Anda di halaman 1dari 31

WRAP UP SKENARIO 2

BLOK MEKANISME PERTAHANAN TUBUH


GATAL DAN BENTOL MERAH DI SELURUH TUBUH

KELOMPOK : B-11
Pembimbing : dr.
Ketua : Munziri Ilman Dahriza 1102018285
Sekretaris : Annisa Shafiyah Arsal 1102018284
Anggota : Meidi Endahsari Nastiti 1102018282
Adiba Salsabila 1102018283
Endito Pamungkas S 1102018286
Balqis Nihlah Hilyati 1102018288
Muhammad Erdiansyah 1102018289
Venezia Az’zahra 1102018290
Fitriana Anggraini 1102018291
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
JL. LETJEND SUPRAPTO, CEMPAKA PUTIH
JAKARTA 10510
TELP. 62.21.4244574 Fax. 62.21. 424457
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….1

SKENARIO ............................................................................................................... 2
IDENTIFIKASI KATA SULIT ................................................................................ 3
PERTANYAAN DAN JAWABAN ........................................................................... 4
HIPOTESIS ................................................................................................................ 6
1.SASARAN BELAJAR ............................................................................................. 7
1.1. Memahami dan menjelaskan Hipersensitivitas ......................................... 9
1.2 Definisi ...................................................................................................... 9
1.3. Etiologi ...................................................................................................... 9
1.4 Klasifikasi ............................................................................................... 10
2. Memahami dan memjelaskan Hipersensitivitas I ............................................. 11
2.1. Definisi ................................................................................................................ 11
2.2. Etiologi .................................................................................................... 11
2.3. Mekanisme .............................................................................................. 11
2.4. Jenis reaksi ............................................................................................... 12
2.5. Mediator ................................................................................................... 13
3. Memahami dan menjelaskan Hipersensitivitas II ............................................ 13
3.1. Definisi ............................................................................................................. 13
3.2. Etiologi ................................................................................................... 14
3.3. Mekanisme ............................................................................................... 14
3.4. Jenis reaksi……………………………………………………………………...15

4. Memahami dan menjelaskan Hipersensitivitas III ........................................... 15


4.1. Definisi .................................................................................................... 15
4.2. Etiologi .................................................................................................... 16
4.3. Mekanisme .............................................................................................. 16
4.4. Jenis reaksi………………………………………………………………17
5. Memahami dan menjelaskan Hipersensitivitas IV .......................................... 18
5.1. Definisi .................................................................................................... 18
5.2. Etiologi .................................................................................................... 18
5.3. Mekanisme ............................................................................................. 18

1
5.4. Jenis reaksi………………………………………………………………19
6. Memahami dan menjelaskan Antihistamin dan Kortikosteroid ..................... 20
6.1. Definisi ...................................................................................................... 20
6.2. Farmakokinetik ........................................................................................ 20
6.3. Farmakodinamik ...................................................................................... 22
6.4. Efek samping............................................................................................ 23
6.5. Kontra indikasi ......................................................................................... 24
7. Memahami dan menjelaskan Kemashalahatan dan Kemudharatan dalam
pemberian obat ......................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 28

2
Skenario 2
GATAL DAN BENTOL DI SELURUH TUBUH
Seorang perempuan berusia 25 tahun dating ke dokter dengan keluhan demam
dan sakit menelan sejak 2 minggu yang lalu. Dokter memberikan antibiotika golongan
penisilin. Setelah minum antibiotika tersebut timbul gatal dan bentol-bentol merah
yang hampir merata di seluruh tubuh, timbul bengkak pada kelopak mata dan bibir. Ia
memutuskan untuk kembali berobat ke dokter. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
angioedema di mata dan bibir, dan urtikaria di seluruh tubuh. Dokter menjelaskan
keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersensitivitas tipe cepat), sehingga ia
mendapatkan obat antihistamin dan kortikosteroid. Dokter memberikan saran agar
selalu berhati-hati dalam meminum obat.

3
KATA SULIT
1. Urtikaria : reaksi vascular lapsan dermis bagian atas ditandai
dengan gambaran sementara bercak (bentol) yang agak menonjol dan lebih
merah atau lebih pucat daripada kulit sekitar dan serignkali ditandai dengan
gatal yang hebat
2. Hipersensitivitas : respon imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan
kareena menimbulkan kerusakan jaringan tubuh
3. Antihistamin : obat yang digunakan untuk mengurangi atau mencegah
reaksi histamine (alergi)
4. Antibiotic : zat kimia yang dihasilkan oleh berbagai
mikroorganisme tertentu, fungi, dan aktinomisetat yang di dalam kadar rendah
sudah mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau
menghancurkan bakteri atau berbagai mikroorganisme lain
5. Angioedem : reaksi vascular pada dermis bagan dalam atau jaringan
subkutan atau submukosa yang disebabkan oleh dilatasi peningkatan
permeabilitas kapiler
6. Kortikosteroid : setiap steroid yang dikeluarkan oleh kortex adrenal
(tidak termasuk hormone sex) atau setiap hormone sinetik yang setara dengan
steroid ini.

4
PERTANYAAN
1. Apa itu histamin?
2. Efek samping obat antihistamin?
3. Apa saja macam-macam hipersensitivitas?
4. Mengapa terjadi Angioedem dan Urtikaria?
5. Efek samping penisilin selain gatal?
6. Mengapa dokter memberikan obat antihistamin dan kortikosteroid?
7. Apa saja gangguan yang termasuk dalam hipersensitivitas cepat?
8. Bagaimana mekanisme terjadi hipersensitivitas tipe 1?
9. Mekanisme kerja antihistamin?
10. Mengapa terjadi bengkak pada mata dan bibir?
11. Apa saja factor penyebab alergi?
12. Melibatkan antibody apa saja pada hipersensitivitas tipe 1?
13. Bagaimana pandangan islam terhadap pemberian obat?
JAWABAN
1. Histamin = senyawa kimia, dikeluarkan oleh sel mast yang berperan
pada proses inflamasi
2. Antihistamin terbagi dua:
1) Antihistamin 1: terbagi dua lagi
a. Sedatif: permeabilitas, merangsang dan menahan SSP
b. Non-sedatif: antikoligernik (mulut kering)
2) Antihistamin 2: mual, nyeri kepala, dan juga muntah
3. Terbagi menjadi dua:
1) Berdasarkan waktu: cepat, independent, dan lama
2) Coombs: tipe 1 (cepat),2 (sitotoksik),3 (complex imun), dan
4 (lambat)
4.
5. Pusing, diare, mual, muntah, nyeri perut dan insomnia
6. - kortikosteroid: untuk alergi yang sifat anti inflamasinya kuat,
menekan respon imun, dan mengurai protein juga menjaga
keseimbangan cairan
- Antihistamin: kompetitif dengan histamin untuk menduduki
reseptor, juga mempunyai sifat menghambat pelepasan media
inflamasi
7. Urtikaria, rhinitis, asma , dan anafilaksis
8. Histamine punya beberapa reseptor: H1, H2, H3, dan H4. Juga
histamine punya 3 fase: sensitasi, aktivasi, dan efektor

5
9. Antihistamin bersifat antagonis kompetitif yang akan menempati
reseptor untuk menghambat histamine. Antihistamin bergantung
banyak nya karena sifatnya kopetitif dengan histamine, juga
antihistamin diberikan sebelum terjadi alergi
10. Pembengkakan terjadi karena adanya, Angioedem = albumin yang
rendah dan peningkatan tekanan hidrostatik. Angioedema hanya
bengkak pada bagian yang ada mukosanya. Sedangkan untuk
Urtikaria memang juga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas
kapiler sehingga terjadi perpindahan cairan dan terjadinya edema
local
11. Makanan, obat, udara, suhu, bulu hewan, hereditas, auto imun
(defesiensi sel T dan genetic
12. IgE
13. Mengonsumsi yang halal, mempertimbangkan mudharat dan juga
manfaatnya, serta dilakukan dengan niat yang baik

6
HIPOTESIS
Hipersensitivitas adalah respon imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, dibagi menjadi Hipersensitivitas I,
Hipersensitivitas II, Hipersensitivitas III, dan Hipersensitivitas IV. Disebabkan oleh
makanan, udara, suhu, obat, bulu hewan, hereditas, dan autoimun (genetic dan
defisiensi sel T). Pada tipe I melibatkan antibody IgE yang mekanismenya berbeda tiap
tipenya dan melewati beberapa fase seperti, sensitasi, aktivasi, dan efektor. Dengan
gangguan urtikaria, rhinitis, asma, dan anafilaksis. Dapat diterapi dengan antihistamin
utuk kompetitif dengan reseptor histamine dan menghilangkan reaksi alergi juga
kortikosteroid untuk mrngurangi inflamasi. Pemberian obat masih diperbolehkan jika
dipertimbangkan manfaat dan juga tidak mendatangkan kemudharatan.

7
8
SASARAN BELAJAR
LI.1. Memahami dan mempelajari Hipersensitivitas
LO.1.1. Definisi
LO.1.2. Etiologi
LO.1.3. Klasifikasi
LI.2. Memahami dan mempelajari Hipersensitivitas I
LO.2.1. Definisi
LO.2.2. Etiologic
LO.2.3. Mekanisme
LO.2.4. Jenis Reaksi
LO.2.5. Mediator
LI.3. Memahami dan mempelajari Hipersensitivitas II
LO.3.1. Definisi
LO.3.2. Etiologic
LO.3.3. Mekanisme
LO.3.4. Jenis Reaksi
LI.4. Memahami dan mepelajari Hipersensitivitas III
LO.4.1. Definisi
LO.4.2. Etiologi
LO.4.3. Mekanisme
LO.4.4. Jenis Reaksi
LI.5. Memahami dan mempelajari Hipersensitivitas IV
LO.5.1. Definisi
LO.5.2. Etiologi
LO.5.3. Mekanisme
LO.5.4. Jenis Reaksi
LI.6. Memahami dan mempelajari Antihstamin dan Kortikosteroid

9
LO.6.1. Definisi
LO.6.2. Farmakodinamik
LO.6.3. Farmakokinetik
LO.6.4. Efek samping
LO.6.5. Kontra Indikasi
LI.7. Memahami dan mempelajari Kemashlahatan dan Kemudharatan terhadap
pemberian obat

10
LI.1. Memahami dan Mempelajari Hipersentivitas
LO.1.1. Definisi
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap
antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya (Baratawidjaja dan
Rengganis, 2014)
Istilah hipersensitivitas berkenaan dengan ketidaktepatan reaksi imunologis,
daripada usaha untuk menyembuhkan, reaksi ini menciptakan kerusakan jaringan dan
merupakan suatu bentuk penting dalam proses perjalana penyakit secara keseluruhan
(Mohanty dan Leela, 2014).
Reaksi hipersensitif merupakan salah satu respon sistem imun yang berbahaya
karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan maupun penyakit yang serius.

LO.1.2. Etiologi
Reaksi alergi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak
berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen.
Antibiotik dapat menimbulkan reaksi alergi anafilaksis misalnya penisilin dan
derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin, streptomisin, sulfonamid dan lain-lain.
Obat-obatan lain yang dapat menyebabkan alergi yaitu anestesi lokal seperti prokain
atau lidokain serta ekstrak alergen seperti rumput-rumputan atau jamur, Anti Tetanus
Serum (ATS), Anti Diphtheria Serum (ADS), dan anti bisa ular juga dapat
menyebabkan reaksi alergi.
Selain itu, makanan, enzim, hormon, bisa ular, semut, udara (kotoran tungau dari debu
rumah), sengatan lebah serta produk darah seperti gamaglobulin dan kriopresipitat juga
dapat merangsang mediator alergi sehingga timbul manifestasi alergi.
1. Autoimunitas
Secara normal, sistem imun tidak bekerja untuk melawan antigen
individu sendiri. Fenomena ini disebut “self-tolerance”, yaitu kita mentoleransi
antigen kita sendiri. Terkadang terjadi kegagalan pada self-tolerance, yang
mengakibatkan reaksi melawan sel tubuh dan jaringan sendiri dan ini disebut
autoimunitas.

2. Reaksi melawan mikroba


Terdiri dari banyak tipe reaksi melawan antigen mikroba yang dapat
menyebabkan penyakit.Dalam beberapa kasus, reaksi muncul berlebihan atau
antigen mikroba tetap ada. Jika antibody dibentuk melawan antigen tersebut,
maka antibody akan mengikat antigen mikroba dan membentuk kompleks

11
imun, yang dapat mengendap apda jaringan dan memicu inflamasi. Sel T
merespon melawan mikroba yang akan meningkatkan inflamasi hingga parah,
terkadang dengan adanya formasi granuloma yang dapat menyebabkan
kerusakan jaringan di tuberculosis dan penyakit infeksi lainnya.

3. Reaksi melawan antigen di lingkungan


Sebagian besar individu sehat tidak bereaksi secara kuat untuk melawan
zat yang umum pada lingkungan (contoh : serbuk, bulu binatang, debu), tetapi
hampir 20% dari populasi alergi terhadap zat tersebut. Alergi adalah penyakit
yang disebabkan oleh berlebihannya respon imun terhadap beberapa beberapa
jenis yang tidak infeksius yang sebaliknya tidak berbahaya.

LO.1.3. Klasifikasi
Secara garis besar, reaksi alergi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu reaksi
tipe cepat (immediate hypersensitivity) dan tipe lambat (delayed type hypersensitivity).
Reaksi alergi tipe cepat dimediasi oleh sistem imun humoral (humoral-mediated) yang
menunjukkan gejala secara cepat dalam hitungan menit atau jam setelah tubuh terpapar
oleh antigen. Reaksi tipe lambat dimediasi oleh sel (cell-mediated) dan gejala yang
ditimbulkan muncul setelah beberapa hari terpapar oleh antigen.
a. Klasifikasi menurut waktu timbulnya reaksi (Baratawidjaja dan Rengganis,
2014):
1) Reaksi cepat
2) Reaksi intermediet
3) Reaksi lambat.
b. Klasifikasi menurut Gell dan Coombs (1963) Berdasarkan perbedaan
imunopatogenesis, Gell dan Coomb pada tahun 1963 mengusulkan 4 tipe reaksi
hipersensitivitas, yaitu reaksi tipe 1, tipe 2, tipe 3 dan tipe 4 (subowo, 1993)
dengan menyertakan perbedaan masing-masing mekanisme, sel dan
mediatornya (Mohanty dan Leela, 2014)
1) Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi cepat atau reaksi alergi, ikatan
silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast dan basophil melepas
mediator vasoaktif.
2) Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik atau reaksi sitolitik/IgG
dan IgM, ab terhadap permukaan sel menimbulkan destruksi sel dengan
bantuan komplemen atau ADCC (antibody dependent cell cytotoxicity).
3) Reaksi hipersensitivitas tipe III atau reaksi kompleks imun, kompleks Ag-
Ab mengaktifkan komplemen dan respons inflamasi melalui infiltrasi masf
neutrophil.

12
4) Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau reaksi lambat atau seluler, sel Th1 yang
di sensitasi melepaskan sitokin yang mengaktifkan makrofag atau sel Tc
yang berperan dalam kerusakan jaringan. Sel Th2 dan Tc menimbulkan
respon sama.

LI.2. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas I


LO.2.1. Definisi
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 atau yang dikenal juga sebagai reaksi alergi
(Abbas dkk., 2015), atopi (Abbas dkk., 2014) dan reaksi anafilaksis (subowo, 1993)
adalah reaksi hipersensitivitas tipe cepat yang terjadi dalam waktu detik-menit antara
waktu eksposur dengan antigen sampai dengan gejala klinis tampak, dan merupakan
reaksi dengan manifestasi tercepat diantara ketiga tipe lain (subowo, 1993).

LO.2.2. Etiologi
Penyebab hipersensitivitas tipe I yaitu alergen. Alergen pada umumnya berupa serbuk
sari, sengatan lebah, penisilin, makanan tertentu, jamur,debu, bulu dan serpihan kulit
hewan. Alergen yang masuk kedalam tubuh sehingga menimbulkan respon imun
berupa produksi IgE
Reaksi ini timbul akibat interaksi antibodi IgE spesifik (Abbas dkk., 2015) dengan
beberapa tipe antigen spesifik pula yang disebut sebagai alergen. Interaksi silang antara
antigen antibodi tersebut pada orang yang telah tersensitisasi dan sebelumnya memang
mempunyai kecendrungan untuk tersensitisasi dengan Fc reseptor pada pemukaan sel
mast dan basofil akan menyebabkan terjadinya degranulasi sel dan dilepasnya amin
vasoaktif (Mohanty dan Leela, 2014).

LO.2.3. Mekanisme
Pada eaksi tipe I, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun
berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis
atopi. Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut.
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai
diikat silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast/basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.

13
3. Fase efektor yaitu waktu yang terjadi respon yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivasi
farmakologik.
Pajanan dengan antigen mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B
berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang
dilepas diikat oleh FceR1 pada sel mast dan basofil (banyak molekul IgE
dengan berbagai spesifisitas dapat diikat FceR1). Pajanan kedua dengan alergen
menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast,
memacu pelepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast
dan basofil. Mediator-mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos,
meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan
anafilaksis.

LO.1.4. Jenis reaksi


a. Reaksi lokal
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik
yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergan masuk.
Kecenderungan untuk menunjukkan reaksi Tipe 1 adalah diturunkan dan
disebut atopi. Sedikitnya 20% populasi menunjukkan penyakit yang terjadi
melalui IgE seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. IgE yang biasanya
dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang
sudah ada pada permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu.
Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi
dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi yang
mengenai kulit, mata, hidung dan saluran nafas.

b. Reaksi sistemik – anafilaksis


Anafilaksisi adalah reaksi Tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa
menit saja. Anafilaksis adalah reeaksi hipersensitifitas Gell dan Coombs Tipe

14
1 atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa.
Sel mast dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediator.
Reaksi dapat dipacu berbagai alergan seperti makanan (asal laut, kacang-
kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan
bahan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.

c. Reaksi pseudoalergi dan anafilaktoid


Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang
melibatkan pengelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE.
Mekanisme pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara
klinis reaksi ini menyerupai reaksi Tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme,
anafilaksis, pruritis, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Manifestasi
klinisnya sering serupa, sehingga kulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi ini
tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi
anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium,
AINS, etilenoksid, taksol, penisilin, dan pelemas otot.

LO.1.5. Mediator
1. Histamine
Ada 4 reseptor histamine dengan efeknya masing-masing.
a) H1 : meningkatkan permeabilitas vaskular, vasodilatasi, dan kontraksi otot
polos.
b) H2 : sekresi mukosa gaster, aritmia jantung
c) H3 : SSP (regulator)
d) H4 : eusinofil

2. PG dan LT, dihasilkan dari metabolisme asam arakidonat serta berbagai sitokin
berperan pada fase lambat reaksi Tipe1 atas pengaruh fosfolipase A2. LT
berperan pada meningkatkan permeabilitas vascular, bronkokontriksi, dan juga
produksi mucus. PG berperan pada vasodilatasi, kontriksi otot polos paru,
agregasi trombosit, kemotaktik neutrophil, dan juga potensiasi mediator
lainnya.
3. Sitokin, yang dilepas oleh sel mast dan basophil seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-6,
IL-10, IL-13, GM-CSF, dan TNF-alfa. IL-4 dan IL-13 meningkatkan produksi
IgE oleh sel B. IL-5 berperan dalam pengerahan dan aktivasi eosinophil. Kadar
TNF-alfa yang tinggi dan dilepas sel mast berperan dalam renjatan anafilaksis

LI.3. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas II


LO.3.1. Definisi
Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik adalah reaksi
yang terjadi karena dibentuk antibodi IgG dan IgM terhadap antigen yang merupakan
bagian sel pejamu.

15
LO.3.2. Etiologi
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa IgG dan IgM untuk melawan
antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Penyebabnya adalah adanya sel
klon yang terbentuk karena tumor, infeksi virus, atau terinduksi mutagen. Sel klon
tersebut memiliki kecacatan DNA sehingga harus dimusnahkan. Jika tidak
dimusnahkan, sel target tersebut dapat membentuk klon baru yang lebih banyak dan
menyebabkan kerusakan jaringan. Tubuh merespon terhadap sel klon ini dengan cara
membentuk IgG atau IgM yang selanjutnya menyebabkan lisis sel target. Contoh kasus
yang menyebabkan hipersensitivitas tipe II adalah reaksi transfuse darah yang tidak
cocok, inkompabilitas Rh dalam kehamilan yang menyebabkan erythroblastosis fetalis,
dan penyakit anemia hemolitik karena alergi antibiotic.

LO.3.3. Mekanisme
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan
efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R
dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan
melalui ADCC. Reaksi Tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik.
Antibodi spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di jaringan dan
menyebabkan jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau mengganggu fungsi sel
normal. Antibodi terhadap antigen jaringan menginduksi inflamasi dengan memanggil
dan mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG dari subkelas IgG1 dan IgG3 terikat pada
reseptor Fc neutrofil dan makrofag dan mengaktivasi leukosit-leukosit ini,
menyebabkan inflamasi. IgM mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik,
menyebabkan produksi zat-zat yang dihasilkan komplemen yang merekrut leukosit dan
menginduksi inflamasi. Ketika leukosit teraktivasi di situs deposit antibodi, sel-sel ini
memproduksi substansi seperti intermediet reaktif oksigen dan enzim lisosom yang
merusak jaringan disekitarnya. Jika antibodi terikat pada sel, seperti eritrosit dan
platelet, sel akan teropsonisasi dan dapat dicerna dan dihancurkan oleh fagosit
penjamu.
Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa secara langsung menyebabkan
jejas jaringan. Misalnya pada antibodi terhadap reseptor hormon yang dapat
menghambat fungsi reseptor; pada beberapa kasus myasthenia gravis, antibodi
terhadap reseptor asetilkolin menghambat transmisi neuromuskular dan menyebabkan
paralisis. Antibodi lainnya dapat mengaktivasi reseptor tanpa adanya hormon
fisiologis; seperti pada Graves’ disease, dimana antibodi terhadap reseptor TSH
menstimulasi sel tiroid bahkan tanpa keberadaan hormon tiroid.
.

16
Reaksi yang bergantung pada
Komplemen
Hipersensitivitas Reaksi yang bergantung pada ADCC
Tipe II
Disfungsi Sel akibat Antibodi

LO.3.4. Jenis reaksi


a. Reaksi transfuse
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh
berbagai gen. Bila darah individu golongan darah A mendapat transfusi
golongan B terjadi reaksi transfusi, oleh karena anti B isohemaglutinin
berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah direk oleh
hemolisis masif intravaskular. Reaksi dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat
biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu
oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam
plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria.
Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat
toksik.

b. Penyakit hemolitik bayi baru lahir


Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir ditimbulkan oleh imkompabilitas Rh
dalam kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan darah Rhesus negatif dan
janin dengan Rhesus positif.

c. Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat
diabsorpsi nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks
serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks
membentuk antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan
bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.

LI.4. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas III


LO.4.1. Definisi
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi
nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks

17
molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi
yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen
menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.

LO.4.2. Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe III terjadi karena pengendapan kompleks imun (antigen-
antibodi) yang sudah difagosit sehingga akan mengaktivasi komplemen dan
mengakumulasi leukosit polimorfonuklear di jaringan.
Penyebab reaksi hipersensitivitas III juga bisa diakibatkan oleh:
1) Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap
adalah organ yang diinfektif dan ginjal.
2) Autoimunitas
Pada infeksi ini terdapat antigen tersendiri, dimana tempat kompleks
mengendap adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
3) Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antien yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana
tempat kompleks yang mengendap adalah paru.

LO.4.3. Mekanisme
Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke
hati, limpa dan disana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati,
limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat
dengan mudah dn cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan
larut sulit untuk dimausnhakan, karena itu dapat berada dalam sirkulasi. Didga bahwa
gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab kompleks tersebut sulit
dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada di dalam sirkulasi untuk jangka waktu
lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun
tersebut mengendap di jaringan.
1) Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria),
bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik
ekstrinsik) ata dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disetai
antigen dalam jumalh yang berlebihan,tetapi tanpa adanya respons antibodi
yang efektif. Makrofag ang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan
kompleks imun sehingga makrofag dirangsng terus menerus untuk melepas
berbagai bahan yang dapat merusak jaringan.

18
Kompleks imun yang terdiri atas antigen sirkulasi dan IgM atau IgG3 (dapat
juga IgA) diendapkan di membran basal vaskular dan membran basal ginjal
yang menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan luas. Kompleks yang terjadi
dapat menimbulkan agregrasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan
permeabilitas vaskular, aktivasi sel mast, produksi dan penglepasan mediator
inflamasi dan bahan kemotaktik serta influksi neutrofil. Bahan toksik yang
dilepas neutrofil dapat menimbulkan kerusakan jaringan setempat.

2) Kompleks imun mengendap di jaringan


Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kompleks imun di jaringan
ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskular yang
meningkat, antara lain karena histamin yang dilepas sel mast.

LO.4.4. Jenis reaksi


a. Reaksi lokal atau reaksi Arthus
Artus yang menyuntikan serum kuda ke dalam kelinci intradermal berulang kali
ditempat yang sama menemukan reaksi yang makin menghebat di tempat
suntikan. Mula-mula hanya terjadi eritem ringan dan edem ddalam 2—4 jam
sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan harinya. Suntikan
kemudian menimbulkan edem yang lebih besar dan suntikan yang ke 5-6
menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit sembuh. Antibodi yang
ditemukan adalah jenis presipitis.

b. Reaksi tipe III sistemik – serum sickness


Antigen dalam jumlah besar yang masuk kedalam sirkulasi darah membentuk
komoleks imun. Bila antigen jauh berlebihan dibanding antibody, kompleks
yang dibentuk adalah lebih kecil yang tidak mudah untuk dibersihkan fagosit
sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan tipe III diberbagai tempat.

19
LI.5. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas IV
LO.5.1. Definisi
Reaksi hipersensitivitas tipe IV merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol
oleh reaktivitas sel T terhadap antigen. Baik CD4+ maupun CD8+ berperan dalam
reaksi tipe IV. Sel T melepas sitokin, bersama dengan produksi mediator sitotoksik
lainnya menimbulkan respons inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit
hipersensitivitas lambat. Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi oleh
etilendiamine, neomisin, anestesi topikal, antihistamin topikal dan steroid topikal.
LO.5.2. Etiologi
Penyebab hipersensitivitas tipe IV yaitu imunogen seperti virus, bakteri, fungus,
hapten, obat, poison ivy, deterjen, dan parfum.

LO.5.3. Mekanisme
a. Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV
Reaksi tipe IV merupakan hipersensitivitas granulomatosis. Biasanya terjadi
terhadap bahan yang tidak dapat disingkirkan dari rongga tubuh seperti talcum
dalam rongga peritoneum dan kolagen sapi dari bawah kulit. Reaksi khas DTH
seperti respons imun lainnya mempunyai 2 fase yang dapat dibedakan yaitu
fase sensitasi dan fase efektor. Berbagai APC seperti sel Langerhans (SD di
kulit) dan makrofag yang menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar
limfoid regional untuk dipresentasikan ke sl T. Sel T yang diaktifkan pada
umumnya adalah sel CD4⁺ terutama Th1, tetapu pada beberapa hal sel CD8⁺
dapat juga diaktifkan. Pajanan ulang dengan antigen menginduksi sel efektor.
Pada fase efektor, sel Th1 melepas berbagai sitokin yang mengerahkan dan
mengaktifkan makrofag dan sel inflamasi nonspesifiklain.

b. Sitokin yang berperan dalam DTH


Diantara sitokin yang diproduksi, sel Th1 berperan dalam menarik dan
mengaktifkan makrofag ke tempat infeksi. IL-3 dan GM-CSF menginduksi
hematopoesis lokal dari sel garis granulosit-monosit. Neutrofil dan monosit
dalam sirkulasi menempel pada molekul adhesi sel endothel dan bergerak
keluar dari vaskular menuju rongga jaringan. Neutrofil nampak dini pada
reaksi, memuncak pada 6 jam. Infiltrasi monosit terjadi antara 24-48 jam
setelah pajanan dengan antigen monosit yang masuk jaringan menjadi
mekrofag yang ditarik ke tempat DTH oleh kemokin seperti MCP-1/CCL2.
MIF mencegah makrofag untuk berimigrasi keluar dari lokasi reaksi DTH.

20
LO.5.4. Jenis reaksi
a. Dermatitis kontak
Dermatitis kontak adalah penyakit CD4+ yang dapat terjadi akibat kontak
dengan bahan tidak berbahaya, merupakan contoh reaksi DTH. Kontak dengan
bahan seperti formaldehid, nikel, terpenting dan berbagai bahan aktif dalam cat
rambut yang menimbulkan dermatitis kontak terjadi melalui sel Th1.

b. Hipersensitivitas tuberculin
Hipersensitivitas tuberkulin adalah bentuk alergi bakterial spesifik terhadap
produk filtrat biarkan M. Tuberkulosis yang bila disuntikkan ke kulit, akan
menimbulkan reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV. Yang berperan dalam
reaksi ini adalah sel limfosit CD4+ T. Setelah suntikan intrakutan ekstrak
tuberkulin atau derivat protein yang dimurnikan (PPD), daerah kemerahan dan
indurasi timbul di tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang pernah
kontak dengan M. Tuberkulosis, kulit bengkak terjadi pada hari ke 7-10 pasca
induksi. Reaksi dapat dipindahkan melalui sel T.

c. Reaksi Jones Mote


Reaksi jones mote adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap antigen
protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil mencolok di kulit di bawah
dermis. Reaksi juga disebut hipersensitivitas basofil kutan. Dibanding dengan
hipersensitivitas tipe IV lainnya, reaksi ini adalah lemah dan nampak beberapa
hari setelah pajanan dengan protein dalam jumlah kecil. Tidak terjadi nekrosis
dan reaksi dpaat diinduksi dengan suntikan antigen larut seperti ovalbumin
dengan ajuvan freund.

d. T cell cytolysis (penyakit CD8+)


Dalam T cell mediated cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8+ / CTL /
Tc yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan
hipersensitivitas selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan
biasanya tidak sistemik. Pada penyakit virus hepatitis, virus sendiri tidak
sitopatik, tetapi kerusakan ditimbulkan oleh respons CTL terhadap hepatosit
yang terinfeksi.

Sel CD8+ yang spesifik untuk antigen atau sel autologus dapat membunuh sel
dengan langsung. Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi melalui
mekanisme selular, biasanya ditemukan baik sel CD4+ maupun CD8+ spesifik
untuk self-antigen dan kedua jenis sel tersebut dapat menimbulkan kerusakan.

21
LI.6. Memahami dan menjelaskan Antihistamin dan Kortikosteroid
LO.6.1. Definisi
1. Antihistamin
Ada banyak golongan obat yang termasuk dalam antihistamin, yaitu
entergan, neontergan, difenhidramin, dan tripelenamin yang efektif untuk
mengobati edema, eritem, dan pruritus, dan yang baru ini ditemukan
adalah burinamid, metiamid, dan simetidin untuk menghambat sekresi
asam lambung akibat histamine. Ada 2 jenis antihistamin, yaitu : antagonis
reseptor H1 (AH1) dan Antagonis reseptor H2 (AH2)

2. Kortkosteroid
Kortikosteroid adalah sekelompok hormone steroid yang dihasilkan dikulit
kelenjar adrenal. Hormone ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada
tubuh, misalnya tanggapan pada stress, nggapan sistem kekebalan tubuh, dan
pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar
elektrolit darah, serta tingkah laku. Kortikosteroid juga bekerja dengan
mempengaruhi esepatan sintesis protein. Molekul hormone memasuki sel
melewati membrane plasma secara difusi pasif.

LO.6.2. Farmakokinetik
1. Antihistamin
1) Antagonis reseptor H1 (AH1)
Efek yang ditimbulkan Antihistamin 15-30 menit secara pemberian oral dan
maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar
tertnggi terdapat pada paru-paru sedangkan limpa, otak, ginjal, otot, dan
kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransforasi adalah di hati.
AH1 disekresi melalui urine etelah 24 jam, terutama dalam bentuk
metabolitnya.

2) Antagonis reseptor H2 (AH2)


Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung.
Antagonis reseptor H2 yang ada dewasa ini adalah simetidin, ranitidine,
famotidine, dan nizatidin.

Farmakokinetik
Adsorpsi simetidin diperlambat oleh makanan. Sehingga simetidin
diberikan bersamaan ataupun diberikan segera setelah makan dengan
maksud untuk memperpanjang efek pada periode pasca makan. Ranitidine
mengalami metabolisme lintas pertamadi dalam hati dengan jumlah cukup
besar etelah pemberian oral. Ranitidine dan metabolitnya dieksresi terutama
melalui ginjal, sisanya melalui tinja.
 Simetidin

22
Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70 %. Sama dengan setelah
pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanyalah 20 %.
Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan, sehingga simetidin
diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk
memperpanjang efek pada periode pasca makan. Absorpsi simetidin
terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk ke dalam
SPP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20 % dari kadar serum.
Sekitar 50-80 % dari dosis IV dan 40 % dari dosis oral simetidin
diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa peruh eliminasinya
sekitar 2 jam.
 Ranitidine
Biovailabilitas renitidin yang diberikan secara oral sekitar 50 % dan
meningkat pada pasien penyakit hati. Masa [paruhnya kira-kira 1,7
– 3 jam pada orang dewasa, dan menmanjang pada orang tua dan
pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh
ranitidine juga memanjang menskipun tidak sebesar pada gagal
ginjal. Kada puncak pada plasma dicapai 1.3 ja setalah penggunana
150 mg ranitidine secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya
15%. Ranitidine mengalami metabolisme lintas utama dihati dalam
jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Rranitidin dan
metabolitnya dieksresi rerutama melalui ginjal, sisanya melalui
tinja. Sekitar 70% dari ranitidine yang diberikan IV dan 30% dari
yang diberikan secara oral dieksresi dalam urin dalam bentuk asal.
 Famotidine
Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2 jam
setelah penggunaanan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan
bioavailibitas 40-50%. Metabolit utama adalah famotidine-S-
oksida. Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25% dari dosis ditemukan
dalam bentuk asal di urin.npada pasien gagal ginjal berat masa paruh
eliminasi dapat melebnihi 20 jam.
 Nizatidin
- Bioavailibitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak
dipengaruhi oleh makanan atau antikolinergik. Klirens menurun
pada pasien uremik dan usia lanjut.
- Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oraldicapai dalam
1 jam, masa paruh plasma sekitar satu setengah jam dan lama
kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin disekresikan terutama
melalui ginjal; 90 % dari dosis yang digunakan ditemukan diurin
dalam 16 jam.

23
2. Kortikosteroid
Perubahan struktur kiia mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja dan
lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan
protein. Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan
ruang synovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas
dapat menyebabkan efek sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.

LO.6.3. Farmakodinamik
1. Antihistamin
1) Antagonis reseptor H1 (AH1)
AH1 menghambat efek histamine pada pembuluh darah, bronkus, bermacam
otot polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati hipersensitivitas atau
keadaan lain yang disertai penglepasan endogen berlebihan.
 Otot polos. AH1 efektif menghambat kerja histamine pada otot polos
usus dan bronkus
 Permeabilitas kapiler, Peninggian permeabilitas kapiler dan edema
akibat histamine, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.
 Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi
alergi refrakter terhadap pemberian AH1, karena disini bukan histamine
saja yang berperan tetapi autacoid lain yang dilepaskan. Efektivitas AH1
melawan beratnya reaksi hipersensitivitas berbeda-beda, tergantung
beratnya gejala akibat histamine
 Kelenjar Eksokrin. Efek perangsang histamine terhadap sekresi cairan
lambung tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1dapat menghambat
sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamine.
 Susunan syaraf pusat. AH1 dapat merangsang maupun menghambat
SSP. Efek perangsangan yang kadangpkadang terlihat dengan dosis
AH1 biasanya adalah insomnia, gelisah, dan eksitasi. Dosis terapi AH1
umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala misalnya
kantuk, berkurangnya kewaspadaan, dam waktu reaksi yang lambat.
 Anastesi local. AH1 yang baik untuk anastesi local adalah prometazin
dan prilamin. Akan tetapi untuk menibulkan efek tersebut dibutuhkan
kadat yang beberapa kali lebih tinggi daripada sebagai antihistamin.
 Antikolinergik. Dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut
kering, kesukaran miksi dan impotensi.
 Sistem kardiovaskular. Dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan
efek yang berarti pada system kardiovaskular.

2) Antagonis reseptor H2 (AH2)


1. Simetidin dan ranitidine
Simetidin dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversible , kerjanya menghambat sekresi asam lambung.simetidin dan
ranitidine juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.

24
2. Famotidine
Sama halnya dengan simitidin dan ranitidine, famotidine merupakan AH2
sehingga dapat menghambat sekresi asam labung pada keadaan basal,
malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidine 3x lebih poten
daripada ranitidine dan 20x lebih poten dari pada simetidin.
3. Niziatidin
Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi lambung.

2. Kortikosteroid
Kortikosteroid mempengaruhi metabolise karbohidrat, protein, dan lemak.
Selain itu juga mempengaruhi fungsi system kardiovaskular, ginjal, otot
lurik, system saraf dan organ lain. Dalam klinik umumnya kortikosteroid
dibedakan menjadi 2 golongan besar yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid.
 Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan
efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan cairan
dan elektrolit kecil.
 Efek pada mineralkortikoid ialah terhadap keseimbangan cairan dan
elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar
sangat kecil.
Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan rdasarkan asa
kerjanya:
 Sediaan kerja singkat mempunyai masa kerja biologis <12 jam
 Sediaan masa sedang mempunyai masa paruh biologis 12-36 jam
 Sediaan masa lama mempunyai masa paruh biologis >36 jam

LO.6.4. Efek samping


1. Antihistamin
1) Antagonis reseptor H1 (AH1)
Efek samping yang paling sering adalah sedasi. Efek samping yang paling
sering berhubungan dengan AH1 adalah vertigo, tinnitus, lelah, penat,
inkoordnasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia, tremor,
nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi
atau diare, mulut kering, dysuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat,
dan lemah pada tangan.

2) Antagonis reseptor H2 (AH2)


Efek sampingnya rendah, yaitu penghambatan pada reseptor H2, seperti nyeri
kepala, malaise, pusing, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus,
kehilangan libido dan impoten.
 Simetidin dan ranitidine

25
Efek samping ini antara lain nyeri kepala, pusing, malaise, myalgia,
mual, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido, dan
impoten.
 Famotidine
Efek samping famotidin biasanya ringan dan jarang terjadi, misalnya
sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare. Seperti halnya dengan
renitidin, famotidine nampaknya lebih baik dari simetidin karena tidak
menimbulkan efek antiandrogenik.
 Nizatidin
Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek samping. Efek samping
ringan saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan
transaminase serum ditemukan pada beberapa pasien yang nampaknnya
tidak menimbulkan gejala klinik yang bermakna.

2. Kortikosteroid
 Efek samping jangka pendek
1) Peningkatan cairan di mata (Glaukoma)
2) Retensi cairan, menyebabkan pembengkakan di tungkai.
3) Peningkatan tekanan darah.
4) Peningkatan deposit lemak di perut, wajah dan leher bagian
belakang.
 Efek samping jangka panjang
1) Katarak
2) Penurunan kalsium tulang yang menyebabkan osteoporosis dan
tulang rapuh sehingga mudah patah.
3) Menurunkan produksi hormon oleh kelenjar adrenal.
4) Menstruasi tidak teratur.
5) Mudah terinfeksi.
6) Penyembuhan luka yang lama.

LO.6.5. Kontra indikasi


1. Antihistamin
1) Antagonis reseptor H1 (AH1)
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan
mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.

26
2) Antagonis reseptor H2 (AH2)
Efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat
penyembuhannya. Selain itu juga efektif untuk mengatasi gejala dan
mempercepat penyembuhan tukak lambung. Dapat pula untuk gangguan
refluks lambung esofagus.

2. Kortikosteroid
Dari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum
obat ini digunakan:
 Untuk tiap penyakit pada setiap pasien, dosis efektif harus
ditetapkan dengan trial dan error dan harus di evaluasi dari waktu
ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit.
 Suatu dosis tungal kortikosteroid umumnya tidak berbahaya
 Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya
kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis
sangat besar.
 Bila penggunaan obat melebihi 2 minggu atau lebih dari dosis
melebihi dosis substitusi, insidens efek samping dan efek letal
potensial akan bertambah.
 Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid
bukan merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat
paliatif karena efek antiinflamasinya
Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis
besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat
mengancam jiwa pasien

27
LI.7. Memahami dan mempelajari kemashlahatan dan kemudharatan pemberian
obat

Kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazali mengemukakan penjelasan tentang al-maslahah


yaitu: “Pada dasarnya al-maslahah adalah suatu gambaran untuk mengabil manfaat
atau menghindarkan kemudaratan, tapi bukan itu yang kami maksudkan, sebab meraih
manfaat dan menghindarkan kemudaratan terseut bukanlah tujuan kemasalahatan
manusia dalam mencapai maksudnya. Yang kami maksud dengan maslahah adalah
memelihara tujuan syara.
Ungkapan al-Ghazali ini memberikan isyarat bahwa ada dua bentuk kemaslahatan,
yaitu: Kemasalahatan menurut manusia, dan Kemaslahatan menurut syari‟at.
Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah dikisahkan bahwa seorang Anshar terluka di
perang Uhud. Rasulullah pun memanggil dua orang dokter yang ada di kota Madinah,
lalu bersabda, “Obatilah dia.”
Dalam riwayat lain ada seorang sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apakah ada
kebaikan dalam ilmu kedokteran?” Rasullah menjawab, “Ya,”
Begitu pula yang diriwayatkan dari Hilal bin Yasaf bahwa seorang lelaki menderita
sakit di zaman Rasulullah. Mengetahui hal itu, beliau bersabda, “Panggilkan dokter.”
Lalu Hilal bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah dokter bisa melakukan sesuatu
untuknya?” “Ya,” jawab beliau. (HR Ahmad dalam Musnad: V/371 dan Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushannaf: V/21)
Hilal meriwayatkan bahwa Rasulullah mnjenguk orang sakit lalu bersabda,
“Panggilkan dokter!” kemudian ada yang bertanya, “Bahkan engkau mengatakan hal
itu, wahai Rasulullah?” “Ya,” jawab beliau.
Berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bagaimana Rasulullah menganjurkan kita
untuk berobat dan berusaha menggunakan ilmu kedokteran yang diciptakan Allah
untuk kita. Kita juga ditekankan agar tidak menyerah pada penyakit karena Rasulullah
bersabda, “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada
mukmin yang lemah.” (HR Muslim (34) dan Ahmad: II/380)
Di antaranya yang ada di Musnad Ahmad. Hadits Ziyadah bin Alaqah dari Usamah bin
Syuraik menuturkan,”Aku berada bersama Nabi lalu datanglah sekelompok orang
Badui dan bertanya,’Wahai Rasulullah, apakah kita boleh berobat?’ Rasulullah
menjawab, ‘Ya, wahai hamba Allah, berobatlah. Sesungguhnya Allah tidak
menciptakan penyakit kecuali Allah menciptakan obatnya, kecuali satu macam
penyakit.’ Mereka bertanya,’Apa itu?’ Rasulullah menjawab,’Penyakit tua’.”(HR
Ahmad dalam Musnad : IV/278, Tirmidzi dalam Sunan (2038))
Nabi bersabda,”Setiap penyakit pasti ada obatnya. Jika obat tepat pada penyakitnya
maka ia akan sembuh dengan izin Allah.” (HR Muslim: I/191)

28
Abu Hurairah meriwayatkan secara marfu’, “Tidaklah Allah menurunkan panyakit
kecuali menurunkan obatnya.”(HR Bukhari: VII/158)
Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, “Kesembuhan ada pada tiga hal, minum madu, pisau
bekam, dan sengatan api. Aku melarang umatku menyengatkan api.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Dari firman Allah disini dapat dipahami: bahwasanya agama islam di bagun untuk
kemaslahatan artinya : semua syari’at dalam perintah dan larangannya serta hukum-
hukumnya adalah untuk mashoolihi (manfaat-manfaat) dan makna masholihi adalah :
jamak dari maslahat artinya : manfaat dan kebaikan.
Misal : Allah melarang minuman keras dan judi karena mudharat (bahayanya) lebih
besar dari pada manfaatnya, sebagaimana dikatakan dalam QS : Al-Baqorah :219
َ‫نَ ْفعه َما م ْن أ َ ْك َب ُر َوإثْ ُم ُه َما للنَّاس َو َمنَاف ُع كَبير إثْم فيه َما قُ ْل َو ْال َميْسر ْالخ َْمر َعن َي ْسأَلُونَك‬
2:219. “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya.

29
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, K. G. and Rengganis, I. (2012). Imunologi Dasar. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. (2011). Farmakologi dan Terapi.
Edisi VI, Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12583/6.%20BAB%20II.pdf
?sequence=6&isAllowed=y
https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/56253/4/BAB%20II%20Tinjau
an%20Pustaka.pdf
http://muhaiminrifai.lecture.ub.ac.id/files/2011/01/Alergi-hipersensitif-diktat1.pdf
http://eprints.undip.ac.id/46316/3/Luh_Putu_Uthari_22010111110084_Lap.KTI_Bab2.pdf

30

Anda mungkin juga menyukai