Refrat
Refrat
PENDAHULUAN
suatu kelainan bedah anak yang menyebabkan muntah pada neonatus. Kelainan yang terjadi yaitu
adanya hipertrofi otot sirkuler pilorus yang terbatas (jarang berlanjut ke otot gaster). Hal ini
menyebabkan penyempitan kanal pilorus oleh kompresi lipatan-lipatan longitudinal dari mukosa dan
pemanjangan pilorus. Obstruksi apertura gastrik menyebabkan muntah yang nonbilious dan
menyemprot. (1,2)
dehidrasi berat, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, penurunan berat badan
dan dapat berlanjut syok. Salah satu penyebab CHPS diduga karena gangguan koordinasi antara
kasus per seribu angka kelahiran hidup. CHPS untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Hildanus
pada tahun 1646, namun deskripsi klinis yang lebih jelas mengenai keadaan ini diungkapkan oleh
Hirschsprung di tahun 1888. Sejak saat itu berbagai upaya pemahaman akan diagnosis dan
penanganan CHPS mulai berkembang dan mengalami kemajuan yang cukup pesat, terutama dalam
bidang kedokteran bedah, walaupun penyebab dan mekanisme patofisiologi keadaan ini secara pasti
diperkirakan mencapai sekitar 50-75% sebelum tahun 1912, ketika piloromiotomi belum
diperkenalkan. CHPS telah berhasil ditangani selama beberapa dekade dengan teknik bedah
didapatkan angka kematian CHPS menjadi sangat menurun dengan jumlah yang diperkirakan kurang
dari 1 % dan saat ini CHPS tidak lagi dianggap sebagai suatu keadaan yang bersifat mengancam
INSIDENS
Insidens CHPS diperkirakan sebanyak 2 sampai 4 kasus dalam tiap 1000 angka kelahiran
hidup dalam 1 tahun pada kebanyakan populasi kulit putih, terutama ras kaukasia di Eropa bagian
Utara. Keadaan ini lebih jarang ditemukan diantara populasi orang kulit hitam dan asia dengan
frekuensi kejadian berkisar di angka 1 sampai 3 kasus dari 1000 angka kelahiran hidup tiap
tahunnya.(4,6)
Beberapa penelitian menduga kuat adanya predisposisi genetik pada suatu CHPS. Penderita
laki-laki lebih banyak ditemukan daripada perempuan dengan perbandingan sekitar 4-6:1, dimana
anak laki-laki pertama memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami keadaan ini. Riwayat
keturunan dalam keluarga dianggap berkaitan dimana didapatkan orang tua (ibu atau ayah) yang
pernah mengalami suatu Hipertropi Pilorus stenosis (HPS) memiliki sekitar 5-20 % anak laki-laki dan
3-7% anak perempuan dengan resiko tinggi CHPS. Berdasarkan penelitian sebelumnya anak dari
seorang ibu yang menderita HPS memiliki resiko sekitar 3-4 kali lebih sering untuk mengalami CHPS
EMBRIOLOGI
Permulaan suatu saluran cerna terbentuk dari lipatan embrio ke arah lateral dan cranio-
caudal selama masa kehamilan pada minggu ketiga dan empat. Selama proses ini, permulaan lapisan
endodermal membentuk saluran bagian inferior yang dikelilingi oleh splanchnicus mesodermal.
Kemudian differensiasi endodermal ke bagian permukaan, epitel grandular sel, differensiasi
mesodermal ke dalam otot polos, dan perlekatan dengan peritoneal akan muncul pada minggu
enam atau delapan masa kehamilan disertai pertumbuhan dari sel-sel neuroendokrin lambung. (2,7)
Secara nyata, lambung dimulai sebagai dilatasi dari usus bagian depan, yang muncul pada
sekitar minggu 5 masa gestasi. Lambung dan dudodenum menggantung diantara bagian posterior
dan anterior dinding perut oleh mesenterium bagian dorsal dan ventral. Selama minggu 6-10 masa
gestasi lambung berotasi menjadi dua bagian. Rotasi 90 derajat muncul disekitar axis longitudinal
yang searah jarum jam. Proses ini kemudian membentuk lengkungan dari lambung ke arah inferior
dan sebelah kiri midline. Hubungan antara esofagus dan lambung (Gastroesophageal Junction)
terletak di bagian superior ke arah kiri, pilorus berpindah letak secara inferior ke kanan midline,
membentuk ligamentum gastrohepatikum. Rotasi yang kedua adalah ke arah vagal trunk
menghasilkan vagus kiri menginervasi dinding lambung anterior dan hepar, sedangkan vagus kanan
(Kepustakaan 16)
Lambung terdiri dari beberapa bagian, yaitu : cardia yang mengelilingi gastroesophageal
junction, fundus yang membangun chephalad dari gastroesophageal junction , corpus yang
merupakan bagian terbesar dari lambung, dan antrum. Lapisan otot luar yang longitudinal, sirkuler
pada intermediate, dan oblique di bagian dalam akan menyusun tiga lapisan otot dari dinding
lambung. Dinding lambung neonatus sangat tipis pada permulaannya, namun akan tumbuh dan
berkembang dengan cepat pada periode postnatal sebagai respon terhadap aktivitas pergerakan
(kepustakaan 4)
Gambar 2. Lambung
ETIOLOGI
Penyebab pasti dari CHPS belum dapat diketahui secara pasti hingga saat ini. Berdasarkan
beberapa penelitian yang mendapatkan meningkatnya angka resiko CHPS berkaitan dengan
hubungan keluarga dan jenis kelamin diduga secara kuat bahwa faktor genetik berperan dalam
kejadian CHPS. Selain itu, CHPS dilaporkan pula berkaitan dengan pola makan, stress maternal
dimana terjadi kecemasan berlebihan pada ibu hamil yang akan melahirkan bayi pertamanya dapat
meningkatkan aktivitas nervus vagus untuk menghasilkan hormon gastrin diduga mencetuskan
terjadinya CHPS pada bayi yang akan dilahirkannya, berat badan lahir bayi besar. Penelitian terbaru
mengidentifikasi beberapa jenis antibiotik juga diduga menjadi pencetus terjadinya CHPS misalnya
pemberian eritromisin pada bayi berumur 3-12 hari pertama untuk pengobatan pertusis, adanya
hubungan antara penggunaan eritromisin oral dengan kejadian CHPS terutama jika diberikan
dalam dosis tinggi yang akan menyebabkan kontraksi lambung yang tidak tersebar sehingga
PATOLOGI
Kelainan yang mendasari terjadinya suatu CHPS masih belum dapat dijelaskan secara pasti
hingga saat ini. Dari beberapa pemeriksaan didapatkan adanya hipertrofi pada otot pilorus tanpa
disertai hiperplasia, dimana hal ini mengakibatkan terbentuknya suatu massa fusiform ataupun
bulbous. Pilorus diketahui memiliki konsistensi yang kenyal. Dari spesimen yang diambil dari bayi
berusia kurang dari 1 minggu sampai 10 hari, didapatkan keadaan mukosa dan submukosa yang
normal. Penekanan yang terjadi melalui kemampuan pembukaan yang kecil akan mengakibatkan
terjadinya udem pada mukosa serta peningkatan jumlah leukosit pada lapisan ini. Iritasi mekanik
juga dapat mengakibatkan penebalan mukosa sehingga terjadi pengurangan ukuran pembukaan
pilorus. Kemungkinan besar, hal inilah yang menyebabkan gejala-gejala obstruksi tidak tampak
sampai pasien berusia sekitar dua atau tiga minggu postnatal walaupun dianggap bahwa
Berbagai penelitian terus dilakukan hingga saat ini guna mengidentifikasi proses patologi
sebenarnya pada CHPS. Beberapa diantaranya berhasil mengemukakan hipotesa mengenai keadaan
ini, diantaranya adalah Belding dan Kernohan menyatakan adanya penurunan dalam jumlah ganglion
dan serabut saraf pada pilorus yang dikemukakan sebagai suatu proses degeneratif. Kemudian
Friesen et. all., mengamati dan menyatakan bahwa jumlah sel ganglion tidak mengalami penurunan
(berkurang) dalam jumlah yang besar, akan tetapi sel ini belum cukup matang dan gagal dalam
berkembang. Sedangkan hasil penelitian Zuelzer menyatakan hal yang berbeda dimana tidak
ditemukan adanya suatu perubahan-perubahan signifikan yang terjadi pada sel-sel ganglion pilorus
lambung. (4,8)
(kepustakaan 2)
Gambar 4. Spesimen Histopatologi pasien dengan CHPS (H and E x 25)
Tampak adanya hyperplasia mukosa yang ditandai dengan adaya elongasi dan
percabangan (panah hitam), serta tampak terjadinya edema pada lamina propia
(panah putih)
(Kepustakaan 2)
1. Anamnesa
Onset manifestasi klinis dari CHPS sangat jarang muncul segera setelah kelahiran (awal
kelahiran) biasanya gejala akan tampak paling cepat pada hari ke empat atau ke lima postnatal dan
paling lama dalam jangka waktu 5 bulan postnatal. Dari beberapa penelitian didapatkan hanya
sekitar 4 % kasus IMPS dengan onset manifestasi klinis pada usia dibawah 3 bulan. Muntah
merupakan gejala klinis yang khas terjadi pada CHPS. Pada permulaan timbulnya muntah sedikit
lebih sering daripada regurgitasi setelah makan dan bersifat tidak menyemprot (proyektil),
kemudian dalam waktu yang cukup singkat frekuensi muntah yang awalnya tidak terlalu sering akan
timbul hampir setiap saat setelah bayi diberi makan dimana muntahnya bersifat menyemprot
(proyektil) mulai umur 2-3 minggu, muntah tidak pernah berwarna hijau (nonbilious vomiting). Bayi
senantiasa menangis sesudah muntah dan akan muntah kembali setelah makan. Cairan muntah
jarang disertai darah, namun hal ini dapat ditemukan jika terjadi rupturnya pembuluh kapiler kecil
pada mukosa lambung akibat muntah yang berulang. Bayi biasanya tampak sangat kelaparan karena
setiap makanan yang masuk akan selalu dimuntahkan kembali. Dengan demikian akan terjadi
penurunan dalam kualitas pemberian intake oral yang mengakibatkan bayi mengalami dehidrasi
ringan sampai berat sehingga terjadi penurunan berat badan yang cepat, susah buang air besar
(konstipasi) dan kurangnya produksi kencing. Kebanyakan bayi dengan CHPS dibawa ke rumah sakit
sudah dalam keadaan dehidrasi yang cukup berat sehingga membutuhkan penanganan segera
2. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis inspeksi abdomen diamati adanya gerakan peristaltik lambung
terlihat di perut bagian atas dan teraba “tumor” di daerah epigastrium atau hipokondrium kanan,
biasanya selama dan setelah pemberian intake oral. Gerakan peristaltik lambung akan terlihat
berjalan dari perut bagian kuadran atas sebelah kiri ke kanan. Selain itu perut bayi sering tampak
distended terutama setelah pemberian makan. Pada pemeriksaan palpasi abdomen di kuadran atas
sebelah kanan dengan menggunakan satu jari dapat dirasakan adanya pembesaran pada pilorus
yang teraba seperti "Olive" (bentuk buah zaitun) yang khas ditemukan pada kasus CHPS.(1,5,8,11)
(Kepustakaan 1)
Gambar 6. Sesuai gambaran hypertrofi pilori stenosis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis CHPS ditegakkan berdasarkan anamnesa yang jelas dan lengkap. Anamnesa dapat
dilakukan secara allo-anamnesa melalui orang tua/keluarga pasien yang mengetahui persis tentang
keadaan pasien yang sebenarnya. Kemudian dilanjut dengan ditemukannya tanda-tanda khas pada
pemeriksaan fisis yang sesuai dengan gambaran suatu CHPS seperti yang telah dijelaskan diatas.
Setelah anamnesa dan pemeriksaan fisis, beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan.
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penunjang pilihan guna menentukan diagnosis suatu
CHPS. Terdapat berbagai macam jenis pemeriksaan radiologi yang dapat digunakan saat ini, namun
yang menjadi pemeriksaan pilihan untuk kasus CHPS diantaranya adalah sebagai berikut: (1,2,4,10,11)
1. Foto Abdomen
Foto abdomen merupakan jenis pemeriksaan radiologi yang paling sederhana untuk
membantu diagnosis suatu CHPS dan telah digunakan sejak lama sebelum ditemukannya metode
sonografi hingga saat ini. Pada pemeriksaan foto abdomen tanpa kontras akan tampak lambung
yang besar, dilatasi dan berisi gas disertai gas yang relatif sedikit pada intestinum dibawah pilorus.
Jika keadaan lambung sulit dinilai dengan foto polos maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan
foto abdomen dengan menggunakan kontras barium yang ditambahkan pada makanan formula.
Dengan adanya kontras dapat terlihat lambung yang jelas membesar dengan ujung yang agak
membulat karena antrum yang menggembung dan membengkok. Yang sering terjadi pada banyak
kasus adalah material kontras tampak berjalan melalui lebih dari satu mukosa pembungkus sehingga
tampak tanda “double track” yang dianggap sebagai suatu pylorospasme yang merupakan salah satu
2. Ultrasonography (USG)
USG merupakan pemeriksaan radiologi pilihan dalam mengevaluasi suatu CHPS. Di tangan
seorang sonographer yang berpengalaman, pemeriksaan ini memiliki sensitivitas (91-99%) dan
spesifitas 100 %. Pilorus diamati secara longitudinal dan transversal. Tanda untuk CHPS pada
pemeriksaan USG dapat diamati melalui panjang pilorus,diameter pilorus, dan penebalan otot
pilorus. Kriteria diagnosis CHPS adalah jika diameter pilorus lebih dari 14 mm penebalan ototnya
lebih dari 4 mm, sedangkan panjang pilorus 16 mm. Dengan pemeriksaan USG juga dapat di
observasi aktivitas peristaltik yang membedakan antara CHPS yang sebenarnya dengan suatu
pylorospasme. (1,2,4,11)
(Kepustakaan 2)
Gambar 9. Transversal Sonogram, bayi
laki-laki dengan CHPS. Tampak mukosa
pembungkus pilorus yang berlebihan (panah
putih) diantara komponen otot pilorus
(panah hitam putih)
(Kepustakaan 2)
untuk evaluasi lebih jauh keadaan lumen pilorus pada CHPS, Kriteria diagnosa CHPS pada endoskopi
adalah berupa penyempitan (cauliflower like) pada jalan masuk didaerah pilorus. Endoskopi
merupakan pemeriksaan tambahan yang dapat digunakan dalam suatu keadaan dimana
pemeriksaan radiologi yang sebelumnya tidak dapat dipastikan dan bayi datang dengan manifestasi
(a) (b)
Dalam keadaan dimana pemeriksaan sonography sulit dinilai akibat berbagai macam hal,
seperti penumpukan gas yang berlebihan dilambung, maka pemeriksaan MRI dapat dilakukan guna
membantu menunjang diagnosis, walaupun hingga saat ini MRI masih sangat jarang digunakan
untuk mendiagnosis CHPS mengingat biaya pemeriksaan yang relatif mahal dan pemeriksaan
gastrointestinal pada bayi dapat dibilang cukup susah dilakukan dengan MRI. (11,12)
(Kepustakaan 12)
(a) (b) (c)
PENATALAKSANAAN
Bayi dengan diagnosis CHPS biasanya datang ke rumah sakit dalam keadaan dehidrasi
sedang-berat akibat muntah hebat yang berulang dan terus-menerus. Bayi dengan
koreksi elektrolit dan cairan secepatnya. Berdasarkan beratnya dehidrasi, bayi biasanya diresusitasi
dengan solusi normal saline hampir dua kali lipat dari volume maintenance sampai bayi buang air.
Kemudian ditambahkan potassium ke cairan intravenous yang telah diubah menjadi setengah
volume normal saline pada 1,5 kali maintenance. Tindakan resusitasi cairan dan elektrolit
kemungkinan besar membutuhkan waktu hingga 48 jam atau lebih. Solusi Ringers Lactated (RL) tidak
digunakan dalam keadaan ini. Pemasangan NGT juga dihindari karena dapat mengakibatkan
kehilangan elektrolit yang lebih banyak lagi. Ketika dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit telah
teratasi dengan-baik oleh tindakan resusitasi yang adekuat, maka pasien siap untuk menjalani terapi
pembedahan. Sedangkan bayi dengan dehidrasi yang kurang dari 5% dan tidak mengalami gangguan
Sampai saat ini penatalaksanaan bedah berupa pyloromyotomi merupakan terapi pilihan
utama dalam menangani keadaan CHPS dan diawali dengan tindakan resusitasi cairan yang adekuat.
Pyloromyotomi diperkenalkan oleh Ramstedt (1912) . Teknik Ramstedt dimulai dengan insisi
transversal pada kuadran atas sebelah kanan regio abdomen. Kemudian dilakukan identifikasi
lambung sampai ditemukan pilorus. Pilorus yang hipertrofi di insisi dari sambungan gastro-duodenal
dan melewati luas bagian tumor secara hati-hati, jangan sampai menganggu mukosa gaster atau
duodenum. Otot yang telah diinsisi dipotong lebih luas dengan pisau turnpul. Mukosa yang intak
menonjol diantara batas otot yang sudah terpisah. Pilorus yang telas terpisah dipegang pada tiap sisi
pyloromyotomi dan pelan-pelan dimanipulasi untuk konfirmasi pemisahan otot yang komplit. Pilorus
kemudian dikembalikan ke dalam abdomen setelah dipastikan tidak ada perdarahan dan
kebocoran.(13,14)
(kepustakaan 1)
Gambar 12. Teknik Ramstedt, Pyloromyotomi. Insisi diatas Serosa pilorus yang
hipertrofi dan seluruh otot yang hipertrofi dipisahkan
Seiring dengan kemajuan dalam dunia kedokteran terutama dalam ilmu bedah, maka teknik
operasi yang lebih cepat dan sederhana semakin dikembangkan diantaranya adalah teknik
pyloromyotomi dengan laparoskopi. Tekhnik ini menggunakan suatu umbilikal teleskop. Dengan
laparoskopi tindakan operasi menjadi lebih mudah, praktis, sederhana, cepat, dengan biaya yang
terjangkau. (13,15)
(kepustakaan 15)
PROGNOSIS
Dengan penanganan yang tepat maka CHPS dapat diatasi dengan baik. Secara keseluruhan
angka kematian hanya sekitar 0,3%. Komplikasi yang sering terjadi adalah pasca tindakan operasi,
seperti perforasi lambung/duodenum ataupun pemisahan serat otot yang tidak bagus. Namun
dengan diagnosis awal dan manajemen penatalaksanaan yang tepat didukung penanganan pre-
operatif dan post-operatif yang adekuat maka komplikasi ke keadaan yang lebih buruk dapat
dihindari. CHPS merupakan salah satu keadaan yang sangat jarang bersifat berulang
(rekurens),(1,6,11,13,14)
DAFTAR PUSTAKA
2. Schulman HM, Lowe HL, et al. In Vivo Visualization of Pyloric Mucosal Hypertrophy in Infants
with Hypertrophic Pyloric Stenosis. AJR 2001; 177:843-848. [Online]. 2001 April 19. [Cited
2010 May]. Available from: http://www.ajronline.org
5. Gross ER. Congenital Hypertrophic Pyloric Stenosis. In : The Surgery Of Infancy And
Childhood Its Principles And Techniques, London: W.B.Saunders Company.2000.p. 130-143.
6. Fox R, Bambini AD. Hypertrophic Pyloric Stenosis. In : Arensman MR, et al. editors. Pediatric
Surgery, USA: Landes Bioscience; 2000.p.85-9.
7. Magnuson KD, Schwartz ZM. Stomach And Duodenum. In : Oldham KT, et 1. editors.
Principles And Practice Of Pediatric Surgery Volume 2, 4th Edition, USA: Lippmcott Williams &
Wilkins; 2005. p. 1150-80.
8. Benson DC, Adelman S. Stomach And Duodenum, Prepyloric And Pyloric Obstruction. In :
Ravitch MM, Welch JK, et al. editors. Pediatric Surgery Volume 2, 3rd Edition. London:
Medical Publisher Inc.; 2000.p.884-911.
10. Gilchrist B, Lessin SM. Lessions Of The Stomach. In: Ashcraft WK, Holcomb WG, Murphy PJ,
editors. Pediatric Surgery, 4th Edition. Missouri: Elsevier Saunders;2003.p.405-15.
11. Irish MS. Hypertrophic Pyloric Stenosis. [On Line] 2009 June. [Citied 2010 May]. Available
from : http://www.emedicine.com
12. Arslan H, Bay A, et al. Hypertropic Pyloric Stenosis MR Findings. Eur J Gen Med 2006; 3(4):
186-189. [On Line] 2006. [Cited 2010 May]. Available from :
http://pediatrics.aappublications.org
13. Anonymous. Guidelines For Surgical Treatment Of Infantile Hypertrophic Pyloric Stenosis.
[On Line] 2002 November. [Cited 2010 May]. Available from :
http://www.ipeg.org/guidelines/pyloric.html
14. Fujimoto T. Hypertrophic Pyloric Stenosis. In : Puri P, Hollwart M, editors. Pediatric Surgery.
Germany: Springer; 2006. p. 171-80.
15. Kazemi DR. Infatile Hypertrophic Pyloric Stenosis. [On Line] 2008. [Cited 2010 May].
Available from: http://www.greenjournal.org
16. Sadler TW. Digestive System. In : Langman’s Medical Embyology 8th Edition, Montana: p.288-
295
BAGIAN BEDAH
PYLORIC STENOSIS
Disusun Oleh:
Sulaiman
110201122
Pembimbing:
Supervisor Pembimbing:
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010