Anda di halaman 1dari 15

HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3

Fatma Aulia (16311310)

Muhammad Abdullah Qomari (16311318)

Risma Sylvarani (16311335)

Arga Ferdiansyah (16311306)

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

FAKULTAS EKONOMI

YOGYAKARTA

2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sekarang ini, pembahasan mengenai agama dan negara merupakan hal yang
menjadi topik tersendiri bagi berbagai pihak. Dalam suatu negara kehidupan
beragama menjadi pilihan bagi warganya karena hal tersebut merupakan hak asasi
bagi setiap manusia. Namun dalam menjalankan kehidupan bernegara,
menghubungkan antara agama dan negara menjadi polemik di antara berbagai
pihak yang lain.
Dalam sejarah peradaban dunia, hubungan agama dan negara telah mempengaruhi
berjalannya sistem politik sekarang ini. Pada masa abad pra pertengahan negara
berjalan di bawah otoritas agama dan pada abad pertengahan telah terjadi
pemisahan antara agama dan negara. Indonesia yang mayoritas penduduknya
adalah muslim juga mengalami permasalahan mengenai hubungan agama dan
negara. Munculnya kaum – kaum yang menuntut pemerintahan Islam juga
menjadi hal yang harus dapat ditangani oleh bangsa ini. Berdasarkan hal tersebut,
maka kami memilih judul “Hubungan Agama dan Negara”.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi negara dan agama?
2. Bagaimana hubungan negara dan agama dalam tinjauan politik Islam?
3. Bagaimana hubungan negara dan agama dalam tinjauan politik Barat?
4. Bagaimana hubungan negara dan agama di Indonesia?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mendeskripsikan definisi agama dan negara.
2. Menjelaskan hubungan negara dan agama dalam tinjauan politik Islam.
3. Menjelaskan hubungan negara dan agama dalam tinjauan politik Barat.
4. Menjelaskan hubungan negara dan agama di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Agama dan Negara


1. Definisi Agama
Menurut Bahrun Rangkuti, seorang muslim cendekiawan sekaligus seorang
linguis, mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa
Sansekerta; a-ga-ma. A (panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan gama
adalah bahasa Indo Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-cara
berjalan, cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan.
Selain definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta, agama dalam
bahasa Latin disebut Religion, dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa disebut
Religion dan Religious, dan dalam bahasa Arab disebut Din atau juga.
Dari pendapat tersebut, definisi dan pengertian agama memiliki perbedaan-
perbedaan pokok dan luas antara maksud-maksud agama pada kata ‘agama’ dalam
bahasa Sansekerta, dengan kata ‘religio’ bahasa latin, dan kata ‘din’ dalam bahasa
Arab. Namun secara terminologis, ketiganya memiliki inti yang sama, yaitu suatu
gerakan di segala bidang menurut kepercayaan kepada Tuhan dan suatu rasa
tanggung jawab batin untuk perbaikan pemikiran dan keyakinan, untuk
mengangkat prinsip-prinsip tinggi moralitas manusia, untuk menegakkan
hubungan baik antar anggota masyarakat serta melenyapkan setiap bentuk
diskriminasi buruk.
Agama adalah kekuatan ghaib yang diyakini berada di atas kekuatan manusia
didorong oleh kelemahan dan keterbatasannya. Manusia merasa berhajat akan
pertolongan dengan cara menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan
ghaib tersebut. Sebagai realisasinya adalah sikap patuh terhadap perintah dan
larangan kekuatan ghaib tersebut.1
Eka Darmaputera mendefinisikan negara sebagai realitas sosial dan sebuah
kenyataan manusiawi yang dapat difungsikan sebagai ideal type. Ketika agama
terperangkap kepada institusionalisme, yakni terjadinya penekanan dan pemusatan

1
Djalaludin H., Psikologi Agama, (jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), hlm. 15.
kepada dimensi kelembagaan atau institusional suatu agama, sehingga upaya
penguatan dan pengembangan institusional menjadikan agama semakin kuat,
semakin berkuasa, dengan demikian, maka agama akan mudah sekali terjebak
dalam sindrom mayoritas maupun minoritas.2
R.R. Marett, seorang ahli antropologi Inggris mengatakan bahwa definisi dan
pengertian agama itu menyangkut lebih dari pada hanya pikiran, yaitu perasaan
dan kemauan juga, dan dapat memanifestasikan dirinya menurut segi-segi
emosionilnya walaupun idenya kabur.
J. G. Frazer, megatakan agama adalah suatu ketundukan atau penyerahan diri
kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercayai mengatur
dan mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia.
Eden Sheffield Brigtman, memberikan definisi dan pengertian agama, yaitu
bahwa agama merupakan suatu unsur pengalaman-pengalaman yang dipandang
mempunyai nilai yang tinggi; pengabdian kepada suatu kekuasaan-kekuasaan
yang dipercayai sebagai sesuatu yang menjadi asal mula, yang menambah dan
melestarikan nilai-nilai ini; dan sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan
serta pengabdian tersebut baik dengan cara melakukan upacara-upacara yang
simbolis maupun melaui perbuatan-perbuatan yang lain yang bersifat
perseorangan serta yang bersifat kemasyarakatan.
Harun Nasution mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi yang
terkandung di dalamnya merupakan suatu kumpulan tentang tata cara mengabdi
kepada Tuhan yang terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau mengatakan
bahwa agama merupakan suatu ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi.
Beberapa definisi dan pengertian agama, memperlihatkan betapa luasnya cakupan
agama dan sekaligus menunjukkan betapa pengertian agama itu cukup banyak.
Hal ini di samping menunjukkan adanya perhatian besar dari para ahli terhadap
agama, juga menunjukkan bahwa merumuskan pengertian agama itu sangat sulit
sehingga tidak cukup satu pengertian saja.3

2
Eka Darmaputera, Agama sebagai kekuatan Moral bagi Proses Demokratisasi, dalam Agama
dan demokrasi, (Jakarta: P3M, 1994), hlm. 58-59.
3
Eka Darmaputera, Agama sebagai kekuatan Moral bagi Proses Demokratisasi, dalam Agama
dan demokrasi, (Jakarta: P3M, 1994), hlm. 62-65.
2. Definisi Negara
a. Pengertian dan Tujuan Negara
Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing, yakni state
(Inggris), staat (Belanda dan Jerman), dan etat (Perancis). Kata – kata tersebut
berasal dari bahasa latin status atau statum yang memiliki pengertian tentang
keadaan yang tegak dan tetap. Pengertian status atau station (kedudukan). Istilah
ini sering pula dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup antar manusia
yang disebut dengan istilah status republicae. Dari pengertian yang terakhir inilah
kata status selanjutnya dikaitkan dengan kata negara.
Sedangkan secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di
antara suatu kelompok masyarakat yang mempunyai cita cita – cita untuk bersatu,
hidup di suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian
ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang pada hakikatnya dimiliki
oleh suatu negara berdaulat, yaitu masyarakat, wilayah, dan pemerintahan yang
berdaulat.4
Beberapa tokoh mendefinisikan pengertian negara sebagai berikut :
1) Roger H. Soultau: negara didefinisikan sebagai agency (alat) atau authority
(wewenang) yang mengatur atau mengendalikan persoalan – persoalan bersama,
atas nama masyarakat.
2) Harold J. Laski mengemukakan menurutnya negara merupakan suatu
masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat
memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau manusia yang
hidup bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan – keinginan mereka
bersama.
3) Max Weber mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang
memiliki monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu
wilayah.5

4
Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006), hlm.
24.
5
Miriam Budiarjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Media, 1987), hlm. 39-
40.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa negara adalah suatu
daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang berhak
menuntut dari warga negaranya untuk taat pada peraturan perundang – undangan
melalui penguasaan monopolistis dari kekuasaan yang sah.6 Dalam konsep ajaran
Plato, tujuan adanya negara adalah untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai
perseorangan dan sebagai makhluk sosial.

b. Bentuk – Bentuk Negara


1) Negara Kesatuan
Negara kesatuan adalah negara yang bersusunan tunggal. Tidak ada negara dalam
negara. Pemerintah pusat mempunyai wewenang tertinggi dalam pemerintahan
atau mengatur seluruh daerah. Ciri – ciri dari negara kesatuan antara lain :
a. Satu UUD / konstitusi
b. Satu kepala negara
c. Satu dewan menteri/cabinet
d. Satu lemabga perwakilan7
2) Negara Serikat
Negara serikat adalah negara yang tersusun dari beberapa negara yang semula
berdiri sendiri. Negara – negara itu mengadakan kerjasama yang efektif. Sebagian
urusan diserahkan kepada pemerintah federal, sebagian urusan ditangani negara
bagian masing – masing. Ciri – ciri negara serikat antara lain :
a. Ada negara dalam Negara
b. Ada beberapa UUD/konstitusi
c. Ada beberapa kepala Negara
d. Ada beberapa dewan dan lembaga perwakilan
c. Bentuk – Bentuk Pemerintahan
1) Ajaran Klasik
Ajaran klasik yang diwakili oleh Plato, Aristoteles, dan Polybius menyebutkan
bahwa bentuk – bentuk pemerintahan antara lain :

6
Khairon, dkk, Pendidikan Politik bagi Warganegara, (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm. 111-114.
7
Farih Utami, BKS Pendidikan Kewarganegaraa, (Kediri: Tim MGMP), hlm. 6.
a. Monarki : pemerintahan yang dipegang oleh satu orang dam dijalankan
untuk kepentingan umum.
b. Tirani : pemerintahan yang dipegang oleh satu orang dan dijalankan untuk
kepentingan diri sendiri.
c. Aristokrasi : pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang dan
dijalankan untuk kepentingan umum.
d. Oligarki : pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang dan
dijalankan untuk kepentingan diri sendiri.
e. Demokrasi pemerintahan yang dipegang oleh rakyat dan untuk
kepentingan umum.
f. Anarkhi : pemerintahan yang dipegang oleh banyak orang yang tidak
berhasil menjalankan kekuasaan dan kepentingan umum.
2) Ajaran Modern
Monarki (Kerajaan) yang mempunyai ciri – ciri :
a. Kepala negara disebut raja
b. Kepala negara menjabat secara turun temurun
c. Masa jabatan kepala negara seumur hidup
Republik dengan ciri – ciri :
a. Kepala negara disebut presiden
b. Pengangkatan kepala negara berdasarkan hasil pemilu
c. Masa jabatan kepala negara terbatas sesuai dengan undang – undang.

B. Hubungan Negara dan Agama dalam Tinjauan Politik Islam


Pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara dalam Islam
dapat dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma integralistik, paradigma
simbiotik, dan paradigma sekularistik:
a. Paradigma Integralistik
Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama dan negara merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga
yang menyatu (integrated). Ini memberikan pengertian bahwa negara merupakan
suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan
bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara).
Paradigma integralistik ini dianut oleh kelompok Islam Syi’ah.
b. Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara dipahami saling
membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai
instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga
sebaliknya, negara memerlukan agama, karena agama juga membantu negara
dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.
c. Paradigma sekularistik
Menurut paradigma sekularistik, ada pemisahan (disparitas) antara agama dan
negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama
lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus
dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi (campur tangan).8
Dalam Islam, hubungan agama dan negara menjadi perdebatan yang cukup
panjang di antara para pakar Islam hingga kini. Bahkan menurut Azyumardi Azra,
perdebatan ini telah belangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga
dewasa ini. lebih lanjut Azra mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang
hubungan agama dan negara diilhami oleh hubungan yang agak canggung dalam
Islam sebagai agama dan negara. Berbagai eksperimen dilakukan dalam
menyelaraskan antara din dan konsep kultur politik masyarakat muslm, dan
eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragam.
Samir Amin mengungkapkan bahwa selayaknya dunia Islam melakukan
diferensiasi antara utopia – utopia yang muncul di masa lalai dan
mengekspresikan konflik sosial antarkalangan yang dieksploitir, penguasa yang
dizalimi, dan kalangan yang menyeru pada gerakan – gerakan kontemporer untuk
mendirikan Negara Islam. Hanya saja menurut Amir, sejarah yang benar
membukktikan bahwa penyatuan agama dan kekuasaan tidak terwujud kecuali
pada masa – masa belakangan dari perkembangan masyarakat Islam.9

8
Alfian Suhendrasah, Hubungan Agama dan Negara.
9
Husein Muhammad, Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam Ahmad Suaedy,
Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 88
C. Hubungan Negara dan Agama dalam Tinjauan Politik Barat
Politik bangsa barat tidak terlepas dari peradaban Kristiani. Sebelumnya,
peradaban bangsa barat mengalami fase kelam. Fase ini dikenal dengan abad
kegelapan di Eropa yang dipenuhi pertumpahan darah karena perang saudara-
agama, pengekangan kebebasan, anti-intelektualisme, daan maraknya takhayul
serta paham itasionalisme. Namun demikian, berkat para pemuka agama kristen
yang reformis, keadaan menjadi berbalik arah, dan masa pencerahan segera tiba.
Puncak sumbangan Kristiani terhadap peradaban Barat adalah peranan agama ini
dalam melahirkan gerakan reformasi protestan. Dengan tokohnya antara lain
Luther, Zwingli, dan calvin. Reformasi ini kemudian menjadi tonggok penting
sejara pemikiran dan peradaban Barat. Sejarah membuktikan doktrin reformasi
Protestan ini berdampak pada perilaku ekonomi orang – orang kristen di barat.10
Peradaban romawi juga mempengaruhi perkembangan politik barat. Gagasan
barat mengenai negara, kekuasaan politik, keadilan dan demokrasi secara
intelektual bisa dilacak dari tradisi politik Yunani Klasik yang dinamakan polis
atau city states. Sumbangan terbesar peradaban Romawi terhadap Barat yaitu pada
bidang hukum dan lembaga-lembaga politik. Tradisi keilmuan Yunani-Romawi
telah memberikan Barat metode-metode eksperimental dan spekulatif yang
peranannya sangat fundamental empirisme dan rasionalisme. Ada tiga bentuk
pemikiran hukum Romawi yang mempengaruhi pemikiran hukum Barat Ius
Civile, Ius Gentium dan Ius Naturale. Romawi membuat pemikiran spekulatif
Yunani yang bisa diterapkan. Dari segi pemikiran politik, Romawi membrikan
pemahaman kepada Barat tentang teori imperium. Berupa kekuasaan dan otoritas
negara, equal rights (hak persamaan politik), governmental contract (kontrak
pemerintah).11

10
Deddy Ismatullah, dkk, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007),
hlm. 190-193.
11
Nahid Fadaq, Pemikiran Politik Barat, http://nahidfadaq.blogspot.com/2013/04/pemikiran-
politik-barat.html, 16 April 2013, diakses tanggal 25 Maret 2017.
D. Hubungan Negara dan Agama di Indonesia
Berbicara mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia merupakan
persoalan yang menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk
Indonesia mayoritas islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi
perdebatan di kalangan beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal
tersebut maka hubungan agama dan negara dapat digolongkan menjadi 2 :
1.Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik .
Maksud hubungan antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya
ketegangan antar negara dengan islam sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya
adalah pada masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam
pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis
kebangsaan negara. Sehingga pesepsi tersebut membawa implikasi keinginan
negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi
politik islam. Hal itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu
ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan islam dan
nasionalis. Gerakan nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok
belajar yang bersekolah di Belanda. Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat
berbakat dan merasa terkesan dengan kemajuan teknis di Barat. Pada waktu itu
pengetahuan agama sangat dangkal sehingga mahasiswa cenderung menganggap
bahwa agama tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan. Sehingga untuk
menuju kemerdekaan, nasionalis mengambil jalan tengah dengan mengikuti tren
sekuler barat dan membatasi peran agama dalam wilayah kepercayaan dan agama
individu. Akibatnya, aktivis politik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai
ideologi atau agama negara pada 1945 serta pada dekade 1950-an, mereka juga
sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider.”
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak
dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang
berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa
pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan
tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka.
Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam dan
negara terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Adapun
upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun
1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih
berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama
pemerintahan Orde Baru ( kurang lebih pada 1967-1987). Hubungan agama dan
negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik, di mana negara betul-betul
mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial dalam menandingi eksistensi negara.
Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang
tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan
pemerintahan.
2. Hubungan Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan agama
satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan
untuk mengurangi konflik (M. Imam Aziz et.al.,1993:105). Pemerintah menyadari
bahwa umat islam merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga Negara
mengakomodasi islam. Jika islam ditempatkan sebagai out-side Negara maka
konflik akan sulit dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI.
Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan
negara mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai
dengan semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta dirumuskannya
sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian (besar) masyarakat Islam.
Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada yang bersifat:
1) Struktura, yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para aktivis
Islam untuk terintegrasikan ke dalam Negara.
2) Legislatif, misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai
akomodatif terhadap kepentingan Islam.
3) Infrastructural, yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-
infrastruktur yang diperlukan umat Islam dalam menjalankan “tugas-
tugas” keagamaan.
4) Kultural, misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap Islam yaitu
menggunakan idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis
maupun politik negara.
Melihat sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam politik
mengalami dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun, harus diakui
Pak Harto dan kebijakannya sangat berpengaruh dalam menentukan corak
hubungan negara dan Islam politik di Indonesia.
Alasan Negara berakomodasi dengan islam pertama, karena Islam merupakan
kekuatan yang tidak dapat diabaikan jika hal ini dilakukan akan menimbulkan
masalah politik yang cukup rumit. Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri
terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan
mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari latar
belakangnya. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik di
kalangan Islam itu sendiri. Sedangkan alasan yang dikemukakan menurut
Bachtiar, adalah 25 terakhir umat Islam mengalami proses mobilisasi-sosial-
ekonomi-politik yang berarti dan ditambah adanya transformasi pemikiran dan
tingkah politik generasi baru Islam.
Hubungan islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang lambat laun
menjadi akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika umat Islam
Indonesia ketika itu dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama
dalam masalah ideologi Pancasila.12
Sekarang ini sering muncul konflik yang mengatasnamakan agama. Untuk dapat
mengakhiri hal tersebut, kewajiban kita adalah menciptakan kehidupan beragama
yang penuh dengan perdamaian, saling menghargai, menghormati, dan mencintai
sebagai umat manusia yang beradab.
Pancasila telah memberikan dasar – dasar nilai yang fundamental bagi umat
bangsa Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama. Dalam
hal ini, negara memberikan jaminan kebebasan bagi setiap warga negara untuk
memeluk suatu agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu.
Setiap agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama lain, namun

12
Hainur Rahman, dkk, Relasi Agama dan Negara, http://mku-pkn-
utm.blogspot.com/2013/04/makalah-ketuhanan-relasi-agama-negara.html, diakses tanggal 25
Maret 2016.
pada dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati, menghargai,
serta hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama yang lain. Maka,
negara dan masyarakat berkewajiban mengembangkan kehidupan beragama yang
penuh dengan toleransi dan saling menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan
yang beradab.
BAB III
PENUTUP

1. Negara adalah suatu wilayah dimana didalamnya terdapat kumpulan


masyarakat yang memiliki kekuasaan politik, ekonomi, militer, dan budaya.
Sebuah Negara biasanya dipimpin oleh yang namanya pemerintah.
Pemerintah merupakan penguasa tertinggi dalam suatu wilayah yang disebut
negara.
2. Setiap agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama lain,
namun pada dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati,
menghargai, serta hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama
yang lain. Maka, negara dan masyarakat berkewajiban mengembangkan
kehidupan beragama yang penuh dengan toleransi dan saling menghargai
berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab.
DAFTAR PUSTAKA
Djalaludin H., Psikologi Agama, (jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), hlm. 15.
Eka Darmaputera, Agama sebagai kekuatan Moral bagi Proses Demokratisasi,
dalam Agama dan demokrasi, (Jakarta: P3M, 1994), hlm. 58-65.
Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2006), hlm. 24.
Miriam Budiarjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Media, 1987), hlm. 39-40.
Khairon, dkk, Pendidikan Politik bagi Warganegara, (Yogyakarta: LKIS, 1999),
hlm. 111-114.
Farih Utami, BKS Pendidikan Kewarganegaraa, (Kediri: Tim MGMP), hlm. 6
Alfian Suhendrasah, Hubungan Agama dan Negara.
Husein Muhammad, Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam
Ahmad Suaedy, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS, 2000),
hlm. 88.
Deddy Ismatullah, dkk, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2007), hlm. 190-193.
Nadid Fadaq, Pemikiran Politik Barat,
http://nahidfadaq.blogspot.com/2013/04/pemikiran-politik-barat.html, 16 April
2013, diakses tanggal 25 Maret 2016.
Hainur Rahman, dkk, Relasi Agama dan Negara,
http://mku-pkn-utm.blogspot.com/2013/04/makalah-ketuhanan-relasi-agama-
negara.html, diakses tanggal 25 Maret 2016.

Anda mungkin juga menyukai