Anda di halaman 1dari 4

BAHASA SEBAGAI PEMERSATU BANGSA*

Oleh: Eko Sulistyo**

Dalam ikrar Sumpah Pemuda, salah satunya adalah pengakuan Bahasa Indonesia sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari tanah air dan bangsa Indonesia. Dalam sejarahnya, Bahasa Indonesia sendiri adalah
sebuah proses perkembangan dari bahasa Melayu yang menjadi bahasa “Lingua Franca” diantara
keberagaman etnis, bangsa dan latar belakang sosial yang hidup di kepulauan nusantara. Lingua Franca
yang berasal dari bahasa Latin artinya adalah bahasa penghubung antara komunitas yang berbeda
bahasa di wilayah geografis yang cukup luas (nusantara).

Dalam perkembangannya, apa yang kita kenal sebagai Bahasa Indonesia menjadi meluas karena peran
dari percetakan diawal abad ke-20 yang menerbitkan kesusastraan dan pers nasional. Dari Bahasa
Indonesia terjadi pembentukan kesadaran nasional dikalangan anak muda terpelajar saat itu. Indonesia
yang dibayangkan (imagined community) kian dipersatukan oleh bahasa yang memungkinkan warganya
dari berbagai latar belakang sosial, bersentuhan dengan dunia modern.

Karena itu Bahasa Indonesia tidak hanya menjadi alat ekspresi dari nasionalisme, tapi juga aspirasi
tentang Indonesia. Dalam dunia kolonial yang hirarkis (dan rasis), Bahasa Indonesia juga menjadi
ekspresi dari kebebasan dan persaamaaan diantara sesama manusia. Maka benar seperti dikatakan Ben
Anderson (2000) dalam Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia, bahwa fungsi publik
utama bahasa Indonesia terletak dalam perannya sebagai pemersatu.
Sastra dan Pers Pergerakan

Salah satu jasa penting yang menyebarkan Bahasa Indonesia secara meluas pada awal abad ke-20 adalah
kesusastraan popular yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit Tionghoa peranakan. Melalui sastralah
imajinasi Indonesia diikat, dimana manusia nusantara dari berbagai pulau bisa menikmati sebuah karya
sastra yang sama. Pemerintah kolonial kemudian menyadari bahwa sastra telah mentransformasikan
kesadaran lokal (kedaerahan) menjadi kesadaran nasional, sebuah ancaman buat status quo kolonial.

Apalagi ketika para tokoh pergerakan nasional juga menggunakan sastra sebagai ekspresi perlawanan
atas tuan kolonial mereka seperti dalam novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo.
Pemerintah kolonial menstigmatisasi sastra seperti itu dengan sebutan “Bacaan Liar”. Bahkan
pemerintah kolonial membentuk penerbitan Balai Pustaka, untuk memproduksi dan mendistribusikan
bacaan dan mencegah munculnya identitas nasional ke-Indonesiaan serta menjauhkan muatan politis
dalam karya sastra.

Menurut Hilmar Farid, “Kolonialisme dan Budaya Balai Poestaka di Hindia Belanda” dalam Prisma, 10
Oktober 1991, Balai Pustaka didirikan untuk menghindari dan menjauhkan rakyat jajahan dari bacaan
politik. Dalam konteks tersebut, Balai Pustaka juga membangun konstruksi bahasa Melayu yang tertib
dan sopan untuk merendahkan bahasa Melayu sastra yang telah dicap sebagai “Bacaan Liar”.

Pada masa pergerakan nasional bahasa Melayu bersifat progresif karena menarik garis atas dominasi
kekuasaan birokrasi kolonial dan hirarki feodal. Peran penting itu dimainkan oleh pers pergerakan, yang
menjadikan Bahasa Indonesia sebagai aspirasi politik untuk menggugat pengusasa kolonial. Tirto
Adisuryo, yang disebut sastrawan Pramoedya A. Toer sebagai “Sang Pemula’’ yang menerbitkan surat
kabar Medan Priyayi, adalah pelopor yang menggunakan Bahasa Indonesia dan pers bukan hanya
sebagai bahasa pemersatu, tapi juga sebagai bahasa perlawanan mengkritik kekuasaan kolonial.

Mutualisme Bahasa Indonesia dan pergerakan nasional kemudian direspon oleh pemerintah kolonial
dengan membuat aturan hukum persdelict, yang intinya penguasa bisa melakukan kriminalisasi atas
jurnalis dan media yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan negara kolonial.

Pada masa penjajahan Jepang, derajat bahasa Indoenesia dinaikkan sebagai bahasa resmi dalam
birokrasi menggantikan Bahasa Belanda. Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi di sekolah-
sekolah dan perkantoran. Pada masa Revolusi 1945-1949, bahasa Indonesia menjadi bahasa perlawanan
dan ekspresi menolak kedatangan Belanda. Karena itu di era revolusi kemerdekaan, bahasa Indonesia
menjadi bahasa anak muda dan pemberontakan.

Bahasa Persatuan

Sejak awal pembentukannya, Bahasa Indonesia menunjukan proses sosial, budaya, dan politik yang
menjadi sikap bersama sebagai bangsa Indonesia. Karena itu Bahasa Indonesia juga dapat dianggap
sebagai cerminan sikap kebangsaan untuk memajukan Bhineka Tunggal Ika. Sebagai sebuah produk
sosial-budaya yang bhineka, Bahasa Indonesia mempunyai beberapa karakter.

Pertama, bersifat inklusif dan terbuka. Berbagai bahasa daerah dan bahasa asing menjadi bahasa
serapan dan kemudian menjadi Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menunjukan proses komunikasi dan
pergaulan masyarakat yang inklusif, termasuk pergaulan dengan bangsa lain. Karena itu, ide “pemurnian
bahasa’’ bertentangan dengan prinsip inklusif yang menjadi roh dari Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia
menjadi bahasa yang hidup karena inklusivismenya.

Kedua, bersifat pluralis. Menerima perbedaan dan keragaman sebagai sebuah kekayaan bangsa. Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sebuah cerminan dari Bhineka Tungal Ika—keberagaman yang
menjadi legasi bangsa. Bahasa Indonesia akan terus berkembang karena pluralisme menjadi roh dari
bahasa tersebut. Tanpa plurlisme Bahasa Indonesia ibarat badan tanpa jiwa.

Ketiga, bersifat demokratis dan egaliter. Semua orang dari berbagai status sosial, latar belakang, suku dan
agama dapat berkomunikasi langsung dengan menggunakan bahasa yang sama. Tidak ada hirarki sosial
dalam penggunan Bahasa Indonesia. Karena itu Bahasa Indonesia dengan cepat dapat menjadi “bahasa
kemanusiaan” dimana semua manusia menjadi setara dihadapan Bahasa Indonesia.

Keempat, bersifat pemersatu bangsa. Bahasa Indonesia kehadirannya dapat diterima disemua daerah,
wilayah, lintas agama dan lintas etnis, orang desa dan orang kota, perempuan maupun laki-laki.
Kehadiranya sebagai pemersatu sudah berumur lebih tua dari Republik Indonesia sendiri. Dengan
karakter tersebut maka sikap anti pluralis, anti inklusivitas, anti kesetaraan dan pemecah belah persatuan
bangsa, dapat dianggap ancaman bagi keberlanjutan bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, inklusivisme, egalitarisme dan pluralisme yang melekat pada Bahasa di Indonesia perlu
dikelola untuk kebutuhan pembangunan sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia. Kebijakan
memasukkan Bahasa Indonesia, bahasa daerah dan bahasa asing dalam pendidikan harus dapat
meningkatkan peran bahasa Indonesia sebagai peneguh identitas bangsa yang menyatukan
keberagaman suku bangsa di Indonesia.

*Sumber artikel https://www.intisarinews.co.id/bahasa-sebagai-pemersatu-bangsa/

**Penulis adalah Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden

Anda mungkin juga menyukai