Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENUGASAN BLOK XIX

UPAYA PROMOTIF DAN PREVENTIF TERHADAP PENYAKIT


KEKURANGAN VITAMIN A

Oleh:
Fatimatus Tsania Rachman H1A016029
Intan Karmila H1A016042
Ismini Aufa Kamilia H1A016043
Noviani Rosa Sinensis HI H1A016068
Ruth Christina Wibowo H1A016075

Pengampu:
dr. Isna K. Nintyastuti, M. Sc., Sp. M.
dr. Siti Farida ITSW, Sp. M(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan limpahan rahmat
dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan “Laporan Penugasan Blok XIX: Upaya Promotif
dan Preventif Terhadap Penyakit Kekurangan Vitamin A” ini dengan tepat waktu. Tidak lupa
Penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam proses
penyelesaian tugas terutama dosen pengampu kelompok Penulis, dr. Isna K. Nintyastuti, M. Sc.,
Sp. M. dan dr. Siti Farida ITSW, Sp. M(K), sekaligus sebagai dosen pengajar di Fakultas
Kedokteran Universitas Mataram.
Semoga dengan adanya tugas ini, Pembaca dapat memperoleh edukasi terhadap tema yang
diangkat dalam laporan ini. Demikian “Laporan Penugasan Blok XIX: Upaya Promotif dan
Preventif Terhadap Penyakit Kekurangan Vitamin A” ini, Penulis mohon maaf apabila terdapat
kekurangan dalam tugas. Penulis mengharapkan adanya evaluasi terhadap tugas ini untuk
perbaikan terhadap tugas di kemudian hari.

Mataram, 26 Agustus 2019

Penulis
(Kelompok 4)

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................................. ii
A. Latar Belakang ............................................................................................................... 1
B. Definisi Kekurangan Vitamin A (KVA) ........................................................................ 1
C. Epidemiologi KVA ........................................................................................................ 2
D. Gangguan Akibat KVA .................................................................................................. 3
E. Program Pencegahan dan Cakupan Keberhasilan Program ........................................... 8
F. Kesimpulan ..................................................................................................................... 9
G. Saran............................................................................................................................... 10
Daftar Pustaka...................................................................................................................... 11
Lampiran.............................................................................................................................. 13

iii
A. Latar Belakang

Kekurangan Vitamin A (KVA) termasuk salah satu defisiensi mikronutrien yang paling
banyak di dunia. KVA sering terjadi pada anak-anak, terutama di negara berkembang. Secara
global, diperkirakan sekitar 30% anak-anak usia dibawah lima tahun mengalami kekurangan
vitamin A, dan sekitar 2% dari semua kematian akibat KVA terjadi pada kelompok umur
tersebut[14].

KVA pada anak biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang Energi Protein (KEP)
atau gizi buruk sebagai akibat asupan zat gizi sangat kurang, termasuk zat gizi mikro (dalam hal
ini vitamin A). Daya tahan tubuh anak yang menderita KVA menurun sehingga mudah terserang
infeksi seperti infeksi saluran pernafasan akut, campak, cacar air, diare dan infeksi lainnya.
Kurangnya konsumsi makanan (< 80 % AKG) yang berkepanjangan akan menyebabkan anak
menderita KVA. Selain itu, gangguan penyerapan pada usus juga dapat menyebabkan KVA
walaupun hal ini sangat jarang terjadi[3].

Oleh karena itu, tindakan pencegahan KVA penting dilakukan. Saat ini, suplementasi
vitamin A dosis tinggi merupakan intervensi yang paling banyak digunakan untuk mengatasi
KVA. Tercatat lebih dari 80 negara di seluruh dunia menerapkan program suplementasi vitamin
A kepada anak usia 6-59 bulan. Melalui program suplementasi vitamin A dosis tinggi, angka
kesakitan dan kematian akibat campak, diare dan penyakit lainnya dapat berkurang. Selain itu,
terdapat juga program fortifikasi vitamin A yaitu penambahan serbuk mikronutrien vitamin A ke
dalam makanan[14].

Meskipun telah banyak kebijakan maupun intervensi KVA yang sudah disusun, cakupan
keberhasilan program tersebut belum mencapai 100% [4]. Salah satu kemungkinan penyebab dari
hal ini adalah kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang gizi yang baik. Untuk
mengatasi hal tersebut, kegiatan promosi kesehatan perlu digencarkan.

B. Definisi Kekurangan Vitamin A

Kadar vitamin A dalam tubuh orang dewasa dikatakan mengalami defisiensi apabila
konsentrasi/kadar retinol serum atau plasma <0,70 μmol/l (20μg/dl), ada juga yang mengatakan

1
<1,05 μmol/l. Sementara itu, pada anak usia prasekolah (0-4 tahun), vitamin A dikatakan defisiensi
apabila konsentrasi retinol serum <0,70 μmol/l, dan dikatakan cukup jika konsentrasi retinol serum
≥0,70 μmol/l [13].

C. Epidemiologi Kekurangan Vitamin A

Kekurangan Vitamin A (KVA) merupakan bentuk malnutrisi mikronutrien yang paling


sering terjadi pada 21,1% anak-anak usia prasekolah dan 5,6% wanita hamil di dunia. Data terbaru
yang didapatkan menunjukkan bahwa kejadian KVA menyebabkan kematian pada 800.000 wanita
dan anak-anak di dunia [13]. Selain itu, data lain juga menyatakan bahwa KVA paling banyak terjadi
pada anak-anak berusia <5 tahun dengan angka prevalensi mencapai 30%. Pada usia tersebut,
angka kematian atau mortalitas akibat kejadian KVA ini diperkirakan mencapai 2% [14].

Anak-anak yang mengalami KVA paling banyak berada di daerah Asia Selatan. Penemuan
kejadian KVA di Asia Selatan meningkat dari 58% pada tahun 2003 menjadi 71% pada tahun 2005
[7]
. Berdasarkan guideline dari WHO terkait dengan kejadian KVA, negara Burma, Kamboja,
Indonesia dan Laos masih memiliki angka prevalensi KVA yang tinggi yakni sebesar 20%. Hal
ini menunjukkan bahwa kejadian KVA membutuhkan lebih banyak perhatian, khususnya di
Indonesia sendiri. Berikut merupakan prevalensi kejadian KVA di Asia Selatan [1].

Gambar 1. Estimasi Prevalensi Kejadian KVA (%) pada Anak-Anak Usia Prasekolah[1]

2
Berdasarkan hasil dari Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2017, kejadian gizi buruk di
Indonesia terutama pada balita usia 0-59 bulan sebesar 3,9% dan persentase balita dengan gizi
kurang adalah sebesar 13,8%. Dimana provinsi dengan persentase gizi buruk dan gizi kurang pada
balita 0-59 bulan tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur yakni sebesar 7,3% dan 22,2%.
Selanjutnya untuk provinsi Nusa Tenggara Barat persentase balita usia 0-59 bulan dengan gizi
buruk adalah 5,9% dan balita dengan gizi kurang adalah 20,5% [4]. Kejadian gizi buruk dan kurang
ini dapat mempengaruhi prevalensi dari KVA. Dimana kejadian KVA ini biasanya terjadi pada
anak yang menderita Kurang Energi Protein (KEP) atau gizi buruk sebagai akibat asupan zat gizi
sangat kurang, termasuk zat gizi mikro (dalam hal ini vitamin A). Daya tahan tubuh anak yang
menderita KVA menurun sehingga mudah terserang infeksi seperti infeksi saluran pernafasan
akut, campak, cacar air, diare dan infeksi lainnya. Kurangnya konsumsi makanan (< 80 % AKG)
yang berkepanjangan akan menyebabkan anak menderita KVA. Selain itu, gangguan penyerapan
pada usus juga dapat menyebabkan KVA walaupun hal ini sangat jarang terjadi[3].

Kejadian KVA yang mengakibatkan kebutaan, khususnya pada anak-anak telah


dinyatakan sebagai salah satu masalah kesehatan gizi utama di Indonesia. Prevalensi kejadian
KVA di Indonesia yang masih mencapai angka 22% tentunya membutuhkan perhatian bagi
pemerintah, tenaga kesehatan serta masyarakat Indonesia sendiri [1].

D. Gangguan Akibat Kekurangan Vitamin A

1. Xeroftalmia
Xeroftalmia merupakan gangguan yang terjadi akibat kekurangan vitamin A pada
mata, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan gangguan fungsi sel retina yang
selanjutnya dapat menyebabkan kebutaan. Xeroftalmia berasal dari bahasa Latin yang
berarti mata kering, dimana hal ini menunjukkan terjadinya kekeringan pada konjungtiva
dan kornea pada mata. Bentuk dari xeroftalmia sendiri dapat berupa xerosis konjungtiva
dan kornea, bercak Bitot, keratomalasia, niktalopia dan retinopati [6].
Penyebab dari xeroftalmia dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Penyebab
primer xeroftalmia adalah kurangnya asupan gizi vitamin A dalam diet, sedangkan
penyebab sekunder xeroftalmia biasanya berhubungan dengan adanya gangguan absorpsi

3
[8]
saluran cerna . Xeroftalmia dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi WHO sebagai
berikut[8]:
XN : Buta senja/niktalopia
X 1-A : Xerosis kojungtiva
X 1-B : Bercak Bitot dengan xerosis konjungtiva
X2 : Xerosis kornea
X 3-A : Corneal ulceration/keratomalacia <1/3 permukaan
X 3-B : Corneal ulceration/keratomalacia ≥1/3 permukaan
XS : Xerophtalmic corneal scar
XF : Fundus xeroftalmia
Klasifikasi lain yang digunakan di Indonesia adalah klasifikasi Ten Doeschate,
yaitu[8]:
Xo : Niktalopia
X1 : Niktalopia dengan xeroxis konjungtiva dan bercak Bitot
X2 : Xerosis kornea
X3 : Keratomalasia
X4 : Stafiloma, ftisis bulbi
Dimana kelainan pada :
- X0-X2 masih reversibel
- X3-X4 ireversibel
Hubungan antara kejadian KVA dengan xeroftalmia adalah vitamin A memiliki dua
peranan penting dalam mata manusia yakni sebagai prekursor dari fotopigmen retina dan
menjaga integritas dalam diferensiasi dan proliferasi epitel konjungtiva serta kornea.
Apabila seorang individu kekurangan vitamin A, maka sistem rodopsin yang lebih sensitif
terhadap defisiensi vitamin A dibandingkan dengan sistem Iodopsin akan mengalami
penurunan fungsi sel batang awal. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi penglihatan pada
cahaya yang redup dan menimbulkan buta senja atau niktalopia. Selain buta senja, KVA
juga akan menyebabkan gangguan dalam diferensiasi dan proliferasi dari epitel
konjungtiva serta kornea. Dimana selanjutnya dapat menyebabkan xerosis konjungtiva,
[6]
keratomalasia serta jaringan parut pada kornea . Berikut merupakan gambaran dari
kejadian KVA yang berdampak pada mata:

4
Gambar 2. Manifestasi Klinis/Tanda dari Xeroftalmia (A) Bercak Bitot (B)
Keratomalasia[14]

2. Anemia
Anemia dapat terjadi sebagai komplikasi dari kejadian KVA, dimana hal ini
disebabkan oleh adanya peranan vitamin A dalam transpor, absorpsi, penyimpanan serta
release besi kedalam sum-sum tulang yang juga berpengaruh terhadap eritropoeisis.
[11]
Sehingga, hal ini dapat meningkatkan resiko terjadinya anemia defisiensi besi . Anak-
anak dan wanita yang mengalami xeroftalmia ringan biasanya juga mengalami anemia.
Gejala yang dapat dirasakan apabila seseorang mengalami anemia defisiensi besi
antara lain [10]:
1. Penampilan yang tampak pucat, dimana biasanya hal ini diakibatkan oleh kadar
Hb yang menurun hingga 7-8 gr/dL.
2. Pada anemia berat dapat menimbulkan gangguan fungsi kognitif dan motorik.
3. Mudah mengantuk.
4. Iritabilitas.
5. Pada pemeriksaan, ditemukan konjungtiva, telapak tangan dan kuku yang
anemis.

5
Menurut WHO, anemia defisiensi besi ini dapat ditegakkan bila memenuhi
setidaknya tiga kriteria dari empat kriteria berikut [10]:
1. Kadar Hb < normal untuk usia pasien.
2. Kadar Fe serum <50 mcg/dL (nilai normal 80-180 mcg/dL).
3. Saturasi transferin <15% (nilai normal 20-50%)
4. MCHC <15% (nilai normal 32-25%)
3. Infeksi

Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan gangguan kekebalan humoral serta selular.


Efek antioksidan dari karotenoid ini secara tidak langsung meningkatkan fungsi kekebalan
tubuh dengan menurunkan konsentrasi partikel bebas beserta produknya yang bersifat
imunosupresif. Vitamin A mencegah oksidasi leukosit sehingga dapat menurunkan kadar
prostaglandin yang bersifat imunosupresif [9].

Vitamin A juga dapat bersifat sebagai ajuvan, dalam artian yaitu suatu zat yang dapat
meningkatkan respons imun terhadap suatu imunogen.dengan merusak membran lisosom sel
yang terinfeksi. Lisosom ini dapat mempunyai peran dalam memulai terjadinya pembelahan
sel. Kerusakan lisosom ini akan merangsang sistim imun. Vitamin A berperan pula dalam
proses epitelisasi, dengan peningkatan proses ini maka akan terjadi perbaikan fungsi
pertahanan fisik non spesifik terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh[9].

Kekurangan vitamin A merupakan faktor risiko untuk beberapa contoh infeksi berikut:
3.1. Campak
Penyakit campak atau yang dikenal juga sebagai morbili atau measles merupakan penyakit
yang sangat mudah menular yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui batuk dan
bersin. Sampai saat ini, penyakit campak masih merupakan masalah di Indonesia dan belum
ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit tersebut. Gejala penyakit campak adalah demam
tinggi, bercak kemerahan pada kulit disertai dengan batuk dan/atau pilek dan/atau mata merah
(konjungtivitis) [5]. Penyakit ini dapat berakhir fatal bila bila terjadi komplikasi berat seperti
ensefalitis dan pneumonia terutama pada pasien malnutrisi dengan kekebalan tubuh yang
rendah[9].
Umumnya pada pasien malnutrisi selain menderita kekurangan protein dan karbohidrat
juga didapatkan defisiensi berbagai mikronutrien diantaranya adalah defisiensi vitamin A.

6
Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa vitamin A dapat menghambat replikasi
virus vaksin campak dengan peningkatan respons imun. Pemberian suplemen vitamin A dosis
tinggi dilaporkan dapat mengurangi angka kematian lebih dari 50% pasien campak sedang
maupun berat. Maka pada pasien campak sangat dianjurkan untuk memberikan suplementasi
vitamin A dosis tinggi yaitu sampai 400.000 IU pada saat terjadi ruam dalam 2 hari berturut-
turut dan pada anak di bawah usia 1 tahun dapat diberikan dosis sampai 100.000 IU[9].
3.2. Diare
Diare merupakan masalah utama yang terjadi akibat gangguan motilitas gastrointestinal.
Diare dapat terjadi ketika air dan elektrolit yang berlebihan akan diangkut ke lumen (diare
sekretorik) atau dapat terjadi ketika air ditahan di dalam lumen oleh bahan yang aktif (diare
osmotik). Diare dapat berisiko kematian karena berpotensi dehidrasi (kekurangan cairan,
kekurangan elektrolit, dan malnutrisi). Kejadian diare pada balita sangat erat hubungannya
dengan asupan zat gizi mikro. Zat gizi mikro yang berperan sebagai pertahanan tubuh balita
yaitu vitamin dan mineral, contohnya adalah vitamin A, Zinc, dan Polyunsaturated Fatty Acid
(PUFA) [12].
Vitamin A berfungsi untuk pemeliharaan sel epitel terutama sel-sel goblet untuk
mengeluarkan mukus atau lendir. Pengeluaran mukus atau lendir bertujuan untuk melindungi
sel epitel dari mikroorganisme dan partikel berbahaya[12]. Hasil penelitian menjelaskan bahwa
balita diare dengan pemberian suplementasi viamin A lebih cepat sembuh daripada balita yang
tidak mendapatkan suplementasi vitamin A. Hal ini disebabkan oleh vitamin A dapat
mempercepat perbaikan jaringan epitel intestinal yang rusak akibat diare. Vitamin A
merangsang proliferasi dan diferensiasi epitel sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya
diare[12].
3.3. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
ISPA merupakan padanan dari Acute Respiratory Infection. Istilah ISPA mengandung
tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut. Adapun yang dimaksud dengan infeksi
adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak
sehingga manimbulkan gejala penyakit. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) mencakup
infeksi akut sepanjang saluran pernafasan mulai dari hidung sampai alveoli serta adneksanya,
seperti ruang telinga tengah, sinus paranasalis dan rongga pleura, sedangkan infeksi akut
adalah infeksi yang berlangsung sampai 14 hari[15].

7
Salah satu faktor resiko ISPA adalah kekurangan vitamin A. Banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa anak-anak yang kekurangan vitamin A mengalami risiko lebih tinggi
terkena penyakit infeksi saluran pernafasan daripada yang tidak kekurangan vitamin A[15].

E. Program Pencegahan dan Cakupan Keberhasilan Program

Vitamin A adalah salah satu mikronutrien yang sangat diperlukan tubuh yang berfungsi
dalam pertumbuhan dan daya tahan tubuh terhadap penyakit[4]. Prevalensi kekurangan vitamin A
merupakan kekurangan mikronutrien tersering di dunia, kasus terbanyak terjadi pada anak-anak
yang berada di negara berkembang[14]. Kebutaan pada anak dapat disebabkan oleh karena
kekurangan vitamin A. Selain itu, kekurangan vitamin A dapat meningkatkan risiko kesakitan dan
kematian[4].

Vitamin A yang dikonsumsi dari makanan sehari-hari masih cukup rendah. Oleh karena
itu, diperlukan tambahan asupan gizi yaitu berupa kapsul vitamin A. Kapsul vitamin A dapat
diberikan kepada bayi, anak balita, dan ibu nifas. Bayi berusia 6–11 bulan diberikan kapsul vitamin
A yang berwarna biru dan mengandung retinol (palmitat/asetat) 100.000 IU, sedangkan anak balita
usia 12-59 bulan dan ibu nifas diberikan kapsul vitamin A yang berwarna merah dan mengandung
retinol (palmitat/asetat) 200.000 IU. Kapsul vitamin A berupa kapsul lunak dengan bagian
ujungnya dapat digunting, tidak transparan (opaque), dan mudah untuk dikonsumsi[4].

Pemberian kapsul vitamin A untuk bayi dan anak balita dilakukan bersamaan yaitu pada
bulan Februari dan Agustus. Pada bayi 6-11 bulan, frekuensi pemberian vitamin A sebanyak 1 kali
sedangkan pada anak balita 12-59 bulan dilakukan sebanyak 2 kali. Pada ibu nifas, pemberian
kapsul vitamin A dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu satu kapsul segera setelah persalinan dan satu
kapsul lagi yang diberikan pada 24 jam setelah pemberian kapsul pertama[4].

Selain pemberian kapsul vitamin A, terdapat juga beberapa upaya pencegahan terhadap
kekurangan vitamin A yaitu diversifikasi atau keragaman makanan yang dikonsumsi, fortifikasi
[1][2]
vitamin A, dan pemberian ASI eksklusif . Diversifikasi atau keragaman makanan yang
dikonsumsi, contohnya meningkatkan konsumsi makanan hewani atau buah-buahan dan sayuran
yang kaya akan vitamin A. Diversifikasi kadang sangat sulit untuk diterapkan kepada bayi dan
anak kecil, sehingga pemberian fortifikasi vitamin A lebih dipilih karena mudah untuk diterapkan.

8
Fortifikasi vitamin A berupa serbuk mikronutrien yang dapat mencegah defisiensi dan
mempromosikan pertumbuhan dan perkembangan yang memadai[1]. Pemberian ASI eksklusif
juga tidak kalah penting yaitu sebagai upaya promotif untuk mencegah defisiensi vitamin A pada
bayi, sehingga pemberian ASI eksklusif selama empat sampai enam bulan pertama kehidupan ada
baiknya tetap dilanjutkan[2].

Cakupan pemberian vitamin A pada balita di Indonesia tahun 2018 yaitu sebesar 86,18%.
Provinsi dengan persentase tertinggi untuk cakupan pemberian vitamin A adalah DI Yogyakarta
(99,86%), sedangkan provinsi dengan persentase terendah adalah Kalimantan Tengah (69,55%).
Sebanyak tiga provinsi belum mengumpulkan datanya, yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, dan
Nusa Tenggara Barat[4].

F. Kesimpulan

Defisiensi vitamin A merupakan persoalan gizi yang paling serius dan paling sering
ditemukan. Defisiensi vitamin A merupakan penyebab kebutaan yang paling sering ditemukan
pada anak-anak. Lebih kurang 150 juta anak lainnya menghadapi resiko kematian yang tinggi
dalam usia anak-anak karena penyakit infeksi yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A Ada
banyak faktor yang berkontribusi terhadap defiiensi vitamin A. Penyebab paling penting dari
defisiensi vitamin A pada anak adalah rendahnya asupan makanan yang mengandung vitamin A
(termasuk pemberian ASI yang tidak memadai) dan infeksi yang berulang, khususnya campak,
diare, dan infeksi pernafasan. Beberapa kelompok lebih rentan untuk menderita defisiensi vitamin
A dibanding yang lainnya. Kelompok ini terdiri dari bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR),
bayi prematur, anak dengan infeksi berulang serta yang menderita malnutrisi.

Penatalaksanaan defisiensi vitamin A terdiri dari suplementasi vitamin A, ASI eksklusif


(pada bayi 0-6 bulan), dan pemberian asupan kaya vitamin A, Untuk pencegahan defisiensi vitamin
A ini, juga ada suplementasi vitamin A profilaksis yang dosisnya disesuaikan dengan umur
penderita seperti yang telah ditetapkan.

G. Saran

9
1. Perlunya pemahaman mengenai gejala klinis, penegakan diagnosis, dan terapinya agar
penatalaksanaan bisa dilakukan secara tepat.
2. Perlunya sosialisasi mengenai bahaya defisiensi vitamin A dan tatalaksananya pada anak di
masyarakat.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Chaparro, C., Oot, L., dan Sethurama, K. (2014). Overview of the Nutrition Situation in
Seven Countries in Southest Asia. Washington, DC:Food and Nutrition Technical
Assistance III Project (FANTA)
2. Chirs T. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius. 2014.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2003). Deteksi dan Tatalaksana Kasus
Xeroftalmia, Pedoman bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan
Kesehatan Masyarakat.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Profil Kesehatan Indonesia 2018.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Status Campak dan Rubella Saat Ini
di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
6. Feroze, K. B., Kaufman, E. J. Xerophthalmia. (2019). StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing. Available at: https://ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431094
7. Harding, K. L., Aguayo, V. M., dan Webb, P. (2017). Hidden Hunger in South Asia: A
Review of Recent Trends and Persisten Challenges. Public Health Nutrition. pp 1-11
8. Ilyas, H. S., Yulianti, S. R. (2018). Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta:Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
9. Munasir, Z. (2016). Pengaruh Suplementasi Vitamin A terhadap Campak. Sari Pediatri,
2(2), 72-6.
10. Prihantono, D., Prawitasari, T dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Keempat. (2014).
Defisiensi Besi. Jakarta:Media Aesculapius.
11. Prihantono, D., Prawitasari, T dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Keempat. (2014).
Defisiensi Vitamin A. Jakarta:Media Aesculapius.
12. Restuti, A.N.S., & Fitri, Y.A. (2019). Hubungan antara Tingkat Asupan Vitamin A, Zinc
dan Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA) dengan Kejadian Diare Balita. Indonesian
Journal of Human Nutrition, 6(1), 32-40.
13. Rice, A. L., Jr. K. P. W., dan Black, R. E. (2013). Vitamin A Deficiency. Comparative
Quantification of Health Risk.

11
14. Wirth, J., Petry, N., Tanumihardjo, S., Rogers, L., McLean, E., Greig, A. dan Rohner, F.,
(2017) Vitamin A Supplementation Programs and Country Level Evidence of Vitamin A
Deficiency. Nutrients, 9(3), 190.
15. Yunita, R., Anggraini, M., & Wiyono, S. (2014). Hubungan Antara Asupan Protein, Zink,
Vitamin A dan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Non Pneumonia pada
Balita di RW 06 Kelurahan Cempaka Putih Kecamatan Ciputat Timur Tangerang Selatan.
Nutrire Diaita, 6(2), 99-113.

12
LAMPIRAN

Konsep Poster

13

Anda mungkin juga menyukai