Anda di halaman 1dari 19

i

REFERAT
MENINGITIS BAKTERI

Disusun oleh:
Shofi Iqda Islami
NIM 142011101102

Dokter Pembimbing:
dr. H. Ahmad Nuri, Sp. A
dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp. A
dr. Lukman Oktadianto, Sp. A
dr. M. Ali Shodikin, M. Kes, Sp. A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


KSM ILMU KESEHATAN ANAK
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2018
REFERAT
MENINGITIS BAKTERI

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik KSM


Ilmu Kesehatan Anak RSD dr. Soebandi Jember

Disusun oleh:
Shofi Iqda Islami
NIM 142011101102

Dokter Pembimbing:
dr. H. Ahmad Nuri, Sp. A
dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp. A
dr. Lukman Oktadianto, Sp. A
dr. M. Ali Shodikin, M. Kes, Sp. A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


KSM ILMU KESEHATAN ANAK
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2018

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ........................................................................... i
HALAMAN JUDUL .............................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................. 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 3
2.1 Definisi ........................................................................ 3
2.2 Epidemiologi ............................................................... 3
2.3 Etiologi ........................................................................ 4
2.4 Patofisiologi ................................................................. 5
2.5 Manifestasi Klinis ...................................................... 5
2.6 Pemeriksaan Penunjang ............................................ 7
2.7 Diagnosis Banding ..................................................... 8
2.8 Penalaksanaan ............................................................ 8
2.9 Komplikasi .................................................................. 10
2.10 Prognosis ..................................................................... 11
BAB 3. PENUTUP ............................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 13

iii
1

BAB 1. PENDAHULUAN

Infeksi sistem saraf pusat (SSP) pada anak dapat mengakibatkan


morbiditas dan mortalitas yang besar jika tidak terdeteksi dan tertangani secara
tepat. Meningitis adalah salah satu penyakit SSP yang mengancam jiwa dan
menyebabkan kelainan neurologis, terutama pada anak-anak. Meningitis
merupakan peradangan pada araknoid, piamater dan ruangan subaraknoid. Proses
peradangan tersebut juga dapat meluas ke jaringan otak dan medula spinalis.3
Meningitis masih merupakan infeksi yang menakutkan karena
menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi terutama di negara
berkembang. Mortalitas mencapai 5-10% dan morbiditas jangka panjang yang
berupa sekuel neurologis mencapai 50% (Rogier et. al., 2010) dan di Indonesia
diperkirakan mortalitas pada anak sekitar 18-40% dengan angka disabilitas
berkisar antara 30-50%. World Health Organization (WHO) memperkirakan
bahwa meningitis bakterial menyerang 426.000 anak dan 85.000 dilaporkan
meninggal dunia. Angka kejadian meningitis menduduki urutan ke-9 dari 10 pola
penyakit di 8 rumah sakit pendidikan di Indonesia. Berdasarkan laporan
Balitbangkes (2008) di Indonesia, meningitis merupakan penyebab kematian bayi
umur 29 hari-11 bulan dengan urutan ketiga yaitu (9,3%) setelah diare (31,4%),
dan pneumoni (23,8%). Proporsi meningitis penyebab kematian pada umur 1-4
tahun yaitu (8,8%) dan merupakan urutan ke-4 setelah Necroticans Entero Colitis
(NEC) yaitu (10,7%).1
Meskipun telah banyak kemajuan dalam penemuan antibiotika dan terapi
pendukung, mortalitas akibat meningitis masih tetap tinggi terutama pada tahun
pertama kehidupan. Tingkat keparahan meningitis dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya virulensi dan jenis agen penyebab, status imunitas pasien,
risistensi pada antibiotik dan penatalaksanaannya. Diantara berbagai agen
penyebab, Haemophillus influenza dan Streptococcus pneumonia adalah penyebab
terbanyak dan merupakan penyebab meningitis berat tersering pada anak.1
Berdasarkan paparan tersebut, meningitis merupakan kasus yang menarik
untuk didiskusikan karena kasus meningitis masih banyak kita jumpai di
Indonesia. Selain itu, angka mortalitas dan morbiditas yang cukup tinggi pada
meningitis sehingga dirasa perlu untuk membahas lebih lanjut tentang infeksi
tersebut.

2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Meningitis merupakan peradangan pada selaput jaringan otak dan medulla
spinalis yang disebabkan oleh patogen. Peradangan tersebut mengenai araknoid,
piamater, dan cairan cerebrospnalis. Peradangan ini dapat meluas melalui ruang
subaraknoid sekitar otak, medulla spinalis, dan ventrikel.2
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang
terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai
cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah
kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri
adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus.3

2.2 Epidemiologi
Angka kejadian meningitis secara keseluhan belum diketahui dengan pasti.
Tri Ruspandji di Jakarta tahun 1980 mendapatkan 1,9% pasien rawat inap
menderita meningitis. Di Surabaya tahun 1986-1992 jumlah pasien per tahun
berkisar 60-80 pasien.2
DI RSUD dr. Soetomo dari tahun 1988-1993 didapatkan angka kematian
berkisar 13-18% dengan kecacatan 30-40% (IDAI, 2000). Berdasarkan penelitian
Saharsodan Hidayati (2000) menyatakan bahwa angka kematian Meningitis di
RSUD Dr. Soetomo pada tahun 1981 di Jakarta sekitar 41,8%, dan menurut
Purwitosari (2007) di Yogyakarta sekitar 30,6%. Meningitis lebih banyak
menyerang laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan laki-laki
dibanding perempuan adalah 1,7 sampai 3:1. Sekitar 80% dari seluruh kasus
meningitis bakterial terjadi pada anak dan 70% dari jumlah tersebut terjadi pada
anak usia 1 sampai 5 bulan.2

3
2.3 Etiologi
Penyebab paling sering meningitis adalah virus dan bakteri. Meningitis
yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis
penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang disebabkan
oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat (Suwono, 1996). Penyebab
meningitis bakteri terdiri dari bermacam-macam bakteri. Mikrorganisme
penyebab berhubungan erat dengan umur pasien. Bakteri penyebab meningitis
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Bakteri penyebab meningitis
Umur pasien Bakteri Penyebab
0-2 bulan Streptococcus grup B, Escherichia coli
2 bulan-5 tahun Streptococcus pneumoniae, Neisseria
meningitidis, Haemophillus influenzae
Diatas 5 tahun Streptococcus pneumoniae, Neisseria
meningitidis
Sumber : IDAI, 2010
Bakteri lain yang dapat menyebabkan meningitis adalah Mycobacterium
tuberculosis serta kuman batang gram negatif seperti Proteus, Areobakter,
Enterobakter, Klebsiella sp, dan Seprata Sp.2

4
2.4 Faktor Risiko
Faktor risiko utama adalah kurangnya imunitas pada usia muda, seperti:3
1. Defek imunitas spesifik, seperti defek pada produksi immunoglobulin dan
sistem komplemen sehingga meningkatkan kerentanan terhadap meningokok.
2. Asplenia meningkatkan kerentanan terhadap pneumokok dan H. influenza
type B
3. AIDS, keganasan, atau pasca kemoterapi rentan terinfeksi Listeria
monocytogenes
4. Neonatus yang lahir prematur, memiliki riwayat infeksi intrapartum, dan
ketuban pecah dini.

2.5 Patofisiologi
Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat melalui invasi langsung,
penyebaran hematogen, atau embolisasi trombus yang terinfeksi. Infeksi juga
dapat terjadi melalui perluasan langsung dari struktur yang terinfeksi melalui
vv.diploica, erosi fokus osteomyelitis, atau secara iatrogenik (pasca
ventriculoperitoneal shunt atau prosedur bedah otak lainnya).4
Proses masuknya bakteri ke dalam sistem saraf pusat merupakan
mekanisme yang kompleks. Awalnya, bakteri melakukan kolonisasi, yang paling
sering yaitu di nasofaring, dengan berikatan pada sel epitel menggunakan villi
adhesive dan membran protein. Risiko kolonisasi epitel nasofaring meningkat
pada individu yang mengalami infeksi virus pada sistem pernapasan. 4
Komponen polisakarida pada kapsul bakteri membantu bakteri tersebut
mengatasi mekanisme pertahanan immunoglobulin A (IgA) pada mukosa inang.
Bakteri kemudian melewati sel epitel ke dalam ruang intravaskuler di mana
bakteri relatif terlindungi dari respons humoral komplemen karena kapsul
polisakarida yang dimilikinya. 4
Bakteri memasuki ruang subaraknoid dan cairan serebrospinal (CSS)
melalui pleksus koroid atau kapiler serebral. Perpindahan bakteri terjadi melalui
kerusakan endotel yang disebabkannya. Seluruh area ruang subaraknoid yang
meliputi otak, medula spinalis, dan nervus optikus dapat dimasuki oleh bakteri

5
dan akan menyebar dengan cepat. Hal ini menunjukkan meningitis hampir pasti
selalu melibatkan struktur serebrospinal. Infeksi juga mengenai ventrikel, baik
secara langsung melalui pleksus koroid maupun melalui refluks lewat foramina
Magendie dan Luschka. 4
Bakteri akan bermultiplikasi dengan mudah karena minimnya respons
humoral komplemen CSS. Komponen dinding bakteri atau toksin bakteri akan
menginduksi proses inflamasi di meningen dan parenkim otak. Akibatnya,
permeabilitas SDO meningkat dan menyebabkan kebocoran protein plasma ke
dalam CSS yang akan memicu inflamasi dan menghasilkan eksudat purulen di
dalam ruang subaraknoid. Eksudat akan menumpuk dengan cepat dan akan
terakumulasi di bagian basal otak serta meluas ke selubung saraf-saraf kranial dan
spinal. Selain itu, eksudat akan menginf ltrasi dinding arteri dan menyebabkan
penebalan tunika intima serta vasokonstriksi, yang dapat mengakibatkan iskemia
serebral. Tunika adventisia arteriola dan venula subaraknoid sejatinya terbentuk
sebagai bagian dari membran araknoid. Dinding vasa bagian luar sebenarnya sejak
awal sudah mengalami proses inflamasi bersamaan dengan proses meningitis
(vaskulitis infeksius). 4
Selanjutnya, dapat terjadi syok yang mereduksi tekanan darah sistemik,
sehingga dapat mengeksaserbasi iskemia serebral. Selain itu, MB dapat
menyebabkan trombosis sekunder pada sinus venosus mayor dan tromboflebitis
pada vena-vena kortikal. Eksudat purulen yang terbentuk dapat menyumbat
resorpsi CSS oleh villi araknoid atau menyumbat aliran pada sistem ventrikel
yang menyebabkan hidrosefalus obstruktif atau komunikans yang disertai edema
serebral interstisial. Eksudat tersebut juga dapat mengelilingi saraf-saraf kranial
dan menyebabkan neuropati kranial fokal. 4

2.6 Manifestasi Klinis


Umumnya didahului oleh demam beberapa hari disertai infeksi saluran
nafas atas atau saluran cerna diikuti tanda infeksi SSP yang tidak spesifik seperti
letargi dan iritabilitas. Anak juga tampak anoreksia dan tidak mau makan, mialgia,
artralgia, takikardia, hipotensi dan muncul beragam bercak merah di kulit seperti

6
ptekie, purpura, atau ruam makula eritematosa. Ada pula gambaran yang lebih
berat, tetapi kurang umum terjadi, yaitu syok yang cepat dan progresif disertai
purpura, koagulasi intravaskular diseinata, hilang kesadaran, dan kematian dalam
24 jam.3
Meskipun demikian, manifestasi klinis sangat bervariasi bergantung pada
usia, respon imun terhadap infeksi, dan lama sakit sebelum dibawa ke pelayanan
kesehatan.3
a. Neonatus hingga 3 bulan
Gambaran klinis sering tidak khas. Bayi tampak letargi, malas minum, dan
muntah. Pemeriksaan fisik menunjukkan demam dan hipotermia, ubun- ubun
besar membonjol, kejang hingga apnea. Setiap neonatus dengan demam
tinggi, pneumonia, atau sepsis disertai kejang harus dicurigai meningitis
bakteri. 3
b. Usia 3 bulan – 2 tahun
Meningitis bakteri harus dipikirkan pada setiap anak usia 3 bulan- 2 tahun
yang mengalami manifestasi kejang demam kompleks. Secara klinis bayi
mengalami demam, muntah, tampak gelisah/iritabel, kejang, UUB
membonjol, tetapi tanda rangsang meningeal sulit dievaluasi (tanda kernig
dan brudzinski sering negatif). Salah satu tanda khas adalah high pitched cry.3
c. Usia >2 tahun
Pada anak yang lebih besar, gambaran klinis lebih klasik menunjukka infeksi
meningens. Anak demam, menggigil, menunjukkan tanda peningkatan TIK
yaitu sakit kepala, muntah, UUB membonjol, paresis N.III dan N.VI,
hipertensi dengan bradikardi, apnea, atau hiperventilasi, postur dekortikasi
atau deserebrasi, pupil anisokor, stupor, koma, atau perubahan tingkah laku.
Tanda rangsang meningeal (kaku kuduk, tanda kernig dan burdzinski) jelas
diperoleh pada pemeriksaan fisik, defisit neurologis fokal, kejang fokal atau
umum, dan neuropati kranial. Tanda lain meningitis adalah fotofobia dan
tache cerebrale, yaitu munculnya garis merah menimbul 30-60 detik setelah
kulit dipukul dengan benda tumpul. 3

7
2.7 Pemeriksaan penunjang
Diagnosis Meningitis ditegakkan melalui analisis cairan cerebrospinal.
Pada prinsipnya, pada setiap kecurigaan meningitis bakteri dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik, harus segera dilakukan pungsi lumbal dan kultur darah. 3
1. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dilakukan untuk menemukan bakteri penyebab di dalam LCS
melalui pewarnaan gram, kultur, serta analisis LCS. 3
a. Kultur LCS
Kultur LCS merupakan gold standard, memiliki sensitivitas hingga 85%
bila belum mendapatkan terapi antimikrobial sebelumnya, tetapi
membutuhkan waktu setidaknya 48 jam sampai diperoleh hasil. 3
b. Pewarnaan gram
Pemeriksaan ini dapat memberikan hasil yang lebih cepat dan relatif lebih
murah untuk mengidentifikasi bakteri penyebab. Pewarnaan gram
memiliki sensitivitas 60-90% dan spesitifitas 97%, tetapi hasil ini dapat
berkurang secara signifikan bila sudah mendapatkan terapi antibiotik
sebelumnya. 3
c. Latex agglutination
Cara ini menggunakan antiserum untuk mendeteksi antigen kapsul
polisakarida dari bakteri patogen. Kelebihan pemeriksaan ini lebih cepat
dan sederhana. Cara ini disarankan sebagai alternatif bagi pasien yang
telah mendpat terapi antibiotik sebelumnya dan pemeriksaan kultur
maupun gram menunjukkan hasil negatif. 3
d. PCR
PCR dapat mendeteksi DNA dari patogen meningens yang umum, seperti
N.meningitidis, S.Pneumonia, H.influenza type b, S.agalactiae, dan
L.monocytgenes. Sensitivitas dan spesifisitasnya sangat baik (>90%) dan
menjadi salah satu alternatif pemeriksaan yang sangat menjanjikan di
kemudian hari. 3

8
e. Analisis LCS
Selain mengisolasi bakteri patogen penyebab, diagnosis juga dapat
ditegakkan dari karakteristik LCS yang diperoleh. Infeksi bakteri memiliki
gambaran khas dan berbeda dari infeksi virus maupun TB. 3

Tabel 2. Karekter CSS pada meningitis

Sumber : Meisadona et al, 2015

2. Kultur darah
Kultur darah harus dilakukan sebelum terapi antibiotik dimulai. Pemeriksaan
ini dapat mengisolasi bakteri penyebab pada 80-90% kasus meningitis.bila
pungsi lumbal ditunda, kultur darah tetap dilakukan sambil dilakukan CT
scan untuk mengonfirmasi atau menyingkirkan adanya lesi desak ruang
(abses, tumor, perdarahan). 3
3. Pemeriksaan darah tepi
Pada pemeriksaan darah, meningitis disertai dengan peningkatan leukosit dan
penanda inflamasi, dan kadang disertai hipokalsemia, hiponatremia, serta
gangguan fungsi ginjal dengan asidosis metabolik. 3

9
2.8 Diagnosis Banding
1. Meningismus
2. Abses Otak
3. Tumor Otak

2.9 Penatalaksanaan
Sambil menunggu hasil analisis LCS, terapi empiris dan suportif harus
segera diberikan.
1. Terapi suportif berupa cairan intravena, nutrisi antipiretik dan antikonvulsan.
Pasien tidak boleh menerima makanan melalui mulut. Lakukan pemeriksaan
tekanan darah, nadi, dan laju nafas, demikian pula dengan pemeriksaan
neurologis seperti kesadaran, refleks pupil, gerak bola mata, saraf kranial,
kekuatan motorik, dan kejang selama 72 jam pertama. Pemberian cairan
intravena tidak dibatasi, kecuali terbukti terjadi syndrome of inappropriate
antidiuretic (SIADH) dan tidak ada dehidrasi. Pasien dengan peningkatan
TIK dan syok mungkin memerlukan vasoaktif seperti dopamin dan
dobutamin, dan pemberian cairan dimonitor dengan central venous access di
ICU agar tercapai perfusi yang baik ke organ tanpa memperburuk TIK. 3
2. Bila terjadi peningkatan TIK akibat edema sitotoksik, berikan manitol 20%
dosis 0,25-1gr/KgBB/kali, tiap 6-8 jam, infus cepat dalam 30 menit sambil
terus diawasi balans cairan, elektrolit, dan diuresis. Berikan pula antipiretik,
elevasi kepala 30⁰, hiperventilasi, dan dapat dibantu furosemid 1mg/KgBB
untuk menurunkan TIK.3
3. Pada penelitian terbukti bahwa steroid dapat mengurangi produksi mediator
inflamasi seperti sitokin sehingga dapat mengurangi kecacatan neurologis
seperti paresis, tuli, dan menurunkan mortalitas apabila diberikan pada pasien
ringan dan sedang, dan diberikan 15-20 menit sebelum pemberian antibiotik.
Kortikosteroid yang memberikan hasil baik adalah dexametason dengan dosis
0,6 mg/KgBB/hari selama 4 hari.2
4. Terapi antibiotik empiris harus segera diberikan sebelum hasil analisis LCS
diperoleh. Berikut antibiotik empiris yang dianjurkan sesuai kelompok umur.

10
Kelompok Antibiotik
Usia
 Ampisilin (150-200 mg/Kg/hari IV dibagi dalam 2-3 dosis)
Neonatus
dan Sefotaksim (150-200mg/Kg/hari IV dibagi dalam 3-4
dosis) atau
 Ampisilin dan gentamisin (5-7,5 mg/Kg/hari IV dibagi dalam
2 dosis)
 Ampisilin (200-400 mg/Kg/hari IV dibagi dalam 4 dosis) dan
1-3 bulan
Sefotaksim (200-300mg/Kg/hari IV dibagi dalam 4 dosis)
atau
 Ampisilin dan seftriakson (100 mg/Kg/hari IV dibagi dalam 2
dosis)

>3 bulan  Sefotaksim (200-300mg/Kg/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis)


atau
 Seftriakson (100mg/Kg/hari IV dibagi dalam 2 dosis) atau
 Ampisilin (200-400mg/Kg/hari IV dibagi dalam 4 dosis) dan
Kloramfenikol (100mg/Kg/hari IV dibagi dalam 4 dosis)

Sumber: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.2009

5. Bila terjadi kejang atau hipoglikemia, lakukan tatalaksana kejang dan


hipoglikemia. 3
6. Setelah diketahui bakteri patogen penyebab, berikan antibiotik sesuai bakteri
patogen. 3

11
Sumber: Meisadona, G, A. D. Soebroto, R. Estiasari. 2015. Meningitis Bakterialis.

2.10 Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi akibat pengobatan yang tidak sempurna atau pengobatan
yang terambat. Komplikasi yang mungkin ditemukan adalah:
1. Ventrikulitis
Infeksi pada sistem ventrikel terjadi karena penyebaran mikroorganisme dari
ruang subaraknoid karena pasang surut cairan serebrospinal atau migrasi
kuman yang bergerak. Komplikasi sering terjadi pada neonatus, pernah
dilaporkan sampai 92% pada bayi dengan meningitis purulenta. Pada
ventrikulitis perlu pengobatan dengan antibiotik paranteral yang masif, irigasi
dan drainase secara periodik. 4
2. Efusi Subdural
Kemungkinan adanya efusi subdural perlu dipikirkan apabila demam tetap
ada setelah 72 jam pemberian antibiotik dan pengobatan suportif yang
adekuat, ubun-ubun besar tetap membonjol, gambaran klinis meningitis tidak
membaik, kejang fokal atau umum, timbul kelinan neurologis fokal dan
muntah-muntah. Diagnosis ditegakkan dengan transluminasi kepala atau
pencitraan. Pengobatan efusi subdural masih kontroversial, tetapi biasanya
tap subdural apabila terdapat penekanan jaringan otak, demam menetap,
kesadaran menurun tidak membaik, peningkatan intrakranial menetap dan
empiema.4

12
3. Gangguan cairan dan elektrolit
Pada pasien meningitis bakterial kadang disertai dengan hipervolemia \,
oliguria, gelisah dan kejang. Hal ini disebabkan oleh karena syndrome
inappropriate antidiuretic hormone release (SIADH), sekresi ADH
berlebihan. Diagnosis ditegakkan dengan menimbang ulang pasien,
memeriksa elektrolit serum, mengukur volume dan osmolaritas urin,
mengukur berat jenis urin. Pengobatan dilakukab dengan retriksi pemberian
cairan, pemberian diuretik. 4
4. Tuli

Kira-kira 5-30% pasien meningitis bakterial mengalami komplikasi tuli


terutama apabila disebabkan oleh S. pneumoniae. Tuli konduktif disebabkan
oleh karena infeksi telinga tengah yang menyertai meningitis. Yang terbanyak
tuli sensorineural. Tuli sensorineural disebabkan karena sepsis koklear.
Pemberian kontikosteroid dapat mengurangi komplikasi gangguan
pendengaran. 4

5. SIADH
Diagnosis ini ditegakkan jika terdapat kadar natrium serum yang <135 mEq/L
(135 mmol/L), osmolaritas serum <270 mOsm/kg, osmolaritas urin >2 kali
osmolaritas serum, natrium urin >30 mEq/L (30mmol/L) tanpa adanya tanda-
tanda dehidrasi atau hipovolemia.2

2.11 Prognosis

Prognosis meningitis tergantung pada:3


1. Usia pasien
Bayi usia <6 bulan memiliki prognosis lebih buruk.
2. Manifestasi kejang dan penurunan kesadaran
Kejang yang menetap setelah hari keempat sejak awitan berhubungan dengan
defisit neurologis yang lebih buruk.
3. Jenis dan jumlah mikroorganisme penyebab

13
Infeksi oleh pneumokokus memiliki angka mortalitas dan gejala sisa
neurologi yang tinggi. Jumlah mikroorganisme lebih dari 106 colony-
forming/mL dalam LCS lebih sulit diobati.
4. Kadar glukosa
Kadar glukosa yang sangat rendah berkorelasi dengan gangguan
pendengaran permanen.
5. Waktu yang diperlukan untuk sterilisasi LCS
Umumnya dalam 24-36 jam setelah terapi antimikrobial, LCS sudah menjadi
steril. Waktu yang lebih lama untuk mensterilkan LCS berkorelasi dengan
luaran yang lebih buruk/
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas
meningitis purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami
sequelle (akibat sisa). Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan
kecacatan seperti ketulian, keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan
mental, dan 5 – 10% penderita mengalami kematian.

14
BAB 3. PENUTUP

Meningitis merupakan penyakit dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi


pada anak. Diagnosis awal dan terapi adekuat sangat penting untuk dilakukan agar
tidak terjadi komplikasi seperti efusi subdural, ventrikulitis dan tuli. terapi adekuat
sangat penting untuk mendapatkan prognosis yang lebih baik.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Balitbangkes Departemen Kesehatan RI 2008. Riskesdas


2007.http://www.k4health.org/system/files/laporanNasional%20Riskesdas%
202007.pdf

2. Pudjiaji AH, Hegar B, Hardyastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati


ED, penyunting. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI). Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

3. Mansjoer, A, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media


Aescuapius.

4. Meisadona, G, A. D. Soebroto, R. Estiasari. 2015. Meningitis Bakterialis.


CDK-224. 42:1.

5. Nelson, W. E., dkk. 2000. Ilmu kesehatan anak. 15th ed. Alih bahasa. Samik
Wahab. Jakarta: EGC.

16

Anda mungkin juga menyukai