Anda di halaman 1dari 4

SUKU KAILI dalam

Orang kaili berdiam di sebelas kecamatan dalam wilayah Kabupaten Donggala,


provinsi Sulawesi Tengah, yaitu Sindue, Sirenja, Tawaeli, Sigi Biromaru, Ampibabo,
Damsol, Moravola, Parigi, Banawa, Dolo dan Palu. Orang kaili oleh sebagian ahli ilmu
bangsa-bangsa disebut juga sebagai Orang Toraja Barat Atau Toraja Palu, Toraja Parigi,
Toraja Sigi. Sebagian lain berdiam di Kecamatan Una-Una, Poso Pesisir, Lage, Tojo, dan
Ampana di Kabupaten Poso.

Termasuk rumpun bahasa Austronesia, Melayu-Polinesia Barat. Bahasa Kaili


termasuk golongan “bahasa tak” atau bahasa ingkar. Adriani dan Kruyt (1912) menyebutnya
sebagai bahasa Ta’a berarti “tidak”. Terbagi dua kelompok. Pertama bahasa Kaili Da’a ata
Ta’a (= tidak), dialek-dialeknya, Da’a (Pekawa, Pekava, Pakawa), Inde, Undo, (Banawa,
Banava). Kedua bahasa kaili Ledo (Palu), Rai (Tawaiali-Sindue), Raio (Kori), Ija (Sigi),
Ta’a. Ledo adalah lingua franca dan bahasa dagang di daerah Toraja Barat.

Mata pencarian utama masyarakat Kaili adalah bercocok tanam di sawah dan ladang.
Tanaman yang bias amereka tanam adalah padi, jagung, dan sayur-sayuran. Selain itu, pada
masa sekarang mereka juga bertanam cengkeh, kopi, dan kelapa. Dari hutan mereka
mengumpulkan kayu damar, dan rotan yang cukup mahal harganya. Sebagian di antara
mereka menangkap ikan di sekitar pantai dan muara sungai. Dan mereka juga terkenal
sebagai penenun kain tradisionl yang cuku terkenal yaitu sarung Donggala.

Masyarakat ini menggunakan sistem hubungan kekerabtan yang bilateral. Hubungan


perjodohan yang menjadi dambaan lama adalah endogami dan kuatnya pengaruh orang tua
dalam penentuan jodoh. Kelompok kekerbatan yang terutama adalah keluarga luas bilateral
yang mereka sebut ntina. Keluarga luas ini diaktifkan terutama dalam setiap upacara daur
hidup. Akan tetapi masyarakat juga mengenal sistem pewarisan menurut keturunan ibu dan
sistem menetap setelah kawin yang uksorilokal sifatnya.

Struktur sosial masyarakat kaili pada masa dulu terdiri atas beberapa lapisan. Lapisan
pertama adalah maradika, yaitu golongan bangsawan keturunan bekas raja-raja Kaili; kedua
adalah lapisan to gura-nungata, yaitu keturunan para pembesar bawahan raja-raja; ketiga
lapisan to dea, yaitu orang kebanyakan, dan trakhir lapisan batua atau hamba sahaya. Pada
masa sekarang lapisan seperti ini semakin hilang.
Pada masa sekarang sebagian besar orang Kaili menganut agama Islam. Sebelum
agama Islam masuk pada abad ke-17, sistem kepercayaan lama mereka yang disebut Balia
merupakan pemujaan kepada dewa-dewa dan roh nenek moyang. Kegiatan saling tolong
menolong dalam kehidupan masyarakat Kaili terutama sekali terlihat saat uapacara-upacara
adat ang amat banyak memakan biaya. Saling tolong menolong seperti ini mereka namakan
sintuvu. Kegiatan gotong royong dalam berbagai aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat
Kaili sekarang banyak mengambil dasarnya dari sintuvu itu.

Berdasarkan penelitian pola konsumsi makan suku Kaili di Palu, umumnya tiga kali
makan, yaitu makan pagi (sarapan), makan siang, dan makan malam. Keluarga jarang
menghidangkan buah dalam menu makanannya. Terdapat beberapa makanan/minuman yang
diyakini oleh suku Kaili dapat membuat tubuh menjadi sehat, kuat, atau berkhasiat untuk
menyembuhan atau pengobatan penyakit. Misalnya minuman saraba yang memberikan efek
kesegaran dan kehangatan dalam tubuh. Buah bangkudu (mengkudu) dipercaya untuk
mengobati penyakit dalam dan darah tinggi, dan air kelapa muda dapat menyembuhkan
penyakit mag serta pisang ambon untuk menurunkan demam.

Namun ada juga makanan yang diyakini dapat membuat sakit atau mendatangkan
penyakit. Misalnya pisang ambon dan kamonji (kluwih) penyebab bisulan, daging kambing
penyebab asma dan darah tinggi, buah nangka penyebab peningkatan kolesterol dan stroke,
jambu air memperparah gejala malaria. Makanan yang pedas dan asam penyebab sakit perut
atau diare bagi anak-anak.

Suku Kaili memiliki makanan atau bahan makanan yang dipantang. Makanan pantangan
yang berlaku umum untuk semua golongan (umur dan jenis kelamin), yaitu dilarang memasak
dan memakan sayur daun kelor (uta kelo) atau nagka muda disaat terjadi kedukaan (dalam
keluarga sendiri atau di tetangga). Alasan yang dikemukakan adalah ditemukan serpihan
kuku, atau kulit kaki, bahkan sampai potongan ujung jari kelingking di dalam sayur
tersebut. Pada saat yang sama juga dilarang memasak teri duo dan udang bakar, karena
dianggap dapat mengakibatkan kematian yang beruntun atau bertambah orang yang
meninggal. Ibu hamil pantang makan cumi- cumi, karena kelak bayinya menjadi lemah
seperti yang tidak bertulang. Serta ada juga pantangan jika pria dan wanita makan berpindah-
pindah itu dilarang karena kelak akan memiliki banyak istri atau kawin berulang kali.

Dalam masyarakat suku Kaili makanan juga memiliki peran dalam simbol budaya salah
satunya pada saat acara suraya pokomonia (antar harta dari pihak calon penganti pria ke
pihak wanita) menyerahkan bermacam perangkat makan atau masak diserta satu piring nasi
dengan sayur kangkung atau sayur daun ubi jalar yang mempunyai makna agar rejekinya
kelak lancar atau menjalar. Serta kehidupan keluarga dalam kaitannya dengan makanan yaitu
pengelolaan keuangan rumah tangga dan menentukan menu makanan keluarga sehari-hari
oleh ibu rumah tangga. Norma yang berlaku terkait dengan makan antara lain adalah
makan sambil duduk bersila atau duduk di kursi dan tidak boleh sambil berdiri, laki- laki
makan terlebih dahulu kemudian menyusul perempuan. Pada saat makan bersama tidak
diperkenankan beranjak atau berdiri sebelum semuanya selesai makan.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayah, Zulyani. 2015. Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia edisi kedua. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Prayugi, Subur Djati, Ansar, Abd. Farid Lewa. 2015. Faktor Sosial Budaya Yang
Berhubungan Dengan Pola Konsumsi Makanan Pada Masyarakat Suku Kaili Di Kota Palu
Provinsi Sulawsi Tengah. Jurnal Ilmu Kesehatan. 1(1): 927-934.

Anda mungkin juga menyukai