Anda di halaman 1dari 21

KAJIAN TAFSIR AN-NUUR

KARYA M. HASBI ASH-SHIDDIEQY

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah

Kajian Tafsir di Indonesia

Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Burhan Djamaluddin, MA

Oleh:

Mahbub Ghozali
F530215033

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2015
A. Pendahuluan
Sejarah mencatat, upaya penulisan tafsir di Indonesia telah berlangsung
sejak lama, yang dimulai bersamaan dengan proses masuknya Islam di
Nusantara.1 Pengenalan terhadap tafsir dalam periode tersebut dilakukan dengan
format yang sederhana dan menggunakan bahasa lokal masyarakat sekitar. Oleh
sebab itu, tafsir pada masa awal masih menonjolkan lokalitas dan metode yang
sederhana yang hanya memperhatikan esensi penyampaian kandungan al-Qur’an
kepada masyarakat.
Seiring perkembangan zaman, tafsir di Indonesia mengalami
perkembangan pesat dengan pertumbuhan Islam yang semakin maju. Sistematika
penulisan tafsirpun, mengikuti berbagai sistematika penulisan modern, dari
penggunaan metode maupun sistematika penulisan.
Salah satu tafsir di Indonesia yang lahir diabad modern2 adalah tafsir an-
Nuur karya M. Hasbi ash-Shiddieqy. Tafsir ini dapat mewakili sistematika
penulisan tafsir yang banyak digunakan oleh kitab-kitab tafsir di Timur-tengah
dengan segala model, bentuk dan coraknya.
Dalam makalah ini, penulis menguraikan secara metodologis, cara yang
ditempuh Hasbi ash-Shiddieqy dalam mengurai makna-makna al-Qur’an dalam
kitab tafsrinya. Dengan uraian ini diharapkan adanya sumbangsih pengetahuan
tentang kajian tafsir di Indonesia khususnya tafsir an-Nuur karya Muhammad
Hasbi ash-Shiddieqy.
B. M. Hasbi ash-Shiddieqy
1. Biografi M. Hasbi ash-Shiqqieqy
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dilahirkan di Lhokseumawe,
Aceh Utara, pada 10 Maret 1904. Dia adalah seorang ulama, cendikiawan, ahli
fikih dan usul fikih, tafsir, hadis dan ilmu kalam.3

1
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; Dari Hermeneutika hingga Ideologi (Yogyakarta:
LkiS, 2013), 16.
2
Lihat Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia (Solo: Tiga Serangakai, 2003), 81.
3
Nina M. Armando, et al (eds.), Enskiklopedi Islam, Vol. II (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
2005), 323.

1
Ayahnya, Teungku Qad}i Chik Maharaja Mangkubumi Husen bin
Muhammad Su’ud. Ayahnya adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan
mempunyai sebuah pesantren (meunasah). Ibunya bernama Teungku Amrah Binti
Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang Qad}i
Kesultanan Aceh ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy adalah
keturunan Abu> Bakr al-S}iddi>q sebagai generasi ke-37. Oleh sebab itu, sejak
tahun 1925, atas saran Muh}ammad bin Sa>lim al-Kala>li>, menambahkan ash-
Shiddieqy dibelakang namanya sebagai nama keluarga.4
Pendidikan agamanya diawali di dayah5 (pesantren) milik ayahnya hingga
ia berumur 8 Tahun. Dalam pengasuhan ayahnya, ia telah menyelesaikan
pendidikan al-Qur’an dan melanjutkan belajar ilm al-qira>’a>t dan tajwi>d serta
dasar-dasar ilmu tafsir dan fikih. Kemudian selama 8 tahun, ia mengunjungi
berbagai dayah dari satu kota ke kota lain. hal ini dimulai pada tahun 1912, ketika
ia dikirim meudagang (nyantri) ke dayah Tengku Chik Abdullah di Piyeung
untuk belajar bahasa Arab, khususnya nah}w dan s}araf. Setelah satu tahun, ia
pindah ke dayah Teungku Chik di Bluk Bayu. Setahun kemudian, ia pindah ke
dayah Teungku Chik di Blang Manyak Samakurok selama satu tahun. Pada tahun
1916, ia pergi ke dayah Teungku Chik Idris di Samalanga selama dua tahun.
Setelah itu, ia pindah ke dayah Teungku Chik Hasan di Kruengkale untuk belajar
hadis dan memperdalam fikih. Pada tahun 1920, ia memperoleh syaha>dah dari
Teungku Chik Hasan sebagai pernyataan bahwa ilmunya telah cukup dan berhak
membuka dayah sendiri.6 Bekal keilmuan yang diperoleh dari dayah-dayah
tersebut berorientasi pada keilmuan madhhab al-Shafi>’i> yang lazim dianut oleh
pesantren-pesantren di Indonesia ketika itu.
Sepulangnya dari Kruengkale, Hasbi bertemu dengan Muh{ammad bin
Sa>lim al-Kala>li>, seseorang yang termasuk kelompok pembaharu pemikiran
Islam di Indonesia yang tinggal di Lhokseumawe. Melalui al-Kala>li>, ia

4
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia; Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997), 7.
5
Perbedaan antara dayah dan meunasah; dayah adalah tempat belajar agama bagi orang-orang
yang telah dewasa. Sedangkan meunasah adalah tempat belajar agama bagi anak-anak. Lihat A.
Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 192.
6
Shiddiqi, Fiqh Indonesia, 13-14.

2
mendapat kesempatan membaca kitab-kitab yang ditulis oleh pelopor-pelopor
kaum pembaharu pemikiran Islam. Melalui al-Kala>li> juga, ia berkesempatan
membaca majalah-majalah yang menyuarakan suara-suara pembaharuan yang
diterbitkan di Singapura, Pulau Pinang dan Padang. Dengan al-Kala>li>, Hasbi
mendiskusikan konsep dan tujuan pembaharuan pemikiran Islam.7
Pada tahun 1926, dengan diantar al-Kala>li>,8 Hasbi berangkat ke
Surabaya untuk melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Irsyad yang pada saat itu
dipimpin oleh Umar Hubaisy. Di al-Irsyad, ia mengambil pelajaran takhassus
(spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa. Pendidikan ini dilaluinya
selama 1 tahun. 9
Pada Tahun 1928, Hasbi didaulat untuk memimpin sekolah al-Irsyad di
Lhokseumawe. Disamping itu, ia giat melakukan dakwah di Aceh dalam rangka
mengembangkan paham pembaharuan (tajdi>d) serta memberantas shirik, bid’ah
dan khurafat. Dua tahun kemudian, ia diangkat sebagai kepala sekolah al-Huda di
Kruengmane, Aceh Utara sambil mengajar di HIS (Hollandsch Inlandsche
Onderwijs) dan MULO (Meer Uitgebreid Onderwijs) Muhammadiyah. Pada
tahun 1940-1942, ia menjabat sebagai Direktur Dar al-Mu’allimi>n
Muhammadiyah di Kutaraja (Banda Aceh).10
Pada tahun 1951, Hasbi menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan
diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960, ia diangkat menjadi dekan
Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatan ini dipegangnya
hingga tahun 1972. Kedalaman pengetahuan keislamannya dan pengakuan
ketokohannya sebagai ulama terlihat dari beberapa gelar doktor (honoris causa)
yang diterimanya, seperti dari Universitas Islam Bandung pada 22 Maret 1975 dan
dari IAIN Sunan Kalijaga pada 29 Oktober 1975. Sebelumnya, pada tahun 1960,
ia diangkat sebagai guru besar dalam bidang ilmu hadis pada IAIN Sunan

7
Ibid., 15.
8
Ibid.
9
Armando, Enskiklopedi Islam, 323.
10
Ibid.

3
Kalijaga.11 Hasbi ash-Shiddieqy wafat di rumah sakit Islam Jakarta pada hari
selasa, 9 Desember 1975.12
2. Karya-karya M. Hasbi ash-Shiddiqieqy
M. Hasbi ash-Shiddieqy tidak hanya dikenal sebagai seseorang yang
mendalami bidang tafsir, tapi ia juga dikenal sebagai Ulama’ yang multidisipliner.
Oleh karena itu, karya-karyanyapun beragam sesuai dengan kapasitas keilmuan
yang ia miliki. Diantara karya-karyanya, antara lain:13
a) Dalam bidang Tafsir dan ilmu al-Qur’an
1) Tafsir an-Nuur
2) Ilmu-ilmu al-Qur’an
3) Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an
4) Tafsir al-Bayan
b) Dalam bidang Hadis
1) Mutiara Hadis (Jilid I – VIII)
2) Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis
3) Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis
4) Koleksi Hadis-hadis Hukum
c) Dalam bidang Fikih
1) Hukum-hukum Fikih Islam
2) Pengantar Ilmu Fikih
3) Pengantar Hukum Islam
4) Pengantar Fikih Muamalah
5) Fikih Mawaris
6) Pedoman Shalat
7) Pedoman Zakat
8) Pedoman Puasa
9) Pedoman Haji
10) Peradilan dan Hukum Acara Islam
11) Interaksi Fikih Islam dengan Syariat Agama Lain

11
Ibdi.
12
Shiddiqi, Fiqh Indonesia, 60.
13
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir an-Nuur, Vol. I (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), xx-xxi.

4
12) Kuliah Ibadah
13) Pidana Mati dalam Syariat Islam
d) Umum
1) al-Islam
C. Tafsir an-Nuur
Tafsir an-Nuur karya M. Hasbi ash-Shiddieqy dikerjakan sejak tahun 1952
hingga tahun 1956, setelah itu dilakukan perbaikan yang selesai tahun 1961.
Karya tafsir ini juga disering disebut dengan tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur.
Perbaikan pada terbitan kedua dilakukan dengan meninggalkan uraian
yang tidak secara langsung berhubungan dengan tafsir ayat. Menurut Hasbi, hal
ini dilakukan agar pembaca tidak digiring pada pembahasan diluar pembahasan
tafsir, baik itu berhubungan dengan sejarah ataupun berhubungan dengan
pembahasan ilmiah lainnya. Perbaikan juga dilakukan pada pencantuman ayat-
ayat yang memiliki hubungan tema ataupun berhubungan dengan ayat yang
dicantumkan dengan cara memberikan footnote dan merujuk pada ayat lain yang
memiliki tema sama. Begitu juga, dalam perbaikan edisi kedua ini, Hasbi
mencantumkan keterangan tentang hadis yang dikutip dalam bentuk footnote.
Penyempurnaan dilakukan pada terbitan ketiga yang selesai pada tahun
1976. Penyempurnaan yang dimaksud dalam terbitan ketiga ini, tidak
dimaksudkan seperti perbaikan pada terbitan kedua. Akan tetapi lebih pada
klarifikasi tuduhan ataupun komentar yang ditujukan kepada Hasbi mengenai
orisinalitas karyanya. Dalam bagian muqaddimah tafsir an-Nuur dengan judul
“Sepatah kata Penjelesan”, Hasbi mengklarifikasi tuduhan yang menganggap
bahwa hasil karyanya adalah bentuk terjemahan penuh dari kitab tafsir klasik atau
bahkan terjemahan dari kitab tafsir karya al-Mara>ghi>. Kemudian ia
menjelaskan:14
Maka dengan segala ketawadhua’an hati saya menyatakan bahwa:
1. Penyusunan tafsir ini berpedoman kepada sejumlah tafsir induk yaitu:
kitab-kitab tafsir yang menjadi pegangan bagi penulis-penulis tafsir, baik
kitab tafsir bi al-ma’thu>r, kitab-kitab tafsir bi al-ma‘qu>l maupun kitab-
kitab tafsir yang menyarikan uraian tafsir induk, terutama ‘Umdat al-

14
Ibid., xv.

5
Tafsi>r an al-Ha>fiz} Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Mana>r, Tafsi>r al-
Qa>simi>, Tafsi>r al-Mara>ghi> dan al-Tafsi>r al-Wa>d{ih.
2. Dalam menafsirkan ayat, lebih dahulu dikemukakan ayat-ayat yang akan
ditafsirkan, satu, dua, tiga dan kadang-kadang lebih. Dalam hal ini
kadang-kadang mengutip pendapat al-Mara>ghi>, yang pada umumnya
mengikuti al-Mana>r dan kadang-kadang mengutip al-Tafsi>r al-
Wa>d}ih. Ayat-ayat ini dibagi kepada beberapa jumlah. Masing-masing
jumlah ditafsirkan sendiri-sendiri. Dalam membagi ayat kepada jumlah,
mengikuti sistematika al-Mara>ghi> yang pada umumnya mengikuti al-
Mana>r dan tafsir lain.
3. Dalam menerjemahkan ayat ke dalam bahasa Indonesia, tafsir ini
berpedoman pada Tafsi>r Abu> Su‘ud, Tafsir Shiddi>qi> Hasan Khan
dan Tafsi>r al-Qa>simi>. Terjemahan lafad didasarkan kepada tafsir
yang diberikan oleh tiga tafsir itu.
4. Mengenai materi tafsir, disarikan dari tafsir yang di-i’tibar-kan, dan
mayoritas pengambilannya dari al-Mara>ghi> yang mengikhtisarkan
uraian al-Mana>r. Ayat dan hadis yang dinukil dalam an-Nuur ini,
terdapat dalam tafsir-tafsir induk dan tafsir-tafsir yang mengambil dari
tafsir-tafsir induk itu, seperti al-Mara>ghi>. Oleh karena al-Mara>ghi>
dalam menyusun tafsirnya berpedoman kepada tafsir induk, maka
selalulah dibandingkan terlebih dahulu apa yang ditulis oleh al-
Mara>ghi>, al-Qa>simi> dengan tafsir-tafsir yang dikemukakan oleh
kitab tafsir induk itu.

Dari klarifikasi tersebut, dapat diketahui bahwa karya yang ditulis Hasbi
merupakan karya dalam bentuk reproduksi tafsir, yakni mengumpulkan beberapa
pandangan penafsir dalam satu karya utuh. Dalam kajian Howad M. Federspiel,
penggabungan beberapa literatur dalam beberapa tafsir di Indonesia bertujuan
untuk menyajikan informasi dan memperkuat ajaran-ajaran Islam.15
Untuk lebih memahami tafsir an-Nuur karya M. Hasbi ash-Shiddieqy,
dipaparkan penjelesan yang lebih terperinci mengenai sistematika penulisan,
metode dan corak penafsiran dan hal-hal lain yang bekenaan dengan penjelasan
Hasbi dalam Tafsir an-Nuur.
1. Latarbelakang Penulisan Tafsir an-Nuur
Penulisan tafsir an-Nuur tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
intelektual masyarakat muslim Indonesia pada periode awal tahun 1950-an.
Perkembangan intelektual muslim di Indonesia, dimulai dengan adanya

15
Howard M> Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus hingga Quraish
Shihab, terj. Tajul Arifin (Bandung: Mizan, 1996), 109.

6
gagasan pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Setalah adanya
peristiwa politik dengan berpindahnya pusat pemerintahan ke Yogyakarta, STI-
pun ikut berpindah ke Yogyakarta.
Dalam sidang panitia perbaikan STI, diputuskan untuk merubah STI
menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Kemudian pada tanggal 12 Agustus
1950, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengambil alih Universitas
Islam Indonesia di Yogyakarta.16 Langkah ini menjadi titik awal perkembangan
perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Dengan adanya perkembangan perguruan tinggi Islam, perkembangan
kebudayaan Islam juga tumbuh semakin pesat. Kebutuhan terhadap beberapa
literatur kajian ke-Islaman dalam bahasa Indonesia juga menjadi semakin
besar. Hal ini kemudian menjadi perhatian Hasbi, untuk memenuhi kebutuhan
terhadap penguatan dan perkembangan pemahaman al-Qur’an, Hadis dan
kitab-kitab yang terkait dengan pemahaman Islam dalam bahasa Indonesia.17
Latarbelakang lain yang menjadi pendorong Hasbi ash-Shiddieqy dalam
menulis kitab tafsirnya adalah kecurigaannya terhadap kitab tafsir yang ditulis
dalam bahasa Asing (selain Arab dan Indonesia). Kitab yang dimaksud Hasbi
adalah kitab-kitab tafsir dalam bahasa Inggris atau Belanda yang ditulis oleh
penulis non-Muslim. Dia berargumen bahwa kitab tersebut tidak ada jaminan
akan kelayakan dan kesesuaian dengan jiwa dan kemurnian ajaran Islam.
Menurut Hasbi, penulis kitab tafsir dalam bahasa Asing, hanya menguraikan
al-Qur’an sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki tanpa adanya
penguasaan tentang akidah.18 Alasan yang diajukan Hasbi cenderung tidak
memiliki landasan kuat, karena terdapat beberapa tafsir dalam bahasa Inggris
ataupun Belanda justru memiliki analisa yang sesuai dengan akidah Islam.
Begitu juga, argumen Hasbi bahwa tafsir dalam bahasa Asing hanya
berdasarkan pada pengetuhan saja umum saja. Dalam konteks ini, pengetahuan

16
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Sejarah Pendidikan Islam dan Organisasi Ditjen
Pendidikan Islam, dalam http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis#
(17 Oktober 2015).
17
ash-Shiddieqy, Tafsir an-Nuur, xi.
18
Ibid., xii.

7
umum justru dibutuhkan untuk memperkaya pemahaman tentang al-Qur’an
dalam tinjauan science.
Selain itu, motivasi terpenting dalam penulisan tafsir ini, sebagaimana
diungkap Hasbi, adalah untuk memperbanyak literatur Islam di masyarakat
Islam Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar pemahaman tentang al-Qur’an yang
menjadi dustu>r al-tashri’ menjadi pedoman bagi seluruh umat Islam di
Indonesia.19
2. Sistematika Tafsir an-Nuur
Tafsir an-Nuur termasuk dalam karya tafsir dengan susunan tarti>b
mush}afi>. Hasbi ash-Shidieqy memulai penjelasan dalam kitab tafsir an-Nuur
dengan menjelaskan perihal ta‘awwudh. Dia memulai dengan menjelaskan
tempat membacanya, cara membaca, dan lafad ta‘awwudh serta tafsirannya.
Kemudian dimulai dengan penjelasan surat al-Fatihah dan surat-surat
selanjutnya sesuai dengan urutan mush}afi>. Dalam sistematika penjelasannya,
Hasbi memulai dengan menyebut ayat sesuai dengan tema pokok yang
berpedoman pada tafsi>r al-Mara>ghi> karya Must}afa> al-Mara>ghi> dan
tafsi>r al-Mana>r karya Muh}ammad Rashi>d Rid}a>.
Setelah penyebutan ayat, Hasbi menerjemahkan makna ayat ke dalam
bahasa Indonesia dengan menggunakan terjemahan tafsi>riyyah. Terjemah
tafsi>riyyah adalah penjelasan al-Qur’an sesuai dengan kandungan makna
yang dikehendaki tanpa adanya penjagaan terhadap susunan kata.20 Untuk lebih
menganggambarkan bentuk terjemahan Hasbi dalam an-Nuur, penulis
membandingkan dengan terjemahan Kementrian Agama RI dalam al-Qur’an
dan terjemahannya.
  
  
   
   
    
  
19
Ibid.
20
Muh}ammad Husain al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Vol. 1 (Kairo: Maktabah
Wahbah, 2000), 21.

8
   
 
   
  
 
  
  
   
  
   
 
   
   
  
  
  
Terjemahan Kementrian Agama RI
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.21

Terjemahan Tafsir an-Nuur


Dihalalkan bagimu pada malam puasa mendekati isterimu. Mereka adalah
pakaianmu, dan kamu pakaian mereka. Allah mengetahui, sesungguhnya
kamu menghianati dirimu sendiri, maka Allah menerima tobatmu dan
memaafkan kesalahanmu. Maka, sekarang pergaulilah isteri-isterimu dan
carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu. Dan makan
minumlah kamu, sehingga teranglah bagimu antara benang putih dan
benang hitam, yaitu waktu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasamu
hingga malam. Janganlah kamu mempergauli isterimu, sedangkan kamu
tengah beriktikaf dalam masjid. Itulah batasan-batasan Allah, karena itu

21
Departemen Agama RI, Tafsir dan Terjemahannya (Semarang: C.V. Toha Putra, 1989), 41.

9
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-
Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.22

Langkah yang dilakukan selanjutnya adalah menafsirkan ayat dengan


terlebih dahulu menuliskan ayat tersebut dalam bahasa Indonesia dengan
sistem transliterasi. Kemudian menafsirkan ayat dengan langsung mengarahkan
pada esensi yang dituju oleh ayat tersebut.
Kemudian, Hasbi mencantumkan ayat-ayat yang semakna ataupun
setopik yang terdapat dalam surat yang lainnya dengan ayat yang ditafsirkan.
Hal ini bertujuan untuk mempermudahkan pembaca mencari penjelasan yang
lebih komprehensif ataupun pengumpulan ayat-ayat yang setopik dalam al-
Qur’an. Penjelasan ini dilakukan oleh Hasbi dengan memakai catatan kaki
(footnote).
Langkah yang terakhir dalam tafsir an-Nuur adalah penjelasan asba>b
al-nuzu>l ayat dan hadis-hadis penguat. Dalam pemilihan hadis, Hasbi ash-
Shiddieqy hanya memilih hadis yang diakui shahi>h oleh para ahli hadis.
Meskipun demikian, penyebutan asba>b al-nuzu>l tidak dilakukan secara
menyeluruh. Beberapa ayat yang dalam kitab-kitab yang menjelaskan asba>b
al-nuzu>l, memiliki riwayat, justru tidak disebutkan. Begitu juga dalam
penyebutan hadis, hanya sebagain kecil saja, penjelasannya dikuatkan dengan
hadis. Misalnya, al-Wa>h}idi dalam Asba>b al-Nuzu>l al-Qur’a>n
menyebutkan riwayat turunnya surat al-Fatihah,23 akan tetapi Hasbi tidak
mencantumkan riwayat-riwayat tersebut. Hal ini disebabkan oleh adabtasi
tafsir yang ditulis oleh Hasbi hanya didasarkan pada pelacakan Asba>b al-
Nuzu>l melalui tafsir al-Mara>ghi> tanpa meninjau pada kitab Luba>b al-
Nuqu>l karya al-Shuyu>t}i> atau Asba>b al-Nuzu>l al-Qur’a>n karya Al-
Wa>h}idi>.
Penulis menyimpulkan bahwa penukilan Hasbi terkait dengan riwayat
saba>b al-nuzu>l tidak didasarkan pada kitab-kitab yang mengkhususkan
pembahasannya pada asba>b al-nuzu>l seperti Asba>b al-Nuzu>l karya al-

22
ash-Shiddieqy, Tafsir an-Nuur, Vol. I, 303.
23
Ali> bin Ah}mad al-Wa>hidi>, Asba>b al-Nuzu>l al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kutb al-
Ilmiyyah, 1991), 21.

10
Wa>hidi> atau Luba>b al-Nuqu>l fi Asba>b al-Nuzu>l karya al-Suyu>t}i>.
Hasbi lebih condong menukil riwayat dari al-Mara>ghi>, Rashi>d Rid}a>
ataupun Ibn Kathi>r tanpa mengkomparasikan dari kitab-kitab mu’tabarah
yang dikenal sebagai kitab rujukan dalam pembahasan asba>b al-nuzu>l.
Misalnya penjelasan surat al-Baqarah ayat 139, Hasbi menjelaskan dalam
sebab turun ayat,
Diriwayatkan, ayat ini turun karena orang Yahudi dan Nasrani berkata:
“Seluruh manusia wajib mengikuti kita dalam beragama. Sebab, para nabi
adalah dari golongan kita dan hukum-hukumnya pun diturunkan kepada
kita. Sedangkan dari kalangan orang Arab tidak pernah ada Nabi dan
syariat-syariat”. Allah membantah segala anggapan mereka itu dengan
turunnya ayat ini.

Setelah dilakukan penelusuran dalam karya al-Wa>hidi> maupun al-


Suyu>t}i>, penulis tidak menemukan riwayat tersebut sebagai sabab turun dari
ayat tersebut. Riwayat ini hanya ditemukan dalam Tafsi>r al-Mara>ghi>24
dan Tafsi>r al-Mana>r.
Begitupun penjelasan sebab turun surat al-Baqarah ayat 142, Hasbi
menukil penjelasan al-Mara>ghi>, dan al-Mara>ghi>-pun tidak
mengungkapkan langsung bahwa penjelasan itu adalah sebab turunnya ayat.
Al-Mara>ghi> meletakkan penjelasan tersebut dalam al-ma‘na> al-jumali>.
Menurut al-Mara>ghi>,25

‫كان النبي صلى هللا عليه وسلم وهو بمكة يستقبل الصخرة التي في‬
‫ كما كان أنبياء بنى‬،‫المسجد األقصى ببيت المقدس في الصالة‬
‫ ولكنه كان يحب استقبال الكعبة ويتمنى لو‬،‫إسرائيل قبله يفعلون ذلك‬
‫ ومن ث ّم كان يجمع بين استقبالها واستقبال‬،‫حول هللا القبلة إليها‬
ّ
.‫ فيصلى جهة جنوب الكعبة مستقبال الشمال‬،‫الصخرة‬
‫فلما هاجر إلى المدينة صلى مستقبال بيت المقدس فحسب لتعذر الجمع‬
‫ وبقي على ذلك ستة عشر شهرا كان في أثنائها يتوجه إلى هللا‬،‫بينهما‬
24
Dalam Tafsi>r al-Mara>ghi>, riwayat tersebut tertulis,
‫ ألن‬،‫ يجب أن يكون الناس لنا تبعا في الدين‬:‫" روى أن سبب نزول هذه اآليات أن اليهود والنصارى قالوا‬
"‫ فردّ هللا عليهم بما ستعلم بعد‬،‫األنبياء منا والشريعة نزلت علينا ولم يعهد في العرب أنبياء وال شرائع‬
Lihat Ah}mad Must}afa> al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi> , Vol. I (Mesir: Mus}t}afa> al-
Ba>bi> al-H}alabi>, 1946), 219.
25
Ibid., Vol. II, 4.

11
‫ فأمره هللا بذلك‬،‫أن يجعل الكعبة هي القبلة ألنها قبلة أبيه إبراهيم‬
‫ماء» إلخ فقال اليهود‬
ِ ‫س‬ َ ُّ‫ «قَ ْد نَرى تَقَل‬:‫ونزل قوله‬
َّ ‫ب َو ْج ِه َك فِي ال‬
‫ ما الذي دعاهم إلى تحويل القبلة من بيت‬:‫والمشركون والمنافقون‬
‫المقدس إلى الكعبة؟‬
Penjelasan ini, oleh Hasbi dinukil dan dijadikan sebagai riwayat sebab turun
ayat.26 Penjelasan yang dilakukan Hasbi, mengenai sebab turun dari surat al-
Baqarah ayat 142, menurut penulis tidak sah. Hal ini didasarkan pada pendapat
al-Wa>hidi bahwa tidak sah suatu pendapat dijadikan sebab turun ayat kecuali
riwayat atau persaksian dari orang yang secara langsung menyaksikan turunnya
wahyu.27
3. Metode dan Corak Tafsir an-Nuur
Menurut al-Farma>wi>, metode tafsir terbagi menjadi empat bagian
pokok. Pertama, metode tah}li>li>, menurutnya adalah suatu metode yang
menjelaskan makna-makna yang dikandung ayat al-Qur’an yang urutannya
disesuaikan dengan tertib ayat yang ada dalam mushaf al-Qur’an dari berbagai
aspek. Penjelasan makna-makna ayat tersebut bisa makna kata atau penjelasan
umumnya, susunan kalimatnya, asba>b al-nuzu>l-nya, serta keterangan yang
dikutip dari Nabi, sahabat maupun ta>bi‘i>n. Kedua, metode ijma>li>, yaitu
menafsirkan ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna secara global.
Sistematikanya mengikuti urutan surat al-Qur’an, sehingga makna-maknanya
saling berhubungan. Penyajiannya menggunakan ungkapan yang diambil dari
al-Qur’an sendiri dengan menambahkan kata atau kalimat penghubung,
sehingga memudahkan para pembaca dalam memahaminya. Ketiga, metode
maqa>ran, yaitu menafsirkan ayat dengan cara perbandingan. Keempat,
metode mawd}u>‘i>, yaitu, menafsirkan ayat al-Qur’an secara tematis.28
Dengan pemetaan yang dilakukan al-Farma>wi>, tafsir an-Nuur karya
Hasbi ash-Shiddieqy, masuk dalam kategori tafsir dengan metode tah}li>li>.
Hal ini didasarkan pada penjelasan Hasbi mengenai makna-makna yang

26
Lihat ash-Shiddieqy, Tafsir an-Nuur, Vol. I, 228.
27
al-Wa>hidi>, Asba>b al-Nuzu>l al-Qur’a>n, 10.
28
‘Abd al-Hayyi> al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-Mawd}u>‘i>, Dira>sah
Manhajiyyah Mawd}u>iyyah (Kairo: al-H}ad}ara>t al-Gharbiyyah, 1977) 17-49.

12
terkandung dalam ayat al-Qur’an dengan urutan yang disesuaikan dengan tertib
ayat dalam mushaf dari berbagai aspek. Penjelasan makna yang dilakukan
Hasbi, dimulai dengan penjelasan ayat dengan cara menerjemahkan secara
ma’nawiyyah. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan tafsir ayat dan dikuti
dengan penjelasan sebab turun ayat. Untuk lebih menggambarkan secara jelas
metode yang ditempuh Hasbi, dapat dilihat dari contoh penafsirannya.29

75
(186) Dan apabila hamba-  
hamba-Ku bertanya  
kepada engkau   
tentang Aku, maka
sesungguhnya Aku
 
dekat. Aku  
memperkenankan  
permohonan orang 
yang memohon, jika 
dia menyeru Aku. 
Karena itu, hendaklah  
mereka 
memperkenankan
(segala perintahku)
dan mengimani Aku,
supaya mereka
mendapatkan
petunjuk
TAFSIR
Wa i-dzaa sa-alaka ‘ibaadii ‘annii fa inni qariibun ujiibu
da’watad daa’ii i-dzaa da’aani = Dan apabila hamba-hamba-Ku
bertanya kepada engkau tentang Aku, maka sesunnguhnya Aku
dekat. Aku memperkenankan permohonan orang yang memohon,
jika dia menyeru Aku.261
Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada engkau, hai
Muhammad tentang diri-Ku, maka jelaskan bahwa Aku sangat dekat
kepada mereka. Aku memperkenankan permohonan mereka yang
memohon sesuatu.
Makna “Tuhan dekat kepada hamba-Nya” adalah, ilmu-Nya
meliputi segala sesuatu, dan Allah mendengar pembicaraan mereka,
serta melihat amalan pekerjaan mereka.

29
Contoh yang ditulis dalam makalah ini terkait dengan penafsiran Hasbi terhadap surat al-
Baqarah ayat 186. Lihat ash-Shiddieqy, Tafsir an-Nuur, Vol. I, 300.

13
Tuhan memerintahkan Muhammad agar memperhatikan manusia
tentang apa yang wajib mereka perhatikan seungguh-sungguh dalam
ibadat puasa dan ibadat-ibdat lain. Yaitu, dengan doa tunduk patuh
ikhlas dan berharap kepada Allah SWT. sendiri.
Tuhan juga memperhatikan Muhammad supaya
menginformasikan kepada para hamba, bahwa Allah dekat kepada
mereka, tak ada penghalang (hijab) antara mereka kepada Tuhan. Juga
tidak ada orang yang berdiri di tengah-tengah selaku pemberi syafa’at
(syaafi’ ataupun perantara) yang harus menyampaikan doa mereka
kepada Allah dan ibadat-ibadatnya. Atau menyekutukan Allah dalam hal
menerima dan memperkenankan seruan (doa) hamba-Nya. Ditegaskan,
Allah sendiri yang memperkenankan doa tanpa perantara, apabila hamba
menyampaikan permohonannya. Allah sendiri yang menjadikan mereka
dan mengetahui apa yang dikeluh-kesahkan para hamba.
Orang-orang arif yang menyelami rahasia-rahasia syariat dan
sunnah Allah dalam alam ini tentunya tidak bermaksud agar semua
doanya dikabulkan seperti apa yang diucapkan, namun yang diingini
adalah memperoleh hidayah (petunjuk). Misalnya, apabila mereka
memohon penambahan rezeki, maka bukanlah mereka bermaksud
supaya langit menurunkan hujan emas dan perak. Apabila mereka
memohon kepada Allah untuk menyembuhkan penyakit yang
dideritanya bukan dimaksud menyalahi adat kebiasaan ataupun hukum
objektif, tetapi mohon supaya Tuhan memberi taufik untuk memperoleh
obat yang bisa menyembuhkan.
Orang yang tidak mau berusaha dan ingin agar harta datang
sendiri, sesungguhnya orang tersebut bukan berdoa (pendoa), tetapi
seorang jahil (bodoh). Sama halnya dengan orang yang sakit dan minta
kesembuhan, tetapi tidak menjahui pantangan, dan tidak mau meminum
obat.
Doa yang dituntut syara’ adalah: “Mengucapkan doa dengan
lisan, sedangkan hatinya benar-benar menghadap kepada Allah.” Itulah
perasaan yang seharusnya diekspresikan oleh orang yang membutuhkan
Allah. Berdasarkan hal ini, maka Nabi Muhammad menamakan doa
sebagai otak ibadah (mukhkhul ibadah).
Makna “Tuhan memperkenankan doa” adalah: menerimanya dari
mereka yang doanya disampaikan secara ikhlas kepada Allah, baik yang
diminta itu terus dikabulkan ataupun tidak dikabulkan seketika.
Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk meninggikan
(mengeraskan) suara ketika berdoa, dan tidak ada alasan untuk
mempergunakan perantara antara Allah dengan kita dalam mengajukan
hajat (permohonan) seperti yang dilakukan oleh kaum musyrikin, yaitu
ber-tawasul dengan memakai syufa’a dan wusatha’ (orang-orang
perantara).
Fal yastajiibuu lii wal yu’minuu bii = Karena itu, hendaklah
mereka memperkenankan (segala perintah-Ku) dan mengimani
Aku.262

14
Oleh karena Aku dekat kepada mereka, memperkenankan seruan
siapa saja yang disampaikan kepada-Ku, maka hendaklah mereka juga
menyambut seruan-Ku, yaitu melaksanakan perintah agama untuk
beriman dan melaksanakan ibadat-ibadat yang memberi manfaat kepada
mereka, seperti puasa, zakat dan lain-lain ibadat sebagaimana Aku
mengabulkan doa mereka.
La’allahum yarsyuduun = Supaya mereka memperoleh petunjuk.
Hendaklah mereka memperkenankan seruan_ku dan beriman
kepada-Ku supaya mereka memperoleh petunjuk.
Segala amalan perbuatan yang terbit dari roh iman membuka
jalan untuk memperoleh petunjuk dan menjauhkan kita dari kerusakan.
Adapun ibadat yang dikerjakan berdasarkan adat dan pergaulan tidaklah
untuk mencapai ketakwaan dan mendapatkan petunjuk, bahkan
menambah orang yang melaksanakannya terjerumus ke dalam kerusakan
akhlak dan lautan hawa nafsu.
Hal ini dapat kita saksikan pada diri orang-orang yang berpuasa
hanya karena ikut-ikutan saja, bukan berdasar keikhlasan kepada Allah
dan bukan pula karena mengharap pahala-Nya.
Sebab turun ayat
Ada riwayat yang menjelaskan bahwa dalam perang Khaibar,
Nabi saw. mendengar para muslim berdoa kepada Allah dengan suara
yang sangat keras. Maka, Nabi pun bersabda:
،‫ فانكم ال تدعون اصم وال غائبا‬،‫ايها الناس اربعون اربعوا علي انفسكم‬
‫انكم تدعون سميعا قريبا وهو معكم‬
“Wahai semua manusia, kasihanilah dirimu karena kamu bukan
menyeru orang tuli dan bukan pula orang yang jauh. Sesungguhnya
kamu menyeru Tuhan yang Maha Mendengar dan Maha Dekat. Dia
ada beserta kamu”. (H.R. Ahmad, Bukhari/Muslim dan Ashhabus
Sunan).
Dengan memahami sebab turunnya ayat tersebut dan hadis ini
tegaslah bahwa tidak seyogianya kita mengeraskan suara dan berdoa,
melainkan sekedar yang diperkenankan syara’ dalam sembahyang jahar
(iman membaca Fatihah secara keras), yaitu sekedar bisa didengar oleh
orang terdekat dengan kita. Maka, barangsiapa sengaja melebihkan
suaranya dari itu, yakni menyarikan suara di kala berdo’a, maka
perbuatannya itu berlawanan dengan perintah Allah dan perintah Nabi
saw.
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Allah itu amat mengetahui
keadaan hamba-Nya, bisa mendengar semua ucapan dan percakapan
mereka. Allah memperkenankan seruan para pendoa dan memberi
pembalasan kepada masing-masing menurut amal perbuatannya.
261
Ayat ini semakna dengan S.50: Qaaf, 50.
262
Istijabah bermakna: memperkenankan seruan dengan memberi ‘inayah dan persiapan

15
Selain klasifikasi al-Farma>wi> mengenai metode tafsir, Nashruddin
Baidan juga mengaklasifikasi metodologi tafsir berdasarkan bentuknya dengan
tafsir bi al-ma’thu>r dan tafsir bi al-ra’y.30 Tafsir bi al-ma’thu>r adalah
penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat lain, dengan sunnah ataupun
dengan perkataan sahabat.31 Sedangkan tafsri bi al-ra’y adalah menafsirkan al-
Qur’an berdasarkan ijtihad mufasir setelah penguasaannya terhadap bahasa
Arab dengan segala seginya, penguasaannya terhadap maksud lafad bahasa
Arab dengan memperhatikan syair-syair Ja>hiliyyah, dan memperhatikan
asba>b al-nuzu>l, penguasaan penafsir terhadap na>sikh dan mansukh ayat,
dan penguasaan penafsir terhadap syarat-syarat yang yang dibutuhkan.32
Dengan pengertian ini, tafsir an-Nuur dari segi bentuknya masuk dalam
kategori tafsir bi al-ra’y. Pengkategorian ini didasarkan pada penggunaan
ijtihad dari Hasbi dalam menjelaskan kandungan dan makna al-Qur’an.
Beberapa bentuk ijtiha>di> Hasbi dalam menguraikan makna kandungan al-
Qur’an:
a. Penjelasannya terhadap ayat-ayat yang setema
Hasbi ash-Shiddieqy memberikan keterangan dalam setiap ayat di
lain surat yang memiliki tema dan pemahaman yang sama. Misalnya dalam
penjelasan conto diatas, terdapat catatan kaki pada akhir penerjemahan
surat al-Baqarah ayat 186 bahwa ayat tersebut semakana dengan surat al-
Qa>f (50): 50.

b. Penjelasan tentang muna>sabah surat


Setelah membaca tafsir an-Nuur, maka akan ditemukan dalam setiap
pembahasan diawal surat tentang kaitan dengan surat sebelumnya.
Misalnya, penjelasan di awal surat Ali Imra>n, Hasbi menjelaskan,
Apabila kita perhatikan hubungan surat ini dengan surat yang telah
lalu (al-Baqarah), nyatalah kepada kita bahwa:

30
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 67.
31
Muh}ammad Abd al-‘Adi>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, Vol.
II (Beirut: Da>r al-Kita>b al-Arabi>, 1995), 12.
32
al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, 183.

16
Surat ini, sebagaimana surat yang telah lalu, dimulai dengan
menjelaskan tentang al-Qur’an dan keadaan manusia dalam
mengambil petunjuk dari al-Qur’an.....

Dalam surat Ali Imra>n, doa itu berupa permohonan diterimanya


seruan agama dan pembalasan di akhirat. Surat Ali Imra>n disudahi
dengan suatu rangkaian Firman Allah yang bersesuaian dengan
pembukaan surat yang pertama. Seakan-akan penutup surat yang
kedua ini menyempurnakan bagian yang pertama. Surat pertama
dimulai dengan menjelaskan tentang orang-orang yang bertakwa
(muttaqin) yang memperoleh kemenangan, sedangkan surat kedua
diakhiri dengan perintah bertakwa agar memperoleh bekal untuk
mendapatkan kemenangan (kebahagiaan).33

c. Penolakan terhadap taqli>d dan tawas}ul


Seperti halnya para Ulama’ kontemporer, Hasbi memilih untuk
melakukan ijtihad dan meninggalkan taqli>id. Dalam penjelasan surat al-
Baqarah ayat 176, Hasbi menjelaskan:
Wa innal la-dziinakh talafuu fil kitaabi la fi syiqaaqin ba’iid = Orang-
orang yang berselisih paham tentang al-Kitab, sesungguhnya mereka
dalam pertikaian.
Semua orang yang berselisih tentang al-Kitab yang sebenarnya
diturunkan oleh Allah untuk menyatukan pendapat tentang kebenaran
dan menghilangkan perselisihan diantara mereka, sungguh berada
dalam pertengkaran yang jauh dari jalan yang benar. Karena mereka
jauh dari kebenaran, maka mereka tidak memperoleh petunjuk.
Perilaku mereka berlain-lainan, dengan macam-macam bid’ah dan
mazhab yang mereka buat-buat dan masing-masing berdiri jauh dari
yang lain.34

Begitu juga,
..... Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk meninggikan
(mengeraskan) suara ketika berdoa, dan tidak ada alasan untuk
mempergunakan perantara antara Allah dengan kita dalam
mengajukan hajat (permohonan) seperti yang dilakukan kaum
musyrikin, yaitu ber-tawasul dengan memakai syufa’a dan wusatha’
(orang-orang perantara).

d. Pengungkapan hikmah-hikmah hukum

33
ash-Shiddieqy, Tafsir an-Nuur, Vol. I, 521-522.
34
Ibid., 275.

17
Penjelasan hikmah-hikmah hukum, dapat ditemukan salah satunya
dalam penjelasan Hasbi mengenai puasa. Menurutnya,
Puasa menanamkan syafaat dan rahmat yang memotivasi
(menggerakkan) hati untuk suka memberi dan suka bersedekah. Orang
yang berpuasa, saat merasa lapar teringatlah dia kepada orang yang
papa, yang tidak mendapatkan makanan, lalu timbullah rasa iba
kepadanya. Hal ini akan menimbulkan kemauan untuk saling
membantu antara sesama manusia dan menghidupkan rasa
persaudaraan yang berdasarkan nilai-nilai agama.35

Corak yang dimaksud dalam pembahasan tafsir adalah nuansa khusus


atau sifat khusus yang memberikan warna tersendiri pada tafsir.36 Sehingga
setiap tafsir memiliki warna khusus dalam setiap pembahasannya. Begitu juga
dengan tafsir an-Nuur karya Hasbi ash-Shiddieqy, terdapat nuansa yang
dominan dalam pembahasannya.
Hasbi ash-Shiddieqy, memberikan penjelasan panjang tentang
pemahaman sebuah ayat dengan mengaitkan pemahaman tersebut dengan
aturan kehidupan masyarakat. Nuansa semacam ini dalam ilmu tafsir dikenal
dengan al-adabi> al-ijtima>’i>. Menurut al-Dhahabi>, corak al-adabi> al-
ijtima>’i> adalah pengungkapan makna al-Qur’an kemudian mengaitkan
kandungan ayat dengan aturan hidup kemasyarakatan, yang berguna untuk
memecahkan problematika masyarakat.37 Misalnya penjelasan Hasbi dalam
menafsirkan surat al-Baqarah ayat 124,
Qaala laa yanaalu ‘ahdizh zhaalimiin = Allah berfirman: “Tidak
termasuk ke dalam janji-Ku orang-orang yang zalim.”
Allah menjawab bahwa Dia mengabulkan permohonan Ibrahim dan
sebagian keturunannya dijadikan sebagai imam bagi manusia. Tetapi,
janji-Nya itu tidak akan diberikan kepada orang-orang yang zalim, karena
mereka tidak layak untuk memperoleh posisi itu. Yang dimaksud dengan
“janji Allah” di sini adalah janji akan memberi derajat kenabian.
Penjelasan Tuhan bahwa kezaliman menjadi penghalang untuk diangkat
sebagai pemimpin terkandung maksud menjauhkan keturunan Ibrahim dari
perbuatan zalim dan membangkitkan rasa benci kepada kezaliman. Sebab,
kezaliman akan menjadikan seseorang tidak mungkin bisa memperoleh

35
Ibid., 294.
36
Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir; dari Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta:
Kreasi Warna, 2005), 69.
37
al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Vol. II, 401.

18
kedudukan tinggi dan mulia. Tuhan juga memerintahkan kita untuk
menjauhkan diri dari orang-orang yang zalim dan tidak bergaul dengan
mereka.
Kepemimpinan sebenarnya memang hanya diperoleh atau diberikan
kepada orang-orang yang berjiwa utama, yang melakukan amal yang baik
dan menjauhkan diri dari kejahatan (kemaksiatan). Sedangkan orang zalim
tidak akan memperoleh apa-apa. Kepempinan dan kenabian tidak bisa
dicapai oleh orang-orang yang mengotori jiwanya dengan kezaliman dan
budi pekerti yang buruk. Tugas kepala negara adalah membasmi
kezaliman dan kerusakan, sehingga kehidupan manusia menjadi aman dan
tenteram.
Dari ayat ini para ulama mengambil dalil, orang yang zalim tidak boleh
diangkat menjadi kepala negara dan mereka mensyaratkan pula bahwa
keabsahan menjadi kepala negara antara lain berilmu dan berlaku adil.38

D. Kesimpulan
Hasbi ash-Shiddieqy adalah seorang ulama, cendikiawan, ahli fikih dan
usul fikih, tafsir, hadis dan ilmu kalam. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh
pembaharu Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai ulama yang produktif dan
menghasilkan beberapa karya dalam berbagai disiplin keilmuan.
Salah satu karya dalam bidang tafsir adalah tafsir an-Nuur. Motivasi Hasbi
dalam penulisan tafsir ini, didorong oleh keinginan untuk menjadikan hukum-
hukum dalam al-Qur’an teraplikasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Dari segi metode, tafsir an-Nuur termasuk dalam karya tafsir dengan
metode tah}li>li> karena penguraian makna al-Qur’an yang dilakukan Hasbi
secara menyeluruh dari berbagai aspek. Dari segi sumber, tafsir an-Nuur termasuk
dalam karya tafsir bi al-ra’y. Sedangkan dari segi corak, tafsir an-Nuur bercorak
al-adabi> al-ijtima>’i>.

38
ash-Shiddieqy, Tafsir an-Nuur, Vol. I, 201.

19
Daftar Pustaka

Armando, Nina M. et al (eds.), Enskiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van


Hoeve, 2005.
Baidan, Nashruddin. Perkembangan Tafsir di Indonesia. Solo: Tiga Serangakai,
2003.
Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005.
Departemen Agama RI. Tafsir dan Terjemahannya. Semarang: C.V. Toha Putra,
1989.
Dhahabi> (al), Muh}ammad Husain. al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Kairo:
Maktabah Wahbah, 2000.
Farma>wi> (al), ‘Abd al-Hayyi>. al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-Mawd}u>‘i>,
Dira>sah Manhajiyyah Mawd}u>iyyah. Kairo: al-H}ad}ara>t al-
Gharbiyyah, 1976.
Federspiel, Howard M. Kajian al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus
hingga Quraish Shihab. terj. Tajul Arifin. Bandung: Mizan, 1996.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia; Dari Hermeneutika hingga Ideologi.
Yogyakarta: LkiS, 2013.
Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang,
1990.
Mara>ghi> (al), Ah}mad Must}afa>. Tafsi>r al-Mara>ghi> . Mesir: Mus}t}afa>
al-Ba>bi> al-H}alabi>, 1946.
Mustaqim, Abdul. Aliran-aliran Tafsir; dari Periode Klasik hingga Kontemporer.
Yogyakarta: Kreasi Warna, 2005.
Shiddieqy (ash), M. Hasbi. Tafsir an-Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqh Indonesia; Penggagas dan Gagasannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Wa>hidi> (al), Ali> bin Ah}mad. Asba>b al-Nuzu>l al-Qur’a>n. Beirut: Da>r
al-Kutb al-Ilmiyyah, 1991.
Zarqa>ni> (al), Muh}ammad Abd al-‘Adi>m. Mana>hil al-‘Irfa>n fi> Ulu>m al-
Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Kita>b al-Arabi>, 1995.

20

Anda mungkin juga menyukai