Anda di halaman 1dari 47

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................iii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS............................................................................3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................16
BAB IV ANALISIS KASUS............................................................................40
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................43

1
BAB I
PENDAHULAN

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun


kronis yang belum kompleks ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap inti
sel dan melibatkan banyak sistem organ dalam tubuh. Penyebab SLE diduga
melibatkan interaksi yang komples dan multifaktorial antara variasi genetik dan
faktor lingkungan.1SLE atau lupus awalnya berupa kelainan kulit di daerah wajah
berupa kemerahan, nyeri sendi dan rambut rontok. 2,3 Dalam perkembangannya
ternyata penyakit lupus tidak hanya mengenai kulit wajah saja tetapi juga dapat
menyerang hampir seluruh organ tubuh diantaranya sendi, ginjal, otak, dan sel-sel
darah. Lupus diperantarai oleh suatu system imun atau kekebalan, dimana system
imun ini menyerang tubuhnya sendiri disebut sebagai penyakit autoimun.4,5
Anemia hemolitik autoimun (autoimmune hemolytic anemia atau AIHA)
adalah suatu kelainan dimana terdapat antibodi dari individu tersebut
(autoantibodi) terhadap eritrosit sehingga eritrosit mudah hancur (lisis) dan
umurnya memendek (kurang dari 100 hari).6Anemia hemolitik autoimun sangat
sering terjadi secara tiba-tiba dan secara drastis dapat menurunkan kadar
hemoglobin; penghancuran eritrosit yang masif tersebut dapat menimbulkan
ikterus; dan terkadang lien membesar. Jika tiga gejala tadi (trias) ditemukan maka
kecurigaan terhadap anemia hemolitik autoimun sangatlah tinggi.7
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,
dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:13. Belum terdapat data
epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di
RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari
total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di
RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10.5% dari total pasien
yang berobat ke poliklinik reumatologi selama 2010.8

1
Insidens AIHA diperkirakan sebesar 1-3 per 10 5/tahun dan prevalensinya
sebesar 17 : 100.000.Secara klinis, AIHA dapat idiopatik/primer (50% kasus) atau
sekunder karena sindrom limfoproliferatif (20%), penyakit autoimun (20%),
infeksi, dan tumor.9Menurutsebuah penelitian di RSUP dr. Cipto Mangunkusumo
pada tahun 2004 sampai 2008 didapatkan 50 pasien menderita AIHA dengan 92%
diantaranya menderita AIHA tipe hangat, 6% AIHA tipe dingin dan 2% AIHA tipe
campuran. Etiologi AIHA tipe hangat adalah idiopatik atau primer (54,3%) dan
etiologi sekunder adalah Lupus Eritematosus Sistemik/LES (41,3%), hepatitis
autoimun (2,2%) dan leukimia limfositik kronik (2,2%). Etiologi AIHA tipe
dingin adalah idopatik atau primer (66,7%) dan mieloma multiple (33,3%).10
Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi, berdasarkan
data yang diperoleh dari RSCM dari tahun 1990-2002 diperoleh angka kematian
pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada
tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan
infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan
dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis.8
SLE manifestasi anemia hemolitik autoimun merupakan kasus SLE
derajat berat dan dapat mengancam jiwa pasien sehingga memerlukan diagnosis
yang tepat dan penanganan yang cepat.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi Pasien

2.2 Nama : Ny. HS


Umur : 23 Tahun
Alamat : Jabi – jabi Sultan Daulat, Kota Subulussalam
Suku : Pak – pak
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
MRS : 9 Januari 2019 Pukul 09. 30 WIB
No. RM : 04 89 52
Anamnesis
Informasi diperoleh secara autoanamnesis dari pasien dan alloanamnesis
dari keluarga pasien

Keluhan Utama:
Os mengeluh badan semakin lemas sejak 3 bulan ini

Riwayat Perjalanan Penyakit:


Os datang diantar oleh keluarganya ke RSUD Kota Subulussalam dengan
keluhan badan terasa lemas sejak kira – kira 3 bulan ini dan memberat beberapa
hari ini. Awalnya Os mengatakan badannya sulit untuk digerakkan dan nyeri –
nyeri pada semua sendi – sendi tulangnya. Kemudian setelah itu badannya
semakin lemas dan sulit untuk bergerak bahkan sekarang Os hanya bisa berbaring
ditempat tidur dan sulit untuk duduk.
Os juga mengeluhkan timbul ruam – ruam berwarna hitam di kulitnya hampir
diseluruh tubuh. Ruam awalnya berwarna merah dan lama – kelamaan
menghitam. Os juga mengaku jika rambutnya rontok beberapa bulan ini,
pandangannya terasa kabur, kepala pusing, wajah pucat, mata kuning, nyeri perut,

3
muncul sariawan pada mulutnya yang membuat Os sulit untuk menelan dan Os
juga mengeluh demam sejak beberapa hari ini. Demam dirasakan naik turun.
Keluhan lain yang di rasakan Os mengeluhkan terdapat luka pada daerah kedua
lipat paha nya yang dirasakan sejak 3 bulan ini. Awalnya luka kecil terlihat seperti
terkena air panas namun lama –kelamaan luka pecah dan membesar sampai saat
ini.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Riwayat penyakit yang sama pada keluarga disangkal

Riwayat Pengobatan
Tidak ada

Status Sosial Ekonomi dan Gizi:


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga

Pasien makan 3 kali sehari tidak teratur, nafsu makan menurun saat sakit,
dengan variasi nasi, ikan, sayur, ayam. Pasien jarang makan daging dan buah-
buahan.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/90 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler

4
Pernafasan : 20 x/menit, reguler, tipe pernafasan thorako-
abdominal
Suhu : 39 oC
Berat Badan : 38 kg
VAS score : 4

Pemeriksaan Khusus
Kepala : Normochepali, warna rambut hitam kemerahan, rambut licin
dan mudah dicabut, alopesia (+), malar rash (+), ulserasi oral
(+), cheilitis (-), atrofi papil lidah (-)
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (+/+)
Hidung : Deviasi septum nasal (-), sekret (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks : Memar (-), venektasi (-)
Kulit : Tampak ruam makula hiperpigmentasi, krusta (+)

Pulmo (Anterior)
Inspeksi : Statis simetris, dinamis kanan = kiri, retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, nyeri ketok (-/-), batas paru
hepar ICS V, peranjakan 1 sela iga
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Pulmo (Posterior)
Inspeksi : Statis simetris, dinamis kanan = kiri, retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, nyeri ketok (-/-)
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas ICS II line parasternalis sinistra
Batas jantung kanan ICS V linea sternalis dextra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Soepel, venektasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

5
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (+) epigastrium, hepar teraba 2 jari dibawah
arcus costae dengan tepi tajam, permukaan rata, konsistensi
kenyal dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani, shifting dullness (+), Asites (+)

Ekstremitas
Atas : Palmar pucat (+), palmar eritema (-), deformitas (-)
Bawah : Plantar pucat (+), akral hangat (+), edema pretibia (+),
deformitas (-), tampak ulcus bilateral di regio inguinal

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Tanggal 09 Januari 2019
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai
rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 5,8 g/dL 13,2-17,3
Leukosit 5,1 103/µL 4.5-11
Eritrosit 1,87 106/µL 4.2-4.87
Trombosit 88 103/µL 150-450
Hematokrit 18,7 % 37,0 – 49,0
MCV 100,4 Fl 82,0 – 95,0
MCH 31,0 Pg 27,0 – 31,0
MCHC 31,0 g/dl 32,0 – 36,0

IMUNOSEROLOGI
HbsAg Negatif
Anti HIV Negatif
Metabolisme Karbohidrat
KGD ad
random 97

6
2.5 Diagnosis Banding
- Idiopatik trombositopenia idiopatik + Ulcus Inguinal Bilateral
- Sindrom Steven Johnson + Ulcus Inguinal Bilateral

6 Diagnosis Sementara
- SLE Flare + Ulcus Inguinal Bilateral

7 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad malam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam

8 Rencana pemeriksaan
- Rujuk untuk pemeriksaan ANA Test dan Anti-dsDNA

9 Tatalaksana
Non Farmakologi: Farmakologi:
- Istirahat - IVFD Asering s/s Aminofluid 20 ggt/i
- Diet bubur biasa - Inj Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
- Edukasi - Inj Ranitidin 1 amp/12 jam
- Tutup luka dengan verban
- Rencana transfusi PRC 2 kolf (1 kolf / 24 jam)
dengan Premedikasi – inj furosemid dan Inj
dexametasone sebelum dan sesudah tranfusi darah

2.10 Follow Up
Tanggal 09 Januari 2019
S Demam (+)

7
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 120/90 mmHg
Nadi 82 x/menit
Pernapasan 20 x/ menit
Temperatur 39,0oC
VAS Score 4

A SLE Flare + Ulcus Inguinal Bilateral


P Tunda transfusi
- Drip paracetamol 1 fls (ekstra)

Tanggal 10 Januari 2019


S Badan lemas(+), nyeri kepala (+), nyeri pada
luka (+), rambut rontok (+), nyeri pada mulut (+)
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 120/80 mmHg
Nadi 82 x/menit
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 37,1oC
VAS Score 4

Keadaan spesifik
Kepala Rambut hitam kemerahan, mudah dicabut,
alopesia (+), malar rash (+), Konjungtiva
palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (+/+), atrofi
papil lidah (-), sariawan (+),

Thorax:
Paru Inspeksi: Simetris kanan = kiri
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)

Abdomen Inspeksi: Soepel, venektasi (-), makula


hiperpigmentasi
Palpasi: Soepel, hepar teraba 2 jari di bawah
arcus costae dan lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium (-), nyeri tekan suprapubik (-),

8
ballottement (-)
Perkusi: Timpani, Ascites (+)
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Genitalia Tidak diperiksa

Ekstremitas Akral hangat (+), palmar pucat (+), edema(+)


Tampak ulcus di regio inguinalis bilateral

A SLE Flare + Ulcus Inguinal Bilateral


P Non Farmakologis
 Istirahat
 Diet bubur biasa
 Edukasi

Farmakologis
 IVFD Asering s/s Aminofluid 20 gtt/i
 Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Inj Ranitidin 1 amp/12 jam
 Drip Paracetamol 1 fls (ekstra)
 Ganti verban pada luka
 Transfusi PRC 2 kolf (1 kolf / 12 jam)
dengan Premedikasi – inj furosemid dan Inj
dexametasone sebelum dan sesudah tranfusi
darah
Plan : Cek darah rutin post transfusi, faal
hati, ureum dan kreatinin, urinalisa

Tanggal 11 Januari 2019


S Badan lemas(+), nyeri kepala (+), nyeri pada
luka (+), rambut rontok (+), nyeri pada mulut (+)
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 100/60 mmHg
Nadi 78 x/menit
Pernapasan 20 x/ menit
Temperatur 36,5 oC
VAS Score 4

Keadaan spesifik
Kepala Rambut hitam kemerahan, mudah dicabut,
alopesia (+), malar rash (+), Konjungtiva
palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (+/+), atrofi
papil lidah (-), sariawan (+),

9
Thorax:
Paru Inspeksi: Simetris kanan = kiri
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)

Abdomen Inspeksi: Soepel, venektasi (-), makula


hiperpigmentasi
Palpasi: Soepel, hepar teraba 2 jari di bawah
arcus costae dan lien tidak teraba, nyeri
tekanepigastrium (-), nyeri tekan suprapubik (-),
ballottement (-)
Perkusi: Timpani, Ascites (+)
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Genitalia Tidak diperiksa

Ekstremitas Akral hangat (+), palmar pucat (+), edema(+)


Tampak ulcus di regio inguinalis bilateral

Pemeriksaan urine Warna  kuning pekat


rutin pH  6,0
BJ 1025
Nitrit  neg
Keton  neg
Darah  neg
Protein  neg
Glucosa  neg
Bilirubin  neg
Urobilin  pos

Sedimen urine
Eritrosit  0 -1
Leukosit  1-2
Epitel  gepeng
Kristal  neg
Silinder  neg
Jamur  neg

A SLE Flare + Ulcus Inguinal Bilateral


P Non Farmakologis

10
 Istirahat
 Diet bubur biasa
 Edukasi

Farmakologis
 IVFD Asering s/s Aminofluid 20 gtt/i
 Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Drip Paracetamol 1 fls (ekstra)
 Inj Metilprednisolone 6,2 mg/8 jam
 Inj Omeprazole 1 vial/12 jam
 Asam folat 2 x 1 tab
 Urdafalk 2 x 1 tab
 Ganti verban pada luka

Plan : Cek darah rutin ulang

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 11/01/2019


Pemeriksaan Hasil Unit Nilai
rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 11,7 g/dL 13,2-17,3
Leukosit 8,4 103/µL 4.5-11
Eritrosit 3,66 106/µL 4.2-4.87
Trombosit 114 103/µL 150-450
Hematokrit 32,2 % 37,0 – 49,0
MCV 88,2 Fl 82,0 – 95,0
MCH 31,9 Pg 27,0 – 31,0
MCHC 36,3 g/dl 32,0 – 36,0
KIMIA KLINIK
FAAL HATI (11/01/2019)
SGOT 146 mg/dL 0-32
SGPT 21 mg/dL 0-31
Bilirubin total 6,01 mg/dl 0-1,2
Bilirubin direct 1,99 mg/dl 0-0,4

11
Pemeriksaan USG tanggal 11/01/2019

Kesimpulan : Asites minimal, Hepatomegali


Ren : batas korteks dan medulla tidak berbatas tegas

Tanggal 12 Januari 2019


S Badan lemas(+), nyeri kepala (+), nyeri pada
luka (+), rambut rontok (+), nyeri pada mulut
(+), perut terasa kembung (+)
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 120/70 mmHg
Nadi 76 x/menit
Pernapasan 20 x/ menit
Temperatur 36,6 oC
VAS Score 4

12
Keadaan spesifik
Kepala Rambut hitam kemerahan, mudah dicabut,
alopesia (+), malar rash (+), Konjungtiva
palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (+/+), atrofi
papil lidah (-), sariawan (+),

Thorax:
Paru Inspeksi: Simetris kanan = kiri
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)

Abdomen Inspeksi: Soepel, venektasi (-), makula


hiperpigmentasi
Palpasi: Soepel, hepar teraba 2 jari di bawah
arcus costae dan lien tidak teraba, nyeri
tekanepigastrium (-), nyeri tekan suprapubik (-),
ballottement (-)
Perkusi: Timpani, Ascites (+)
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Genitalia Tidak diperiksa

Ekstremitas Akral hangat (+), palmar pucat (+), edema(+)


Tampak ulcus di regio inguinalis bilateral

A SLE Flare + Ulcus Inguinal Bilateral


P Non Farmakologis
 Istirahat
 Diet bubur biasa
 Edukasi

Farmakologis
 IVFD Asering s/s Aminofluid 20 gtt/i
 Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Inj Metilprednisolone 62,5 mg/8 jam
 Inj Omeprazole 1 vial/12 jam
 Drip Paracetamol 1 fls (ekstra)
 Asam folat 2 x 1 tab
 Urdafalk 2 x 1 tab
 Ganti verban pada luka

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 12/01/2019

13
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai
rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 9,5 g/dL 13,2-17,3
Leukosit 5,5 103/µL 4.5-11
Eritrosit 2,96 106/µL 4.2-4.87
Trombosit 93 103/µL 150-450
Hematokrit 26,1 % 37,0 – 49,0
MCV 88,4 Fl 82,0 – 95,0
MCH 32,0 Pg 27,0 – 31,0
MCHC 36,6 g/dl 32,0 – 36,0

Tanggal 13 Januari 2019


S Badan lemas(+), nyeri kepala (+), nyeri pada
luka (+), rambut rontok (+), nyeri pada mulut
(+), perut terasa kembung (+)
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 130/70 mmHg
Nadi 80 x/menit
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 36,0 oC
VAS Score 4

Keadaan spesifik
Kepala Rambut hitam kemerahan, mudah dicabut,
alopesia (+), malar rash (+), Konjungtiva
palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (+/+), atrofi
papil lidah (-), sariawan (+),

Thorax: Inspeksi: Simetris kanan = kiri


Paru Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)

Inspeksi: Soepel, venektasi (-), makula


Abdomen hiperpigmentasi
Palpasi: Soepel, hepar teraba 2 jari di bawah
arcus costae dan lien tidak teraba, nyeri
tekanepigastrium (-), nyeri tekan suprapubik (-),
ballottement (-)
Perkusi: Timpani, Ascites (+)

14
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Genitalia Tidak diperiksa

Ekstremitas Akral hangat (+), palmar pucat (+), edema(+)


Tampak ulcus di regio inguinalis bilateral

A SLE Flare + Ulcus Inguinal Bilateral


P Non Farmakologis
 Istirahat
 Diet bubur biasa
 Edukasi

Farmakologis
 IVFD Asering s/s Aminofluid 20 gtt/i
 Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Inj Metilprednisolone 62,5 mg/8 jam
 Inj Omeprazole 1 vial/12 jam
 Drip Paracetamol 1 fls (ekstra)
 Asam folat 2 x 1 tab
 Urdafalk 2 x 1 tab
 Nucral syr 3 x C1
 Cetirizin 1 x 1
 Ganti verban pada luka

Tanggal 14 Januari 2019


S Badan lemas(+), nyeri pada luka (+), rambut
rontok (+), nyeri pada mulut (+), perut terasa
kembung (+)
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 110/70 mmHg
Nadi 82 x/menit
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 36,0 oC
VAS Score 4

Keadaan spesifik Rambut hitam kemerahan, mudah dicabut,


Kepala alopesia (+), malar rash (+), Konjungtiva
palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (+/+), atrofi
papil lidah (-), sariawan (+),

15
Thorax: Inspeksi: Simetris kanan = kiri
Paru Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)

Abdomen Inspeksi: Soepel, venektasi (-), makula


hiperpigmentasi
Palpasi: Soepel, hepar teraba 2 jari di bawah
arcus costae dan lien tidak teraba, nyeri
tekanepigastrium (-), nyeri tekan suprapubik (-),
ballottement (-)
Perkusi: Timpani, Ascites (+)
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Genitalia Tidak diperiksa

Ekstremitas Akral hangat (+), palmar pucat (+), edema(+)


Tampak ulcus di regio inguinalis bilateral

A SLE Flare + Ulcus Inguinal Bilateral


P Non Farmakologis
 Istirahat
 Diet bubur biasa
 Edukasi

Farmakologis
 IVFD Asering 20 gtt/i
 Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Inj Metilprednisolone 62,5 mg/8 jam
 Inj Omeprazole 1 vial/12 jam
 Asam folat 2 x 1 tab
 Urdafalk 2 x 1 tab
 Nucral syr 3 x C1
 Cetirizin 1 x 1
 Drip noralges 1 amp / 8 jam
 Inj furosemid 1 amp / 24 jam
 Ganti verban pada luka

Plan : Cek darah rutin, SGOT, SGPT,


Ureum dan Kreatinin

16
Tanggal 15 Januari 2019
S Badan lemas(+), nyeri pada luka (+), rambut
rontok (+), nyeri pada mulut (+), perut terasa
kembung (+), BAB berdarah (+)
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 100/70 mmHg
Nadi 80 x/menit
Pernapasan 24 x/ menit
Temperatur 36,0 oC
VAS Score 4

Keadaan spesifik Rambut hitam kemerahan, mudah dicabut,


Kepala alopesia (+), malar rash (+), Konjungtiva
palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (+/+), atrofi
papil lidah (-), sariawan (+),

Thorax: Inspeksi: Simetris kanan = kiri


Paru Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)

Abdomen Inspeksi: Soepel, venektasi (-), makula


hiperpigmentasi
Palpasi: Soepel, hepar teraba 2 jari di bawah
arcus costae dan lien tidak teraba, nyeri
tekanepigastrium (-), nyeri tekan suprapubik (-),
ballottement (-)
Perkusi: Timpani, Ascites (+)
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Genitalia Tidak diperiksa

Ekstremitas Akral hangat (+), palmar pucat (+), edema(+)


Tampak ulcus di regio inguinalis bilateral

A SLE Flare + Ulcus Inguinal Bilateral


P Non Farmakologis
 Istirahat
 Diet bubur biasa
 Edukasi

17
Farmakologis
 IVFD Asering 20 gtt/i
 Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Inj Metilprednisolone 62,5 mg/8 jam
 Inj Omeprazole 1 vial/12 jam
 Asam folat 2 x 1 tab
 Urdafalk 2 x 1 tab
 Nucral syr 3 x C1
 Cetirizin 1 x 1
 Drip noralges 1 amp / 8 jam
 Inj furosemid 1 amp / 24 jam
 Kalnex 2 x 500 mg
 Ganti verban pada luka

Pemeriksaan Hasil Unit Nilai


rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 9,4 g/dL 13,2-17,3
Leukosit 6,0 103/µL 4.5-11
Eritrosit 3,01 106/µL 4.2-4.87
Trombosit 126 103/µL 150-450
Hematokrit 26,4 % 37,0 – 49,0
MCV 87,8 Fl 82,0 – 95,0
MCH 31,2 Pg 27,0 – 31,0
MCHC 35,6 g/dl 32,0 – 36,0
KIMIA KLINIK
FAAL HATI (11/01/2019)
SGOT 152 mg/dL 0-32
SGPT 29 mg/dL 0-31
FAAL GINJAL
Ureum 52,7 mg/dL 16.6 - 48.5
Creatinin 1,10 mg/dL 0.5-0.9

PADA TANGGAL 15/01/2019 SORE HARI PASIEN PAPS

18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang
kompleks ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan
banyak sistem organ dalam tubuh.1

3.2 Etiologi
Etiologi LES meliputi komponen genetik dan lingkungan dengan jenis
kelamin perempuan sangat mempengaruhi patogenesis. Faktor-faktor ini

19
menyebabkan kerusakan permanen terhadap toleransi sistem imun yang
dimanifestasikan oleh respon imun terhadap inti sel antigen endogen.

3.3 Faktor Genetik


Saudara dari pasien LES memiliki kemungkinan 30 kali lebih berisiko
terkena LES dibandingkan dengan individu tanpa riwayat keluarga penderita LES.
Tingkat penemuan gen pada LES telah meningkat selama beberapa tahun yang
lalu berkat penelitian genome-wide association studies (GWAS) menggunkan
ratusan ribu single nucleotide polymorphism (SNP). GWAS pada LES telah
menegaskan pentingnya gen yang terkait dengan respon imun dan peradangan
(HLA-DR, PTPN22, STAT4, TNFAIP3), perbaikan DNA (TREX1), penyatuan sel
inflamasi dengan endotelium (ITGAM), dan respon jaringan terhadap jejas
(KLK1, KLK3). Penemuan ini menyatakan pentingnya Toll-like receptor (TLR)
dan interferon tipe 1 (IFN).

Beberapa lokus genetik dapat menjelaskan tidak hanya kerentanan


terhadap penyakit tetapi juga beratnya, contohnya STAT4, faktor risiko genetik
untuk rheumatoid arthritis dan LES dikaitkan dengan LES berat. Salah satu
komponen kunci dari jalur ini adalah TNFAIP3 yang telah terlibat setidaknya di
dalam enam gangguan autoimun, termasuk LES5.

3.4 Faktor Lingkungan


Pemicu LES dari lingkungan yaitu sinar ultraviolet, obat yang
mengandung dimetil, infeksi, virus endogen atau elemen yang mirip seperti virus.
Sinar matahari adalah faktor yang paling jelas yang dapat memperburuk LES.
Epstein-Barr Virus (EBV) telah diidentifikasi sebagai faktor yang mungkin dalam
mengembangkan LES. EBV dapat tinggal dan berinteraksi dengan sel B dan
menyebabkan interferon α (IFNα) diproduksi oleh plasmacytoid dendritic cells
(pDCs), menunjukkan bahwa peningkatan (IFNα) pada LES mungkin paling
sedikit pada bagian yang berhubungan pada penyimpangan dari infeksi virus
kronik yang terkontrol. Hal ini juga ditetapkan bahwa obat-obatan yang
menginduksi autoantibodi dalam sejumlah besar pasien, kebanyakan tidak

20
menunjukkan tanda-tanda dari penyakit yang berhubungan dengan autoantibodi.
Lebih dari 100 obat telah dilaporkan telah menjadi Drug Induced Lupus (DIL)
atau obat pemicu LES. Meskipun pathogenesis DIL belum dipahami dengan baik,
namun kecenderungan genetik mungkin berperan dalam kasus obat-obatan
tertentu, terutama agen yang dimetabolisme oleh asetilasi seperti procainamide
dan hydralazine, dengan penyakit yang cenderung berkembang pada pasien yang
memiliki asetilator yang lambat5.

3.5 Faktor Hormonal

Dalam model murin, penambahan estrogen dan prolaktin dapat


menyebabkan fenotip autoimun dengan peningkatan afinitas tinggi dari
autoreaktif sel B dewasa. Kontrasepsi oral yang digunakan pada Nurses Health
Study berhubungan dengan sedikit peningkatan pada risiko LES (risiko relative
1,9 dibandingkan dengan bukan pengguna kontrasepsi oral). Semua ini
menggerakan pertanyaan penting yang berkaitan dengan penggunaan estrogen
pada kontrasepsi oral atau sebagai terapi hormone pengganti saat masa pos-
menopause pada wanita. Saat semua ini jelas bahwa hormone dapat memicu
autoimun berkembang dalam model murin, penggunaan kontresepsi oral tidak
meningkatkan penyakit flares pada wanita dengan penyakit yang stabil (Sanchez-
Guerrero dkk, 2005). Kehamilan dapat menyebabkan dalam beberapa kasus
seperti Lupus flares, tetapi ini tidak berhubungan dengan meningkatnya estradiol
atau progesterone. Pada faktanya, tingkat dari hormone-hormon ini lebih rendah
pada trimester kedua dan ketiga pada pasien LES dibandingkan dengan kehamilan
pada wanita sehat5.

3.6 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama
didunia. Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering
ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat ditemukan

21
pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi).
Frekuensi pada wanita dibanding dengan pria berkisar antara 5,5-9 : 1.1
Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat
dirumah sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada
periode 1969-1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan.
Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan,
sedangkan di Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per 10.000 perawatan.1

3.7 Patogenesis

Sumber : Bertsias G dkk, 2012

Peningkatan jumlah endogen asam nukleat pemicu apoptosis


menstimulasi produksi IFNα dan mengeluarkan autoimunitas dengan merusak
toleransi diri melalui aktiavasi sel penyaji antigen (antigen-presenting cell).
Dalam LES semua hal mengacu kepada produksi asam nukleat dari IFNα.
Peningkatan produksi dari autoantigen saat apoptsis, mengurangnya pembuangan,
pengaturan deregulasi dan pemaparan adalah hal penting dalam inisiasi respon
autoantigen. Nukleosom yang mengandung ligan endogen berbahaya dapat
bergabung dengan pola reseptor mulekul patogen (yang berhubungan dengan
apoptosis) dapat memicu aktivasi sel dendrit, sel B, produksi IFN dan
autoantibodi secara berturut-turut. Reseptor sel basal seperti reseptor sel B dan
reseptor Fc IIa memfasilitasi endositosis dari asam amino yang mengandung
bahan atau kompleks imun dan penyatu reseptor endosomal dari imunitas asli
seperti Toll-like Receptors (TLRs). Pada stadium awal penyakit, saat autoantobodi

22
dan kompleks imun belum dibentuk, peptida antimikroba terlepas oleh jaringan
yang rusak dan penangkap netrofil ekstraseluler, yang nantinya bergabung dengan
asam nukleat menginhibisi degradasinya dan juga memfasilitasi endositosisnya
serta menstimulasi TLR-7/9 di dalam palsmasitoid sel dendrit. Penghancuran
sistem kekebalan tubuh menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah asam
nukleat endogen apoptosis memicu produksi dari IFN dan autoimun melalui
aktivasi dan pematangan dari sel dendrit sederhana (myeloid). Produksi dari
autoantibodi oleh sel B pada lupus di kendalikan oleh keberadaan dari antigen
endogen dan sangat besar tergantung pada sel T-helper, yang dimediasi oleh
interaksi sel basal (CD40L/CD40) dan sitokin (IL21)13.

3.8 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang
terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan
perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan
akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak
dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES
ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama
beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya
keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti
fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES.
1) Manifestasi konstitusional1
Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita
LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya, kelelahan
ini sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan kelelahan
seperti pada anemia, meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan, serta
pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh
aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar
C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons
terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi

23
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat badan
ini disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala
gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari
sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40 0C tanpa
adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya
tidak disertai menggigil.
2) Manifestasi Muskuloskeletal1
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling
sering terjadi pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi
berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artitis
dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali dianggap
sebagai manifestasi Artritis Rematoid karena keterlibatan sendi yang banyak
dan simetris. Pada LES tidak ditemukan adanya deformitas , kaku sendi yang
berlangsung beberapa menit dan sebagainya. Osteoporosis juga ditemukan
dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan terapi steroid.
3) Manifestasi Kulit9
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah
fotosensitivitas, butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia,
panikulitis, lesipsoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga
dapat ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud,
livedo retikularis, ulkus jari, gangren.
4) Manifestasi Paru9
Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa
radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi
pulmonal, atau perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut
dan berlanjut secara kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan
merasa sesak, batuk kering dan mulai dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini
sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah
paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan
respon baik terhadap pemberian streroid.

24
5) Manifestasi Kardiologis1,9
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial,
dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan
perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh
takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal
jantung.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan
bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung
kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia
muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka
panjang.
6) Manifestasi Renal1
Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak
sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai
keterlibatan ginjal pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal.
7) Manifestasi Gastrointestinal1,9
Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric
valkulitis, inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati.
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali,
peritonitis aseptik. Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT
harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis autoimun.
8) Manifestasi Hemopoetik9
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat
penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan
dan anemia hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80%
kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi.
Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-
mula menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali

25
kemudian berkembang menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES yang
lain.
9) Manifestasi Susunan Saraf9
Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa
migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan
tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab
terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama
tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus.
Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik
juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali
tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan
gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk
membedakan adanya infark atau perdarahan.

3.9 Penegakan Diagnosis


Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua)
atau lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu :
1) Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2) Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
3) Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4) Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana mukosa,
alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5) Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6) Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7) Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkhim paru.
8) Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9) Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali
10) Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia

26
11) Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis
transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

Diagnosis LES dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan


laboraturium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982,
mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4
kriteria, maka diagnosis LES dapat ditegakan (lihat tabel 1)

No Kriteria Batasan
1. Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada
daerah malar dan Cenderung tidak melibatkan lipat
nasolabial.
2. Ruam Plak eritema menonjol dengan keratotik dan
diskoid sumbatan folikular. Pada LES lanjut dapat
ditemukan parut atrofik
3. fotosensitivit Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal
as terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien
atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri
dan dilihat oleh dokter pemeriksa.
5. Artitritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih
sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau
efusia.
6. Serositis
a. Pleuritis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub
yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat
bukti efusi pleura.
b. Karditis
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium
7. Gangguan Proteinuria menetap > 0.5 gram per hari atau >3+
renal bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif. Atau
Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran
8. Gangguan Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
Neurologi atau gangguan misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak seimbangan elektrolit
Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau gangguan
Metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak seimbangan elektrolit.)
9. Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis. Atau
hematologi b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali

27
pemeriksaan atau lebih. Atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebih. Atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa
disebabkan oleh obat-obatan
10. Gangguan a. Anti -DNA: antibodi terhadap native DNA
imunologik dengan titer yang abnormal. Atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm. Atau
c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid
yang didasarkan atas :
1. kadar serum antibodi anti kardiolipin
abnormal baik IgG atau IgM,
2. Tes lupus anti koagulan positif
menggunakan metoda standard,
3. hasil tes serologi positif palsu terhadap sifi
lis sekurang- kurangnya selama 6 bulan
dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi
Treponema pallidum atau tes fluoresensi
absorpsi an•bodi treponema.
11. Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear
Anti nuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau
positif pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
(ANA) perjanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang
diketahui hubungan dengan sindroma lupu yang
diinduksi obat.

Bila didapatkan 4 kriteria dari 11 kriteria, maka bisa ditegakkan SLE


yang memiiki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3
kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan
diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif,
maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada maka belum tentu LES, dan observasi jangka
panjang diperlukan.

3.10 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia,

28
atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama
penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi,
ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain
itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya
Cast,heme granular atau sel darah merah pada urin.
 Pemeriksaan imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis LES adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes
ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala
mengarah pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang
positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada
beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupa
SLE misalnya infeksi krnis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya
Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis
autoimun) , keganasan atau pada orang normal. Jika hasil tes ANA
negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan
penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis dan
berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang
akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang
mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai
substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES umumnya
diagnosis LES dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif
adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-
dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan
ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan
tes spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan
spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti
menunjukkan diagnosis LES dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika
titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan

29
LES.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif
menunjang diagnosis LES sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya LES. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -
30% pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang
normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan dapat digunakan
untuk diagnosis LES. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk LES.
Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan
diagnosis.

3.11 Derajat Berat Ringannya Penyakit


Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES, terutama
menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan
pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan
ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES.
Penyakit LES dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam
11
nyawa :

1. Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah:


a. Secara klinis tenang
b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.
2. Kriteria LES Derajat Sedang adalah:
a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan
II) \
b. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
c. Serositis mayor

30
3. Kriteria LES derajat berat dan dapat membahayakan jiwa:
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri
koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.

3.12 Penatalaksanaan LES Secara Umum


 Edukasi12
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting
diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita LES, terutama pada
penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan
penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk
kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan
masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami
fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak
terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasihatkan untuk
selalu menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan
panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di
kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela. Selain
itu, penderita LES juga harus menghindari rokok.
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus
selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya,

31
terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi,
obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup
jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus
dipertimbangkan pada penderita LES yang akan menjalani prosedur
genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES,
terutama penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-
obat yang merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya
antimalaria atau dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan memiliki
risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas
penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan
dulu apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif,
atau imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita LES yang
tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan
organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam
nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan
pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan
imunosupresan lainnya.

 Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien
dengan LES tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu
hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30%
apabila pasien dengan LES dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama
lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan
terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan
diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik
seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa
nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula

32
modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation
(TENS) memberikan manfaatyang cukup besar pada pasien dengan
nyeri atau kekakuan otot.

 Terapi Konservatif
1
a) Athritis, athralgia dan myalgia
Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan
dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi
nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini
adalah efek sampingnya agar tidak memperberat keadaan umum
penderita. Efek samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan
ginjal haru diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kreatinin
serum secara berkala.
Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak
memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian
obat antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila
dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik,
harus segera distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau
hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi
oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap
retina.
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons
adekuat dengan analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau
obat antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid
dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi.
Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada penderita LES.
1
b) Lupus Kutaneus
Sekitar 70% penderita LES akan mengalami

33
fotosensitivitas. Eksaserbasi akut LES dapat timbul bila penderita
terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadang-
kadang juga sinar fluoresensi. Penderita fotosensitivitas harus
berlindung terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan
menggunakan baju pelindung, kaca jendela yang digelapkan,
menghindari paparan langsung dan menggunakan sunscreen.
Sebagian besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion atau
gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat
dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B.
Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau
berkeringat.
Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat
dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal
harus hati-hati, karena glukokortikoid topikal, terutama yang
bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi
teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan
penggunaaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak
diflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk kulit badan dan lengan
dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya
betametason valerat dan triamsinolon asetonid. Untuk lesi
hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan plantar pedis, dapat
digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi, misalnya
betametason dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid
berkekuatan tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk
kemudian diganti dengan yang berkekuatan lebih rendah.
Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus
kutaneus, baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid.
Antimalaria mempunyai efek sunsblocking, antiinflamasi dan
imunosupresan. Pada penderita yang resisten terhadap antimalaria,
dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid sistemik.
Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus

34
diskoid, vaskulitis dan lesi LES berbula. Efek toksik obat ini
terhadap sistem hematopoetik adalah methemoglobinemia,
sulfhemoglobinemia, dan anemia hemolitik, yang kadang-kadang
memperburuk ruam LES di kulit.
1
c) Kelelahan dan Keluhan Sistemik
Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada
penderita LES, demikian juga penurunan berat badan dan demam.
Kelelahan juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid,
sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat juga
diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap
simpati dalam mengatasi masalah ini. Seringkali hal ini tidak
memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu istirahat dan
mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan
peningkatan aktivitas penyakit LES dan pemberian glukokortikoid
sistemik dapat dipertimbangkan.
d) Serositis
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat
merupakan tanda serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini
dapat diatasi dengan salisilat, obat antiinflamasi non-steroid,
antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari). Pada
keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk
mengontrol penyakitnya
 Terapi Agresif
12
a) Kortikosteroid

Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada


pasien dengan LES. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak
laporan efek samping, kortikosteroid tetap merupakan obat yang
banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis
kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi. Untuk
meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka

35
dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.
Pembagian dosis kortikosteroid membantu dalam
menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang
digunakan pada LES yang relatif tenang. Dosis sedang sampai
tinggi berguna untuk LES yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi
pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis
luas, nephritis lupus, lupus cerebral. Pulse terapi kortikosteroid
digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa,
induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini ini biasanya
diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon
diberikan selama 3 hari berturut-turut.

Tabel 2. Terminologi Pembagian Kortikosteroid

Dosis rendah < 7.5 mg prednison atau setara perhari


Dosis sedang >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau
setara perhari
Dosis tinggi >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau
setara perhari
Dosis sangat >100 mg prednison atau setara perhari
tinggi
Terapi pulse >250 mg prednison atau setara perhari untuk
1 hari atau beberapa hari
b) Sparing Agen Kortikosteroid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan
untukmemudahkan menurunkan dosis kortikosteroid dan berfungsi
juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan
sebagai sparing agent ini adalah siklofosfamid, azatioprin,
siklosporin dan metrotrexate.
1
1) Siklofosfamid , Indikasi siklofosfamid pada LES :

 Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi


(steroidsparing agent).

36
 Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis
tinggi.
 Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid
jangka lama atau berulang.
 Glomerulonefritis difus awal.
 LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
 Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan
kreatininserum tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.
 LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml
NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3
liter/24 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas
pada terapi LES. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan
interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama
pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap
dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan
penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid
diturunkan sampai 500-750 mg/m2.
Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah
harus dipantau. Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka
dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan
menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis
siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus
ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Toksisitas
siklofosfamid meliputi mual dan muntah, alopesia, sistitis
hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan
azoospermia.
1
2) Azatioprin
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan
sebagai alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3

37
mg/kgBB/hari dan diberikan secara per oral. Obat ini dapat
diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES, setelah
penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal
mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat diturunkan perlahan
dan dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan
baik.
Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem
hemopoetik, peningkatan enzim hati dan mencetuskan keganasan.
1
3) Siklosporin
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk
pengobatan LES adalah Siklosporin dosis rendah (3-6
mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan pada LES baik tanpa
manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama
pemberian harus diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar
kreatinin darah. Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari
kadar kreatinin darah sebelum pemberian siklosporin, maka
dosisnya harus diturunkan.

Algoritma penatalaksanaan LES dapat dilihat dibawah ini

38
Keterangan :
TR : Tidak respon CYC : Siklofosfamid
RS : Respon sebagian AZA : Azatioprin
RP : Respon penuh MP : Metilprednisolon
OAINS : Obat anti inflamasi non steroid NPSLE: Neuropsikiatri SLE
KS : Kortikosteroid setara prednison

3.13 Manifestasi Anemia pada LES


Lupus Eritematosus Sistemik dapat mempengaruhi banyak organ di tubuh
dan menunjukkan manifestasi klinis dan imunologis dengan spectrum yang

39
luas. Kelainan hematologi seringkali ditemui pada SLE. Anemia dan
trombositopenia, kelainan hematologi yang sering terjadi pada perjalanan
penyakit pasien SLE, biasanya bukan merupakan kondisi yang fatal, namun
pada beberapa pasien dapat terjadi gangguan yang berat sehingga
membutuhkan manajemen yang agresif. Leukopenia juga sering terjadi,
hampir selalu merupakan limfopenia, bukan granulositopenia, kondisi ini
jarang menjadi predisposisi terjadinya infeksi dan biasanya tidak
membutuhkan terapi. Thrombosis merupakan salah satu penyebab kematian
pada pasien SLE.
Kriteria diagnosis SLE dari ACR pada tahun 1971 menyatakan bahwa
leukopenia, trombositopenia, dan anemia hemolitik merupakan kriteria
individual untuk SLE. Sementara pada revisi tahun 1982 dinyatakan bahwa
kelainan hematologi dikelompokkan menjadi satu kelompok yang terdiri dari:
1) anemia hemolitik autoimun, 2) leukopenia (< 4000µl pada dua kali atau
lebih pemeriksaan), 3) limfopenia (< 1500µl pada dua kali atau lebih
pemeriksaan) dan 4) trombositopenia (< 100.000µl tanpa pemberian obat).
Pada Carolina Lupus Study, dari 265 pasien SLE yang didiagnosis antara
1995 sampai 1999, frekuensi kelainan hematologi pada diagnosis awal adalah
11% anemia hemolitik, 18% leukopenia, 21% limfopenia dan 11%
trombositopenia.
Anemia pada pasien SLE dapat merupakan imun dan non-imun. Anemia
yang merupakan penyakit non-imun adalah anemia penyakit kronik, anemia
defisiensi besi, anemia sideroblastik, anemia pada penyakit ginjal, anemia
diinduksi obat, dan anemia sekunder terhadap penyakit lain (misalnya anemia
sel sabit). Anemia yang diperantarai imun pada pasien SLE adalah anemia
hemolitik autoimun, anemia hemolitik diinduksi obat, anemia aplastic, pure
red cell aplasia, dan anemia pernisiosa. Voulgarelis dkk., pada dari 132
pasien SLE, 37.1% menderita anemia pada penyakit kronik, 35.6% anemia
defisiensi besi, 14.4% anemia hemolitik autoimun dan 12.9% karena
penyebab lain.8

Anemia yang Tidak Diperantarai Imun

40
Anemia pada penyakit kronik merupakan jenis anemia yang paling sering
ditemukan pada pasien SLE. Gambaran apus darah tepi menunjukkan sel-sel
yang normositik atau normokrom. Konsentrasi besi serum menurun dan
kapasitas pengikatan besi total tidak berubah atau sedikit rendah. Dijumpai
pula penurunan saturasi besi pada transferrin. Pemeriksaan sumsum tulang
memberikan hasil yang normal dengan cadangan besi yang adekuat. Anemia
berkembang dengan lambat jika tidak ada komplikasi dengan factor lain,
seperti perdarahan. Hitung retikulosit rendah bila dibandingkan dengan
derajat anemianya.
Mekanisme anemia pada penyakit kronik masih sulit dimengerti. Hasil
pada beberapa penelitian pathogenesis artritis rematoid mengindikasikan
bahwa banyak factor yang terlibat seperti gangguan pelepasan besi oleh
system fagositik mononuclear, besi terikat dengan protein pengikat,
penurunan respons eritropoietin, dan efek supresif interleukin terhadap
eritropoiesis.
Pengobatan anemia ini pada pasien SLE ditujukan pada proses penyakitnya,
tidak dianjurkan pemberian terapi besi atau intervensi spesifik lainnya.8

Anemia Defisiensi Besi biasanya ditemukan pada pasien SLE yang mendapat
obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) atau mengalami menorrhagia.
Ditemukan penurunan penggunaan besi. Radioaktivitas oada banyak organ
berbeda dari normal, dengan peningkatan kadar radioaktivitas pada limpa dan
hati. Peningkatan jumlah besi yang diabsorpsi tidak digunakan untuk sintesis
hemoglobin melainkan untuk disimpan. Di lain pihak, turnover besi plasma
meningkat pada sebagian besar pasien. Usia eritrosit lebih pendek tanpa
adanya hemolysis. Jadi, anemia pada penyakit kronik pada pasien SLE dapat
menyebabkan terjadinya aktivitas sumsum tulang yang rendah, pemendekan
umur eritrosit, dan mungkin uptake besi yang buruk.8

Anemia Sel Sabit dan SLE menunjukkan manifestasi klinik yang serupa
seperti arthralgia, nyeri dada, efusi pleura, kardiomegali, nefropati, stroke,
dan kejang. Pasien dengan hemoglobinopati sel sabit juga menunjukkan
peningkatan prevalensi autoantibodi, termasuk ANA. Ko-eksistensi SLE dan

41
anemia sel sabit telah dilaporkan, dan pada beberapa pasien SLE terlambat
dikenali akibat manifestasi klinisnya yang serupa tersebut. Diduga bahwa
abnormalitas pada jalur alternative dari komplemen pada hemoglobinopati sel
sabit dapat menjadi predisposisi untuk menjadi kelainan kompleks imun,
termasuk SLE. Namun tidak ada bukti bahwa SLE lebih sering ditemukan
pada pasien dengan hemoglobinopati sel sabit.8

Anemia Diperantarai Imun


Anemia Hemolitik Autoimun. Anemia hemolitik autoimun (AIHA)
merupakan penyebab anemia pada 5-19% pasien SLE. Beberapa sindrom
klinik terjadi, masing-masing diperantarai oleh autoantibodi (IgG atau IgM)
yang berbeda yang menyerang sel darah merah. Akibatnya, sel darah merah
lebih cepat dirusak sehingga jumlah berkurang di sirkulasi. Anemia hemolitik
autoimun biasanya berkembang secara bertahap pada sebagian besar pasien,
namun terkadang dapat juga berkembang cepat sehingga terjadi krisis
hemolitik yang progresif.8
Anemia hemolitik autoimun dapat dihubungkan dengan adanya antibody
antikardiolipin, atau dapat menjadi bagian dari sindrom antifosfolipid, yang
mana dihubungkan dengan adanya antibody antifosfolipid, thrombosis,
trombositopenia, dan keguguran berulang. Voulgarelis juga melaporkan
adanya antibody anti-dsDNA pada hampir semua pasien dengan AIHA.
Adanya AIHA juga diperkirakan dapat mengidentifikasi subkelompok khusus
dari pasien SLE karena adanya hubungan beberapa karakteristik serologic
tersebut dengan manifestasi klinik. Kelly dkk melaporkan bahwa terdapat
bukti yang kuat keterlibatan gen rentan SLE, SLEH1, pada kelompok
keluarga Afro-Amerika yang mempunyai paling tidak satu anggota keluarga
dengan SLE dengan anemia hemolitik.8
Kriteria ACR tidak mendefinisikan derajat keparahan anemia hemolitik.
Anemia hemolitik yang berat (didefinisikan sebagai hemoglobin <8 gr/dl, tes
Coomb positif, retikulositosis, dan penurunan hemoglobin 3 g/dl sejak
pemeriksaan terakhir) mempunyai hubungan yang bermakna dengan
keterlibatan organ sistemik lainnya yaitu ginjal dan susunan saraf pusat.8

42
GEJALA DAN TANDA
Lemas, mudah capek, sesak napas adalah gejala yang sering dikeluhkan oleh
penderita anemia hemolitik. Tanda klinis yang sering dilihat adalah
konjungtiva pucat, sklera berwarna kekuningan, splenomegaly, urin berwarna
merah gelap. Tanda laboratorium yang dijumpai adalah anemia normositik,
retikulositosis, peningkatan lactate dehydrogenase, peningkatan serum
haptaglobulin, dan Direct Antiglobulin Test menunjukkan hasil positif.8

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis sistematis mengenai adanya
rasa lelah, mudah mengantuk, sesak napas, cepatnya perlangsungan gejala,
riwayat pemakaian obat, dan riwayat sakit sebelumnya. Pemeriksaan fisik
didapatkan pucat, ikterik, splenomegaly, dan hemoglobinuria. Pemeriksaan
fisik juga dilakukan untuk mencari kemungkinan penyakit primer yang
mendasari AIHA. Pemeriksaan hematologi menunjukkan adanya kadar
hemoglobin yang rendah (biasanya sekitar 7-10g/dl), MCV normal atau
meningkat, bilirubin indirek yang meningkat, LDH meningkat, dan
retikulositosis. Serum haptoglobin tidak secara rutin dilakukan di Indonesia.
Morfologi darah tepi menunjukkan adanya proses fragmentasi pada eritrosit
(sferosit, okistosit, helmet cell dan retikulosit). Direct Antiglobulin Test
menunjukkan hasil positif pada AIHA.8

BAB IV
ANALISIS KASUS

Penegakkan diagnosis SLE manifestasi AIHA pada pasien ini didapat dari
data identifikasi pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
Pada data identifikasi pasien, pasien berjenis kelamin perempuan dan
berusia 23 tahun, yang sesuai dengan epidemiologi dari systemic lupus
eritematous (SLE) pada sebuah penelitian di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta
yaitu 71% pasien didiagnosa SLE pada usia ≥ 18 tahun, 19 % pasien pada usia 12-
18 tahun, dan 10 % pada usia ≤ 11 tahun. Pada penelitian tersebut juga didapatkan

43
94,6 % pasien berjenis kelamin perempuan dan 5,4 % pasien berjenis kelamin
laki-laki.*Berdasarkan jenis kelamin dan usia pasien dapat menjadi faktor risiko
untuk kejadian penyakit SLE pada kasus ini.
Penegakan diagnosis pada pasien ini berdasarkan kriteria menurut The
America Rheumatism Association (ARA) yang telah dimodifikasi pada tahun
1997, pada pasien ini ditemukan beberapa kriteria yang memenuhi, yaitu:
1. Arthritis
2. Gangguan hematologi (anemia)
3. Ruam malar
4. Ulkus mulut
5. Gangguan renal
Pada pasien ini telah ditemukan 5 kriteria dari 11 kriteria berdasarkan
ARA sehingga diagnosis systemic lupus eritematous (SLE) sudah bisa ditegakkan
dengan sensitifitas 95 %.9
Penegakkan diagnosis anemia hemolitik autoimun (AIHA) pada pasien ini
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis didapatkan gejala anemia yaitu badan lemas, mudah lelah saat
beraktifitas, nyeri – nyeri sendi, wajah terlihat pucat, pandangan kabur dan pusing
(lihgtheadedness), pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva pucat dan
palmar dan plantar pucat, dan pada hasil laboratorium kadar hemoglobin pasien
5,8 g/dL, kadar eritrosit 1,87 x 10 6/mm3, dan hematokrit 18,7 % serta tidak
ditemukan penurunan pada kadar leukosit dan trombosit, dari semua temuan
tersebut maka disimpulkan bahwa pasien ini mengalami anemia.3 Berdasarkan hal
tersebut, pasien ini didiagnosis mengalami anemia hemolitik autoimun.
Jadi berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, pasien pada kasus ini didiagnosis dengan SLE
manifestasi AIHA. Tatalaksana yang dilakukan adalah pemberian kortokosteroid
(metil prednisolon) dan transfusi darah PRC. Metil prednisolon dosis tinggi
diberikan selama tiga hari berturut-turut karena pada kasus ini merupakan SLE
derajat berat atau mengancam jiwa untuk memberikan hasil pengobatan yang
lebih baik. Untuk melihat respons terapi, dilakukan pemantauan terhadap kadar
hemoglobin, eritrosit, dan hematokrit untuk melihat respons terapi. Bila ada

44
respons terhadap steroid, dosis diturunkan tiap 1-2 minggu hingga dosis rendah-
sedang lalu dipertahankan pada dosis tersebut untuk mengkontrol aktivitas
penyakit.5 Transfusi darah diberikan karena pada kasus ini karena kadar
hemoglobin 5,8 g/dL.10Untuk menurunkan efek iritasi kortikosteroid pada mukosa
lambung serta menurunkan resiko terjadinya anemia defisiensi besi, diberikan
juga obat Proton Pump Inhibitor (PPI) yaitu Omeprazole. Proses hemolisis yang
aktif menyebabkan peningkatan kebutuhan asam folat, maka pada kasus ini
diberikan suplementasi asam folat.11

DAFTAR PUSTAKA
1
Suarjana, IN. Imunopatogenesis Lupus Eritematosus Sistemik. In Setiati S,
Alwi Idrus, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF eds. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi VI. Interna Publishing, Jakarta, 2014:
2607-2613.
2
Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Edisi kelima. Jakarta, 2013: Interna Publishing; 2565-2579.
3
Taroeno-Hariadi KW dan Pardjono E. Anemia Hemolitik Imun. In Setiati S,
Alwi Idrus, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF eds. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi VI. Interna Publishing, Jakarta, 2014:
2607-2613.

45
4
Luzzato L. Hemolytic Anemias and Anemia Due to Acute Blood Loss. In
Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J eds.
Harrison’s: Hematology and Oncology. 2 nd Ed. McGraw-Hill Education, New
York, 2013: 108-126.
5
Perhimpunan Reumatologi Indonesia.Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Jakarta, 2011.
6
Prabhu R, Bhaskaran R, Shenoy V, Rema G dam Sidharthan N. Clinical
Characteristic and Treatment Outcomes of Primary Autoimmune Hemolytic
Anemia: A Single Center Study from South India. Blood Research. Juni 2016;
51(2): 88-94.
7
Rajabto W, Atmakusuma D, dan Setiati S. Profil Pasien Anemia Hemolitik
Autoimun (AHAI) dan Respon Pengobatan Pasca Terapi Kortikosteroid di
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. Jurnal Penyakit
Dalam Indonesia, 2016 Desember; 3(4): 206-211.
8
Djoerban Z. Kelainan Hematologi pada Lupus Eritematosus Sistemik. In
Setiati S, Alwi Idrus, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF eds.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi VI. Interna Publishing, Jakarta,
2014: 3392-3396.
9
Faisal S, Akib A, dan Tambunan T. Clinical and Laboratory Manifestations of
Childhood and Adult-Onset Systemic Lupus Erythematosus in Cipto
Mangunkusumo Hospital. Paediatrica Indonesia. November 2016; 43: 199-204.
10
Haroen H. Darah dan Komponen: Komposisi, Indikasi, dan Cara Pemberian. In
Setiati S, Alwi Idrus, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF eds.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi VI. Interna Publishing, Jakarta,
2014: 2844-2851.
11
DeLoughery TG. Autoimmune Hemolytic Anemia. Hematology. Maret 2013;
8(1): 2-11.

46

Anda mungkin juga menyukai