Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stroke merupakan tanda-tanda klinis yang berkembang akibat gangguan
fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama
24 jam atau lebih, yang dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab
lain selain vaskuler (Mudaliar, Mohanraj Rathinavelu, dkk, 2018). Stroke
juga merupakan penyakit disfungsi neurologis akut yang terjadi secara
mendadak dan menimbulkan gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah otak
yang terganggu (Bariroh et al, 2016).

Menurut World Health Organization (2018) dari 10 penyakit tertinggi


penyebab kematian, stroke merupakan posisi ke 2 teratas penyakit penyebab
kematian didunia. Berdasarkan data diketahui 56,9 juta kematian di seluruh
dunia pada tahun 2016, lebih dari setengahnya (54%) disebabkan oleh 10
penyebab utama. Penyakit jantung iskemik dan stroke adalah pembunuh
terbesar di dunia, bertanggung jawab atas 15,2 juta kematian gabungan pada
2016. Penyakit-penyakit ini tetap menjadi penyebab utama kematian secara
global dalam 15 tahun terakhir.

Di negara ASEAN penyakit stroke juga merupakan masalah kesehatan utama


yang menyebabkan kematian. Dari data National Center for Biotechnology
Information (NCBI) menyatakan bahwa angka kematian stroke terbesar
terjadi di Indonesia yaitu (193,3/100.000) yang kemudian diikuti secara
berurutan oleh Myanmar (165,4/100.000), Laos (141,3/100.000), Kamboja
(137,8/100.000), Vietnam (124,5/100.000), Timor Leste (117,3/100.000),
Filipina (109,6/100.000), Malaysia (84,3/100.000), Brunei (68,6/100.000),
Thailand (62,8/100.000), Papua Nugini (56,04/100.000), dan Singapura
(47,9/100.000) (Venketasubramanian, Navarro, dkk, 2017).

1
2

Hasil analisis data di Indonesia menunjukkan prevalensi stroke berdasarkan


diagnosis pada penduduk ≥ 15 tahun menurut setiap provinsi bahwasanya
urutan ke-1 tertinggi adalah Kalimantan Timur sebanyak 14,7% pada tahun
2018. Diurutan ke-2 Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 14,5% lalu
diurutan ke-3 yaitu Sulawesi Utara sebanyak 14,3%. Sumatera Utara
merupakan urutan ke-23 dari urutan stroke di Indonesia, yang tercatat terjadi
peningkatan prevalensi dari 6,3% di tahun 2013 menjadi 8,3% di tahun 2018
(Riskesdas, 2018).

Golden time (waktu emas) penanganan pasien stroke, terutama stroke iskemik
adalah 3 jam sejak terjadi serangan. Waktu ini akan dipergunakan untuk
mengoreksi sumbatan yang terjadi di otak. Pemeriksaan dini yang dapat kita
lakukan untuk melihat gejala stroke adalah dengan FAST (Face, Arms, Speech,
Time). Segera diperhatikan wajah pasien apakah ada yang tertarik sebelah
(tidak simetris), meminta pasien mengangkat tangan, berbicara, serta
memperhatikan kapan dimulainya serangan itu Apabila masalah pada
pemerikaan FAST, maka selanjutnya harus segera menghubungi petugas
kesehatan untuk mengirim pasien ke sarana kesehatan (Batubara, 2015).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa intervensi awal stroke iskemik akut


sangat efektif ketika diberikan dalam waktu 3-5 jam setelah serangan.
Efektifitas dari intervensi tersebut akan semakin menurun dengan semakin
lamanya awal tindakan diberikan dari onset stroke. Keberhasilan tindakan dan
peningkatan outcome sangat bergantung terhadap upaya meminimalkan
keterlambatan untuk segera datang ke instalasi gawat darurat (Rachmawati,
dkk, 2017).

Penyebab stroke itu sendiri dikarenakan gangguan suplai darah di otak,


biasanya terjadi karena pecahnya pembuluh darah atau sumbatan oleh
gumpalan darah. Hal ini menyebabkan gangguan sediaan oksigen dan nutrisi
di otak sehingga terjadinya kerusakan jaringan otak dan akhirnya dapat
berujung dengan kematian. Efek dari stroke itu bergantung pada bagian otak
3

mana yang mengalami kerusakan dan tingkat keparahan dari kerusakan sel
otak tersebut (WHO, 2019).

Kerusakan sel-sel otak pada stroke menyebabkan kecacatan fungsi kognitif,


sensorik, maupun motorik sehingga menghambat kemampuan fungsional
mulai dari aktivitas gerak hingga berkomunikasi dengan orang sekitar secara
normal sehingga penderita stroke kehilangan produktivitasnya dan harus
mengeluarkan biaya yang besar untuk perawatan rehabilitasi (Bariroh et al.,
2016). Kerusakan fisik yang terjadi akibat stroke membutuhkan waktu yang
lama dan sangat membebankan secara ekonomi dan sosial (Mardhiah, 2015).
Sekitar 50% pasien pasca stroke mengalami kehilangan fungsi alat gerak
partial maupun komplit, 30% tidak mampu berjalan tanpa bantuan, 46%
mengalami gangguan kognitif, 26% mengalami ketergantungan dalam
melakukan aktifitas sehari-hari, 35% mengalami gejala depresi, dan 19%
afasia (McGuire et al., 2014).

Kondisi psikologis yang umum dialami oleh individu dengan stroke ini dapat
berupa labilitas emosional, bermusuhan, frustasi, dendam dan kurang
kerjasama serta adanya frustasi yang persisten, marah yang mengakibatkan
depresi (Masniah, 2017). Menurut Munir (2016) usia adalah determinan yang
mempengaruhi Post Stroke Depression (PSD. Penelitian yang dilakukan oleh
Hayulita & Sari (2014) mengemukakan bahwa depresi pada pasien stroke bisa
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Depresi pada pasien stroke dapat terjadi
sebagai akibat langsung dari proses infark otak atau dapat terjadi sebagai
reaksi akibat ketidakberdayaan maupun akibat dari kecacatan.

Kecacatan jangka panjang yang disebabkan oleh stroke merupakan masalah


yang umum terjadi di semua negara dan kejadiannya meningkat secara
signifikan, terutama pada usia lanjut. Kasus stroke tertinggi adalah usia 75
tahun keatas (43,1%) dan lebih banyak pria (7,1%) dibandingkan dengan
wanita (6,8%) (Riskesdas, 2013). Tingkat kecacatan fisik maupun mental pada
4

pasien stroke nantinya pasti akan mempengaruhi kualitas hidup pasien tersebut
(Bariroh et al., 2016).

Kualitas hidup dapat diartikan sebagai persepsi individu tentang posisi


mereka dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana
mereka tinggal, dan berkaitan dengan tujuan, harapan, standar, dan hal lain
yang menjadi perhatian individu. Pada dasarnya terdapat tiga hal yang
berperan menentukan kualitas hidup yaitu mobilitas, rasa nyeri dan kejiwaan,
depresi atau ansietas. Ketiga faktor tersebut dapat diukur secara obyektif dan
dinyatakan sebagai status kesehatan (WHO, 2019).

Kualitas hidup merupakan suatu yang bersifat subyektif dan aspek


multidimensi. Subyektifitas mengandung arti bahwa kualitas hidup hanya
dapat ditentukan dari sudut pandang pasien itu sendiri (Setiyawan, dkk, 2015).
Sedangkan aspek multidimensi bermakna bahwa kualitas hidup dipandang
dari seluruh aspek kehidupan seseorang secara holistik yakni kesehatan fisik,
kesejahteraan psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, hubungan
dengan lingkungan dan keadaan spiritual (WHO, 2019).

Hasil penelitian(Masniah, 2017)menunjukkan bahwa ada 5 tema Kualitas


Hidup Pada Pasien Pasca Stroke yaitu perubahan kemampuan diri, dampak
psikososialspritual, perubahan kualitas hidup, dukungan kesembuhan, upaya
mencari bantuan pelayanan kesehatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pasien pasca stroke mengalami gangguan fisik dan fungsional tubuh yang
bersifat jangka panjang dan menimbulkan gangguan respon psikologis, sosial
maupun spiritualnya yang mempengaruhi perubahan kualitas hidupnya

Dari penjelasan diatas kiranya perlu dilakukan eksplorasi pada pasien stroke
yang mencakup 6 dimensi yaitu dimensi kesehatan fisik berupa aktivitas
sehari-hari, ketergantungan pada obat dan alat ketergantungan medis,
kelelahan, rasa sakit dan tidak nyaman, tidur dan istirahatlah. Eksplorasi pada
dimensi psikologis, diantaranya tentang penampilan dan citra tubuh, perasaan
5

negatif, perasaan positif, harga diri, berpikir, belajar, memori dan konsentrasi.
Dari dimensi tingkat kemandirian, mencakup mobilitas, aktivitas hidup sehari-
hari, ketergantungan pada bahan obat dan bantuan medis serta kapasitas kerja.
Dimensi hubungan sosial, meliputi hubungan personal, dukungan sosial dan
aktivitas seksual. Dimensi hubungan dengan lingkungan mencakup sumber
finansial,kebebasan, keamanan dan keselamatan fisik, perawatan kesehatan
dan sosial, partisispasi dan rekreasi, lingkungan fisik dan transportasi. Dan
yang terakhir dimensi spiritual mencakup keyakinan beragama (WHO, 2019).

Selain dari segi kualitas hidup pasien stroke juga mengalami gangguan pada
kualitas tidur. Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya hubungan
antara gangguan tidur sedang sampai berat yang terjadi pada pasien stroke,
yang mana hubungan ini tidak dipengaruhi faktor perancu lainnya. Gangguan
tidur ini dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk tergantung pada defisit
neurologik spesifik yang ditimbulkan seperti obstructive sleep apnea
syndrome (OSAS) dan nocturnal oxygen desaturation merupakan gangguan
tidur yang paling banyak ditemukan pada stroke akut (Sekeon & Kembuan,
2015). Penelitian oleh Bariroh (2016) tentang Kualitas Hidup Berdasarkan
Karakteristik Pasien Pasca Stroke, mengatakan bahwa proporsi terbesar dari
responden yang mempunyai nilai kualitas hidup buruk adalah kelompok umur
lansia (≥55tahun) yaitu sebesar 67,7%, jenis kelamin pria sebesar 52,1%,
tidak bekerja yaitu sebesar 58,5%, dan menderita stroke non hemoragik yaitu
sebesar 52,6%.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 15 Maret
2019 di UPT. Lansia kota Binjai, didapat bahwa jumlah lansia yang ada di
tempat tersebut ada 167 orang dengan jumlah lansia dengan stroke ada 20
orang yaitu 12 laki-laki dan 8 perempuan. Hasil wawancara dan pengamatan
kepada partisipan di UPT. Lansia kota Binjai, lansia tersebut mengungkapkan
bahwa aktivitas mereka sehari-hari mengalami kesulitan sehingga dibantu
oleh ibu asuh disiang hari dan dibantu oleh temannya satu wisma bila malam
hari. Keseharian mereka hanya didalam wisma saja tidak keluar karena
6

keterbatasan gerak. Mereka juga mengatakan mengalami kesulitan saat


ibadah, sehingga kebanyakan dari mereka melakukan ibadah di ruangan saja
tidak kerumah ibadah.

Jika ditinjau kembali prevelansi jumlah kasus stoke yang setiap tahun
semakin meningkat dikarenakan berbagai macam faktor penyebab, serta
perlunya diketahui bagaimana sebenarnya kualitas hidup pasien dengan
stroke karena akan sangat mempengaruhi keefektifan program terapi yang
akan dijalankan. Berdasarkan fenomena diatas maka perlu diadakan
penelitian untuk mengeksplorasi Perspektif Multidimensi Quality Of Life
Pasien Stroke Di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dinas Sosial Binjai.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, penulis ingin mengeksplorasi bagaimana
Perspektif Multidimensi Quality Of Life Pasien Stroke Di UPT. Pelayanan
Sosial Lanjut Usia Dinas Sosial Binjai Provinsi Sumatera Utara ?

1.3 Tujuan Penelitian


a. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi mengenai
Perspektif Multidimensi Quality Of Life Pasien Stroke Di UPT.
Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dinas Sosial Binjai Provinsi Sumatera
Utara.
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah memperoleh gambaran
tentang :
1. Mengeksplorasi aspek dimensi fisik kualitas hidup pasien stroke
2. Mengeksplorasi aspek dimensi psikologis kualitas hidup pasien
stroke
3. Mengeksplorasi aspek dimensi tingkat kemandirian kualitas
hidup pasien stroke
4. Mengeksplorasi aspek dimensi sosial kualitas hidup pasien stroke
7

5. Mengeksplorasi aspek dimensi lingkungan kualitas hidup pasien


stroke
6. Mengeksplorasi aspek dimensi spritual kualitas hidup pasien
stroke

1.4 Manfaat Penelitian


a. Bagi Responden
Sebagai bahan informasi, menambah wawasan serta pengalaman bagi
pasien stroke dan memahami dimensi yang berhubungan dengan
kualitas hidup mereka.
b. Bagi Masyarakat
Sebagai bahan informasi tentang pasien stroke dan multidimensi dari
kualitas hidupnya.
c. Bagi Institusi
Sebagai bahan masukan di Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dinas Sosial
Binjai Provinsi tentang bagaimana aspek multidimensi untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan stroke.
d. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk
penelitian selanjutnya khususnya dalam penelitian Quality Of Life
Pasien Stroke sebagai bahan referensi ataupun informasi yang erat
kaitanya dengan penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai