Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Latar belakang penulisan makalah ini, yaitu dengan banyak melihat fenomena
yang ada sekitar kita dimana salah satunya yang akan kami bahas dalam makalah ini,
yaitu penitipan barang (wadi’ah). Seiring dengan bermunculannya lembaga-lembaga
penitipan barang dapat sedikit membantu ketika seorang ingin menitipkan barangnya
dalam waktu yang cukup lama, mereka tidak khawatir dengan keadaan keadaan
barang yang ditinggalkannya itu, sebab dalam lembaga tersebut telah menjamin akan
keaslian barangnya. Namun dengan sedikit mengeluarkan biaya.
Kita lihat di masyarakat sangatlah tidak asing lagi dalam hal penitipan
barang, atau menitipkan sebuah barang kepada orang lain. Seseorang berani
menitipkan barang kepada orang lain hanya yang biasa di kenal saja, sungguh belum
tentu seorang yang kita kenal tersebut bisa menjaga barang kita dengan baik, bisa saja
terjadi kelalaian atau kerusakan ketika barang yang dititipkan tersebut dipakai oleh
seorang yang diberikan amanah tersebut, dengan alasan yang banyak dan dengan
kedekatannya seorang penitip kepada seorang yang diberikan amanah, kemudian
seorang yang diberi amanah tersebut menipu, ketika terjadi kerusakan pada barang
yang dititipkan kepadanya. Dengan alasan apapun bisa di terima si penitip karena si
penitip yakin bahwa orang yang dikenal dan dekat denganya tidak mungkin
melakukan penipuan terhadap dirinya.
Hal ini yang sering dilalaikan oleh seorang yang diberikan amanah,
menganggap barang yang dititipkan tersebut adalah barang yang bisa dipakainya
juga. Ternyata tidak seperti itu, seorang yang diberikan amanah hanya berhak
menjaga barang yang di titipkan kepadanya. dan ketika si penitip
memperbolehkannya atau memberikan izin memakai barang yang dititipkan tersebut.
Barulah seorang yang diberikan amanah tersebut memakainya dengan ketentuan
selalu menjaga, memperbaiki ketika terjadi kerusakan, dan mengatakan dengan
sebenarnya kepada si penitip ketika barang akan diserahkan kembali kepada si
penitip. Jangan sekali-kali mengharap apapun, baik upah menjaga, dan upah-upah
lainnya kepada si penitip dan menjagalah dengan baik dan ikhlas. Karena belum tentu
serang yang menitipkannya tersebut orang yang memiliki cukup uang untuk
mengganti jasa tersebut. dan kepada seorang yang menitipkan barang kepada orang
lain hendaklah sadar akan jasa orang yang rela riberikan amanah tersebut.
Oleh karena itu, fenomena yang demikian perlulah diperhatikan oleh seorang
yang diberikan amanah dan pemberi amanah. Mempelajari apa yang harus di
kerjakan ketika seorang diberikan atau memberikan barang titipan(wadi’ah) kepada
orang lain. Memilih jalan yang lebih aman dengan menitipkan barang pada lembaga-
lembaga penitipan barang yang ada di sekitar kita.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas penulis merumuskan beberapa permasalah yang
akan di bahas pada bab pembahasan di belakang diantaranya yaitu:
a. Apa definisi wadi’ah dan dasar hukumnya?
b. Apakah syarat dan rukun wadi’ah?
c. Berapakah macam-macam wadi’ah?
d. Apakah Hukum Menerima Benda titipan (wadi’ah)?
e. Apakah wadiah yad-amanah dapat berubah menjadi wadiah yad-damannah?
f. Bagaimana dengan pendapat para ulama’ mengenai pengambilan laba dalam
wadiah?
g. Bagaiaman dengan pendapat para ulama’ dengan adanya jaminan wadi’ah?

C. Tujuan Penulisan
Rumusan masalah diatas memberikan penulis pemikiran bahwa tujuan dari penulisan
makalah ini yaitu:
a. Agar mengetahu definisi wadi’ah dan dasar hukumnya.
b. Agar mengetahui syarat dan rukun wadi’ah.
c. Agar mengetahui macam-macam wadi’ah.
d. Agar mengetahui hokum menerima benda titipan (wadi’ah).
e. Agar mengetahui perubahan wadi’ah yad-amanah menjadi wadiah yad-
dhamanah.
f. Agar memperjelas pendapat para ulama mengenai pengambilan laba
dalam wadi’ah.
g. Agar mengetahui pendapat para ulama’ adanya jaminan wadi’ah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wadi’ah
Barang titipan dalam bahasa fiqh dikenal dengan sebutan wadi’ah, menurut
bahasa wadi’ah ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaga
(Ma Wudi’a ‘Inda Ghair Malikihi Layahfadzuhu), berarti bahwa wadi’ah ialah
memberikan, makna yang kedua wadi’ah dari segi bahasa adalah menerima, seperti
seseorang berkata: “awda’tubu” artinya aku menerima harta tersebut darinya (Qabiltu
minhu dzalika al-Mal Liyakuna Wadi’ah ‘Indi), secara bahasa wadi’ah memiliki 2
makna, aykni memeberikan harta untuk dijaga dan pada penerimaannya.[1]
Dalam tradisi islam, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu
pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hokum, yang harus dijaga dan
dukembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.[2]
Wadi’ah menurut pasal 20 ayat 17 komplikasi Hukum Ekonomi Syari’ah
(2009) ialah penitipan dana antara pihak pemilik dengan pihak penerima titipan yang
dipercaya untuk menjaga dana tersebut. Aplikasi wadi’ah terhadap dalam fatwa DSN-
MUI No.36/DSN-MUI/X/2002 tentang sertifikat wadi’ah Bank Indonesia.[3]
a. Secara Etimologi
Secara etimologi wadi’ah ( ‫ )الودعة‬berartikan titipan (amana) Coba kita lihat di
beberapa surat dalam alqur’an Allah memaknakan wadi’ah dengan amanah.
b. Secara Terminologi
Secara terminology atau definisi istilah menurut mazhab hanafi, maliki dan hambali.
Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fikih.[4]
Ulama mazhab hanafi mendefinisikannya:
‫تسليط الغير على حفظ ماله صريحا أ و دال لة‬
“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan uangkapan yang
jelas maupun melalui isyarat”.
Umpama seraoang mengatakan: “saya titpkan tas saya ini pada anda”. Lalu dijawab
“saya terima”. Dengan demikian, sempurnalah akad wadi’ah. Mungkin juga dengan
cara: “saya titipak tas saya ini pada anda” tetapi orang yang dititipi diam saja (tanda
setuju).
Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali (jumhur ulama) mendefinisikannya:
‫تو كيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص‬
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harata tertentu dengan cara tertentu”.
Menurut istilah wadi’ah dapat diartikan sebagai akad yang dilakukan oleh kedua
belah pihak orang yang menitipkan barang kepada orang lain agar dijaga dengan baik.
Di dalam ensiklopedi hukum islam mengenai wadi’ah secara bahasa bias dimaknai
meninggalkan atau meletakkan, yaitu meninggalkan atau meletakkan sesuatu kepada
orang lain untuk menjaganya dengan baik. Sedangkan menurut istilah ialah
memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada orang lain untuk menjaga barangnya
dengan cara terang-tengan kepada si pemilik barang tersebut. Setelah diketahui
definisi wadi’ah dari beberapa ulama’, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud
wadi’ah adalah penitipan, yaiti akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan
benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan tidak
wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka
diwajibkan menggantinya.[5]
Selain itu dalam melakukan transaksi penitipan harta, hendaknya melakukan
penetapan jenis titipan. Memilih orang yang dapat dipercaya saat penitipan sehingga
orang tersebut dapat lebih amanah ataukah melakukan perjanjian disepakati yang
mewajibkan bagi keduanya untuk saling bertakwa dengan jalan tidak saling
merugikan. Hal ini dijelaskan pada QS. Al-Imran ayat 75.[6]

B. Dalil tentang Wadi’ah

1. Keharusan menjaga wadi’ah


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
َ‫أَد األ َ َمانَةَ إلَى َمن ائت َ َمنَكَ َوالَ ت َ ُخن َمن خَانَك‬
"Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahkan kepadamu, dan janganlah
kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi,
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa' 5/381).
َ‫ = أَد األ َ َمانَة‬Tunaikanlah amanah
Maksudnya orang yang merasa mampu dan sanggup menerima barang titipan adalah
sangat baik dan mengandung nilai ibadah yang mendapat pahala disamping
mempunyai nilai sosial yang tinggi. Akan tepai agar titipan tersebut tidak akan
menimbulkan masalah dikemudian hari, maka disyaratkan :
a) Barang titipan itu tidak memberatkan dirinya maupun keluarganya
b) Tidak memungut biaya pemeliharaan
c) Kalau sudah sampai waktunya diambil atau disampaikan kepada yang berhak
Dengan demikian apabila barang titipan itu mengalami kerusakan akibat kelalaian
orang yang menerimanya, maka ia wajib menggantikannya.
‫ = َوالَ ت َ ُخن‬Dan janganlah kamu mengkhianati
Adapun kriteria kelalaian antara lain:
a) Orang yang dipercaya titipan menyerahakan kepada orang lain tanpa
sepengetahuan yang memilikinya
b) Barang titipan itu dipergunakan atau dibawa pergi sehingga rusak atau hilang
c) Menyia-nyiakan barang titipan
d) Berkhianat, yaitu ketika barang titipan diminta tidak dikabulkan, tanpa sebab
yang jelas
e) Lalai atau tidak hati-hati dalam memelihara barang titipan
f) Ketika yang dititipi barang itu sakit atau meninggal tidak berwasiat kepada ahli
warisnya atau keluarganya tentang barang titipan, sehingga mengakibatkan barang
rusak dan hilang.
Hukum menerima wadi’ah atau barang titipan itu ada 4 (empat), yaitu :[7]
a) Sunnah, yaitu bagi orang yang percaya pada dirinya bahwa dia sanggup
memelihara dan menjaganya, menerimanya bila disertai niat yang tulus ikhlas kepada
Allah.
Dianjurkan menerima wadii’ah, karena ada pahala yang besar di sana, berdasarkan
hadits:
‫عون أَخيه‬
َ ‫عون ال َعبد َما َكانَ ال َعبدُ فى‬ َ ‫َو‬
َ ‫ّللا ُ فى‬
“Dan Allah akan menolong seorang hamba, jika hamba itu mau menolong
saudaranya.” (HR. Muslim)
b) Wajib, yaitu apabila sudah tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya, kecuali
hanya dia satu-satunya
c) Haram, apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaganya sebagaimana
mestinya, karena seolah-olah dia membiarkan pintu kerusakan atau hilangnya barang
titipan.
d) Makruh, menitipkan kepada orang yang dapat menjaganya tetapi ia tidak
percaya pada dirinya, bahkan dikhawatirkan kemudian hari dia akan berkhianat
terhadap barang titipan itu.

2. Menanggung barang titipan


Muuda' (orang yang dititipi) tidaklah menanggung barang titipan kecuali jika dia
meremehkan atau melakukan jinayat (berindak salah) terhadap barang titipan
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni.
َ ‫علَى ال ُمست َودَع غَير ال ُمغل‬
‫ض َمان‬ َ ‫سلَي‬
َ
"Bagi orang yang dititipi yang bukan pengkhianat tidaklah menanggung."[8]
Amr bin Syu'aib juga meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
‫علَيه‬ َ ‫َمن أُود‬
َ َ‫ع َوديعَة فَال‬
َ َ‫ض َمان‬
"Barangsiapa yang dititipkan wadii'ah, maka dia tidaklah menanggungnya." (HR.
Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan Daruquthni disebutkan:
‫علَى ُمؤت َ َمن‬ َ َ‫ال‬
َ َ‫ض َمان‬
"Orang yang diamanahi tidaklah menanggung." (Hadits ini dinyatakan hasan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 7518)
Abu Bakar ra. pernah memutuskan tentang wadi'ah yang berada dalam sebuah
kantong, lalu hilang karena bolongnya kantong tersebut bahwa ia (orang yang dititipi)
tidak menanggungnya. Bahkan Urwah bin Az Zubair pernah meminta dititipkan
kepada Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits bin Hisyam harta dari harta milik
bani Mush'ab, lalu ternyata harta tersebut tertimpa musibah ketika masih berada di
Abu Bakar atau sebagian harta itu, maka Urwah mengutus seseorang untuk
memberitahukan, "Bahwa kamu tidak perlu menanggungnya. Kamu hanyalah orang
yang diamanahi." Lalu Abu Bakar berkata, "Saya telah mengetahui bahwa saya tidak
menanggung, akan tetapi nanti orang-orang Quraisy menyebutkan bahwa diriku
sudah tidak amanah", lalu Abu Bakar menjual harta miliknya dan melunasinya.
Penerima titipan harus menjaganya di tempat terjaga yang standar atau sesuai barang
tersebut secara 'uruf sebagaimana hartanya dijaga. Jika barang titipan berupa hewan,
maka muuda' harus memberinya makan. Jika tidak diberi makan tanpa ada perintah
dari pemiliknya, lalu hewan itu mati, maka muuda' harus menggantinya, karena
memberi makan hewan adalah diperintahkan. Di samping dia harus menanggungnya,
dia juga berdosa karena tidak memberi makan dan minum kepada hewan tersebut
hingga mati, karena wajib baginya memberi makan dan minum sebagai pemenuhan
terhadap hak Allah Ta'ala, dimana hewan tersebut memiliki kehormatan.

C. Syarat dan Rukun Wadi’ah


A. Rukun Wadi’ah
Menurut ulama ahli fiqh imam abu hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah
hanyalah ijab dan qobul. Namun menurut jumhur ulama mengemukakan bahwa
rukun wadi’ah ada tiga yaitu:
1. Orang yang berakad
2. Barang titipan
3. Sighah, ijab dan kobul

B. Syarat
1. Orang yang berakad
Orang yang berakad hendaklah orang yang sehat (tidak gila) diantaranya yaitu:
a. Baligh
b. Berakal
c. Kemauan sendiri, tidak dipaksa
Dalam mazhab Hanafi baliqh dan berakal tidak dijadikan syarat dari orang yang
sedang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk melakukan
akad wadi’ah ini.
2. Barang titipan
Barang yang dititipkan harus jelas dan dapat dipegang atau dikuasai, maksudnya ialah
barang itu haruslah jelas identitasnya dan dapat dikuasai untuk dipelihara.
3. Sighah (akad)
Syarat sighah yaitu kedua belah pihak melafazkan akad yaitu orang yang menitipkan
(mudi’) dan orang yang diberi titipan (wadi’)

D. Macam-macam Wadi’ah
a. Wadi’ah yad-amanah
Para ulama ahli fiqh mengatakan bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat kedua belah
pihak. Akan tetapi, apakah orang yang tanggung jawab memelihara barang itu
bersifat ganti rugi (dhamaan=‫)الضمان‬.
Ulama fikih sepakat, bahwa status wadi’ah bersifat amanat, bukan dhamaan, sehingga
semua kerusakan penitipan tidak menjadi tangggung jawab pihak yang menitipi,
berbeda sekiranya kerusakan itu disengaja oleh orang yang dititipi, sebagai alasannya
adalah sabda Rasulullah:
)‫ليس على المسودع غير المغل ضمان (رواه البيهقى و الدار قطنى‬
“orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan pengkhianatan tidak dikenakan
ganti rugi.” (HR. Baihaqi dan Daru-Quthni)
Dalam riwayat lain dikatakan:
(‫الضمان على مؤتمن )الداررواه قطنيى‬
“tidak ada ganti rugi terhadap orang yang dipercaya memegang amanat.” (HR. Daru-
Quthni”.
Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan untuk ganti rugi atas
orang yang dititipi maka akad itu dianggap tidak sah. dan orang yang dititipi pun juga
harus menjaga amanat dengan baik dan tidak menuntut upah (jasa) dari orang yang
menitipkan.
b. Wadi’ah yad-dhamanah
Akad ini bersifat memberikan kebebasan kepada pihak penerima titipan dengan atau
tanpa seizin pemilik barang dapat memanfaatkan barang dan bertanggung jawab
terhadap kehilangan atau kerusakan pada barang yang dinggunakannya.

E. Hukum Menerima Benda Titipan


Hukum menerima benda titipan dapat di bagati atas 5 yaitu:
1. Haram: Hukum menerima benda titipan dapat berhukum haram jika orang yang
dititipi yakin dirinya akan berkhiyanat.
2. Makruh: Hukum menerima benda titipan dapat berhukum makruh jika orang
yang dititipi khawatir akan berkhianat (was-was).
3. Mubah: Hukum menerima benda titipan dapat berhukum mubah (boleh) jika
seorang mengatakan kepada si penitip bahwa dirinya khawatir akan berkhianat
namun si pentitip yakin dan tetap mempercayai bahwa orang tersebut dapat diberikan
amanah.
4. Wajib: Hukum menerima benda titipan dapat berhukum wajib jika tidak ada
orang jujur dan layak selain dirinya.

F. Wadi’ah yad-Amanah Berubah Menjadi Wadi’ah yad-Dhamanah


Kemungkinan perubahan sifat amanat berubah menjadi wadi’ah yang bersifat
dhamanah (ganti rugi). Yaitu kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:[9]
1. Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Dengan demikian halnya
apabila ada orang lain yang akan merusaknya, tetapi dia tidak mempertahankannya,
sedangkan dia mampu mengatasi (mencegahnya).
2. Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi, kemudian barang itu
rusak atau hilang. Sedangkan barang titipan seharusnya dipelihara, bukan
dimanfaatkan.
3. Orang yangdititipi mengingkari ada barang titipan kepadanya. Oleh sebab itu,
sebaiknya dalam akad wadi’ah disebutkan jenis varangnya dan jumlahnya ataupun
sifat-sifat lain, sehingga apabila terjadi keingkaran dapat ditunjukkan buktinya.
4. Orang yang menerima titipan barang itu, mencampuradukkan dengan bangan
pribadinyam sehingga sekiranya ada yang rusak atau hilang, maka sukar untuk
menentukannya, apakah barangnya sendiri yang rusak (hilang) atau barnag titipan itu.
5. Orang yang menerima titipan itu tidak menepati syarat-syarat yang
dikemukakan oleh penitip barang itu, seperti tempat penyimpanan dan syarat-syarat
lainnya.

G. Keuntungan (Laba) dalam Wadi’ah


Beberapa ulama berpendapat mengenai pengambilan laba atau bonus dalam wadi’ah,
yaitu:
1. Menurut ulama syafi’iyah, tidak boleh mengambil keuntungan atau bonus yang
tidak disyaratkan diawal akad ketika memanfaakan barang yang dititipkan dan
akadnya bisa dikatakan gugur.
2. Menurtu ulama maliki dan hambali dapat menerima bonus yang diberikan oleh
orang yang dititipi.
3. Sedangkan imbalan yang diterima dari bank berupa bunga, maka ulama
Hanafiah mengatakan keuntungan tersebut harus disedekahkan, sedangkan menurut
ulama maliki keuntungan tersebut harus diserahkan ke baitul mal (kas negara).
H. Jaminan Wadiah
1. Menurut ulama malikiyah, sebab adanya jaminan adalah:
a. Menitipkan barang selain penerimaan titipan (wadi’) tanpa uzur sehingga ketika
minta dikembalikan, wadiah sudah hilang
b. Pemindahan wadi’ah dari negara kenegara lain berbeda dengan pemindahan
dari rumah kerumah
c. Mencampur adukkan eadiah dengan sesuatu yang tidak bisa dibedakan
d. Pemanfaatan wadiah
e. Meletakkan titipan pada tempat yang memungkinkan untuk hilang atau rusak.
f. Menyalahi cara pemeliharaan.
2. Menurut ulama syafi’iyah sebab adanya jaminna adalah:
a. Meletakkan wadiah pada orang lain tanpa izin
b. Meletakkan pada tempat yang tidak aman
c. Pemindahan ketempat yang tidak aman
d. Melalaikan kewajiban menjaganya
e. Berpaling dari menjaga sehingga barang rusak
f. Memanfaatkan wadiah
3. Menurut ulama hanabilah, sebab adanya jaminan adalah:
a. Menitipkan pada orang lain tanpa ada uzur
b. Melalaikan pemeliharaan barang
c. Menyalahi pemeliharaan yang telah disepakati
d. Mencampurkan dengan barang yang lain sehingga sulit untuk dihilangkan
e. Pemanfaatan barang

I. Aplikasi alam LKS dan Fatwa DSN


Beberapa aplikasi LKS dan fatwa DSN antara lain sebagai berikut:
1. Wadiah sering dipraktekkan dan dikembangkan oleh bank syariah
2. Priduk yang ditawarkan bank syariah menggunakan konsep wadiah biasanya
berkaitan dengan penghimpunan dana (found), seperti giro, SWBI, tabungan, Save
deposit box (SDB), dan deposito, deposit memakai prinsip mudharabah, sedangkan
yang lainnya menggunakan prinsip wadiah.
3. Wadiah yad-Damanah bisa dikatakan qordul hasan
4. Giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadi’ah,
yaitu murni tidap saat dapat diambil jika di penitip
5. Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang giro No:01/DSN-MUI/IV/2000
6. Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang No:02/DSN-MUI/IV/2000
7. Tabungan wadiah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah.
8. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan Fatwa Dewan Syariah Nasional
No:36/DSN-MUI/X/2002
9. Penghapusan SWBI menjadi Ijarah. Bank Syariah myang menempatkan dana di
BI telah berperan mendukung stabilitas moneter, dan diberi upah oleh BI sebesar
misalnya 8,78%
10. Dalam perbankan juga terdapat save deposit box dengna FDSN No:24/DSN-
MUI/III/2002

J. Hikmah Wadi’ah
Dengan berlakunya wadi’ah dalam masyarakat bisa mewujudkan keadaan berikut:
ü Mewujudkan masyarakat yang amanah karena wadi’ah mengajarkan seseorang
agar dapat menjalankan amanah.
ü Tercipta tali silaturrahmi, karena yang memberi amanah merasa terbantu dan yang
diberi amanah akan mendapat pahala dari perbuatannya tersebut yang bernilai ibadah.
Tolong menolong dalam hal ini sangat disenangi Allah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah diketahui definisi wadi’ah dari beberapa ulama’, maka dapat dipahami bahwa
yang dimaksud wadi’ah adalah penitipan, yaiti akad seseorang kepada yang lain
dengan menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada
benda titipan tidak wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh
kelalaiannya maka diwajibkan menggantinya.[10]
Orang yang merasa mampu dan sanggup menerima barang titipan adalah sangat baik
dan mengandung nilai ibadah yang mendapat pahala disamping mempunyai nilai
sosial yang tinggi. Hukum wadi’ah atau barang titipan itu ada 4 (empat), yaitu :
Sunnah, wajib, haram, dan makruh. Penerima titipan harus menjaganya di tempat
terjaga yang standar atau sesuai barang tersebut secara 'uruf sebagaimana hartanya
dijaga.
Dengan berlakunya wadi’ah dalam masyarakat bisa mewujudkan keadaan berikut:
Mewujudkan masyarakat yang amanah karena wadi’ah mengajarkan seseorang agar
dapat menjalankan amanah.
Tercipta tali silaturrahmi, karena yang memberi amanah merasa terbantu dan yang
diberi amanah akan mendapat pahala dari perbuatannya tersebut yang bernilai ibadah.
Tolong menolong dalam hal ini sangat disenangi Allah.

DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’I. Bank Syari’ah. Jakarta: Gema Insani. 2001.
Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syari’ah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2008.
Madani, Hadis Ekonomi Syari’ah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2011.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo. 2002.
Ali M. Hasan. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh
mu’amalat). Jakarta: Rajawali Pers. 2003.
Ghazaly Rahman Abdul, dkk. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana. 2010.
Muslich Wardi Ahmad. Fiqh Muamalat. Jakarta : Amzah. 2010.
Nas’adi dan Ghufron. Fiqih Muamalat Kontekstual. Jakarta: Rajawali Pers. 2002.
Nuhayati Sri, Wasilah. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba
Empat. 2008.

[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: RajaGrafindo, 2002), hal. 179
[2] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah, ( Jakarta: Gema Insani, 2001), hal.85
[3] Madani, Hadis Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2011),
hal.85
[4] M. Ali Hasan. Berbagai macam transaksi dalam islam (fiqh muamalat), (Jakarta:
Rajawali Pers, 2003). hlm. 245-246
[5] Suhendi, Fiqih…, hal. 182
[6] Madani, Hadis …, hal. 85
[7] Suhendi, Fiqih…, hal. 183
[8] Ibid, hal. 182
[9] Hasan, Berbagai …, hlm. 249-250
[10] Suhendi, Fiqh…, hal. 182

Anda mungkin juga menyukai