Anda di halaman 1dari 10

A.

Definisi dan Klasifikasi


Cholangiocarcinoma (CCA) adalah tumor ganas yang terjadi akibat dari transformasi
cholangiocytes, sel epitel yang menyelubungi cabang-cabang duktus biliaris. (Gatto dan Alvaro,
2010) Tumor terjadi melalui infiltrasi dari duktus biliaris, invasi perineural dan ruang vaskular,
atau perluasan langsung ke struktur yang berdekatan.
(Alberta Health Service, 2016)
Secara anatomis, CCA dibagi sebagai berikut.
1. CCA Intrahepatik (10-20%)
2. CCA ekstrahepatik perihilar / Klatskin tumor (50-
60%)
3. CCA ekstrahepatik distal (20-30%)
4. CCA multifokal (5%)
(Gatto dan Alvaro, 2010; Alberta Health Service,
2016; Bridgewater dkk, 2014; Khan dkk, 2012)

Adapun menurut Bismuth-Corlette, klasifikasi CCA berdasarkan letak tumor adalah:


 Tipe I :
Tumor terletak pada distal dari pertemuan
duktus hepatikus kiri dan kanan (terbatas
pada duktus hepatikus komunis)
 Tipe II:
Tumor melibatkan percabangan dari
duktus hepatikus komunis, namun tidak
meluas ke duktus hepatikus kanan dan
kiri.
 Tipe III:
Tumor melibatkan percabangan dari
duktus hepatikus komunis, dan salah satu
dari duktus hepatikus kanan (IIIa) / kiri
(IIIb).
 Tipe IV: tumor melibatkan kedua duktus hepatikus kanan dan kiri, atau terdapat pada
beberapa lokasi (multifokal)
(Alberta Health Service, 2016; Khan dkk, 2012)
B. Epidemiologi
CCA menduduki peringkat kedua sebagai tumor hepar primer yang paling umum ditemukan secara
global, sesudah Hepatocellular Carcinoma (HCC). (Gatto dan Alvaro, 2010) (Bridgewater dkk,
2014) (Khan dkk, 2012) Kendati demikian, beberapa studi terbaru pada wilayah tertentu
menunjukkan adanya peningkatan insidensi dan mortalitas dari CCA secara signifikan dalam
beberapa dekade terakhir, terutama kasus CCA intrahepatik. (Bridgewater dkk, 2014) (Khan dkk,
2012) Tercatat semenjak pertengahan 1990-an, angka mortalitas akibat CCA di Inggris dan Wales
lebih tinggi daripada mortalitas HCC. (Bridgewater dkk, 2014) (Khan dkk, 2012)
Secara ringkas, data terbaru insidensi dan penyebaran penyakit CCA yang dirangkum dari
beberapa penelitian terkini tergambar dalam peta berikut.

(Bridgewater dkk, 2014)


C. Faktor Resiko
Faktor Resiko Keterangan
Primary sclerosing cholangitis (PSC) Faktor resiko CCA yang utama pada masyarakat barat, dimana
50% kasus CCA dibarengi dengan PSC.
Penyakit Caroli, kista choledocal Abnormal pancreatic-bile duct junction, dapat menyebabkan
(ductus biliaris), adenoma vater regurgitasi cairan pankreatikus, membentuk lysolecithin
ampulla (campuran cairan pankreas dan empedu) yang bertindak sebagai
deterjen terhadap epitelium biliar sehingga memicu inflamasi
kronik dan peningkatan insidensi keganasan saluran empedu.
Ditemukan pada 44,8% kasus CCA.
Usia 65% pasien berusia >65 tahun
Chronic intraductal gallstones Khususnya di Asia dimana 10% dari pasien hepatolihiasis
berkembang menjadi CCA intrahepatik.
Gagal hati Gagal hati akibat parasit atau infeksi bakteri
(i.e., Opisthorchis Viverrini, Clonorchis
Sinensis, Schistosomiasis Japonica and Salmonella
Typhi) merupakan faktor resiko yang banyak pada daerah
endemic di Asia.
Infeksi tifus kronis Penelitian pada Asia tenggara, resiko CCA meningkat hingga 6x
lipat pada penderita tifus kronis.
Infeksi hepatitis C kronis
Sirosis hati
Paparan terhadap dioxin, vinyl
chloride, dan nitrosamine.
(Gatto dan Alvaro, 2010; Alberta Health Service, 2016; Khan dkk, 2012)

D. Patogenesis

Menurut pola pertumbuhannya, CCA terbagi menjadi 3, yaitu:

A. Terbentuknya massa

B. Infiltrasi periductal
C. Pertumbuhan intraductal. (Luo, 2017)

Adapun proses terbentuknya tumor secara molecular adalah sebagai berikut.

Sel kanker/sel inflamatori mensekresi IL6 yang dapat bertindak sebagai autokrin atau parakrin
sehingga menginduksi pertahanan sel dan sinyal mitogenik. Mulanya, IL6 berikatan dengan
reseptor gp130 dan gp80. Aktivasi dari kompleks ini memicu beragam jalur aktivasi lainnya,
sebagaimana berikut.
 P13K/Akt
Aktivasi phosphoinositide 3-kinase (PI3K) menghasilkan fosforilasi dan aktivasi Akt
kinase, yang pada gilirannya menghambat faktor proapoptotik dan memfasilitasi
pertumbuhan sel.
 JAK/STAT pathway
Aktivasi janus kinase (JAK), baik itu JAK 1 dan JAK 2 yang pada gilirannya akan
mengaktivasi Signal Tranducer and Activator of Transcription (STAT 3). STAT
meningkatkan transkripsi dari anti apoptosis Myeloid Cell Leukemia sequence 1 (MCL 1).
Aktivasi dari jalur JAK/STAT ini juga akan meningkatkan ekspresi Epidermal Growth
Factor Receptor (EGFR) dengan menurunkan methylation gen promoternya, dimana
methylation berfungsi sebagai penghambat akses faktor transkripsi menuju DNA. STAT
juga akan meningkatkan Suppressor of Cytokine Signaling 3 (SOCS 3), inhibitor dari
proses regulasi umpan balik negatif.
 MAPK signaling pathway
Aktivasi p44/p42 dan p38 Mitogen Activated Protein Kinases (MAPK) menurunkan
regulator siklus sel negatif dan sangat penting untuk proliferasi CCA.
(Bridgewater dkk, 2014; Rizvi dan Gores, 2013).

E. Penegakan Diagnosis
 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari CCA bersifat non spesifik sehingga tidak mampu dijadikan acuan
untuk menegakkan diagnosis. Pada pasien early stage, biasanya penyakit ini bersifat
asimtomatik. Pada stadium lebih lanjut, gejala yang mungkin terjadi adalah:
 Penurunan berat badan
 Malaise
 Penurunan nafsu makan
 Keringat malam
 Rasa tidak nyaman pada perut
 Gejala obstruksi biliaris (ikterus, feses pucat, urin gelap, pruritus)
 Hepatomegali
 Massa abdominal.
 Kolangitis. (Gatto dan Alvaro, 2010; Bridgewater dkk, 2014; Khan dkk, 2012)
Diagnosis CCA harus dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit hepatolitiasis, atau
PSC yang memberat, disertai penurunan berat badan, atau gagal tumbuh kembang.
(Bridgewater dkk, 2014).

 Pemeriksaan darah
Tidak spesifik. Hasil tes darah yang mungkin diperoleh dari pasien CCA adalah:
 Aminotransferase dapat normal atau meningkat pada obstruksi biliaris akut atau
kolangitis.
 Penurunan vitamin larut lemak dan peningkatan prothrombin time dapat terjadi
sebagai akibat dari obstruksi biliaris berkepanjangan.
 Pada penyakit lanjut, marker malignansi non spesifik seperti albumin, erythrocyte
sedimentation rate, C-reactive protein dan haemoglobin dapat berubah. (Khan dkk,
2012)
 Serum Tumour Marker

Uji carbohydrate antigen (CA) 19-9 dan CA-125 adalah uji marker serum tumor yang
paling sering digunakan. Namun secara umum, sensitivitas dan spesifitas uji ini rendah.
CA19-9 meningkat pada 85% kasus CCA, dengan sensitivitas 40-70%, spesifisitas 50-
80%, dan positive predivtive value (PPV) 16-40%. CA19-9 tidak dapat membedakan kasus
CCA, malignansi pancreas atau gastrik, dan juga perlukaan hepatik berat oleh karena sebab
apapun. Sementara CA-125 meningkat hanya pada 65% pasien CCA.

Uji marker serum tumor tidak dapat digunakan untuk menegakan diagnosis, namun dapat
membantu menentukan prognosis, lantaran marker serum tumor meningkat secara
signifikan pada stadium lanjut. (Bridgewater dkk, 2014; Khan dkk, 2012)

 Pemeriksaan Histologis
Melalui pemeriksaan histologis, ditemukan gambaran adenokarsinoma atau mucinous
carcinoma. Temuan gambaran histologis yang paling umum ada CCA adalah
adenokarsinoma dengan struktur tubular/papillaris dan jaringan fibrosa stroma.
Pemeriksaan histologis harus dilakukan untuk menegakkan CCA sebagai diagnosis
definitif. (Bridgewater dkk, 2014)
 Radiologi
 Ultrasonografi
Pada suspek obstruksi biliaris, USG dapat digunakan untuk ekslusi batu empedu,
namun USG bersifat operator-dependent dan penggunaannya tanpa dibarengi
modalitas diagnostik lain tidak dapat mendiagnosis CCA. Dalam halnya
mendeteksi pasien dengan CCA, USG memiliki spesifisitas dan negative predictive
value sebesar 90%, namun sensitivitas dan positive predictive value hanya 50%.
USG tidak dapat mendeteksi tumor kecil. USG dengan Colour-Doppler dapat
mendeteksi tumor yang menginduksi kompresi atau thrombosis vascular. (Khan
dkk, 2012)
 CT (Computed Tomography) scan
CT scan dengan kontras memiliki sensitivitas yang lebih tinggi untuk deteksi CCA
dibandingkan dengan ultrasonografi. CT scan dapat melihat massa, lesi, dan dilatasi
pada duktus intrahepatik, limfadenopati, dan metastasis ekstrahepatik. (Khan dkk,
2012)
 MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI dapat menggambarkan anatomi hepatobiliaris, abnormalitas parenkimal,
metastasis pada hepar dan keterlibatan vaskular. Kedudukannya lebih rendah
dibandingkan CT scan dalam hal mendeteksi metastasis jauh, khususnya di paru-
paru dan tulang. (Khan dkk, 2012)
 Cholangiography (MRCP, ERCP, PTC)
MRCP (Magnetic Resonance Cholangiopancreatography) adalah prosedur non
invasif sehingga lebih aman dibandingkan dengan Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography (ERCP) ataupun Percutaneous Transhepatic
Cholangiography (PTC). MRCP memiliki sensitivitas 96%, spesifisitas 85% dan
akurasi 91%, dibandingkan dengan ERCP (80%, 75% dan 78%) dalam hal
mendeteksi CCA. (Khan dkk, 2012)
 Endoscopic Ultrasound
Endoscopic Ultrasound dapat melihat ductus ektrahepatikus distal, lesi hilar,
empedu, limfonodus dan vaskularisasi regional. Endoscopic Ultrasound juga dapat
memfasilitasi aspirasi jarum halus dari lesi distal maupun nodus. (Khan dkk, 2012)
Catatan:
 Pasien dengan suspek CCA harus dilakukan:
– Kombinasi MRI dan MRCP, atau
– CT scan dengan resolusi tinggi disertai kontras.
 Invasif kolangiografi harus dilakukan untuk diagnosis histologis, atau
dekompresi terapeutik pada kasus kolangitis, atau pemasangan stent pada
kasus irresectable.
 Pemeriksaan histologis harus dilakukan untuk menegakkan CCA sebagai
diagnosis definitif. (Bridgewater dkk, 2014; Khan dkk, 2012)

F. Staging dan Tatalaksana

Staging menurut American Joint Committee on Cancer) and Joint Commission on


Cancer Staging 7th edition adalah:

Tumor
T1 Tumor terbatas pada saluran empedu, terlihat dengan gambaran histologis
T2a Tumor menembus dinding saluran empedu hingga jaringan lemak yang berdekatan
T2b Tumor menembus dinding saluran empedu hingga parenkim hepar
T3 Tumor menginvasi vena portal ipsilateral atau arteri hepatikus kanan/kiri
T4 Tumor menginvasi:
1. Vena portal utama atau percabangannya secara bilateral
2. Arteri hepatikus komunis
3. The second order biliary radicals secara bilateral
4. Unilateral The second order biliary radicals dengan vena portal kontalateral
atau arteri hepatikus.
Nodus
Nx Tidak diketahui apakah terdapat metastasis pada limfonodus
N0 Tidak ada metastasis pada limfonodus
N1 Metastasis pada limfonodus regional (limfonodus di sekitar ductus sistikus, ductus
biliaris komunis, arteri hepatikus dan vena portal)
N2 Metastasis pada limfonodus pada periaorta, pericava, arteri mesenterika superior
dana tau arteri celiac.
Metastasis
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
Stadium tumor
I T1, N0, M0
II T2a-b, N0, M0
IIIa T3, N0, M0
IIIb T1, T2, atau T3, N1, M0
IVa T4, N0 atau N1, M0
IVb T apapun, N2, M0 atau T apapun, N apapun, M1
(Luo, 2017)
DAFTAR PUSTAKA

M. GATTO, D. ALVARO. 2010. Cholangiocarcinoma: risk factors and clinical presentation.


[pdf] <online> diakses 25 November 2018.

Alberta Health Services. 2016.


CHOLANGIOCARCINOMA AND GALLBLADDER CANCER, edisi 4. [pdf] <online>
diakses 25 November 2018.

Bridgewater, dkk. 2014. Guidelines for the diagnosis and management of intrahepatic
cholangiocarcinoma. [pdf] <online> diakses 25 November 2018.

Khan dkk. 2012. Guidelines for the diagnosis and treatment of


cholangiocarcinoma: an update [pdf] <online>
diakses 25 November 2018.

Sumera Rizvi dan Gregory J.Gores, 2013. Pathogenesis, diagnosis, and management of
Cholangiocarcinoma. [online]

Yigang Luo, 2017.


A New Clinical Classification of Hilar Cholangiocarcinoma (Klatskin Tumor). [pdf] <online>
diakses 25 November 2018.

Anda mungkin juga menyukai