Anda di halaman 1dari 24

Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama

Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

BAB VI
PUTUSAN
A. Pengertian Putusan
Putusan adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh majelis hakim yang
diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu
sengketa / perkara, yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian
diucapkan oleh hakim di persidangan yang terbuka untuk umum.
Di samping produk dalam bentuk putusan dikenal juga produk dalam
bentuk penetapan. Pengertian penetapan sama dengan pengertian putusan
hanya saja dari segi fungsi keduanya memiliki perbedaan yaitu penetapan
untuk menyelesaikan perkara volunter (permohonan) misalnya permohonan
dispensasi nikah, sedangkan putusan untuk menyelesaikan perkara kontentius.
Setiap putusan atau penetapan harus dibuat oleh hakim dalam bentuk
tertulis dan ditandatangani oleh hakim ketua dan hakim-hakim anggota yang
ikut memeriksa perkara sesuai dengan penetapan majelis hakim yang dibuat
oleh ketua Pengadilan Agama, serta ditanda-tangani oleh panitera pengganti
sesuai dengan penunjukan panitera.. Apa yang diucapkan oleh hakim dalam
persidangan harus benar-benar sama dengan apa yang tertulis dalam putusan.
Oleh karena itu, putusan atau penetapan harus sudah siap sebelum diucapkan
di persidangan.
B. Kekuatan Putusan
Ada tiga macam kekuatan putusan yaitu :
1. Kekuatan Mengikat
Penggugat dan tergugat terikat pada putusan hakim, dan harus
dihormati oleh para pihak dan tidak boleh bertindak bertentangan dengan
putusan (Pasal 1917 BW). Kekuatan mengikat mempunyai pengertian :
Arti positif yaitu apa yang telah diputuskan oleh hakim harus
dianggap benar (Pasal 1917, 1910 BW).

30
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

Arti negatife yaitu hakim tidak dibolehkan memutus sesuatu yang


telah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama (nebis in idem),
umpama perkara malwaris yang sudah diputus tidak boleh diputus lagi
apabila pihak-pihak berperkara sama dan terhadap harta warisan yang
sama.
2. Kekuatan Pembuktian
Putusan merupakan akta autentik karena dibuat oleh pejabat yang
berwenang (hakim) dan berguna untuk mengajukan (upaya hukum)
banding, kasasi, peninjauan kembali atau eksekusi. Putusan itu sendiri
dapat dipergunakan sebagai alat bukti.
3. Kekuatan Eksekutorial
Putusan harus dilaksanakan sesuai yang telah dicantumkan dalam
amar putusan. Apabila ada pihak-pihak yang enggan melaksanakannya
maka dapat dilaksanakan secara paksa melalui pengadilan dan kalau perlu
dibantu oleh alat negara.
Khusus penetapan, kekuatannya hanya mengikat kepada pemohon
sendiri dan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang tidak dibantah
oleh pihak lain.
C. Susunan dan Isi Putusan
Putusan hakim terdiri atas enam bagian yaitu :
1. Kepala Putusan
Kepala putusan dimuat secara berurut sebagai berikut :
a. PUTUSAN
b. Nomor perkara (kata “nomor” tidak boleh disingkat dan tidak
menggunakan tanda baca (:) atau (.) setelah kata “nomor”.
c. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
d. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA

31
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

2. Identitas Para Pihak


Identitas meliputi :
a. nama : …………. (beserta bin/binti dan alias)
b. umur : ………….
c. agama : ………….
d. pendidikan terakhir :..................
e. pekerjaan : ……………(dijelaskan jenis pekerjaanya).
f. tempat tinggal : ................................... (kalau tempat tinggal
tidak jelas, maka ditulis : “terakhir bertempat tinggal di ….. dan
sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di wilayah Negara Republik
Indonesia”)
Jika pihak menggunakan kuasa hukum, nama kuasa ditempatkan
setelah identitas pihak materiil.
Kedudukan pihak harus disebutkan seperti penggugat/pemohon,
tergugat/termohon dan turut tergugat.
3. Konsideran Singkat, berupa kalimat, di antaranya :
a. Pengadilan Agama tersebut.
b. Telah membaca surat-surat yang bersangkutan.
c. Telah mendengar para pihak dan telah memeriksa bukti-bukti.
4. Duduk Perkaranya
Pasal 184 HIR dan pasal 195 R.Bg. mengemukakan bahwa setiap
putusan pengadilan dalam perkara perdata harus memuat tentang gugatan
dan jawaban secara ringkas dan jelas.
Muatan yang harus ada dalam bagian duduk perkara adalah sebagai
berikut :
a. Gugatan yang diajukan oleh penggugat.
b. Jawaban yang diajukan oleh tergugat.

32
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

Berdasarkan Pasal 184 HIR dan Pasal 195 R.Bg bahwa gugatan,
jawaban, replik, duplik dan kesimpulan cukup ditulis secara ringkas saja.
Hindari memuat (mengambil alih) gugatan, jawaban, replik, duplik dan
kesimpulan secara keseluruhan dalam putusan karena mempertebal
halaman putusan, cukup memuat pokok-pokoknya saja.
5. Tentang Hukumnya
Putusan hakim juga harus memberikan pertimbangan hukum terhadap
perkara yang disidangkannya. Pertimbangan hukum biasanya dimulai
dengan kata-kata “menimbang …….dan seterusnya”. Dalam pertimbangan
hukum ini hakim akan mempertimbangkan eksepsi lebih dahulu baru dalil
gugatan, jawaban dari tergugat serta dihubungkan dengan alat-alat bukti
yang ada. Dari pertimbangan hukum hakim menarik kesimpulan tentang
terbukti atau tidaknya gugatan itu. Di sinilah argumentasi hakim
dipertaruhkan dalam mengkonstatasi segala peristiwa yang terjadi dalam
persidangan.
Hal-hal yang perlu termuat dalam Tentang Hukumnya adalah:
a. pokok masalah atau pokok sengketa;
b. analisis dan penilaian terhadap alat bukti yang diajukan;
c. fakta hukum yang telah dikonstatir;
d. penemuan dan penerapan hukum.
6. Amar Putusan
Amar atau diktum merupakan jawaban terhadap tuntutan (petitum).
Hakim karena jabatannya wajib memberikan keputusan atas segala
bahagian tuntutan dan tidak boleh menjatuhkan keputusan atas perkara
yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari pada yang dituntut (Pasal
189 R.Bg. ayat 2 dan 3) kecuali yang secara ex officio hakim dapat
menetapkan walaupun tanpa ada petitumnya seperti nafkah iddah dan
mut’ah. Tetapi Mahkamah Agung berpendapat bahwa mengabulkan lebih

33
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

dari pada yang diminta dalam petitum dapat diberikan asal saja tidak
menyimpang daripada posita (Putusan Mahkamah Agung Nomor 1245
K/Sip/1974)
Dalam amar, hakim harus menyatakan tentang hal-hal yang
dikabulkan, ditolak atau tidak diterima berdasarkan pertimbangan hukum
yang telah dilakukannya. Dalam penyusunan amar putusan harus
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Harus bersifat tegas dan lugas.
b. Memperhatikan sifat dari putusan yang akan dijatuhkan, apakah
konstitutif, deklaratoar, atau komdenatoar. Hal ini penting karena
menyangkut soal eksekusi terhadap putusan yang dijatuhkan itu.
c. Ditulis secara ringkas, padat dan terang/lengkap, maksudnya terhadap
amar itu tidak perlu lagi ada interpretasi atau penafsiran.
Khusus mengenai perkara perceraian maka amar putusannya adalah
sebagai berikut :
a. Permohonan Ikrar Talak
Memberi izin kepada pemohon (nama…bin….) untuk menjatuhkan talak
satu raj’i terhadap termohon (nama…binti..…) di depan sidang
Pengadilan Agama.
b. Fasakh
Menetapkan fasakh pernikahan penggugat (……..) dengan tergugat
(……………).
c. Taklik Talak
Menjatuhkan talak satu khul’i tergugat (nama…bin…) terhadap
penggugat (nama… binti…) dengan iwadh berupa uang sebesar
Rp….(….ditulis dengan huruf), dan atau dengan iwadh berupa rumah
atau benda lainnya.
d. Gugatan perceraian

34
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

Menjatuhkan talak satu bain shugra tergugat (nama…bin…)


terhadap penggugat (nama…binti…)
Amar putusan harus mencantumkan pihak mana yang diwajibkan
membayar biaya perkara yaitu pihak yang dikalahkan (Pasal 192 ayat 1
R. Bg.). Khusus dalam bidang perkawinan, biaya perkara dibebankan
kepada penggugat atau pemohon, Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989.
Dalam amar putusan mengenai pembebanan biaya perkara
hendaknya dipakai redaksi :
a. Dalam perkara cerai talak atau cerai gugat, digunakan kalimat
“Membebankan pemohon/penggugat untuk membayar biaya
perkara....................”
b. Dalam perkara harta, digunakan kalimat “Menghukum ( pihak yang
dikalahkan).... “
7. Bagian Penutup
Hal-hal yang perlu termuat dalam bagian penutup putusan adalah :
a. Hari, tanggal, bulan dan tahun (hijriah dan masehi) putusan dijatuhkan
oleh majelis hakim Pengadilan Agama yang bersangkutan.
b. Nama majelis hakim yang menjatuhkan putusan tersebut.
c. Pembacaan putusan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
d. Keterangan kehadiran pihak-pihak ketika pembacaan putusan.
e. Tanda tangan majelis hakim dan panitera /panitera pengganti.
f. Putusan harus diberi meterai secukupnya.
g. Perincian biaya perkara.
D. TEKNIK PENGAMBILAN PUTUSAN
Hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa
dapat memilih 3 (tiga) teknik pengambilan putusan dan penerapan hukum,
yaitu :

35
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

1. Teknik Analitik/Yuridis Giometris


Kalau para hakim mmpergunakan metode ini, maka ia harus mengusasi
hukum acara secara lengkap. Teknik ini paling cocok dipergunakan pada
perkara yang berskala besar dan biasanya dalam hukum kebendaan.
2. Teknik Equatable
Teknik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembangkan dari
prinsip keadilan. Isu pokok yang lebih dulu harus dipertimbangkan, lalu
alat-alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat. Apabila alat bukti
telah diuji kebenarannya maka hakim menetapkan alat-alat bukti itu dalam
peristiwa konkret, yang kemudian dicari hukumnya.
3. Teknik Silogisme
Teknik ini paling banyak dipakai oleh hakim karena ia sederhana dan
dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Teknik ini disebut juga dengan
metode penelaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat umum
kepada hal-hal yang bersifat khusus.
Dari segi metodologi, secara sederhana para hakim dalam mengambil
keputusan terhadap perkara yang diperiksa dan diadili hendaknya melalui
proses tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Perumusan Masalah atau Pokok Sengketa
Perumusan masalah atau sengketa dari suatu perkara dapat diperoleh
dari informasi penggugat dan tergugat, yang termuat dalam gugatan,
jawaban, replik dan duplik.
Dalam persidangan tahap jawab-menjawab hakim memperoleh
kepastian tentang peristiwa konkret yang dipersengketakan oleh para
pihak. Peristiwa yang dipersengketakan inilah yang merupakan pokok
masalah dalam suatu perkara.

36
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

Perumusan pokok masalah dalam proses pengambilan keputusan


oleh hakim merupakan kunci dari proses tersebut. Kalau pokok masalah
sudah salah rumusannya, maka proses selanjutnya juga akan salah.
2 Pengumpulan Data dalam Proses Pembuktian
Setelah hakim merumuskan pokok masalah, kemudian hakim
menentukan siapa yang dibebani pembuktian untuk pertama kali.
Dari pembuktian inilah, hakim akan mendapatkan data untuk diolah
guna menemukan fakta yang dianggap benar atau fakta yang dianggap
salah (dikonstatasi). Data berupa fakta yang dinyatakan oleh alat-alat bukti
dan sudah diuji kebenarannya.
3. Analisis Data untuk Menemukan Fakta
Data yang telah diolah akan melahirkan fakta yang akan diproses
lebih lanjut sehingga melahirkan suatu keputusan yang akurat dan benar.
Fakta dapat berupa keadaan suatu benda, gerakan, kejadian, atau
kualitas sesuatu yang benar-benar ada. Fakta biasa berbentuk eksistensi
suatu benda, atau kejadian yang benar-benar wujud dalam kenyataan,
ruang dan waktu. Fakta berbeda dengan angan-angan, fiksi dan pendapat
seseorang. Fakta ditentukan berdasarkan pembuktian.
Fakta berbeda dengan hukum, hukum merupakan asas sedangkan
fakta merupakan kejadian. Hukum sesuatu yang dihayati, sedang fakta
sesuatu yang wujud. Hukum merupakan tentang hak dan kewajiban,
sedang fakta merupakan kejadian yang sesuai atau bertentangan dengan
hukum.
Fakta ditemukan dari pembuktian suatu peristiwa dengan memeriksa
alat bukti. Fakta ada yang sederhana ada pula yang kompleks, ada yang
ditemukan dari hasil pemeriksaan bukti-bukti, tetapi ada juga yang
ditemukan dengan penalaran dari beberapa fakta.
4. Penemuan Hukum dan Penerapannya

37
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

Setelah fakta yang dianggap benar ditemukan, selanjutnya hakim


menemukan dan menerapkan hukumnya. Menemukan hukum tidak hanya
sekedar mencari undang-undangnya, tetapi dicarikan hukumnya untuk
diterapkan pada suatu peristiwa yang konkret.
Kegiatan ini tidaklah semudah yang dibayangkan. Untuk menemukan
hukumnya atau undang-undangnya, peristiwa konkret itu harus diarahkan
kepada undang-undangnya, sebaliknya undang-undang harus disesuaikan
dengan peristiwa konkret.
Jika peristiwa konkret itu telah ditemukan hukumnya maka langsung
menerapkan hukum tersebut, jika tidak ditemukan hukumnya maka hakim
harus mengadakan interprestasi terhadap peraturan perundang-undangan
tersebut. Sekiranya interperestasi tidak dapat dilakukan, maka harus
mengadakan konstruksi hukum.
5. Pengambilan Keputusan
Jika penemuan dan penerapan hukum telah dilaksanakan oleh hakim,
maka ia harus menuangkannya dalam bentuk tertulis yang disebut dengan
putusan. Putusan tersebut merupakan suatu penulisan argumentatife dan
format yang telah ditentukan undang-undang. Dengan dibuat putusan
tersebut diharapkan dapat menimbulkan keyakinan atas kebenaran
peristiwa hukum dan penerapan peraturan perundang-undangan secara
tepat dalam perkara yang diadili.
E. Pengetikan Putusan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan/pengetikan putusan
adalah sebagai berikut :
1. Jarak ketikan 2 spasi (diatas 30 halaman diketik 1 1/5 spasi)
2. Menggunakan huruf times new roman dengan besar huruf/font 12
3. Kertas Hvs folio 70 gram
4. Ukuran margin

38
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

a. Atas : 4 cm
b. Kiri : 5 cm
c. Bawah : 3 cm
d. Kanan : 1.5 cm
F. Jenis-jenis Putusan
Putusan pengadilan ada dua macam yaitu :
1. Putusan akhir ialah putusan yang menyelesaikan suatu perkara pada
tingkatan peradilan tertentu seperti putusan gugatan cerai.
2. Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir
dimaksudkan untuk memperlancar pemeriksaan perkara dan ditulis dalam
berita acara persidangan.
Putusan akhir dari segi sifatnya ada tiga macam,yaitu :
1. Putusan komdemnatoar yaitu putusan yang menghukum pihak yang
dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi, seperti tergugat yang
dikalahkan harus membayar semua biaya perkara. Putusan komdemnatoar
ini mempunyai kekuatan mengikat dan memberikan dasar kepada
penggugat untuk menjalankan putusan secara paksa dengan perantaraan
pengadilan.
2. Putusan konstitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum
seperti putusan perceraian meniadakan hukum perkawinan antara kedua
suami istri yang sudah bercerai, atau putusan yang menciptakan keadaan
hukum baru seperti putusan perceraian mengakibatkan timbulnya hukum
baru, yaitu hukum perceraian sehingga istri berhak menuntut nafkah
iddah, suami berkewajiban memberi nafkah menurut kesanggupannya.
3. Putusan deklaratoar adalah putusan yang menyatakan sah suatu perbuatan
hukum. Contoh : putusan tentang sahnya suatu perkawinan yang
dimintakan pembatalan oleh pihak-pihak yang berkeberatan terhadap
pernikahan tersebut. Setiap putusan hakim yang menolak gugatan

39
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

penggugat adalah putusan deklaratoar. Pelaksanaan putusan deklaratoar


tidak memerlukan upaya memaksa karena sudah mempunyai akibat
hukum tanpa bantuan lawan.
Putusan akhir (dari segi isinya) terbagi atas :
1. Niet Onvantkelijk Verklaard (NO).
Niet Onvantkelijk Verklaard (NO), yaitu gugatan penggugat tidak dapat
diterima, karena adanya alasan yang tidak dibenarkan oleh hukum.
Adapun alasan tidak diterimanya gugatan penggugat ada beberapa
kemungkinan sebagai berikut :
a. Gugatan tidak berdasarkan hukum
Gugatan yang diajukan oleh penggugat harus betul-betul ada (tidak
hanya diada-adakan), dan harus jelas dasar hukumnya bagi penggugat
yang menuntut haknya. Jika tidak ada dasar hukum dari gugatan yang
diajukan, maka gugatan tersebut tidak dapat diterima.
b. Gugatan tidak mempunyai kepentingan hukum secara langsung yang
melekat pada diri penggugat.
Tidak semua orang yang mempunyai kepentingan hukum dapat
mengajukan gugatan. Orang yang tidak ada hubungan langsung
dengan gugatan harus mendapat kuasa lebih dahulu dari orang atau
badan hukum yang berkepentingan langsung untuk mengajukan
gugatan.
c. Gugatan kabur (obscuur libel)
Suatu gugatan dipandang kabur apabila posita dan petitum dalam
gugatan tidak saling mendukung atau dalil gugatan kontradiksi.
Mungkin juga objek yang disengketakan tidak jelas (apa, di mana dan
berapa besarnya), atau petitum tidak jelas, atau tidak diperinci secara
jelas apa yang diminta.
d. Gugatan masih prematur

40
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

Gugatan belum semestinya diajukan karena ketentuan undang-undang


belum terpenuhi. Misalnya hutang belum masanya untuk ditagih atau
belum jatuh tempo, tetapi penggugat telah memaksanya untuk
membayar.
e. Gugatan Nebis in idem
Gugatan yang diajukan oleh penggugat sudah pernah diputus oleh
pengadilan yang sama, dengan objek sengketa yang sama dan pihak-
pihak yang bersengketa juga sama orangnya.
f. Gugatan error in persona
Gugatan error in persona ialah gugatan salah alamat, ini dapat bersifat
gemis aan laeding heid, Misalnya seorang ayah mengajukan gugatan
cerai ke Pengadilan Agama untuk anaknya, ia menggugat suami
anaknya dengan tuntutan agar pengadilan menceraikan anaknya
dengan suaminya. Jadi bukan anaknya sendiri yang mengajukannya.
g. Gugatan yang telah lampau waktu (kedaluwarsa)
Gugatan yang diajukan oleh penggugat telah melampaui waktu yang
telah ditentukan undang-undang. Misalnya dalam Pasal 27 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa
seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
nikah apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa seorang
suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
salah sangka mengenai diri suami atau istri. Apabila ancaman telah
berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan
dalam jangkat waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup
sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk
mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Dengan hal

41
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

tersebut di atas, apabila penggugat mengajukan gugatan ke pengadilan,


maka gugatannya tidak diterima karena mengajukan gugatan telah
lewat waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang.
h. Pengadilan tidak berwenang mengadili
Suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak
berwenang, baik menyangkut kewenangan absolut maupun
menyangkut kewenangan relatif, akan diputus oleh pengadilan tersebut
dengan menyatakan dirinya tidak berhak mengadili perkara atau
gugatan itu.

2. Dikabulkan
Apabila suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan dapat
dibuktikan kebenaran dalil gugatannya, maka gugatan tersebut dikabulkan
seluruhnya. Jika sebagian saja yang terbukti kebenaran dalil gugatannya,
maka gugatan tersebut dikabulkan sebagiannya.
Adakalanya suatu gugatan dikabulkan oleh pengadilan, tetapi tidak
dapat dilaksanakan atau dieksekusi. Hal ini disebabkan adanya kelemahan
dalam mencantumkan amar putusan terutama tentang amar komdenatoar.
Karena itu apabila dikabulkan suatu gugatan maka amar putusan yang
akan dimuat dalam putusan itu betul-betul harus diperhatikan, terutama
sekali adalah amar yang bersifat komdenatoar. Dengan demikian, putusan
yang dikabulkan itu dapat membawa manfaat kepada semua pihak,
terutama para pihak yang berperkara.
3. Ditolak
Suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat ke pengadilan namun di
depan sidang pengadilan, penggugat tidak dapat mengajukan bukti-bukti
tentang kebenaran dalil gugatannya, maka gugatannya ditolak. Penolakan

42
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

itu dapat terjadi seluruhnya atau hanya sebagian saja, tergantung


bagaimana penggugat dapat mengajukan bukti gugatannya.
Perbedaannya dengan gugatan tidak diterima adalah bahwa kalau
tidak diterima perkara pokoknya belum diperiksa, sedangkan apabila
ditolak perkara pokoknya sudah diperiksa dan setelah diperiksa ternyata
dalil gugatannya tidak beralasan atau tidak dapat dibuktikan
kebenarannya.
4. Perdamaian
Pasal 130 ayat (1) dan Pasal 154 ayat (1) R.Bg. mengemukakan
bahwa hakim harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak yang
bersengketa sebelum perkara tersebut diputus. Jika terhadap sengketa
yang berhubungan dengan perkawinan (seperti perceraian), berhasil
didamaikan atau jika kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri
persengketaannya , maka hakim menyarankan agar gugatannya dicabut.
Terhadap perkara di luar perceraian, maka hakim menjatuhkan putusan
perdamaian dalam bentuk akta perdamaian atau akta van vergelijke (Pasal
154 ayat (2) R. Bg. atau Pasal 138 ayat (2) HIR).
5. Gugur
Berdasarkan Pasal 124 HIR dan Pasal 148 R. Bg, jikalau penggugat
tidak hadir menghadap pengadilan pada hari yang telah ditentukan, dan
tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil
secara patut, sedangkan tergugat hadir, maka untuk kepentingan tergugat
yang sudah mengorbankan waktu dan mungkin juga uang, putusan
haruslah diucapkan , dalam hal ini gugatan penggugat dinyatakan gugur
dan dihukum untuk membayar biaya perkara.
6. Dihentikan (Aan hanging)
Penghentian gugatan disebabkan karena adanya perselisihan
kewenangan mengadili antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri.

43
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

Kalau terjadi hal seperti itu maka baik PA maupun PN harus


menghentikan pemeriksaan tersebut dan kedua badan peradilan itu
hendaknya mengirim berkas perkara ke MA untuk ditetapkan siapa yang
berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Penghentian
sementara pemeriksaan gugatan dapat ditempuh dengan cara mencatat
dalam berita acara persidangan atau dapat juga dalam bentuk penetapan
majelis.
Putusan Sela
Putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh
terhadap arah dan jalannya pemeriksaan. Hal-hal yang menurut hukum acara
perdata memerlukan putusan sela antara lain : pemeriksaan eksepsi tidak
berwenang, sumpah supletoar, sumpah decisoar, sumpah penaksir, gugatan
provisional dan gugat insedental. Terdapat beberapa putusan sela, yaitu :
1. Putusan praeparatoar adalah putusan untuk persiapan putusan akhir tanpa
mempengaruhi pokok perkara.Contoh putusan untuk menggabungkan
perkara gugatan cerai dan perkara nafkah wajib yang dilalaikan oleh suami.
2. Putusan interlukotoar adalah putusan yang memerintahkan pembuktian dan
dapat mempengaruhi putusan akhir, misalnya putusan yang memerintahkan
pemeriksaan saksi atau pemeriksaan di tempat.
3. Putusan insidental adalah putusan yang berhubungan dengan peristiwa
yang menghentikan prosedur peradilan biasa dan belum berhubungan
dengan pokok perkara, seperti penetapan tentang gugat prodeo.
4. Putusan provisional adalah putusan yang mengabulkan permintaan pihak-
pihak yang berperkara agar sementara diadakan tindakan pendahuluan
untuk kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.
Contoh : harta warisan yang sedang digugat oleh para ahli waris lainnya
diadakan pencegahan supaya tergugat tidak mengadakan transaksi terhadap
harta warisan tersebut. Atau dalam hal isteri menggugat suaminya, di

44
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

mana gugatan pokoknya adalah cerai, akan tetapi sebelum itu karena suami
yang digugatnya itu telah melalaikan kewajibannya untuk memberikan
nafkah kepada istrinya itu, pihak isteri karena sangat membutuhkan biaya
hidup, memohon kepada majelis agar ditetapkan nafkah yang dilalaikan
oleh suaminya itu sebelum putusan akhir dijatuhkan terhadap gugatan cerai
yang diajukannya.
G. Upaya Hukum Terhadap Putusan
1. Perlawanan (Verzet)
Tergugat yang dikalahkan dengan putusan verstek dan tidak
menerima putusan tersebut berhak mengajukan perlawanan kepada hakim
yang memeriksa dalam tingkat pertama (Pasal 53 R.Bg.). Bagi penggugat
yang dikalahkan dengan putusan verstek tersedia upaya banding. Dalam
hal penggugat mengajukan permohonan banding atas putusan verstek dan
tergugat mengajukan Verzet maka permohonan Verzet tergugat harus
dianggap banding.
Tenggat waktu mengajukan perlawanan (Verzet) yaitu :
Empat belas hari setelah pemberitahuan salinan putusan kepada pihak yang
dikalahkan sendiri atau delapan hari setelah pemberitahuan teguran untuk
melaksanakan putusan verstek kalau putusan tersebut tidak diberitahukan
kepada pihak yang dikalahkan sendiri.
Pemeriksaan perkara Verzet dilakukan dengan acara biasa.
Kalau pada persidangan Verzet kembali tergugat/pelawan tidak hadir
setelah dipanggil secara resmi dan patut, maka diputus verstek kedua
kalinya. Terhadap putusan verstek kedua tidak diterima lagi upaya Verzet
selanjutnya (Pasal 153 R. Bg). Terhadap putusan Verzet tersebut kedua
belah pihak berhak mengajukan upaya banding.
Perlu dijelaskan bahwa nomor pendaftaran perkara Verzet adalah
sama dengan nomor perkara yang diputus dengan verstek karena pada

45
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

prinsipnya perkara Verzet merupakan satu kesatuan yang tidak dapat


dipisahkan dengan perkara verstek.
2. Banding
Permohonan dapat diajukan oleh para pihak yang merasa tidak puas
atas putusan itu. Permohonan banding ini ditujukan kepada Pengadilan
Tinggi Agama melalui Pengadilan Agama Tingkat Pertama.
Pengadilan banding mengulangi pemeriksaan perkara dari semua segi
baik mengenai duduk perkaranya (fakta) maupun mengenai penerapan
hukumnya.
Tenggat waktu banding adalah empat belas hari setelah putusan
dijatuhkan atau diberitahukan kepada pihak tidak hadir ketika putusan
diucapkan (Pasal 199 R. Bg).

Tata Cara Pengajuan Banding


Apabila salah satu pihak menyatakan banding maka panitera
menyampaikan permohonan banding itu kepada terbanding paling lambat
tujuh hari setelah permintaan banding itu diterima.
Kedua belah pihak diberi kesempatan melihat berkas perkaranya
(inzage) empat belas hari setelah permohonan banding diterima.
Pengiriman permohonan banding bersama dengan lampirannya
(bundel A dan bundel B) serta biayanya ke Pengadilan Tinggi Agama
paling lama satu bulan setelah diterimanya permohonan tersebut.
Pembuatan memori banding adalah hak pembanding, tetapi bukanlah
merupakan kewajiban (Yurisprudensi Keputusan Mahkamah Agung
tanggal 6 Agustus 1973 Reg. No. 663 K/Sip/1971)
Apabila tenggat waktu banding sudah berlalu dan salah satu pihak
tetap berkeras ingin banding, maka Pengadilan Tingkat Pertama menerima

46
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

dan mengirim permohonan banding itu Ke Pengadilan Tingkat Banding


karena yang berhak menerima atau menolak permohonan banding adalah
Pengadilan Tingkat Banding.
Pencabutan perkara banding boleh dilakukan selama belum diputus
oleh Pengadilan Tingkat Banding dengan persetujuan kedua belah pihak.
4. Kasasi
Pengadilan tingkat kasasi bertugas meneliti putusan pengadilan
tingkat banding dan pengadilan tingkat pertama tentang sudah tepat atau
tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang
bersangkutan.
Tata Cara Pengajuan Permohonan Kasasi
Pihak-pihak atau kuasanya menyampaikan permohonan kasasi secara
tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama dalam
tenggat waktu empat belas hari setelah putusan atau penetapan Pengadilan
Tingkat Banding diberitahukan kepada pemohon.
Setelah pemohon membayar biaya perkara kasasi, maka panitera
mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar dan pada hari itu juga
harus dibuatkan akte permohonan kasasi.
Panitera Pengadilan Tingkat pertama memberitahukan secara tertulis
tentang permohonan kasasi tersebut kepada pihak lawan paling lambat
tujuh hari setelah permohonan kasasi terdaftar.
Pemohon kasasi wajib membuat dan menyampaikan memori kasasi
yang mengemukakan alasan pemohon meminta kasasi pada Panitera
Pengadilan Tingkat Pertama dalam tenggat waktu empat belas hari setelah
permohonan dicatat.
Salinan memori kasasi disampaikan oleh Panitera Pengadilan Agama
kepada pihak lawan dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari, termohon

47
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

kasasi berhak mengajukan kontramemori kasasi dalam waktu empat belas


hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi.
Panitera pengadilan mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi,
jawaban memori kasasi dan berkas perkara lainnya (bundel A dan B)
kepada Mahkamah Agung dalam waktu enam puluh hari sejak permohonan
kasasi diajukan.
Pencabutan permohonan kasasi oleh pemohon dapat dilakukan
dengan persetujuan termohon kasasi, sepanjang perkara belum diputus oleh
Mahkamah Agung.
Apabila telah dicabut, pemohon kasasi tidak boleh mengajukan
permohonan kasasi lagi mengenai perkara yang sama walaupun tenggt
waktu kasasi belum lampau. Kalau pencabutan permohonan kasasi
sebelum berkas perkaranya dikirim ke Mahkamah Agung, maka berkas
tersebut diteruskan ke Mahkamah Agung.
Apabila syarat formal permohonan kasasi tidak dipenuhi oleh
pemohon kasasi, berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung
(Pasal 45 A ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jo. Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009). Panitera Pengadilan Agama membuat
surat keterangan bahwa permohonan kasasi tersebut tidak memenuhi
syarat. Berdasarkan surat keterangan tersebut Ketua Pengadilan Agama
membuat penetapan yang menyatakan bahwa permohonan kasasi tersebut
tidak dapat diterima.
Yang dimaksud dengan syarat formal permohonan kasasi adalah
tenggang waktu permohonan kasasi, pernyataan kasasi, panjar biaya
perkara kasasi dan memori kasasi, sebagaimana yang ditentukan dalam
pasal 46 dan 47 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaiman telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.

48
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

Alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam permohonan kasasi


yaitu berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009, yakni :
a. Pengadilan tidak berwewenang atau melampaui batas wewenang.
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan.
Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi hanya memeriksa surat-
surat kecuali kalau dipandang perlu Mahkamah Agung mendengar sendiri
para pihak atau para saksi atau Mahkamah Agung memerintahkan
Pengadilan Tingkat Banding atau Pengadilan Tingkat Pertama yang
memutuskan perkara tersebut, mendengar sendiri para pihak atau para
saksi. Kalau Mahkamah Agung membatalkan suatu putusan pengadilan
serta mengadili sendiri perkara tersebut, maka hukum pembuktian yang
dipakai adalah yang berlaku pada Pengadilan Tingkat Pertama yang
memutuskan perkara tersebut.
Apabila Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan dengan
alasan tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, maka Mahkamah
Agung menyerahkan perkara tersebut kepada pengadilan lain yang
berwenang memeriksa dan memutusnya.
Apabila Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dengan
alasan
pengadilan salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku atau
lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang

49
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

bersangkutan, maka Mahkamah Agung memutus sendiri perkara yang


dimohonkan kasasi.
Pengadilan Tingkat Pertama memberitahukan putusan Mahkamah
Agung kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya tiga puluh hari
setelah putusan dan berkas perkara diterima dari Mahkamah Agung.
5. Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap diatur dalam Pasal 66 s.d Pasal 76 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali dan
tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan selama
belum diputus dan setelah dicabut tidak dapat diajukan lagi.
Alasan-alasan yang menjadi dasar peninjauan kembali yaitu :
a. Apabila putusan yang didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau
didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
dinyatakan palsu.
b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat
ditemukan.
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
daripada yang dituntut.
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputuskan.
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai sesuatu hal yang sama
atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya
telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan lainnya.

50
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
Putusan yang dapat dimintakan peninjauan kembali ada dua macam :
a. Putusan yang dijatuhkan dalam tingkat terakhir.
b. Putusan yang dijatuhkan tanpa hadirnya tergugat (verstek) dan tidak
terbuka kemungkinan lagi untuk mengajukan perlawanan.
Peninjauan kembali diajukan oleh :
a. Para pihak yang berperkara
b. Ahli warisnya kalau pemohon meninggal dunia.
c. Wakilnya yang diberi kuasa khusus.
Tenggat waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali adalah 180 hari
terhitung :
a. Sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim
pidana memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dan tidak diberitahukan
kepada para pihak yang berperkara, berlaku untuk alasan huruf a di
muka.
b. Sejak ditemukan surat-surat bukti yang lain dan tanggal ditemukannya
harus dinyatakan di bawah sumpah dan disaksikan oleh pejabat yang
berwenang, berlaku untuk alasan huruf b di muka.
c. Sejak putusan memperoleh kekuatan hukum yang ditetap dan telah
diberitahukan kepada para pihak yang berperkara, berlaku alasan untuk
huruf c di muka.
d. Sejak putusan yang terakhir dan saling bertentangan itu memperoleh
kekuatan hukum yang tetap dan telah diberitahukan kepada pihak-pihak
yang berperkara.
Cara Mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali

51
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

Permohonan tertulis diajukan kepada Mahkamah Agung melalui


Ketua Pengadilan Agama Tingkat Pertama yang memutus perkara dengan
membayar biaya perkara yang diperlukan.
Pemohon yang tidak dapat menulis, menguraikan permohonan secara
lisan di depan Ketua Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut
atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama yang akan
membuat catatan tentang permohonan tersebut.
Panitera berkewajiban memberikan atau mengirimkan salinan
permohonan tersebut kepada lawan pemohon paling lambat empat belas
hari setelah diterima permohonan peninjauan kembali.
Pihak lawan diberi kesempatan untuk menjawab dalam waktu tiga
puluh hari setelah diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali,
apabila diperlukan jawaban.
Jawaban atas permohonan dan alasan peninjauan kembali yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama harus dibubuhi hari dan
tanggal penerimaan yang dinyatakan di atas surat jawaban tersebut (Pasal
72 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jis. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009).
Salinan jawaban pihak lawan dikirim oleh panitera kepada pemohon
untuk diketahui.
Permohonan bersama kelengkapan dan biayanya oleh panitera
dikirim kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam jangka
waktu tiga puluh hari.
Pemohon dan pihak lain dalam permohonan peninjauan kembali
tidak dibenarkan mengadakan surat-menyurat dengan Mahkamah Agung.
Untuk peninjauan kembali, Mahkamah Agung berwenang
memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat

52
Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Semester VI
Oleh : Sapuan, S. HI., MH.

Banding mengadakan pemeriksaan tambahan atau meminta keterangan


serta pertimbangan dari pengadilan tersebut.
Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan peninjauan kembali
kepada Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut dan
panitera menyampaikan salinan putusan itu kepada pemohon dan pihak
lawan selambat-lambatnya dalam waktu sepuluh hari.
H. Upaya Hukum terhadap Penetapan

Cara yang dapat ditempuh dan dilakukan oleh yang berkepentingan atau
orang yang merasa dirugikan atas penetapan volunter adalah sebagai berikut:

1. Mengajukan perlawanan terhadap permohonan selama proses pemeriksaan


berlangsung, merujuk secara analogis kepada Pasal 378 Rv. atau Pasal 195
ayat (6) HIR.
2. Mengajukan gugatan perdata, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan
gugatan perdata biasa dengan mendudukkan pihak yang merasa dirugikan
sebagai penggugat dan pemohon sebagai tergugat.
3. Mengajukan permintaan pembatalan kepada Mahkamah Agung terhadap
penetapan tersebut (Penetapan MA No.5 Pen/Sep/1975).
4. Mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK), upaya tersebut dapat ditempuh
untuk mengoreksi dan meluruskan kekeliruan atas permohonan (Putusan PK
No.1PK/Ag/1990 Tanggal 22 Januari 1991).

53

Anda mungkin juga menyukai