napas," atau "Saya tidak bisa mendapatkan cukup udara ".10
Orang dengan PPOK biasanya pertama sadar mengalami dyspnea pada saat
melakukan olahraga berat ketika tuntutan pada paru-paru yang terbesar. Selama
bertahun-tahun, dyspnea cenderung untuk bertambah parah secara bertahap
sehingga dapat terjadi pada aktivitas yang lebih ringan, aktivitas sehari-hari
seperti pekerjaan rumah tangga. Pada tahap lanjutan dari PPOK, dyspnea dapat
menjadi begitu buruk yang terjadi selama istirahat dan selalu muncul.10
Orang dengan PPOK kadang-kadang mengalami gagal pernafasan. Ketika
ini terjadi, sianosis, perubahan warna kebiruan pada bibir yang disebabkan oleh
kekurangan oksigen dalam darah, bisa terjadi. Kelebihan karbon dioksida dalam
darah dapat menyebabkan sakit kepala, mengantuk atau kedutan (asterixis). Salah
satu komplikasi dari PPOK parah adalah cor pulmonale, kejang pada jantung
karena pekerjaan tambahan yang diperlukan oleh jantung untuk memompa darah
melalui paru-paru yang terkena dampak.4 Gejala cor pulmonale adalah edema
perifer, dilihat sebagai pembengkakan pada pergelangan kaki, dan dyspnea.10
3.1.7 Diagnosis
Dalam mendiagnosis PPOK sama seperti mendiagnosis penyakit lain,
yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis
klinis PPOK harus dipertimbangkan pada pasien yang mengalami dispnea,
batuk kronis atau produksi sputum berlebihan, dan riwayat terpajan faktor
risiko penyakit. Nilai spirometri dibutuhkan untuk membuat diagnosis dalam
konteks klinis. Adanya nilai FEV1/FVC postbronkodilator <0.70 memastikan
adanya pembatasan aliran udara yang persisten dan merupakan PPOK. 2
1. Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan beberapa hal untuk melihat adanya riwayat medis
pasien yang berhubungan dengan PPOK, yaitu:

20
a. Pajanan terhadap faktor resiko, seperti asap rokok, pajanan di pekerjaan
atau lingkungan
b. Riwayat medis terdahulu, termasuk asma, alergi, sinusitis, atau polip nasal;
infeksi respirasi saat anak-anak dan penyakit pernapasan lainnya
c. Riwayat PPOK pada keluarga atau penyakit pernapasan kronis lainnya
d. Pola perkembangan gejala
e. Riwayat eksaserbasi atau rawat inap karena penyakit pernapasan terdahulu
f. Adanya penyakit komorbid: gangguan jantung, osteoporosis, gangguan
muskuloskeletal, dan keganasan yang juga berperan dalam pembatasan
aktivitas.
g. Dampak penyakit dalam kehidupan pasien, kehilangan pekerjaan dan
dampak ekonomi, efek dalam rutinitas keluarga, merasa cemas dan depresi,
serta gangguan aktivitas seksual
Gejala-gejala pada PPOK diantaranya adalah:
a. Batuk kronis
Batuk awalnya hanya terjadi pada pagi hari, secara progresif timbul terus-
menerus, dan dapat juga berlangsung intermiten dan tidak produktif.
Batuk kronis biasanya produktif dan sering diabaikan dengan anggapan
sebagai konsekuensi dari merokok. Dijumpai adanya mengi yang
rekuren.2,8
b. Produksi Sputum Kronis
Sputum mulai terjadi pada pagi hari tetapi lama-kelamaan akan muncul
terus sepanjang hari. Sputum bersifat mukoid dan berjumlah sedikit.
Produksi sputum ≥3 bulan dalam 2 tahun adalah definisi epidemiologi
dari bronkitis kronis. Perubahan warna sputum (purulen) atau volume
memberi kesan terjadi eksaserbasi infeksius. Produksi sputum sering sulit
dievaluasi karena pasien mungkin lebih memilih menelannya
dibandingkan membuangnya. Pasien yang memproduksi sputum dengan
jumlah besar mungkin memiliki penyakit bronkiektasis.2,8
c. Dispnea

21
Biasanya progresif dan seiring berjalan waktu menjadi persisten. Saat
onset, gejala ini terjadi saat aktivitas (naik tangga, mendaki bukit, dll)
dan dapat dihindari dengan perubahan perilaku yang tepat (mis.
menggunakan elevator). Selama penyakit berkembang, dispnea bahkan
menjadi persisten dan akan muncul dalam aktivitas ringan atau
istirahat.2,8
d. Gambaran pada Penyakit Berat
Lelah, penurunan berat badan dan anoreksia adalah masalah utama pasien
dengan PPOK gejala berat dan sangat berat. Sinkop batuk terjadi karena
peningkatan cepat dari tekanan intratorakal selama serangan jangka panjang
batuk. Selain itu, mungkin pasien akan mengalami gejala depresi atau
gangguan kecemasan.2
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien PPOK yang masih dini biasanya tidak
menunjukkan kelainan. Seiring dengan perjalanan penyakit, muncullah
beberapa tanda dan gejala yang makin lama akan makin khas menjadi
gejala PPOK. PPOK memberikan tanda berupa gangguan baik pada sistem
pernapasan maupun sistemik.9
a. Tanda Pernapasan
Inspeksi: barrel chest, pursed-lips breathing, gerakan tidak normal dari
dada/abdomen dan penggunaan otot-otot pernapasan. Semua ini
merupakan tanda pembatasan aliran udara, hiperinflasi dan gangguan
mekanis dari bernapas.8
Palpasi: ditemukan fremitus melemah pada emfisema 1
Perkusi: penurunan letak diafragma, suara timpani karena hiperinflasi, hati
dapat teraba 8
Auskultasi: suara napas vesikuler normal, atau melemah, terdapat ronki
dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa,
ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh 9
b. Tanda Sistemik

22
Distensi vena leher, pembesaran hatidan edema perifer dapat terjadi
karena cor pulmonale atau selama inflasi yang parah.
Kehilangan massa otot dan kelemahan otot perifer yang konsisten dengan
malnutrisi dan/atau disfungsi otot skelet.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai dalam mendiagnosis PPOK
adalah:
a. Pemeriksaan darah rutin
Untuk melihat nilai Hb, Ht, leukosit, dll. Peningkatan sel darah merah
(eritrositosis), terjadi ketika level oksigen di darah rendah (hipoksemia)
dalam waktu yang lama. Sel darah merah membawa oksigen di darah.
Karena kerusakan paru, pasien PPOK tidak dapat memperoleh cukup
udara. Sehingga reaksi tubuh adalah meningkatkan produksi sel darah
merah untuk meningkatkan jumlah oksigen di darah.9
b. Pemeriksaan faal paru dengan spirometri
Pemeriksaan faal paru merupakan hal yang esensial untuk diagnosis dan
penilaian keparahan penyakit, dan juga membantu memantau progresnya.
Nilai yang didapat dari pemeriksaan dengan spirometri adalah FVC,
FEV1dan FEV1 /FVC.Penurunan nilai dari ketiga parameter diatas
menunjukkan adanya gangguan dalam faal paru. Nilai FEV1 yang
didapatkan dari hasil spirometri adalah indeks yang paling sering
digunakan untuk menilai obstruki aliran udara, menilai beratnya PPOK
dan juga untuk memantau perjalanan penyakit. Bila tidak tersedia
spirometri, diagnosis PPOK dapat ditegakkan secara klinis.
c. Pemeriksaan Radiologi
Harus dilakukan pada semua pasien. Pemeriksaan radiologi memang
tidak sensitif untuk diagnosis, tetapi membantu dalam menyingkirkan
penyakit lain (pneumonia, kanker, efusi pleura, dan pneumotoraks).
Umum walaupun tidak spesifik, tanda emfisema adalah diafragma yang
mendatar, radiolusensi paru yang ireguler. Bronkitis kronis berhubungan
dengan peningkatan tanda bronkovaskular dan kardiomegali. Dengan

23
komplikasi hipertensi pulmonal, bayangan vaskular hilus menjadi sering,
dengan kemungkinan adanya pembersaran ventrikular kanan. 3,8
d. Analisa Gas Darah Arteri (AGDA)
Analisa gas darah arteri memberikan petunjuk tentang keakutan dan
keparahan eksaserbasi dari penyakit. Pasien PPOK mengalami
hipoksemia ringan sedang tanpa hiperkapnia. Seiring perjalanan
penyakit, hipoksemia memburuk dan hiperkapnia mulai berkembang.
Mekanisme paru dan pertukaran gas memburuk selama eksaserbasi akut.
Umumnya ada mekanisme kompensasi ginjal yang terjadi bahkan saat
CO2 yang kronisbertahan dalam tubuh (bronkitis); sehingga pH biasanya
mendekati normal. Biasanya, bila didapati pH dibawah 7,3 dapat menjadi
tanda gangguan akut dari sistem pernapasan.3
e. Evaluasi Sputum
Pada bronkitis kronis stabil, sputumnya mukoid dan makrofag sangat
banyak. Dengan eksaserbasi, sputum menjad purulen karena adanya
neutrofil. Peningkatan jumlah sputum merupakan tanda eksaserbasi akut
(Mosenifar, 2013). Beberapa organisme yang sering ditemukan dari
kultur adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae.
Moraxella catarrhalis juga sering, dan Pseudomonas aeruginosa dapat
ditemukan pada pasien dengan obstruksi berat.
f. Pemeriksaan Alfa-1 Antitripsin
Pasien dengan tingkat AAT rendah, diagnosis definitifnya membutuhkan
penentuan tipe Pi. Hal ini dilakukan dengan fokus isoelektris pada serum
yang mewakili lokus Pi untuk alel umum dan alel Pi lain yang jarang.
Molecular genotyping DNA dapat dilakukan untuk alel Pi yang umum.
Tingkat α1-antitripsinharus diperkirakan pada pasien PPOK muda (dekade 4
atau 5) dan memiliki riwayat keluarga yang kuat. Nilai serum α1-antitripsin
<15–20% dari batas normal merupakan tanda dari defisiensi α1-
antitripsin.4,8

24
3.1.7 Derajat PPOK
Tujuan dari assessment pasien PPOK adalah menentukan derjat keparahan
penyakit sehingga mempengaruhi status kesehatan pasien dan berisiko terjadinya
kejadian kedepannya (eksaserbasi, rawat inap, hingga kematian) dalam rangka
pemilihan terapi yang sesuai. Berdasarkan kesepakatan para pakar
(PDPI/Perkumpulan Dokter Paru Indonesia) maka PPOK dikelompokkan ke
dalam: 11,12
a. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa
produksi sputum dan dengan sesak napas derajat nol sampai satu. Sedangkan
pemeriksaan Spirometrinya me-nunjukkan VEP1 ≥ 80% prediksi (normal) dan
VEP1/KVP < 70 %

b. PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan
atau produksi sputum dan sesak napas dengan derajat dua. Sedangkan
pemeriksaan Spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥ 70% dan VEP1/KVP < 80%
prediksi
c. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajat tiga atau
empat dengan gagal napas kronik. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai
komplikasi kor pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri
menunjukkan VEP1/KVP < 70 %, VEP1< 30 % prediksi atau VEP1> 30 %
dengan gagal napas kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pe-meriksaan analisa
gas darah dengan kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau hipoksemia
dengan hiperkapnia.
Derajat PPOK Berdasarkan Kriteria GOLD
Kriteria GOLD untuk PPOK mengklasifikasikan penderita PPOK
berdasarkan derajat pembatasan aliran udara (obstruksi). Selain untuk
mengklasifikasikan, kriteria GOLD ini juga berguna untuk mendiagnosis
obstruksi. Derajat keparahan PPOK dinilai berdasarkan nilai dari hasil
pemeriksaan spirometri.2
Nilai spirometri yang digunakan dalam penentuan kriteria GOLD adalah:
1. FVC (Forced Vital Capacity) atau Kapasitas Vital Paksa adalah total volume
udara yang dapat pasien keluarkan secara paksa dalam sekali bernapas.

25
2. FEV1 (Forced Expiratory Volume in One Second) atau Volume Ekspirasi
Paksa detik 1 adalah volume udara yang dapat dikeluarkan pasien dalam detik
pertama saat ekspirasi paksa.
3. FEV1 /FVC adalah rasio FEV1 terhadap FVC yang dinyatakan dalam fraksi.2
Kriteria spirometri yang diperlukan dalam kriteria GOLD untuk diagnosis
derajat keparahan PPOK adalah FEV1 /FVC setelah pemberian bronkodilator2
Tabel 2.1 Kriteria GOLD untuk Derajat Keparahan PPOK 2

Derajat Karakteristik

I : PPOK Ringan FEV1 ≥ 80% prediksi

II: PPOK Sedang 50% ≤ FEV1 ≤ 80% prediksi

III: PPOK Berat 30% ≤ FEV1 ≤ 50% prediksi

IV: PPOK Sangat Berat FEV1< 30% prediksi


Mild COPD atau PPOK ringan, pada tahap ini pasien mungkin belum
menyadari bahwa fungsi parunya tidak normal. Moderate COPD atau PPOK
sedang, gejala biasanya berkembang pada tahap ini, dengan napas yang
memendek saat melakukan aktivitas. Severe COPD atau PPOK berat,
pemendekan nafas semakin buruk pada tahap ini dan sering membatasi aktivitas
harian pasien. Eksaserbasi biasanya mulai dapat terlihat pada tahap ini. Very
severe COPD atau PPOK sangat berat, pada tahap ini kualitas hidup sudah sangat
terganggu dan eksaserbasi pada pasien bisa mengancam jiwa.2

Selain itu, untuk penentuan terapi PPOK, assessment kombinasi perlu


dilakukan dengan menambah penilaian dispnoe dengan menggunakan mMRC
(Modified British Medical Research Council), atau simptom menggunakan CAT
(COPD Assessment Test), dan CCQ (The COPD Control Questionnaire).
Terakhir, riwayat eksaserbasi moderat sampai berat (termasuk dirawat di rumah
sakit) harus dilakukan. Skema assessment berisikan nomor dan huruf, dimana
nomor tersebut menggambarkan keparahan obstruksi aliran udara (grade
spirometri 1 sampai 4) sementara huruf memberikan informasi mengenai gejala
dan risiko eksaserbasi (grup A sampai D).2

26
27
3.1.8 Penatalaksanaan
Adapun tujuan dari penatalaksanaan PPOK ini adalah:9
- Mencegah progresivitas penyakit
- Mengurangi gejala
- Meningkatkan toleransi latihan
- Mencegah dan mengobati komplikasi
- Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
- Mencegah dan meminimalkan efek samping obat
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualitas hidup penderita
- Menurunkan angka kematian
Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu
tujuan selama tatalaksana PPOK. Berhenti merokok dalam jangka panjang

28
meningkatkan rasio keberhasilan terapi sampai 25%. Lakukan program intervensi
dengan 5 langkah yaitu ask, advise, assess, assist, dan arrange.2
a. Terapi Farmakologis
 Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau
obat berefek panjang (long acting).1
Macam-macam bronkodilator: 1
- Golongan agonis beta-2
Merileksasikan otot polos pernapasan dengan menstimulasi reseptor beta2-
adrenergik. Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Bentuk nebuliser dapat
digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan
jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
berat. Formoterol dan salmeterol dua kali sehari LABA (Long-acting Beta2-
agonist) meningkatkan FEV1, volume paru-paru secara signifikan, penurunan
dispnoe, status kesehatan, eksaserbasi, dan hospitalisasi, tetapi tidak mempunyai
penurunan efek mortalitas atau penurunan fungsi paru-paru.2
Indacaterol LABA diberikan sehari sekali memperbaiki sesak napas, status
kesehatan, dan eksaserbasi. Oladaterol dan vilanterol diberikan sehari sekali yang
dapat menperbaiki fungsi paru dan gejala.
- Golongan Antimuskarinik
Antimuskarinik memblok efek bronkokonstriktor oleh asetilkoline pada
reseptor M3 muskarinik yang berada pada otot polos saluran pernapasan. Long-
acting antimuscarinic antagonist (LAMAs), seperti tiotropium, aclidinium,
glicopironium bromida, dan umeklidinium mempunyai ikatan terhadap reseptor
yang lebih lama, serta disosiasi reseptor M2 muskarinik yang lebih cepat, berefek
durasi efek bronkodilator yang lebih lama.

29
Penggunaan LAMA (tiotropium) memperbaiki simptom dan status kesehatan,
serta meningkatkan efektivitas rehabilitasi pulmonal. Penelitian klinis
membuktikan LAMA (tiotropium) mempunyai efek penurunan eksaserbasi yang
lebih baik dibandingkan dengan LABA. Kombinasi kedua golongan obat ini akan
memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan
mempermudah penderita.
- Golongan methylxanthines
Efek pasti dari derivat xantin masih kontroversi. Teofilin, dimetabolisme oleh
ditokrom p450, clearance obat menurun sesuai usia. Toksisitas berhubungan
dengan dosis, dimana derivat xantin mempunyai rasio efek terapi yang minimal.
- Terapi kombinasi bronkodilator
 Kortikosteroid
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.2
 Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan:1
Lini I: amoksisilin
Makrolid
Lini II: amoksisilin dan asam kluvanat
Sefalosporin, kuinolon, makrolid baru
 Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N-
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.1
 Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang

30
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.1
b. Terapi non-farmakologis
 Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel
baik di otot maupun organ-organ lainnya. Manfaat oksigen:1
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualitas hidup
Indikasi:1
Pao2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90%
Pao2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan
Pulmonal, Ht > 55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit
paru lain.
 Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas
akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat
berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di
ruang ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik dapat digunakan dengan cara: 1
- Ventilasi mekanik dengan intubasi
Digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan
selama di rumah.
- Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Noninvasive Intermitten
Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pressure Ventilation (NPV).

31
 Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadinya hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.1
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan: 1
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
 Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup pendita PPOK. Program rehabilitasi terdiri dari 3
komponen yaitu: 1
- Latihan fisik
- Latihan pernapasan dan latihan endurance
- Rehabilitasi psikososial
Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut9
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya
seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas

32
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran
napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau
frekuensi nadi > 20% baseline.
Penyebab eksaserbasi akut
Primer :
- Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
Sekunder :
- Pnemonia
- Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
- Emboli paru
- Pneumotoraks spontan
- Penggunaan oksigen yang tidak tepat
- Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
- Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
- Nutrisi buruk
- Lingkunagn memburuk/polusi udara
- Aspirasi berulang
- Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk
eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat).
Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang
telah diedukasi dengan cara :
- Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator
yang digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebuliser
- Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
- Menambahkan mukolitik
- Menambahkan ekspektoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara
rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di :

33
1. Poliklinik rawat jalan
2. Unit gawat darurat
3. Ruang rawat
4. Ruang ICU
Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi
segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah
menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang
harus diperhatikan meliputi :
1. Diagnosis beratnya eksaerbasi
- Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
- Kesadaran
- Tanda vital
- Analisis gas darah
- Pneumonia
2. Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam
jiwa. dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya
dipertahankan Pao2 > 60 mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia.
gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury masks) 24%, 28%
atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing,
tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai
kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam
penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure
Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan
intubasi.
3. Pemberian obat-obatan yang maksimal
Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut
a. Antibiotik
- Peningkatan jumlah sputum
- Sputum berubah menjadi purulen

34
- Peningkatan sesak
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi
kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit
sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi
sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat diberikan
tunggal.
b. Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan
peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunkan dengan cara yang
tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan
penggunaan nebuliser yang memakai oksigen sebagai kompressor, karena
penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan
retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersamasama dengan bronkodilator
lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di
rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser, dengan
pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai
efek samping bronkodilator.12
c. Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi
derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada
derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak
memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek
samping.
4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia
berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas
5. Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan mengurangi
mortaliti dan morbiditi, dan memperbaiki simptom. Dahulukan penggunaan
NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi
6. Kondisi lain yang berkiatan
- Monitor balans cairan elektrolit

35
- Pengeluaran sputum
- Gagal jantung atau aritmi
7. Evaluasi ketat progesiviti penyakit
Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan
menyebabkan kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan segera dapat
mencegah dan gagal napas berat dan menghindari penggunaan ventilasi mekanik.
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi :
- Sesak napas berat, pernapasan > 35 x/menit
- Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal
- Kesadaran menurun
- Hipoksemia berat PaO2 < 50 mmHg
- Asidosis pH < 7,25 dan hiperkapnia Paco2 > 60 mmHg
- Komplikasi kardiovaskuler, hipotensi
- Komplikasi lain, gangguan metabolik, sepsis, pneumonia, barotrauma, efusi
pleura dan emboli masif
- Penggunaan NIPPV yang gagal
3.1.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah: 9
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal
Gagal napas kronik :
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

36
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik
ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit
darah.
Kor pulmonal :
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan

BAB 4
PEMBAHASAN KASUS
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak tadi malam. Sesak
muncul secara tiba-tiba, tidak berhubungan dengan cuaca, suhu, waktu, dan
perubahan posisi. Pasien hanya dapat berbicara dalam kata-kata. Napas berbunyi
mengi dijumpai. pasien juga mengeluhkan batuk 1 bulan ini, berdahak warna
bening. Keluhan sesak ini sudah berulang 5 kali selama setahun ini. Pasien
merokok sejak usia 15 tahun, dan baru berhenti merokok 2 tahun ini. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 140/90mmHg nadi 119 kali/menit isi
cukup, laju napas 31 kali/menit, suhu 36,1oC, SaO2 84% room air.
Berdasarkan anamnesis yang didapat, sesuai dengan teori dimana PPOK
penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas
yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. Pasien mengeluhkan
sesak napas yang tidak dipengaruhi oleh aktivitas maupun cuaca. Keluhan pasien
ini pun berulang 5 kali dalam setahun ini.

37
Pada pemeriksaan fisik dijumpai retraksi pada dada, hal ini sesuai dengan
teori bahwa ditemukan gerakan tidak normal dari dada/abdomen dan penggunaan
otot-otot pernapasan. Semua ini merupakan tanda pembatasan aliran udara,
hiperinflasi dan gangguan mekanis dari bernapas. Pada auskultasi dijumpai suara
tambahan ronki dan wheezing. Pada pemeriksaan penunjang dijumpai
leukositosis dengan polimorfonuklear yang meningkat, menunjukkan adanya
infeksi bakteri, merupakan faktor pencetus dari eksaserbasi akut. Pemeriksaan
foto thoraks dijumpai corakan bronkovaskuler meningkat, yang menunjukkan
adanya proses infeksi pada parenkim paru.
Terapi yang digunakan adalah pemberian inhalasi ventolin, combivent,
serta pulmicort sebagai bronkodilator, Injeksi metilprednisolon 62,5mg digunakan
untuk menekan inflamasi yang terjadi saat eksaserbasi akut. Pemberian oksigen
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel. Injeksi
ceftiaxon sebagai bakterisidal.

DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) diagnosis dan penatalaksanaan. Edisi ke-1. Jakarta: 2011
2. GOLD, 2018. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease Updated 2018.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease.
3. Mosenifar, Zab., 2013. Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
Available from http://emedicine.medscape.com/article/297664-overview.
[Accessed 1 August 2019].
4. Reilly, J.J., Silverman, E.K., Shapiro, S.D., 2010. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. In: Loscalzo, J., ed. Harrison Pulmonary and Critical
Care 17th edition. New York, USA: Mc-Graw Hill, 178-189
5. Vijayan, V.K., 2013. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Indian J
Med Res, 137: 251-269

38
6. Shapiro, S.D., Ingenito, E.P., 2005. The Pathogenesis of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease: Advances in the Past 100 Years. Am J
Respir Cell Mol Biol, 32: 367-372.
7. Tkac, J., Man, S.F., Sin, D.D., 2007. Systemic Consequences of COPD.
Ther Adv Respir Dis, 1: 47-59
8. ATS-ERS, 2004. Standards of Diagnosis and Management of Patients of
COPD. American Thoracic Society and European Respiratory Society, 14-
43
9. PDPI, 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Persatuan Dokter Paru Indonesia, 1-32
10. Putra, G.N.W, Artika, I.D.M, 2013. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit
Paru Obstruktif Kronis. E-Jurnal Medika Udayana, 2(1)
11. Omeati, R. 2013 Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Media Litbangkes 23(2): 82-88
12. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta E. Kapita Selekta Kedokteran. 4th
ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.

39

Anda mungkin juga menyukai