Anda di halaman 1dari 15

A.

PERKEMBANGAN AKUNTANSI KEUANGAN

1. Ilmu Keperilakuan
Berdasarkan pada Behavioral Science Content of the Accounting Curriculum,
American Accounting Association’s Committees mengembangkan lingkup dan definsi
dari “Ilmu Keperilakuan” sebagai berikut. Ilmu keperilakuan adalah penemuan yang
relatif baru. Konsep tersebut begitu luas sehingga lingkup dan isinya lebih baik
digambarkan dari awal. Ilmu keperilakuan mencakup bidang riset apapun yang
mempelajari, baik melalui metode eksperimentasi maupun observasi, perilaku
manusia dalam lingkungan fisik maupun sosial.
Agar dapat dianggap sebagai bagian dari ilmu keperilakuan, riset tersebut
harus memenuhi dua kriteria dasar, yakni harus berkaitan dengan perilaku manusia
dan riset tersebut harus dilakukan “secara ilmiah”. Tujuan ilmu keperilakuan adalah
memahami, menjelaskan, dan memprediksikan perilaku manusia sampai pada
generalisasi yang ditetapkan mengenai perilaku manusia yang didukung oleh bukti
empiris yang dikumpulkan secara impersonal oleh ilmuwan lainnnya yang tertarik.
Bernard Berelson dan G.A. Stainer juga memberikan penjelasan singkat
mengenai definisi keperilakuan, yaitu suatu riset ilmiah yang berhadapan langsung
dengan perilaku manusia. Definisi ini menangkap permasalahan inti dari ilmu
keperilakuan, yaitu riset ilmiah dan perilaku manusia. Ilmu keperilakuan adalah
bagian dari ilmu sosial manusia. Ilmu keperilakuan meliputi psikologi dan sosiologi,
aspek ekonomi keperilakuan, dan ilmu pengetahuan politik, serta aspek antropologi
keperilakuan.

2. Perspektif Berdasarkan Perilaku Manusia : Psikologi, Sosiologi dan Psikologi


Sosial
Psikologi, sosiologi dan psikologi sosial menjadi kontribusi utama dari ilmu
keperilakuan. Ketiganya melakukan pencarian untuk menguraikan dan menjelaskan
perilaku manusia, walaupun secara keseluruhan mereka memiliki perspektif yang
berbeda mengenai kondisi manusia. Psikologi berfokus pada cara seorang individu
bertidak. Di pihak lain, sosiologi dan psikologi sosial memusatkan perhatian pada
perilaku kelompok sosial.
Terdapat banyak faktor kompleks yang terkait dengan perilaku manusia.
Faktor-faktor ini dikelompokkan dalam tiga ketegori utama: struktur karakter, struktur
sosial, dan dinamika kelompok. Struktur karakter mengacu pada ciri kepribadian,
kebiasaan, dan perilaku individu. Struktur sosial menunjukkan beberapa hubungandi
antara orang-orang yang mecakup ekonomi, politik, militer, dan kerangka kerja
religius yang menggambarkan perilaku yang bisa di terima. Ilmu dinamika kelompok
dapat dipandang sebagai suatu sintesa atau kombinasi struktur karakter dan struktur
sosial, yang mengacu pada pengembangan interaksi pola manusia, proses dari
interaksi sosial, dan hasil yang berhubungan dengan interaksi tersebut.

3. Akuntansi Keperilakuan
Akuntansi Keperilakuan adalah subdisiplin ilmu akuntansi yang melibatkan
aspek-aspek keperilakuan manusia terkait dengan proses pengambilan keputusan
ekonomi.
Perkembangan Sejarah Akuntansi Keperilakuan
Sejak tahun 1950-an, beberapa riset akuntansi mulai mencoba
menghubungkan akuntansi dengan aspek perilaku. Hal ini dimulai oleh Argyris pada
tahun 1952. Binberg dan Shields (1989) mengklasifikasikan riset akuntansi
keperilakuan dalam lima aliran (school), yaitu pengendalian manajemen (management
control), pemrosesan informasi akuntansi (accounting information processing), desain
sistem informasi (information system design), riset audit (audit research), dan
sosiologi organisasional (organizational sociology).
Pada awal perkembangannya, riset akuntansi keperilakuan menekankan pada
aspek akuntansi manajemen, khususnya budgeting. Namun, cakupannya terus
berkembang dan bergeser kearah akuntansi keuangan , sistem informasi akuntansi,
dan audit. Riset akuntansi keperilakuan telah berkembang sedemikian rupa sehingga
tinjauan literatur telah menjadi terspesialisasi dengan lebih memfokuskan diri pada
atribut keperilakuan yang spesifik seperti porses kognitif, atau riset keperilakuan pada
satu topik khusus seperti audit sebagai tinjauan analitis (analytical review). Tingginya
volume riset terhadap akuntansi keperilakuan dan meningkatnya sifat spesialisasi
riset, serta tinjauan studi secara periodik akan memberikan manfaat untuk beberapa
tujuan berikut:
1) Memberikan gambaran terkini (state of the art) terhadap minat khusus
dalam bidang baru yang ingin diperkenalkan.
2) Membantu mengidentifikasikan kesenjangan riset.
3) Meninjau dengan membandingkan dan membedakan kegiatan riset
berdasarkan subbidang akuntansi, sehingga para peneliti dapat
mempelajarinya melalui subbidang lain.

Perkembangan yang pesat dalam akuntansi keperilakuan lebih disebabkan


akuntansi secara stimulant dihadapkan dengan ilmu-ilmu sosial yang lain secara
menyeluruh. Pada gilirannya akuntansi keperilakuan diyakini dapat menjadi suatu
terobosan yang baik dalam pengukuran bisnis dan informasi yang memungkinkan
para direktur (Chief Executive Officer-CEO), direktur keuangan (Chief Financisl
Officer-CFO) dan penyusun rencana strategis lainnya untuk mengoptimalkan
keputusan yang diambil. Akuntansi keperilakuan menyediakan suatu kerangka yang
disusun berdasarkan teknik berikut :
1) Untuk memahami dan mengukur dampak proses bisnis terhadap orang-orang dan
kinerja perusahaan.
2) Untuk mengukur dan melaporkan perilaku serta pendapat yang relevan terhadap
perencanaan strategis.
3) Untuk mempengaruhi pendapat dan perilaku guna memastikan keberhasilan
implementasi kebijakan perusahaan.

Riset akuntansi keperilakuan merupakan suatu bidang baru yang secara luas
berhubungan dengan perilaku individu, kelompok, dan organisasi bisnis, terutama
yang berhubungan dengan proses informasi akuntansi dan audit. Studi terhadap
perilaku akuntan atau perilaku dari non akuntan telah banyak dipengaruhi oleh fungsi
akuntan dan laporan keuangan. Riset akuntansi keperilakuan meliputi masalah yang
berhubungan dengan: Pembuatan keputusan dan pertimbangan oleh akuntan dan
auditor.

4. Mengapa Mempertimbangkan Aspek Keperilakuan pada Akuntansi


Peningkatan ekonomi pada suatu organisasi dapat digunakan sebagai dasar
memilih informasi yang relevan terhadap pengambilan keputusan.kesempurnaan
teknis tidak pernah mampu mencegah orang untuk menyadari bahwa tujuan akhir jasa
akuntansi organisasi bukan sekedar teknik yang didasarkan pada efektivitas dari
segala prosedur akuntansi tetapi juga bergantung pada bagaimana perilaku orang-
orang di dalam perusahaan, baik sebagai pemakai maupun pelaksana, dipengaruhi
oleh informasi yang dihasilkannya.

1) Akuntansi adalah tentang manusia


Berdasarkan pemikiran perilaku, manusia dan factor social secara jelas
didesain dalam aspek-aspek oprasional utama dari seluruh system akuntansi.Dari
pengalaman dan praktik banyak manajer dan akuntan telah memperoleh pemahaman
yang lebih dari sekedar aspek manusia dalam tugas mereka.Bagaimanapun harus
diakui bahwa banyak sistem akuntansi masih dihadapkan pada berbagai kesulitan
manusia yang tidak terhitung, bahkan penggunaan dan penerimaan seluruh sistem
akuntansi terkadang dapat menjadi meragukan.Pertanggungjawaban dan pengambilan
keputusan dilakukan atas dasar sudut pandang hasil laporan mereka dan bukan atas
dasar kontribusi mereka yang lebih luas terhadap efektivitas organisasi.Sebagian
prosedur saat ini juga dapat menimbulkan pembatasan yang tidak di inginkan
terhadap inisiatif manajerial.Prosedur dapat menjadi tujuan akhir itu sendiri jika
semata-mata dibandingkan dengan teknik organisasi yang lebih luas.

2) Akuntansi adalah tindakan


Dalam organisasi, semua anggota mempunyai peran yang harus dimainkan
dalam mencapai tujuan organisasi.Peran tersebut bergantung pada seberapa besar
porsi tanggung jawab dan rasa tanggung jawab anggota terhadap pencapaian tujuan
organisasi tersebut.Rasa tanggung jawab tersebut pada sebagian organisasi dihargai
dalam bentuk imbalan tertentu.Peran anggota organisasi sangat berpengaruh terhadap
pencapaian tersebut. Jika suatu anggaran telah ditetapkan untuk dilaksanakan oleh
suatu unit atau unit-unit kerja di dalam organisasi, maka anggaran itu akan
berinteraksi dengan para individu dalam organisasi tersebut. Setiap individu itu
mempunyai tujuannya masing-masing, sekaligus bertanggung jawab mencapai tujuan
organisasi.Untuk itu, keselarasan tujuan antara individu dan organisasi diperlukan
untuk mewujudkan terjadinya sinergi antara individu ddan organisasi.

5. Dimensi Akuntansi Keprilakuan


Para akuntan dan manajer professional menyadari kebutuhan akan tambahan
informasi ekonomi yang dihasilkan system akuntansi. Oleh karena itu informasi
ditambah tidak hanya melaporkan data-data keuangan tetapi data-data non keuangan
yang terkait dalam proses pengambilan keputusan.Berdasarkan kondisi ini, wajar jika
akuntansi sebaiknya memasukkan dimensi keperilakuan dari berbagai pihak yang
terkait dengan informasi yang dihasilkan oleh suatu sistem.

1) Lingkup akuntansi keperilakuan


Akuntansi keprilakuan berada dibalik peran akuntansi tradisional yang berarti
mengumpulkan, mengukur, mencatat dan melaporkan informasi keuangan.Dengan
demikian, dimensi akuntansi berkaitan dengan perilaku manusia dan juga dengan
desain, konstruksi, serta penggunaan suatu system informasi akuntansi yang
efisien.Akuntansi keprilakuan, dengan mempertimbangkan hubungan antara perilaku
manusia dan system akuntansi, menceminkan dimensi sosial dan budaya manusia
dalam suatu organisasi. Ruang lingkup akuntansi keprilakuan sangat luas yang
meliputi antara lain :
a. Aplikasi dari konsep ilmu keprilakuan terhadap disain kontruksi system
akuntansi.
b. Studi reaksi manusia terhadap format dan isi laporan akuntansi
c. Dengan cara mana informasi diproses untuk membantu pengambilan
keputusan.
d. Pengembangan teknik pelaporan yang dapat mengkomunikasikan
perilaku-perilaku para pemakai data.
e. Pengembangan strategi untuk motivasi dan mempengaruhi perilaku,cita-
cita serta tujuan dari orang-orang yang menjalankan organisasi pemakaian
data.
Lingkup dari akuntansi keperilakuan dapat dibagi menjadi tiga bidang besar :
a. Pengaruh perilaku manusia berdasarkan desain, kontruksi, dan
penggunaan system akuntansi. Bidang dari akuntansi keperilakuan ini
mempunyai kaitan dengan sikap dan filosofi manajemen yang
memengaruhi sifat dasar pengendalian akuntansi yang digunakan dalam
organisasi.
b. Pengaruh sistem akunatnsi terhadap perilaku manusia. Bidang akuntansi
keperilakuan ini berkenaan dengan bagaimana system akuntansi
mempengaruhi motivasi, produktivitas, pengambilan keputusan, kepuasan
kerja, serta kerja sama.
c. Metode untuk memprediksi dan strategi unuk mengubah perilaku
manusia. Bidang ketiga dari akuntansi keperilakuan ini mempunyai
hubungan dengan cara system akuntansi digunakan sehingga
memengaruhi perilaku.

2) Aplikasi dari Akuntansi Keperilakuan


Sangatlah banyak keuntungan ekonomi dan keuntungan manusia yang didapat
dari pengenalan aspek keperilakuan dalam akuntansi. Riset menunjukkan bahwa jika
seorang Manager yang sadar terhadap aspek keperilakuan dari akuntansi akan
memanggil orang-orang yang terlibat guna menyelidiki lebih lanjut bagaimana
mereka memandang inovasi tersebut, apakah menguntungkan atau sebaliknya, dan
apakah mereka takut dengan inovasi itu.
Seorang akuntan keperilakuan pasti ingin mengetahui penyebab dari sikap dan
perilaku yang sepertinya akan diulang di masa mendatang. Jika yang terulang adalah
perilaku yang tidak diinginkan maka dapat disimpulkan terdapat proses penyusunan
anggaran yang tidak efesien. Oleh karena itu akuntan keperilakuan akan mendukung
strategi untuk mengubah keadaan perilaku untuk membuatnya sesuai dengan fungsi
organisasi yang diinginkan.
Untuk itu dapat disimpulkan tujuan dari akuntan keperilakuan adalah
mengukur dan mengevaluasi faktor-faktor keperilakuan yang relevan dan
mengomunikasikan hasilnya guna pengambilan keputusan internal dan eksternal.

6. Akuntansi Keperilakuan : Perluasan Logis dari Peran Akuntansi Tradisional


Pengambilan keputusan dengan menggunakan laporan akuntansi dapat
menjadi lebih baik jika laporan tersebut banyak mengandung informasi yang
relevan.Akuntan mengakui adanya fakta ini melalui prinsip akuntansi yang dikenal
dengan pengungkapan penuh (full disclosure).
Bentuk lanjut dari gambaran ekonomi suatu perusahaan secara logis
memerlukan aplikasi dari prinsip pengungkapan penuh. Untuk itu diperlukan suatu
masukan informasi keperilakuan guna melengkapi data keuangan dan data lain yang
dilaporkan.
Sejak meningkatnya pengakuan terhadap beberapa aspek perilaku dan sosial
dari akuntansi belakangan ini, terdapat suau kecenderungan untuk memandang bagian
akuntansi yang lebih substansial secara lebih luas.Perspektif perilaku menurut
pandangan ini telah dipenuhi dengan baik oleh akuntansi sehingga system akuntansi
menjadi lebih dapat dicerna dan diterima oleh para manajer dan karyawan.

B. PENDEKATAN AKUNTANSI KEPERILAKUAN

Secara umum Pendekatan akuntansi keperilakuan dibagi menjadi dua pendekatan


yaitu pendekatan normatif ke deskriptif dan pendekatan universal ke pendekatan
kontinjensi.

1. Pendekatan Normatif ke Pendekatan Deskriptif


Desain riset dalam bidang akuntansi manajemen masih sangat sederhana pada
awal perkembangannya yang hanya memfokuskan pada masalah-masalah perhitungan
harga pokok produk. Namun seiring dengan perkembangan teknologi produksi,
permasalahan riset diperluas dengan diangkatnya topik mengenai penyusunan
anggaran, akuntansi pertanggungjawaban (responsibility accounting), dan masalah
harga transfer (transfer pricing). Meskipun demikian, berbagai riset tersebut masih
bersifat normatif karena hanya mengangkat permasalahan mengenai desain
pengendalian manajemen dengan berbagai model matematis guna membantu para
manajer dalam mengambil sebuah keputusan ekonomi yang optimal tanpa melibatkan
faktor-faktor lain yang memengaruhi efektivitas desain pengendalian manajemen,
seperti perilaku manusia serta kondisi lingkungan organisasi.
Namun semenjak C. Argyris menerbitkan risetnya pada tahun 1952, desain
riset akuntansi manajemen mengalami perkembangan yang signifikan dengan
dimulainya usaha untuk menghubungkan desain sistem pengendalian manajemen
suatu organisasi dengan perilaku manusia. Sejak saat itu, desain riset lebih bersifat
deskriptif sehingga bisa menggambarkan kondisi nyata yang dihadapi oleh para
pelaku organisasi serta tumbuh kesadaran untuk mengintegrasikan ilmu akuntansi
dengan ilmu-ilmu keperilakuan, seperti ilmu psikologi dalam riset akuntansi. Setelah
riset yang dilakukan oleh Argyris, kemudian muncul beberapa riset serupa yang
dilakukan oleh Hopwood pada tahun 1972 serta riset Otley pada tahun 1978.

2. Pendekatan Universal ke Pendekatan Kontinjensi

Pada awalnya riset akuntansi keperilakuan dirancang dengan pendekatan


universal (universalistic approach), seperti riset Argyris (1952), Hopwood (1972), dan
Otley (1978). Namun, karena pendekatan ini memiliki banyak kelemahan, kemudian
muncul pendekatan lain yang selanjutnya mendapat perhatian besar dalam bidang
riset, yaitu pendekatan kontinjensi (contingency approach).
Pendekatan kontinjensi menyatakan penyusunan dan penggunaan desain
seistem pengendalian manajemen bergantung pada karakteristik organisasi dan
kondisi lingkungan di mana sistem tersebut akan diterapkan. Pendekatan ini
menanggapi klaim dari pendekatan universal yang menyatakan suatu sistem
pengendalian bisa diterapkan dalam karakteristik perusahaan dan kondisi lingkungan
apapun. Berbagai riset yang menggunakan pendekatan kontinjensi dilakukan dengan
tujuan mengidentifikasi berbagai variabel kontinjensi yang memengaruhi perancangan
dan penggunaan sistem pengendalian manajemen. Secara ringkas, berbagai variabel
kontinjensi yang memengaruhi desain sistem pengendalian manajemen adalah sebagai
berikut:
1) Ketidakpastian (uncertainty) seperti tugas, rutinitas, repetisi, dan faktor-faktor
eksternal lainnya.
2) Teknologi dan saling ketergantungan (technology and interdependence) seperti
proses produksi, produk masal, dan lainnya.
3) Industri, perusahaan, dan unit variabel seperti kendala masuk ke dalam industri,
rasio konsentrasi, dan ukuran perusahaan.
4) Strategi kompetitif (competitive strategy) seperti penggunaan tingkat harga atau
keunikan produk.
5) Faktor-faktor yang dapat diamati (observability factor) seperti desentralisasi,
sentralisasi, budaya organisasi dan lainnya.

Riset awal yang menggunakan teori kontinjensi adalah riset Burns dan
Waterhouse. Riset mereka menemukan bahwa pengendalian melalui anggaran
bergantung pada bermacam-macam aspek seperti tingkat desentralisasi dan
sentralisasi, serta sampai sejauh apa kegiatan-kegiatan yang ada terstruktur. Selain
riset dari Burns dan Waterhouse juga terdapat beberapa riset yang menggunakan
pendekatan kontinjensi seperti riset Merchant yang menemukan bahwa terdapat
hubungan kontinjensi antara aspek-aspek perusahaan seperti ukuran perusahaan, jenis
produk, dan desain organisasi dengan penggunaan informasi akuntansi, kemudian
riset Gordon dan Narayanan yang meneliti pengaruh lingkungan dan struktur
organisasi terhadap sistem akuntansi, serta riset dari Chenhall dan Morris yang
meneliti tentang hubungan antara variabel kontinjensi ketidakpastian lingkungan dan
ketergantungan organisasi terhadap hubungan antara struktur organisasi dan persepsi
atas manfaat sistem akuntansi.

C. TEORI AKUNTANSI KEPERILAKUAN


Sejak tahun 1970-an, banyak penelitian mengangkat isu tentang aspek-aspek
motivasional dalam desain akuntansi manajemen. Teori perilaku organisasi yang banyak
dipergunakan dalam desain penelitian adalah teori motivasi-kerja (work motivation) dengan
berbagai pendukungnya. Menurut Leslie Kren (1997), dari berbagai teorimotivasi, teori
motivasi kerja yang paling dominandipergunakan dalam pengembangan penelitian
akuntansi keperilakuanadalah Expectancy Theories dan Attribution Theories. Selain
Expectancy Theories dan Attribution Theories, teori motivasi lain yangjuga banyak
dipergunakan dalam penelitian adalah Goal Setting Theory yangdikemukakan oleh Edwin
A. Locke.
1. Attribution Theory (Teori Atribusi)
Attribution Theory mempelajari proses bagaimana seseorang
menginterpretasikan alasan atau sebab perilakunya. Teori ini dikembangkan oleh Fritz
Heider yang menjelaskan tentang bagaimana seseorang menjelaskan penyebab
perilaku orang lain atau dirinya sendiri yang akan ditentukan apakah dari internal
misalnya sifat, karakter, sikap (internal forces), dll ataupun eksternal misalnya
tekanan situasi, task difficulty, keberuntungan atau keadaan tertentu (external forces)
yang akan memberikan pengaruh terhadap perilaku individu. Berdasarkan hal itu
maka seseorang termotivasi untuk memahami lingkungannya dan sebab-sebab
kejadian tertentu. Dalam penelitian keperilakuan, teori ini diterapkan dengan
dipergunakannya variabel locus of control. Variabel tersebut terdiri dari dua
komponen yaitu internal locus of control dan external locus of control. Internal locus
of control adalah perasaan yang dialami seseorang bahwa dia mampusecara personal
mempengaruhi kinerjanya serta perilakunya melaluikemampuan, keahlian dan usaha
yang dia miliki. Dilain pihak external locus of control adalah perasaan yang dialami
seseorang bahwaperilakunya sangat ditentukan oleh faktor-faktor diluar
pengendaliannya.
Fritz Heider menekankan atribusi internal maupun eksternal telah dinyatakan
dapat mempengaruhi terhadap evaluasi kinerja individu, misalnya dalam menentukan
bagaimana cara atasan memperlakukan bawahannya, dan mempengaruhi sikap dan
kepuasaan individu terhadap kerja. Orang akan berbeda perilakunya jika mereka lebih
merasakan atribut internalnya daripada atribut eksternalnya.
Contoh penelitian yang memasukkan variabel locus of control adalah
Brownell (1981 dan 1982) serta Frucot dan Sharon (1991) seperti yang dimuat dalam
Indriantoro (1993). Brownell (1981 dan 1982) menemukan bahwa hubungan antara
partisipasi anggaran dengan kinerja maupun kepuasan kerja dipengaruhi oleh locus
ofcontrol. Penelitian Brownell tersebut diulang oleh Frucot dan Sharon (1991) dengan
menambahkan variabel cultural dimensions. Penelitian yang dilakukan Indriantoro
(1993) menggabungkan dua model penelitian yang dilakukan kedua peneliti
sebelumnya dengan menguji pengaruh variabel locus of control dan cultural
dimensions terhadap hubungan antara kinerja dan kepuasan kerja.

2. Expectancy Theory (Teori Harapan)


Teori ini sebenarnya telah mulai dikembangkan sejak tahun 1930an. Tetapi
model expectancy theory yang sistematis dan komprehensif pertama kali
dikemukakan oleh Victor Vroom pada bukunya Work and Motivation (1964). Usaha
Vroom tersebut kemudian dikembangkan oleh Galbraith dan Cummings (1967),
Porter dan Lawler(1968), Graen (1969) dan Campbell et al. (1970) seperti yang
dimuat dalam Luthans (1998).
Teori ini menyatakan bahwa intensitas kecenderungan untuk melakukan
pekerjaan dengan cara tertentu tergantung pada intensitas harapan bahwa kinerja akan
diikuti dengan hasil yang pasti dan pada daya tarik dari hasil kepada individu. Berapa
besar ia yakin perusahaan akan memberikan pemuasan bagi keinginanya sebagai
imbalan atas usaha yang dilakukannya. Bila keyakinan yang diharapkan cukup besar
untuk memperoleh kepuasannya, maka ia akan bekerja keras, begitu juga sebaliknya.
Teori ini didasarkan atas:
1) Expectancy
Expectancy adalah keyakinan bahwa upaya yang lebih baik akan
menghasilkan kinerja yang lebih baik. Expectancy dipengaruhi oleh hal-
hal seperti:
a. Memiliki sumber daya yang tepat tersedia ( Bahan baku, waktu)
b. Memiliki keterampilan yang tepat untuk melakukan pekerjaan
c. Memiliki dukungan yang diperlukan untuk menyelesaikan
pekerjaan (Dukungan atasan, atau mengoreksi informasi tentang
pekerjaan)
2) Instrumentality
Keyakinan bahwa jika seseorang berkinerja baik maka hasil yang
diinginkan akan dia dapatkan. Sejauh mana hasil tingkat pertama akan
mengarah pada hasil tingkat kedua. Ini dipengaruhi oleh hal-hal seperti:
a. Pemahaman yang jelas tentang hubungan antara kinerja dan hasil
(contoh; aturan 'permainan' hadiah)
b. Kepercaya pada orang-orang yang akan mengambil keputusan
tentang siapa yang mendapatkan hasil apa
c. Transparansi proses yang memutuskan siapa yang mendapatkan
hasil apa
3) Valence
Valence adalah nilai yang diberikan individu atas outcome (hasil) atau
rewards yang akan dia terima. Hasil akhir yang dicapai karyawan dinilai
berbeda oleh masing-masing individu. Nilai ini didasarkan pada kebutuhan
dasar mereka sendiri. Karenanya, merupakan ide bagus bagi organisasi
untuk mengetahui apa yang dihargai oleh seorang individu dan apa
kebutuhan pribadinya. Seseorang mungkin menghargai uang, sementara
yang lain menghargai lebih banyak hari libur

Dalam penerapannya makna teori tersebut adalah bahwa seorang karyawan


akan bersedia melakukan upaya yang lebih besar apabila diyakininya upaya itu akan
berakibat pada penilaian kinerja yang baik, dan bahwa penilaian kinerja yang baik
akan berakibat pada imbalan yang lebih besar dari organisasi seperti bonus yang lebih
besar, kenaikan gaji serta promosi dan kesemuanya itu memungkinkan yang
bersangkutan untuk mencapai tujuan-tujuan pribadinya. Jadi teori ini memfokuskan
analisisnya pada tigas jenis hubungan, yaitu:
1) Hubungan upaya dengan kinerja dimana karyawan mempunyai persepsi, bahwa
upaya yang lebih besar berakibat pada kinerja yang makin memuaskan
2) Hubungan kinerja dengan imbalan. Hubungan ini menyangkut keyakinan
seseorang bahwa menampilkan kinerja pada tingkat tertentu akan berakibat pada
hasil tertentu yang diinginkan
3) Hubungan imbalan dengan tujuan pribadi yaitu sejauh mana imbalan yang
diterima dari organisasi memuaskan tujuan dan kebutuhan pribadi dari karyawan
termasuk disini imbalan dalam bentuk non-material seperti peningkatan jabatan
dan semacamnya serta seberapa besar daya Tarik imbalan tersebut bagi yang
bersangkutan.

Vroom mengemukakan bahwa keyakinan karyawan tentang expectancy,


valence, dan instrumentality berinteraksi secara psikologis untuk menciptakan
kekuatan motivasi sehingga karyawan bertindak dengan cara yang membawa dampak
positif bagi organisasi sehingga tujuan organisasi bisa lebih mudah tercapai. Contoh
penelitian yang menggunakan teori ini adalah Brownell dan McInnes (1986) serta
penelitian Kren (1990) serta Ronen dan Livingston (1975) seperti yang dimuat dalam
Kren (1997).
3. Goal Setting Theory (Teori Penetapan Tujuan)
Teori ini mula-mula dikembangkan oleh Edwin A. Locke (1968). Teori ini
menjelaskan hubungan antara tujuan yang ditetapkan dengan prestasi kerja (kinerja).
Konsep dasar teori ini adalah seseorang yang memahami tujuan (apa yang diharapkan
organisasi kepadanya) akan mempengaruhi perilaku kerjanya. Teori ini juga
menyatakan bahwa perilaku individu diatur oleh ide (pemikiran) dan niat seseorang.
Sasaran dapat dipandang sebagai tujuan/tingkat kinerja yang ingin dicapai oleh
individu. Jika seorang individu berkomitmen untuk mencapai tujuannya, maka hal ini
akan mempengaruhi tindakannya dan mempengaruhi konsekuensi kinerjanya.
Penelitian yang menggunakan teori ini bisa dilihat dari variabel penelitian yang
dipergunakan antara lain goal level, goal commitmentneed for achievement, serta goal
setting (Murray, 1990).
Locke dalam bukunya ‘A Theory of Goal Setting and Task Performance’
menyebutkan 5 prinsip penetapan tujuan, yaitu:
1) Kejelasan
Agar seseorang bisa termotivasi dalam bekerja, maka tujuan yang diberikan
haruslah jelas. Ketika tujuan jelas, mudah untuk memahami dengan tepat apa
yang perlu dicapai, tujuan tidak menjadi ambigu dan multi tafsir sehingga tidak
perlu diperdebatkan.Sebaliknya, ketika suatu tujuan tidak jelas dan tidak tepat,
sulit untuk mengetahui apakah tujuan tersebut telah tercapai
2) Menantang

Tujuan yang memotivasi perlu menantang, tapi harus tetap realistis. Tujuan
yang terlalu mudah untuk dicapai tidak akan menjadi motivasi untuk
meningkatkan kinerja seseorang. Demikian pula, tujuan yang terlalu jauh
melampaui kemampuan seseorang tidak akan memotivasi juga. Bahkan,
sebenarnya bisa menurunkan motivasi.Agar tujuan bisa memotivasi, tujuan
tersebut harus mencapai titik yang tepat antara menantang tetapi tidak terlalu
melebihi kapasitas kemampuan.

3) Komitmen

Tujuan harus dipahami agar efektif. Karyawan lebih cenderung merasa


memiliki tujuan jika merasa mereka adalah bagian dari rencana pencapaian tujuan
tersebut. Gagasan manajemen partisipatif terletak pada ide melibatkan karyawan
dalam menetapkan tujuan dan membuat keputusan. Mendorong karyawan untuk
mengembangkan tujuan-tujuan mereka sendiri, dan mereka menjadi berinisiatif
memperoleh informasi tentang apa yang terjadi di tempat lain dalam organisasi.
Dengan cara ini, mereka dapat yakin bahwa tujuan mereka konsisten dengan visi
keseluruhan dan tujuan perusahaan.

4) Umpan balik (feedback)

Umpan balik memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi harapan,


menyesuaikan kesulitan sasaran, dan mendapatkan pengakuan. Sangat penting
untuk memberikan kesempatan evaluasi benchmark atau target, sehingga individu
dapat menentukan sendiri bagaimana mereka melakukan tugas.

5) Kompleksitas Tugas

Faktor terakhir dalam teori penetapan tujuan memperkenalkan dua persyaratan


lebih untuk sukses. Untuk tujuan atau tugas yang sangat kompleks, manajer perlu
berhati-hati untuk memastikan bahwa pekerjaan tidak menjadi terlalu berlebihan.

Orang-orang yang bekerja dalam peran yang kompleks mungkin sudah


memiliki motivasi tingkat tinggi. Namun, mereka sering mendorong diri terlalu
keras jika tindakan tidak dibangun ke dalam harapan tujuan untuk menjelaskan
kompleksitas tugas, karena itu penting untuk memberikan orang waktu yang
cukup untuk memenuhi tujuan atau meningkatkan kinerja.
DAFTAR PUSTAKA

Hudayati, Ataina 2002.‘Perkembangan Penelitian Akuntansi Keperilakuan: Berbagai Teori


dan Pendekatan yang Melandasi’.Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia. Vol. 6(2).
Halaman 81-96.

IfM. Vroom's expectancy theory. Dilihat pada 8 September 2019.


https://www.ifm.eng.cam.ac.uk/research/dstools/vrooms-expectancy-theory/.

Mulder, P. 2018. Vroom’s Expectancy Theory. Dilihat pada 8 September 2019.


https://www.toolshero.com/psychology/theories-of-motivation/vrooms-expectancy-
theory/.

YourChoach. Vroom expectancy motivation theory. Dilihat pada 8 September 2019.


https://www.yourcoach.be/en/employee-motivation-theories/vroom-expectancy-
motivation theory.php.

EPM. 2018. Locke’s Goal Setting Theory. Dilihat pada 9 September 2019.
https://expertprogrammanagement.com/2018/10/lockes-goal-setting-theory/.

Lubis, Arfan Ikhsan, 2010, Akuntansi Keperilakuan (edisi 2), Jakarta, Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai