Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan
kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan
itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun
kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga
dalam masalah kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri
yang merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek
dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan
lain-lain. Menurut Setiawan (1973), timbulnya perhatian pada orang-orang usia lanjut
dikarenakan adanya sifat-sifat atau faktor-faktor khusus yang mempengaruhi kehidupan
pada usia lanjut.

Lansia merupakan salah satu fase kehidupan yang dialami oleh individu yang
berumur panjang. Lansia tidak hanya meliputi aspek biologis, tetapi juga psikologis dan
sosial. Menurut Laksamana (1983:77), perubahan yang terjadi pada lansia dapat disebut
sebagai perubahan `senesens` dan perubahan ‘senilitas’. Perubahan `senesens’ adalah
perubahan-perubahan normal dan fisiologik akibat usia lanjut. Perubalian ‘senilitas’
adalah perubahan-perubahan patologik permanent dan disertai dengan makin
memburuknya kondisi badan pada usia lanjut. Sementara itu, perubahan yang dihadapi
lansia pada amumnya adalah pada bidang klinik, kesehatan jiwa dan problema bidang
sosio ekonomi. Oleh karma itu lansia adalah kelompok dengan resiko tinggi terhadap
problema fisik dan mental.

Proses menua pada manusia merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan.
Seinakin baik pelayanan kesehatan sebuah bangsa makin tinggi pula harapan hidup
masyarakatnya dan padan gilirannya makin tinggi pula jumlah penduduknya yang
berusia lanjut. Demikian pula di Indonesia.

1
Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lansia sangat perlu
ditekankan pendekatan yang dapat mencakup sehat fisik, psikologis, spiritual dan sosial.
Hal tersebut karena pendekatan dari satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan
kesehatan pada lansia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif.

Usia lansia bukan hanya dihadapkan pada permasalahan kesehatan jasmaniah


saja, tapi juga permasalahan gangguan mental dalam menghadapi usia senja. Lansia
sebagai tahap akhir dari siklus kehidupan manusia, sering diwarnai dengan kondisi
hidup yang tidak sesuai dengan harapan. Banyak faktor yang menyebabkan seorang
mengalami gangguan mental seperti depresi.

Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia.
Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat
menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para
lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:

1. Penurunan kondisi fisik

2. Penurunan fungsi dan potensi seksual

3. Perubahan aspek psikososial

4. Perubahan yang berkaitan dengan pekcrjaan

5. Perubahan dalam peran sosial di masyarakat

Skrining (screening) adalah deteksi dini dari suatu penyakit atau usaha untuk
mengidentifikasi penyakit atau kelainan secara klinis belum jelas dengan menggunakan
test, pemeriksaan atau prosedur tertentu yang dapat digunakan secara cepat untuk
membedakan orang-orang yang kelihatannya sehat tetapi sesunguhnya menderita suatu
kelainan. Penelitian epidemiologi ditujukan untuk faktor-faktor epidemiologis yang
berkaitan dengan distribusi penyakit /masalah kesehatan di masyarakat yang hasilnya
dipergunakan untuk membuat perencanaan intervensi atau upaya pencegahan yang
sesuai

2
Salah satu jenis penelitian yang sering digunakan adalah screening. Mahasiswa perlu
mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan penelitian skrining tersebut sebelum nantinya
terjun ke masyarakat untuk mengadakan penelitian. Oleh sebab itu, dalam makalah ini
akan dibahas lebih jauh mengenai penelitian screening.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang di dapat sebagi berikut:
1. Apa definisi dari kolaborasi?
2. Apa definisi dari skrining?
3. Bagaimana dasar pemikiran adanya skrining?
4. Apa tujuan dan manfaat skrining?
5. Bagaimana sasaran skrining?
6. Apa saja jenis dari skrining?
7. Apa saja syarat skrining?
8. Bagaimana proses pelaksanaan skrining?
9. Bagaimana kriteria evaluasi skrining?
10. Bagaimana skrining kesehatan pada kelompok lansia?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Mengetahui & memahami definisi dari kolaborasi
2. Mengetahui & memahami definisi dari skrining
3. Mengetahui & memahami dasar pemikiran adanya skrining
4. Mengetahui & memahami tujuan dan manfaat skrining
5. Mengetahui & memahami sasaran skrining
6. Mengetahui & memahami jenis skrining
7. Mengetahui & memahami syarat skrining
8. Mengetahui & memahami proses pelaksanaan skrining
9. Mengetahui & memahami kriteria evaluasi
10. Mengetahui & memahami skrining kesehatan pada kelompok lansia

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi Kolaborasi
Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk
menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Sekian
banyak pengertian dikemukakan dengan sudut pandang beragam namun didasari
prinsip yang sama yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas,
kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat. Namun demikian kolaborasi sulit
didefinisikan untuk menggambarkan apa yang sebenarnya yang menjadi esensi
dari kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint Practice Commision
(1977) yang dikutip Siegler dan Whitney (2000) bahwa tidak ada definisi yang
mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya kolaborasi dalam
kontek perawatan kesehatan.

Berdasarkan kamus Heritage Amerika (2000), kolaborasi adalah bekerja


bersama khususnya dalam usaha penggambungkan pemikiran. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikemukanan oleh Gray (1989) menggambarkan bahwa
kolaborasi sebagai suatu proses berfikir dimana pihak yang terklibat memandang
aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan solusi dari perbedaan
tersebut dan keterbatasan padangan mereka terhadap apa yang dapat dilakukan.

American Medical Assosiation (AMA), 1994, setelah melalui diskusi dan


negosiasi yang panjang dalam kesepakatan hubungan professional dokter dan
perawat, mendefinisikan istilah kolaborasi sebagai berikut ; Kolaborasi adalah
proses dimana dokter dan perawat merencanakan dan praktek bersama sebagai
kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek
mereka dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai terhadap
setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan
masyarakat.

Kolaborasi (ANA, 1992), hubungan kerja diantara tenaga kesehatan dalam


memeberikan pelayanan kepada pasien/klien adalah dalam melakukan diskusi

4
tentang diagnosa, melakukan kerjasama dalam asuhan kesehatan, saling
berkonsultasi atau komunikasi serta masing-masing bertanggung jawab pada
pekerjaannya.

Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran


pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator.
Efektifitas hubungan kolaborasi profesional membutuhkan mutual respek baik
setuju atau ketidaksetujuan yang dicapai dalam interaksi tersebut. Partnership
kolaborasi merupakan usaha yang baik sebab mereka menghasilkan outcome yang
lebih baik bagi pasien dalam mecapai upaya penyembuhan dan memperbaiki
kualitas hidup.

Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing


pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab
bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama
antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert, 2005). Bekerja
bersama dalam kesetaraan adalah esensi dasar dari kolaborasi yang kita gunakan
untuk menggambarkan hubungan perawat dan dokter. Tentunya ada konsekweksi
di balik issue kesetaraan yang dimaksud. Kesetaraan kemungkinan dapat terwujud
jika individu yang terlibat merasa dihargai serta terlibat secara fisik dan
intelektual saat memberikan bantuan kepada pasien.

Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat


klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam
lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi
sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang
ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan
dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling
ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan
pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi terhadap
perawatan individu, keluarga dan masyarakat.

5
B. Defenisi Skrining
Skrining merupakan suatu pemeriksaan asimptomatik pada satu atau
sekelompok orang untuk mengklasifikasikan mereka dalam kategori yang
diperkirakan mengidap atau tidak mengidap penyakit (Rajab, 2009). Tes skrining
merupakan salah satu cara yang dipergunakan pada epidemiologi untuk mengetahui
prevalensi suatu penyakit yang tidak dapat didiagnosis atau keadaan ketika angka
kesakitan tinggi pada sekelompok individu atau masyarakat berisiko tinggi serta
pada keadaan yang kritis dan serius yang memerlukan penanganan segera. Namun
demikian, masih harus dilengkapi dengan pemeriksaan lain untuk menentukan
diagnosis definitif (Chandra, 2009).
Berbeda dengan diagnosis, yang merupakan suatu tindakan untuk menganalisis
suatu permasalahan, mengidentifikasi penyebabnya secara tepat untuk tujuan
pengambilan keputusan dan hasil keputusan tersebut dilaporkan dalam bentuk
deskriptif (Yang dan Embretson, 2007).Skrining bukanlah diagnosis sehingga hasil
yang diperoleh betul-betul hanya didasarkan pada hasil pemeriksaan tes skrining
tertentu, sedangkan kepastian diagnosis klinis dilakukan kemudian secara terpisah,
jika hasil dari skrining tersebut menunjukkan hasil yang positif (Noor, 2008).
Uji skrining digunakan untuk mengidentifikasi suatu penanda awal
perkembangan penyakit sehingga intervensi dapat diterapkan untuk menghambat
proses penyakit. Selanjutnya, akan digunakan istilah “penyakit” untuk menyebut
setiap peristiwa dalam proses penyakit, termasuk perkembangannya atau setiap
komplikasinya. Pada umumnya, skrining dilakukan hanya ketika syarat-syarat
terpenuhi, yakni penyakit tersebut merupakan penyebab utama kematian dan
kesakitan, terdapat sebuah uji yang sudah terbukti dan dapat diterima untuk
mendeteksi individu-individu pada suatu tahap awal penyakit yang dapat
dimodifikasi, dan terdapat pengobatan yang aman dan efektif untuk mencegah
penyakit atau akibat-akibat penyakit (Morton, 2008).
Jadi, screeningadalah suatu strtegi yang digunkan dalam suatu populasi untuk
mendeteksi penyakit pada individu tanpa tanda-tanda atau gejala penyakit itu, atau suatu
usaha secara aktif untuk mendeteksi atau mencari pendeerita penyakit tertentu yang
tampak gejala atau tidak tampak dalam suatu masyarakat atau kelompok tertentu

6
melalui suatu tes atau pemeriksaan yang secara singkat dan sederhana dapat
memisahkan mereka yang sehat terhadap mereka yang kemungkinan besar menderita,
yang selanjutnya diproses melalui diagnosis dan pengobatan.

C. Dasar Pemikiran Adanya Skrining


1. Yang diketahui dari gambaran spectrum penyakit hanya sebagian kecil saja
sehingga dapat diumpamakan sebagai puncak gunung es sedangkan
sebagian besar masih tersamar.
2. Diagnosis dini dan pengobatan secara tuntas memudahkan kesembuhan.
3. Biasanya penderitadatang mencari mencari pengobatan setelah timbul gejala
atau penyakit telah berada dlm stadium lanjut hingga pengobatan menjadi
sulit atau bahkan tidak dapat disembuhkan lagi.
4. Penderita tanpa gejala mempunyai potensi untuk menularkan penyakit.

D. Tujuan dan Manfaat Skrining

Skrining mempunyai tujuan diantaranya (Rajab, 2009):


1. Menemukan orang yang terdeteksi menderita suatu penyakit sedini
mungkin sehingga dapat dengan segera memperoleh pengobatan.
2. Mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat.
3. Mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri sedini
mungkin.
4. Mendidik dan memberikan gambaran kepada petugas kesehatan tentang
sifat penyakit dan untuk selalu waspada melakukan pengamatan
terhadap gejala dini.
5. Mendapatkan keterangan epodemiologis yang berguna bagi klinis dan
peneliti.
Beberapa manfaat tes skrining di masyarakat antara lain, biaya yang dikeluarkan
relatif murah serta dapat dilaksanakan dengan efektif, selain itu melalui tes skrining
dapat lebih cepat memperoleh keterangan tentang sifat dan situasi penyakit dalam
masyarakat untuk usaha penanggulangan penyakit yang akan timbul. Skrining juga
dapat mendeteksi kondisi medis pada tahap awal sebelum gejala ditemukan

7
sedangkan pengobatan lebih efektif ketika penyakit tersebut sudah terdeteksi
keberadaannya (Chandra, 2009).

E. Sasaran Skrining
Kelompok khusus dengan kebutuhan khusus yang memerlukan pengawasan akibat
pertumbuhan dan perkembangannya ( Nasrul Effendi. 1998) :
1. Kelompok ibu hamil
2. Kelompok ibu bersalin
3. Kelompok Ibu nifas
4. Kelompok bayi dan anak balita
5. Kelompok anak usia sekolah
6. Kelompok lansia

F. Jenis Skrining
1. Penyaringan Massal (Mass Screening)
Penyaringan yang melibatkan populasi secara keseluruhan.
Contoh: screening prakanker leher rahim dengan metode IVA pada 22.000 wanita
2. Penyaringan Multiple
Penyaringan yang dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik uji penyaringan
pada saat yang sama.
Contoh: skrining pada penyakit aids
3. Penyaringan yg. Ditargetkan
Penyaringan yg dilakukan pada kelompok – kelompok yang terkena paparan yang
spesifik.
Contoh : Screening pada pekerja pabrik yang terpapar dengan bahan Timbal.
4. Penyaringan Oportunistik
Penyaringan yang dilakukan hanya terbatas pada penderita – penderita yang
berkonsultasi kepada praktisi kesehatan
Contoh: screening pada klien yang berkonsultasi kepada seorang dokter.

G. Syarat Skrining
Untuk dapat menyusun suatu program penyaringan, diharuskan memenuhi
beberapa kriteria atau ketentuan-ketentuan khusus yang merupakan persyaratan
suatu tes penyaringan, antara lain (Noor, 2008):

8
a. Penyakit yang dituju harus merupakan masalah kesehatan yang berarti
dalam masyarakat dan dapat mengancam derajat kesehatan masyarakat
tersebut.
b. Tersediannya obat yang potensial dan memungkinkan pengobatan bagi
mereka yang dinyatakan menderita penyakit yang mengalami tes. Keadaan
penyediaan obat dan jangkauan biaya pengobatan dapat mempengaruhi
tingkat atau kekuatan tes yang dipilih.
c. Tersediannya fasilitas dan biaya untuk diagnosis pasti bagi mereka yang
dinyatakan positif serta tersediannya biaya pengobatan bagi mereka yang
dinyatakan positif melalui diagnosis klinis.
d. Tes penyaringan terutama ditujukan pada penyakit yang masa latennya
cukup lama dan dapat diketahui melalui pemeriksaan atau tes khusus.
e. Tes penyaringan hanya dilakukan bila memenuhi syaratuntuk tingkat
sensitivitas dan spesifitasnya karena kedua hal tersebut merupakan standard
untuk mengetahui apakah di suatu daerah yang dilakukan skrining
berkurang atau malah bertambah frekuensi endemiknya.
f. Semua bentuk atau teknis dan cara pemeriksaan dalam tes penyaringan
harus dapat diterima oleh masyarakatsecara umum.
g. Sifat perjalanan penyakit yang akan dilakukan tes harus diketahui dengan
pasti.
h. Adanya suatu nilai standar yang telah disepakati bersama tentang mereka
yang dinyatakan menderita penyakit tersebut.
i. Biaya yang digunakan dalam melaksanakan tes penyaringan sampai pada
titik akhir pemeriksaan harus seimbang dengan resiko biaya bila tanpa
melakukan tes tersebut.
j. Harus dimungkinkan untuk diadakan pemantauan (follow up) terhadap
penyakit tersebut serta penemuan penderita secara berkesinambungan.
Melihat hal tersebutpenyakit HIV/AIDS dan Ca paru serta penyakit yang
tidak diketahui pasti perjalanan penyakitnya tidak dibenarkan untuk
dilakukan skrining namun jika dilihat dari sisi lamanya perkembangan

9
penyakit, HIV/AIDSmerupakan penyakit yang memenuhi persyaratan
skrining (Noor, 2008).

H. Proses Pelaksanaan Skrining

Bagan proses pelaksanaan skrining (Noor, 2008).


Pada sekelompok individu yang tampak sehat dilakukan pemeriksaan (tes) dan
hasil tes dapat positif dan negatif. Individu dengan hasil negatif pada suatu saat
dapat dilakukan tes ulang, sedangkan pada individu dengan hasil tes positif
dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik dan bila hasilnya positif
dilakukan pengobatan secara intensif, sedangkan individu dengan hasil tes negatif
dapat dilakukan tes ulang dan seterusnya sampai penderita semua penderita
terjaring.
Tes skrining pada umumnya dilakukan secara masal pada suatu kelompok
populasi tertentu yang menjadi sasaran skrining.Namun demikian bila suatu
penyakit diperkirakan mempunyai sifat risiko tinggi pada kelompok populasi
tertentu, maka tes ini dapat pula dilakukan secara selektif (misalnya khusus pada
wanita dewasa) maupun secara random yang sarannya ditujukan terutama kepada
mereka dengan risiko tinggi.Tes ini dapat dilakukan khusus untuk satu jenis
penyakit tertentu, tetapi dapat pula dilakukan secara serentak untuk lebih dari satu
penyakit (Noor, 2008).

10
Uji skrining terdiri dari dua tahap,tahap pertama melakukan pemeriksaan
terhadap kelompok penduduk yang dianggap mempunyai resiko tinggi menderita
penyakit dan bila hasil tes negatif maka dianggap orang tersebut tidak menderita
penyakit. Bila hasil tes positif maka dilakukan pemeriksaan tahap kedua yaitu
pemeriksaan diagnostik yang bila hasilnya positif maka dianggap sakit dan
mendapatkan pengobatan, tetapi bila hasilnya negatif maka dianggap tidak sakit dan
tidak memerlukan pengobatan.Bagi hasil pemeriksaan yang negatif dilakukan
pemeriksaan ulang secara periodik. Ini berarti bahwa proses skrining adalah
pemeriksaan pada tahap pertama (Budiarto dan Anggraeni, 2003).
Pemeriksaan yang biasa digunakan untuk uji tapis dapat berupa pemeriksaan
laboratorium atau radiologis, misalnya :
a. Pemeriksaan gula darah.
b. Pemeriksaan radiologis untuk uji skrining penyakit TBC.
Pemeriksaan diatas harus dapat dilakukan :
1. Dengan cepat tanpa memilah sasaran untuk pemeriksaan lebih lanjut
(pemeriksaan diagnostik).
2. Tidak mahal.
3. Mudah dilakukan oleh petugas kesehatan
4. Tidak membahayakan yang diperiksa maupun yang memeriksa (Budiarto dan
Anggraeni, 2003).
Contoh pemanfaatan skrining :
a. Mammografi untuk mendeteksi ca mammae
b. Pap smear untuk mendeteksi ca cervix
c. Pemeriksaan Tekanan darah untuk mendeteksi hipertensi
d. Pemeriksaan reduksi untuk mendeteksi deabetes mellitus
e. Pemeriksaan urine untuk mendeteksi kehamilan
f. Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi Penyakit Jantung Koroner (Bustan,
2000).

11
I. Kriteria Evaluasi
Suatu alat (test) skrining yang baik adalah mempunyai tingkat validitas dan
reliabilitas yang tinggi, yaitu mendekati 100%.Selain kedua nilai tersebut, dalam
memilih tes untuk skrining dibutuhkan juga nilai prediktif (Predictive Values).
1. Validitas
Validitas adalah kemampuan dari tes penyaringan untuk memisahkan mereka
yang benar-benar sakit terhadap yang sehat. Validitas merupakan petunjuk tentang
kemampuan suatu alat ukur (test) dapat mengukur secara benar dan tepat apa yang
akan diukur. Validitas mempunyai 2 komponen, yaitu:
1. Sensitivitas: kemampuan untuk menentukkan orang sakit.
2. Spesifisitas: kemampuan untuk menentukan orang yang tidak sakit.
Besarnya nilai kedua parameter tersebut tentunya ditentukan dengan alat
diagnostik di luar tes penyaringan. Kedua nilai tersebut saling mempengaruhi satu
dengan yang lainnya, yakni bila sensitivitas meningkat, maka spesifisitas akan
menurun, begitu pula sebaliknya. Untuk menentukan batas standar yang digunakan
pada tes penyaringan, harus ditentukan tujuan penyaringan, apakah mengutamakan
semua penderita terjaring termasuk yang tidak menderita, ataukah mengarah pada
mereka yang betul-betul sehat.
Nilai prediktif adalah besarnya kemungkinan dengan menggunakan nilai
sensitivitas dan spesivitas serta prevalensi dengan proporsi penduduk yang
menderita.Nilai prediktif dapat positif artinya mereka dengan tes positif juga
menderita penyakit, sedangkan nilai prediktif negatif artinya mereka yang
dinyatakan negatif juga ternyata tidak menderita penyakit.Nilai prediktif positif
sangat dipengaruhi oleh besarnya prevalensi penyakit dalam masyarakat dengan
ketentuan, makin tinggi prevalensi penyakit dalam masyarakat, makin tinggi pula
nilai prediktif positif dan sebaiknya.
Disamping nilai sensitivitas dan nilai spesifisitas, dapat pula diketahui beberapa
nilai lainnya seperti:
a. True positive, yang menunjuk pada banyaknya kasus yang benar-benar
menderita penyakit dengan hasil tes positif pula.

12
b. False positive, yang menunjukkan pada banyaknya kasus yang sebenarnya
tidak sakit tetapi test menunjukkan hasil yang positif.
c. True negative, menunjukkan pada banyaknya kasus yang tidak sakit dengan
hasil test yang negatif pula.
d. False negative, yang menunjuk pada banyaknnya kasus yang sebenarnya
menderita penyakit tetapi hasil test negatif.
Contoh “Dari suatu penyaringan yanng dilakukan untuk penyakit A dengan
mempergunakan jenis pemeriksaan B ditemukan hasil sebagai berikut:”

PENYAKIT JUMLAH
POSITIF (F/T) NEGATIF
(F/T)
HASIL POSITIF A B A+B
PEMERIKSAAN NEGATIF C D C+D
JUMLAH A+C B+D A+B+C+D

Dari tabel diatas dapat dihitung nilai-nilai yang dimaksud yakni :


a. Sensitivitas : x 100 %

b. Spesifisitas : x 100 %

c. True positive : A
d. False positive : B → % False positive : x 100 %

e. True negative : D
f. False negative : C → % False negative : x 100 %

g. Positive predictive value : x 100 %

h. Negative predictive value : x 100 %

Contoh soal 1:
64.810 wanita usia 40-46 tahun mengikuti program skrining untuk mendeteksi
kanker payudara melalui mamografi dengan pemeriksaan fisik. Setelah 5 tahun,

13
dari 1115 hasil tes skrining yang positif dikonfirmasi 132 terdiagnosis pasti
kanker payudara.Sementara pada 63.695 peserta yang hasil tes skriningnya
negatif, ternyata hanya 45 orang yang menderita kanker payudara. Hitunglah
a. Jumlah positif palsu
b. Nilai sensitivitas tes
c. Jumlah negatif palsu
d. Nilai spesifisitas tes
e. Nilai prediktif (+)
f. Nilai prediktif (-)
Kanker payudara JUMLAH
POSITIF NEGATIF
TES POSITIF 132 983 1115
MAMOGRAFI NEGATIF 45 63.650 63.695
JUMLAH 177 64.633 64.810

a. Jumlah positif palsu = 983


b. Sensitivitas = x 100 % = x 100 % = x 100 % = 74,576 %

c. Jumlah negatif palsu = 45


d. Spesifisitas = x 100 % = x 100 % = x 100 % = 1,52 %

e. Nilai prediktif (+) = x 100 % = x 100 % =

11,838 %
f. Nilai prediktif (-) = x 100 % = x 100 % =

99,929 %
Contoh soal 2:
Hubungan penyakit kanker serviks dengan tes IVA positif

14
Kanker serviks JUMLAH
POSITIF NEGATIF
TES IVA POSITIF 6 24 30
NEGATIF 3 67 70
JUMLAH 9 91 100
Hitunglah nilai-nilainya.
a. Sensitivitas = x 100 % = x 100 % = 66,67 %

b. Spesifisitas = x 100 % = x 100 % = 73,62 %

c. True positive = 6
d. False positive = 24 → %FP = x 100% = 26,37%

e. True negative = 67
f. False negative = 3 → %FN = x 100% = 33,33%

g. Positive predictive value = x 100% = x 100% =

20%
h. Negative predictive value = x 100% = x 100%

= 95,7%

2. Reliabilitas
Bila tes yang dilakukan berulang-ulang menunjukkan hasil yang konsisten,
dikatakan reliabel. Variliabilitas ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut
(Budiarto, 2003):
1. Variabilitas alat yang dapat ditimbulkan oleh:
a. Stabilitas reagen
b. Stabilitas alat ukur yang digunakan
Stabilitas reagen dan alat ukur sangat penting karena makin stabil reagen dan
alalt ukur, makin konsisten hasil pemeriksaan.Oleh karena itu, sebelum
digunakan hendaknya kedua hasil tersebut ditera atau diuji ulang
ketepatannya.

15
2. Variabilitas orang yang diperiksa. Kondisi fisik, psikis, stadium penyakit atau
penyakit dalam masa tunas. Misalnya: lelah, kurang tidur, marah, sedih,
gembira, penyakit yang berat, penyakit dalam masa tunas. Umumnya, variasi
ini sulit diukurterutama faktor psikis.
3. Variabilitas pemeriksa. Variasi pemeriksa dapat berupa:
a. Variasi interna, merupakan variasi yang terjadi pada hasil pemeriksaan
yang dilakukan berulang-ulang oleh orang yang sama.
b. Variasi eksterna ialah variasi yang terjadi bila satu sediaan dilakukan
pemeriksaan oleh beberapa orang.
Upaya untuk mengurangi berbagai variasi diatas dapat dilakukan dengan
mengadakan:
1. Standarisasi reagen dan alat ukur.
2. Latihan intensif pemeriksa.
3. Penentuan kriteria yang jelas.
4. Penerangan kepada orang yang diperiksa.
5. Pemeriksaan dilakukan dengan cepat.

3. Yield
Yield merupakan jumlah penyakit yang terdiagnosis dan diobati sebagai hasil
dari uji tapis. Hasil ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut (Budiarto, 2003):
1. Sensitivitas alat uji tapis.
2. Prevalensi penyakit yang tidak tampak.
3. Uji tapis yang dilakukan sebelumnya.
4. Kesadaran masyarakat.
Bila alat yang digunakan untuk uji tapis mempunyai sensitivitas yang rendah,
akan dihasilkan sedikit negatif semu yang berarti sedikit pula penderita yang tidak
terdiagnosis. Hal ini dikatakan bahwa uji tapis dengan yield yang rendah.
Sebaliknya, bila alat yang digunakan mempunyai sensitivitas yang tinggi, akan
menghasilkan yield yang tinggi. Jadi, sensitivitas alat dan yield mempunyai
korelasi yang positif.

16
Makin tinggi prevalensi penyakit tanpa gejala yang terdapat di masyarakat
akan meningkatkan yield, terutama penyakit-penyakit kronis seperti TBC,
karsinoma, hipertensi, dan diabetes melitus.Bagi penyakit-penyakit yang jarang
dilakukan uji tapis akan mendapatkan yield yang tinggi karena banyaknya
penyakit tanpa gejala yang terdapat di masyarakat. Sebaliknya, bila suatu penyakit
telah dilakukan uji tapis sebelumnya maka yield akan rendah karena banyak
penyakit tanpa gejala yang telah terdiagnosis.
Kesadaran yang tinggi terhadap masalah kesehatan di masyarakat akan
meningkatkan partisipasi dalam uji tapis hingga kemungkinan banyak penyakit
tanpa gejala yang dapat terdeteksi dan dengan demikian yield akan meningkat
(Budiarto, 2003).

J. Skrining Kesehatan pada kelompok lansia

1. Permasalahan yang Terjadi Pada Lansia

Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan lanjut


usia, antara lain: (Setiabudhi,1999)

a. Permasalahan umum

1) Makin besar jumlah lansia yang berada dibawah garis kemiskinan.


2) Makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang
berusia lanjut kurang diperhatikan , dihargai dan dihormati.
3) Lahirnya kelompok masyarakat industri.
4) Masih rendahnya kuantitas dan kulaitas tenaga profesional pelayanan
lanjut usia.
5) Belum membudaya dan melembaganya kegiatan pembinaan
kesejahteraan lansia.

17
b. Permasalahan khusus

1) Berlangsungnya proses menua yang berakibat timbulnya masalah baik


fisik, mental maupun sosial.
2) Berkurangnya integrasi sosial lanjut usia.
3) Rendahnya produktifitas kerja lansia.
4) Banyaknya lansia yang miskin, terlantar dan cacat.
5) Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah pada tatanan
masyarakat individualistik.
6) Adanya dampak negatif dari proses pembangunan yang dapat
mengganggu kesehatan fisik lansia.

2. Perubahan yang Terjadi Pada Lansia


Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara degeneratif
yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia, tidak hanya
perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial dan sexual (Azizah, 2011).

a. Perubahan Fisik

1) Sistem Indra
Sistem pendengaran yaitu Prebiakusis (gangguan pada pen dengaran)
oleh karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga
dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara
yang tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas
60 tahun.

2) Sistem Intergumen
Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis kering dan
berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan
berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan
glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada k ulit dikenal
dengan liver spot.

18
3) Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia antara lain sebagai
berikut: Jaringan penghubung (kolagen dan elastin). Kolagen sebagai
pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat
mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur.

a) Kartilago
Jaringan kartilago pada persendian lunak dan mengalami granulasi
dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata, kemudian kemampuan
kartilago untuk regeneras i berkurang dan degenerasi yang terjadi
cenderung kearah progresif, konsekuensinya kartilago pada
persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan.

b) Tulang
Berkurangnya kepadatan tualng setelah di obserfasi adalah bagian
dari penuaan fisiologi akan mengakibatkan osteoporosis lebih lanjut
mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur.

c) Otot
Perubahan struktur otot pada penuaan sangat berfariasi, penurunan
jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung
dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif.

d) Sendi
Pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan
fasia mengalami penuaan elastisitas.

4) Sistem kardiovaskuler
Massa jantung bertambah, vertikel kiri mengalami hipertropi dan
kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada
jaringan ikat dan penumpukan lipofusin dan klasifikasi Sa nude dan
jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat.

19
5) Sistem respirasi
Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas total paru
tetap, tetapi volume cadangan paru bertambah untuk mengompensasi
kenaikan ruang rugi paru, udara yang mengalir ke paru berkurang.
Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak mengakibatkan gerakan
pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan toraks berkurang.

6) Pencernaan dan Metabolisme


Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti penurunan
produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata :

a) Kehilangan gigi,

b) Indra pengecap menurun,

c) Rasa lapar menurun (sensitifitas lapar menurun),

d) Liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan,


berkurangnya aliran darah.

7) Sistem perkemihan
Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan. Banyak
fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi,
dan reabsorpsi oleh ginjal.
8) Sistem saraf

Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi yang


progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan
koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

20
9) Sistem reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya ovary
dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki testis masih dapat
memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara
berangsur-angsur.
b. Perubahan Kognitif
1) Memory (Daya ingat, Ingatan)
2) IQ (Intellegent Quocient)
3) Kemampuan Belajar (Learning)
4) Kemampuan Pemahaman (Comprehension)
5) Pemecahan Masalah (Problem Solving)
6) Pengambilan Keputusan (Decission Making)
7) Kebijaksanaan (Wisdom)
8) Kinerja (Performance)
9) Motivasi

c. Perubahan mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :

1) Pertama-tama perubahan fisik, khsusnya organ perasa.


2) Kesehatan umum
3) Tingkat pendidikan
4) Keturunan (hereditas)
5) Lingkungan
6) Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.
8) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan
famili.
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri,
perubahan konsep diri.

21
d. Perubahan spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya (Maslow,
1970). Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya, hal ini terlihat dalam
berfikir dan bertindak dalam sehari-hari (Murray dan Zentner, 1970)

e. Kesehatan Psikososial
1) Kesepian
Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal terutama jika
lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti menderita penyakit fisik
berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama pendengaran.

2) Duka cita (Bereavement)


Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan
kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh pada
lansia. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan kesehatan.

3) Depresi
Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu diikuti
dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi suatu episode
depresi. Depres i juga dapat disebabkan karena stres lingkungan dan
menurunnya kemampuan adaptasi.

4) Gangguan cemas

Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan cemas umum,


gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif kompulsif, gangguan-
gangguan tersebu t merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan
berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek samping
obat, atau gejala penghentian mendadak dari suatu obat.

22
5) Parafrenia

Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham (curiga),


lansia sering merasa tetangganya mencuri barang-barangnya atau berniat
membunuhnya. Biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi/diisolasi atau
menarik diri dari kegiatan sosial.

6) Sindroma Diogenes

Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan per ilaku sangat


mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena lansia bermain-main
dengan feses dan urin nya, sering menumpuk barang dengan tidak teratur.
Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut dapat terulang kembali.

3. Jenis pelayanan kesehatan

Jenis pelayanan kes ehatan terhadap lansia meliputi lima upaya kesehatan, yaitu
peningkatan (promotion),pencegahan (prevention), diagnosis dini dan
pengobatan, pembatasan kecacatan, serta pemulihan.

a. Promotif

Upaya promotif merupakan tindakan secara langsung dan tidak langsung


untuk menigkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit. Upaya
promotif juga merupakan proses advokasi kesehatan untuk meningkatkan
dukungan klien, tenaga professional dan masyarakat terhadap praktik
kesehatan yang positif menjadi norma-norma social. Upaya promotif
dilakukan untuk membantu orang-orang mengubah gaya hidup mereka dan
bergerak kea rah keadaan kesehatan yang optimal serta mendukung
pemberdayaan seseorang untuk membuat pilih an yang sehat tentang
prilaku hidup mereka. Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia adalah
sebagai berikut:

23
1) Mengurangi cedera, dilakukan dengan tujuan mengurangi jatuh,
mengurangi bahaya kebakaran dalam rumah, meningkatkan penggunaan
alat pengaman dan mengurangi kejadian keracunan makanan atau zat
kimia.
2) Meningkatkan kemanan ditempat kerja yang bertujuan untuk
mengurangi terpapar dengan bahan-bahan kimia dan menigkatkan
penggunaan system keamanan kerja.
3) Menigkatkan perlindungan dari kua litas udara yang buruk, bertujuan
untuk mengurangi penggunaan semprotan bahan-bahan kimia,
mengurangi radiasi di rumah, meningkatkan pengelolaan rumah tangga
terhadap bahan berbahaya, serta mengurangi kontaminasi makanan dan
obat-obatan.
4) Meningkatkan pe rhatian terhadap kebutuhan gigi dan mulut yang
bertujuan untuk mengurangi karies gigi serta memelihara kebersihan
gigi dan mulut..

b. Preventif

Mencakup pencegahan primer, sekunder dan tersier.


1) Melakukan pencegahan primer, meliputi pencegahan pada lansia sehat,
terdapat factor resiko, tidak ada penyakit dan promosi kesehatan.
Jenis pelayanan pencegahan primer adalah sebagai berikut.
a) Program imunisasi, misalnya vaksin influenza.
b) Konseling : berhenti merokok dan minum beralkohol.
c) Dukungan nutrisi.
Exircise.
a) Keamanan didalam dan disekitar rumah.
b) Manajemen stress.
c) Penggunaan medikasi yang tepat
2) Melakukan pencegahan sekunder, meliputi pemeriksaan terhadap
penderita tanpa gejala, dari awal penyakit hingga terjadi gejala penyakit
belum tampak secara klinis, dan mengidap factor resiko.

24
Jenis pelayanan pencegahan sekunder antara lain adalah sebagai berikut.
a) Control hipertensi.
b) Deteksi dan pengobatan kanker.
c) Screening : pemeriksaan rectal, mammogram, papsmear, gigi mulut
dan lain-lain.
3) Melakukan pencegahan tersier, dilakukan sesudah terdapat gejala
penyakit dan cacat; mencegah cacat bertam bah dan ketergantungan;
serta perawatan bertahap, tahap (1) perawatan di rumah sakit, (2)
rehabilitasi pasien rawat jalan, dan (3) perawatan jangka panjang.
Pelayanan pencegahan tersier adalah sebagai berikut.
a) Mencegah berkembangnya gejala dengan memfas ilitasi rehabilitasi
dan membatasi ketidakmampuan akibat kondisi kronis. Misalnya
osteoporosis atau inkontinensia urine/fekal.
b) Mendukung usaha untuk mempertahankan kemampuan berfungsi.

4. Skrining Kesehatan pada Kelompok Khusus Lansia


Di negara maju, skrining pada umumnya ditunjukan pada penyakit
kardiovaskuler, keganasan dan cerebrovascular accident (CVA) seperti yang
dijelaskan sebagai berikut :

a. Penyakit Hipertensi
Tindakan skrining sangat bermanfaat, baik terhadap hipertensi sisto
likmaupun diastolic. Pencegahannya akan dapat mempengaruhi resiko
timbulnya stroke, penyakit jantung atau bahkan kematian. Dari hasil study,
ditemukan bahwa bila 40 orang diobati selama 5 tahun akan dapat
mencegah 1 (satu) kejadian stroke. Pada hipertensi dilakukan pengkajian
secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik), skrining atau test
saringan. Hal yang penting dilakukan disini adalah pengukuran tekanan
darah sebagai patokan diambil batas normal tekanan darah bagi lansia
adalah: (1) tekanan sistol ik 120-160 mmHg, dan (2) tekanan diastolic ◊'3d
90 mmHg. Pengukuran tekanan darah pada lansia sebaiknya dilakukan

25
dalam keadaan berbaring, duduk dan berdiri dengan selang beberapa
waktu, yaitu dengan mengetahui kemungkinan adanya hipertensi ortostatik

b. Penyakit Jantung
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik),
skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan kelainan jantung
antara lain pemeriksaan EKG, treadmill, dan foto toraks.

c. Penyakit Ginjal
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik),
skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan kelainan ginjal
adalah pemeriksaan laboratorium test fungsi ginjal dan foto IVP.

d. Diabetes Militus
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesa dan pemeriksaan fisik),
skrining yang diperlukan dilakukan pada lansia dengan dugaan diabetes
antara lain pemeriksaan reduksi urine, pemeriksaan kadar gula darah dan
funduskopi.

e. Keganasann
Skrining terhadap keganasan terutama ditunjukkan terhadap penyakit
kanker payudara, yaitu dengan cara BSE. Juga penyakit kanker serviks
dengan cara Pap Smear, Selanjutnya skrining juga dilakukan terhadap
kanker kolon dan rectum. Adapun caranya adalah deng an pengujian
laboratorium terhadap darah samar di dalam feses, selain dengan cara
endoskopi untuk kelainan dalam sigmoid dan kolon terutama pada
penderita yang menunjukkan adanya keluhan.

f. Wanita Menopause
Tindakan skrining ditujukkan untuk memastikan apakah diperlukan tetapi
hormone pengganti estrogen. Tetapi ini dapat mengurangi resiko kanker
payudara. Juga fraktur akibat osteoporosis. Namun perlu diwaspadai
kemungkina timbulnya kanker endometrium, di mana untuk mencegahnya

26
dapat diajukan agar diberik an secara bersamaan dengan hormon
progesterone.
Tindakan skrining juga biasanya ditunjukkan bagi kelainan pada sistem
indra, yaitu terutama pada pengelihatan dan pendengaran seperti berikut.

g. Skrining Ketajaman Visus


Skrining ketajaman visus dengan tin dakan sederhana, yaitu koreksi
dengan ukuran kaca mata yang sesuai. Bagi kasus katarak dengan tindakan
ekekstraksi lensa tidak saja akan memperbaiki pengelihatan, tetapi juga
akan meningkatkan status fungsional dan psikologis. Skrining dengan alat
fundusk opi dapat mendeteksi penyakit glaucoma, degenerasi macula dan
retinopati diabetes. Adapun faktor resiko untuk degenerasi macula adalah
adanya riwayat keluarga dan faktor merokok.

h. Skrining Pendengaran
Dengan tes bisik membisikkan enam kata-kata dan jara k tertentu ke
telinga pasien serta dari luar lapang pandang. Selanjutnya minta pasien
untuk mengulanginya lagi. Cara ini cukup sensitif, dan menurut hasil
penelitian dikatakan mencapai 80% dari hasil yang diperoleh melalui
pemeriksaan dengan audioskop. Me ngenai pemeriksaan dengan
audioskop, yaitu dihasilkan nada murni dengan frekuensi 500, 1.000, 2.000
dan 4.000 Hz, yaitu pada ambang 25-40 dB.

27
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Untuk mencapai pelayanan yang efektif maka perawat, dokter dan tim kesehatan
harus berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Tidak ada kelompok yang dapat
menyatakan lebih berkuasa diatas yang lainnya. Masing-masing profesi
memiliki kompetensi profesional yang berbeda sehingga ketika digabungkan
dapat menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Banyaknya
faktor yang berpengaruh seperti kerjasama, sikap saling menerima, berbagi
tanggung jawab, komunikasi efektif sangat menentukan bagaimana suatu tim
berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara anggota tim kesehatan memfasilitasi
terselenggaranya pelayanan pasien yang berkualitas. Skrining atau penyaringan
kasus adalah cara untuk mengidentifikasi penyakit yang belum tampak melalui
suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat dengan cepat
memisahkan antara orang yang mungkin menderita penyakit dengan orang yang
mungkin tidak menderita.
Sehingga skrining ini dilakukan yaitu karena hal berikut ini:sebagai langkah
pencegahan khususnya Early diagnosis dan promotif treatment.Banyaknya
penyakit yang tanpa gejala klinis.Penderita mencari pengobatan setelah studi
lanjut.Penderita tanpa gejala mempunyai potensi untuk menularkan penyakit.

B. Saran

Setelah menulis makalah ini,diharapkan kita dapat belajar tentang perkembangan


yang terjadi pada lansia.lansia adalah periode dimana seseorang mengalami
kemunduran,dimana fungsi tubuh kita tidak lagi optimal.oleh karena itu yang
terbaik adalah pada saat muda mempersiapkan dengan baik-sebaiknya.

28
DAFTAR PUSTAKA

Mubarak,Wahid Iqbal . 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Salemba Medika.

Mubarak,Wahit Iqbal. 2009. Pengantar Keperawatan Komunitas 2. Jakarta:


SalembaMedika

Bustan, MN. 2000. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta

29

Anda mungkin juga menyukai