ABSTRAK
Kajian dilaksanakan di lahan petani rawa lebak seluas 3 ha di Desa Gelebak
Dalam, Kec. Rambutan, Kabupaten Banyuasin sejak Januari sampai Desember 2017.
Teknologi budidaya yang dikaji berupa teknologi budidaya sistem Hazton yaitu
menggunakan bibit dalam jumlah banyak. Kajian disusun berdasarkan Rancangan Acak
Kelompok dengan perlakuan merupakan kombinasi antara varietas yang terdiri dari
varietas adapatif rawa lebak: Inpari 30 dan Inpari 33 serta varietas padi rawa: Inpara 2
dan Inpara 4, sedangkan teknologi budidaya meliputi sistem Hazton modifikasi 1/T1
(jumlah bibit 10-20 bibit/lubang tanam), sistem Hazton modifikasi 2/T2 (jumlah bibit 20-
30 bibit/lubang tanam) dan teknologi PTT (T3). Modifikasi Hazton yang diterapkan
terutama dalam hal perbedaan umur dan jumlah bibit. Pengamatan dilakukan terhadap
komponen pertumbuhan dan hasil padi, tingkat serangan hama penyakit serta analisis
usahatani teknologi yang diterapkan. Hasil kajian menunjukkan bahwa teknologi T1
memberikan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibandingkan dengan teknologi
lainnya. Jumlah anakan produktif yang dihasilkan teknologi Hazton T1 dan T2 lebih
tinggi dibanding teknologi PTT, mamun persentase pembentukan anakan produktif lebih
rendah bila dibanding teknologi PTT (<70% dari jumlah anakan yang terbentuk).
Teknologi Hazton berpengaruh terhadap intensitas serangan OPT, dimana intensitas
serangan OPT lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi PTT. Hasil kajian juga
menunjukkan produktivitas padi yang dihasilkan pada berbagai perlakuan relatif lebih
rendah dari target yang diinginkan, dimana secara umum provitas padi hanya mencapai 4
t/ha. Perbedaan provitas antara teknologi PTT dengan teknologi Hazton secara rata-rata
hanya sebesar 0,2 t. Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa teknologi PTT lebih
menguntungkan dibanding dengan sistem Hazton, terlihat dari nilai B/C maupun R/C
lebih besar dibandingkan dengan teknologi Hazton.
Kata kunci: budidaya padi, Hazton, PTT, rawa lebak, Sumatera Selatan.
ABSTRACT
The study was carried out on 3 ha farmer’s field on swamp land in Gelebak Dalam
Village, Rambutan sub-district, district of Banyuasin, from January to December 2017.
The cultivation technology studied is the using of large number of rice seedlings which is
known as Hazton system. The study was arranged on a randomized block design with a
combination of varieties and number of seedlings. Varieties were used is Inpari 30, Inpari
33, Inpara 2 and Inpara 4 which tolerant to swamp area. The cultivation technologies,
whereas, are consisting of Hazton 1/T1 (10-20 seedlings/hole), Hazton 2/T2 (20-30
seedlings/hole) and integrated crop management/PTT (T3). Data were observed is plant
i
growth and yield of rice, pests attach and economic analysys. The results show that the
best plant growth is Hazton T1. The number of productive tillers produced by Hazton T1
and T2 technology is higher than PTT technology, but the percentage of the formation of
productive tillers is lower than PTT technology (<70% tillers were formed). Hazton
technology influences the intensity of pest attacks, where the intensity of pest attacks is
higher than PTT technology. The results of the study also showed that rice productivity
produced in various treatments was relatively lower than the desired target, which in
general rice province only reached 4 t/ha. The difference in average yield between PTT
technology and Hazton is only 0.2 t. The economic analysis indicate that PTT technology
is more profitable than the Hazton system, which is showed on both of B/C and R/C ratio.
Keywords: paddy, Hazton system, integrated crop management, swamp area, South
Sumatera.
Abstrak
ii
penggunaan bibit umur >21 hari, pembuatan MOL dan penggunaan BWD serta
PUTR. Parameter yang dianalisis di antaranya pertumbuhan dan hasil padi pada
demplot dan display VUB, peningkatan pengetahuan petani, serta peningkatan
produktivitas padi di lokasi kegiatan. Hasil Hasil kegiatan menunjukkan bahwa
produktivitas padi di lokasi demplot dan sosialisasi VUB rata-rata 4,8 t/ha (Inpari
30) dan 4,0 t/ha (Inpari 43). Diseminasi teknologi yang dilakukan terbukti
mampu meningkatan produktivitas padi di lokasi pendampingan yakni mencapai
19,1% dibandingkan tahun 2017 sebelumnya. Selain itu, terjadi peningkatan
pengetahuan petani dalam melaksanakan budidaya padi khususnya di lahan rawa
lebak.
Kata kunci: diseminasi teknologi, pengetahuan petani, produksi padi, rawa lebak,
Sumatera Selatan
iii
iv
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”
PENDAHULUAN
Kebutuhan beras sebagai salah satu sumber pangan utama penduduk Indonesia
terus meningkat, karena selain jumlah penduduk yang terus bertambah dengan laju
peningkatan 2% per tahun, juga diakibatkan oleh perubahan pola konsumsi penduduk
dari non beras ke beras (Azwir dan Ridwan, 2009). Salah satu sentra produksi padi
nasional yakni propinsi Sumatera Selatan. Sumatera Selatan menempati urutan terbesar
kelima dalam hal produksi padi di tingkat nasional. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (2017), produksi padi di Sumatera Selatan tahun 2016 yakni sebesar 5.074.613
ton GKG. Produksi padi ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun
sebelumnya yang hanya sebesar 4.247.922 ton GKG atau jika dikonversikan ke dalam
beras yakni sebesar 3.183.812 ton (BPS Propinsi Sumsel, 2017). Jika dihitung konsumsi
per kapita yang hanya sebesar 102 kg dengan jumlah penduduk sebanyak 8.164.242 jiwa
berarti diperlukan beras sebanyak hanya 832.753 ton sehingga masih ada surplus
2.351.059 ton beras di Sumatera Selatan.
Pada tahun 2018, Sumatera Selatan ditargetkan dapat memproduksi padi
sebanyak 4.196.802 ton GKG dengan sasaran luas tanam padi sebesar 1.187.918 ha.
Untuk mencapai target produksi tersebut minimal dihasilkan provitas rata-rata padi
sebesar 3,5 t GKG/ha atau setara dengan sekitar 4,06 t GKP/ha. Angka ini sebenarnya
tidaklah sulit untuk dicapai jika melihat provitas rata-rata di Sumsel tahun 2017 yakni > 4
t/ha. Namun, jika ditelusuri di tingkat lapang, produktivitas padi di tingkat petani masih
belum merata, masih terdapat senjang hasil yang besar antar wilayah. Keberagaman
agroekosistem dengan tingkat teknologi yang berbeda menjadi salah satu penyebab
adanya senjang hasil yang tinggi antarwilayah. Pada agroekosistem irigasi dan tadah
hujan, sangat mudah dijumpai produktivitas padi yag telah mencapai 7 t/ha. Namun,
pada lahan suboptimal seperti lahan lebak, pasang surut dan lahan kering ternyata
produkvitas masih <4 t/ha.
Lahan rawa lebak merupakan salah satu sentra pertanaman padi di Sumatera
Selatan. Berdasarkan data BPS (2017), dari total 774.502 ha lahan yang sudah
digunakan, lahan rawa lebak menjadi yang terluas yakni 285.941 ha (37% dari luas lahan
yang ada). Lahan lebak memiliki tiga tipe, yaitu lebak dangkal dengan tinggi genangan
airnya kurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan, lebak tengahan dengan tinggi
genangan airnya 50-100 cm selama 3-6 bulan, dan lebak dalam dengan tinggi genangan
airnya lebih dari 100 cm selama lebih dari 6 bulan (Widjaya Adhi et al., 2000). Dari total
lahan rawa lebak yang telah diusahakan untuk pertanian, hampir 91% diusahakan untuk
usahatani padi dengan pola tanam satu kali dalam setahun, sedangkan yang diusahakan
dua kali setahun baru sekitar 9% (Sudana, 2005). Selain itu, produktivitas padi lokal di
lahan lebak hanya 3 t GKP/ha (Suparwoto dan Waluyo, 2011).
Menurut Fagi et al. (2001), rendahnya hasil gabah padi sawah sangat erat
kaitannya dengan tingkat kesuburan tanah, pemupukan yang masih di bawah
rekomendasi, ketersediaan dan pengaturan penggunaan air, teknologi dan faktor iklim.
Djamhari (2009) menyatakan selain kendala genangan air dan banjir yang datangnya
tidak menentu dan bila musim kemarau terjadi kekeringan sehingga lahan hanya dapat
diusahakan hanya satu kali dalam setahun, juga tingginya kemasaman dan rendahnya
kesuburan tanah juga menjadi kendala utama pengembangan padi di lahan rawa lebak.
Sedangkan, Achmadi dan Las (2007) menyatakan lahan lebak tiap tahun umumnya
mendapat endapan lumpur dari daerah di atasnya, sehingga walaupun kesuburan
tanahnya tergolong sedang, tetapi keragamannya sangat tinggi antar wilayah atau antar
Editor: Siti Herlinda et. al.
ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar] 5
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”
1) Persiapan
Persiapan kegiatan meliputi penyusunan proposal dan rencana operasional
pelaksanaan kegiatan, pemaparan rencana operasional secara internal serta
menyiapkan aspek teknis untuk implementasi kegiatan di lapangan. Keluaran yang
diharapkan dari tahapan ini yakni tersusunnya proposal dan rencana operasional
pelaksanaan kegiatan yang siap diimplementasikan di tingkat lapang.
2) Koordinasi dan konsultasi dengan dinas/instansi terkait
Koordinasi dilakukan dengan dinas instansi yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan
meliputi Dinas Pertanian Propinsi Sumsel dan Kabupaten Ogan Komering Ilir, serta
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Koordinasi awal dilakukan dalam rangka untuk
memantapkan perencanaan terkait pelaksanaan kegiatan serta menentukan lokasi
sasaran kegiatan. Diharapkan dari kegiatan ini dapat ditetapkan lokasi yang tepat
untuk pelaksanaan kegiatan serta adanya kesiapan semua pihak untuk mendukung
impelentasi kegiatan di tingkat petani.
Waktu I (0-1 mst) = 1/3 dosis Urea, semua dosis SP-36, dan ½ dosis
Pemupukan KCl, II (3-4 mst) = 1/3 dosis Urea dan ½ dosis KCl, III (7-8
mst) = 1/3 dosis Urea
Jumlah 2-3
bibit/lubang
Komponen
Uraian
Teknologi
Panen dan pasca Panen dilakukan saat 90% malai menguning dengan cara
panen potong bawah, gabah dirontok dengan thresher
a) Varietas. Varietas yang digunakan merupakan varietas yang adaptif lahan rawa serta
mempunyai anakan sedikit, malainya panjang dan lebat, seperti Inpari 30 dan Inpari
43.
b) Benih. Benih yang digunakan yakni benih bersertifikat. Sebelum disemai, benih
dimasukkan ke dalam tempat yang berisi air, volume air 2 kali volume benih,
kemudian diaduk-aduk. Benih yang terapung dipisahkan dengan benih yang
tenggelam. Benih yang tenggelam berarti bernas, baik untuk pesemaian. Sebelum
semai, benih direndam selama 24 jam dan diperam satu malam. Benih padi direndam
dalam larutan fungisida misalnya berbahan aktif tembaga oksida56% dosis 1 g/5 L air
selama 24 jam.
c) Persemaian. Bedengan persemaian dibuat dengan lebar 1,0-1,2 m memanjang atau
sesuai kondisi lahan di pinggir pematang sawah, dengan tinggi bedengan disesuaikan
dengan tinggi muka air pada lahan (untuk menghindari semaian terendam air. Saat
tabur benih, kondisi lahan persemaian macak-macak. Sebagai alternatif jika kondisi air
tinggi, maka persemaian dilakukan dengan modifikasi sistem dapok sehingga
memudahkan saat penanaman.
d) Penyiapan Lahan. Sebelum dilakukan penanaman, lahan terlebih dahulu dibersihkan
dari sisa tanaman/gulma dengan cara disemprot dengan herbisida, selanjutnya
dilakukan pengolahan tanah dengan cara dibajak.
e) Penanaman. Bibit ditanam pada umur 20-30 hari (menyesuaikan dengan kondisi
lahan), bibit yang kurang sehat tidak digunakan. Pencabutan bibit dengan cara ombol
atau banyak, sehingga mengurangi rusaknya akar. Bibit yang telah dicabut kemudian
diikat, untuk memudahkan pengangkutan dan distribusi ke petakan. Bibit ditanam
tegak, leher akar masuk kedalam tanah sekitar 1-3 cm. Digunakan tanam pindah
menggunakan sistem legowo (2:1) dengan jarak (20-40)cm x 25 cm.
f) Pemupukan. Pupuk dasar diberikan pada tanaman berumur 0-5 hari setelah tanam
(HST), berupa pupuk N (Urea), pupuk P (SP36), pupuk K (KCl), atau pupuk majemuk,
sesuai dosis anjuran. Pupuk susulan diberikan pada fase kritis pertumbuhan tanaman
atau pada stadia primordia bunga (15-30 hst). Dosis dan waktu pemberian pupuk
didasarkan pada Tabel rakitan teknologi, pemupukan N diupayakan dilakukan
berdasarkan hasil pembacaan Bagan Warna Daun (BWD) yang dimulai dari 2 minggu
setelah tanam dan diulangi dengan interval pembacaan setiap minggu.
h) Pengendalian OPT. Pengendalikan OPT mengikuti prosedur pengendalian hama
terpadu (PHT) dengan mengutamakan penggunaan biopestisida. Jika intensitas
serangan OPT melampaui ambang ekonomi, maka dilakukan pengendalian dengan
penyemprotan pestisida seperti yang berbahan aktif Cu-oksida, abamektin,
sipermetrin, dsb.
i) Panen. Panen dilakukan saat 90% malai menguning dengan cara potong bawah,
gabah dirontok dengan threserdan selanjutnya dijemur hingga kadar air mencapai
14%.
a) Tinggi tanaman (cm), diukur mulai dari pangkal batang di atas permukaan tanah
hingga ujung daun tertinggi, pengukuran dilakukan pada saat tanaman padi
berumur 60 hst.
b) Jumlah anakan produktif (anakan/rumpun), dihitung berdasarkan jumlah anakan
tanaman padi yang menghasilkan malai dan bulir padi, perhitungan dilakukan satu
minggu sebelum panen dengan satuan pengukuran dalam batang.
c) Umur panen (hari) dihitung dari tanaman mulai ditanam sampai tanaman dipanen.
I
(n v) 100%
NZ
Dimana I = intensitas serangan; n = jumlah tanaman yang terserang; N = jumlah
seluruh tanaman; v = nilai skala serangan yang dihasilkan; Z = nilai skala
tertinggi.Nilai skala serangan untuk setiap OPT mnegikuti prosedur yang dikeluarkan BB
Padi (2010) yakni sebagai berikut:
Jenis OPT Skala serangan
5 =tanaman kuning dan kerdil atau 25% jumlah taaman menjadi layu
(mati)
Keterangan: Jenis OPT maupun skala serangan dapat bertambah atau berkurang sesuai jenis OPT
yang menyerang.
melalui pelatihan dan dem-cara secara berjenjang yang berbasis kelompok, serta
diseminasi teknologi dalam bentuk penerapan demplot teknologi budidaya. Selain
itu, juga dilakukan pengukuran terhadap potensi adopsi terhadap teknologi yang
telah didiseminasikan.
Luas wilayah Desa Jukdadak yakni 36.000 ha dengan rincian terdiri dari sawah 870
ha, ladang 375 ha, pemukiman 1.500 ha, perkebunan rakyat 301 ha. Terdapat sebanyak
246 kepala keluarga dengan jumlah penduduk laki-laki 524 jiwa dan perempuan 518 jiwa.
Jumlah KK pemilik penggarap 227, penggarap 100 KK dan buruh tani sebanyak 98 KK. Di
desa ini terdapat sebanyak 2 penggilingan padi dan 3 penggilingan tepung (Monografi
Desa Jukdadak, 2018).
Pada hari kamis tanggal 26 April 2018, BPTP Sumatera Selatan melaksanakan
kegiatan Pelatihan Petani dan Petugas Lapang di Desa Jukdadak Kec. Tanjung Lubuk
Kabupaten OKI. Pelatihan ini merupakan bentuk dukungan BPTP dalam rangka
pendampingan pengembangan kawasan tanaman padi di Sumatera Selatan, dimana fokus
pendampingan terutama dilakukan pada agroekosistem rawa lebak yang merupakan
wilayah terbesar pengembangan tanaman padi.
Budidaya padi di lahan rawa lebak sangat terkait dengan kondisi air yang ada di
lahan, sehingga menurut Bpk Suparwoto diperlukan waktu semai yang tepat agar
tanaman tersebut bisa sesuai umurnya ketika dipindah ke lahan. Menurutnya,
penyemaian sebaiknya dilakukan hanya satu kali dan diupayakan dapat dilakukan di
sekitar lahan yang akan ditanami. Selain itu, hal yang cukup penting dalam budidaya padi
di lahan rawa lebak adalah pengaturan jarak tanam melalui penerapan sistem tanam jajar
legowo 2:1, dimana cara tanam ini dapat memberikan kemudahan petani dalam
memelihara tanaman serta diketahui mampu meningkatkan produktivitas padi.
Selanjutnya, hal yang jarang diperhatikan adalah mengenai dosis pemupukan. Oleh
karenanya, pada kesempatan yang sama disampaikan mengenai cara cepat dan mudah
untuk menentukan dosis pemupukan yakni melalui penggunaan PUTS. Petani dan petugas
sangat antusias mengikuti kegiatan demonstrasi penggunaan PUTS yang dipandu oleh
Bpk. Pandu, apalagi setelahnya petani diberi kesempatan untuk mencoba menggunakan
PUTS tersebut.
Jumlah
No. Judul Publikasi
penerima (orang)
1. Buku Saku Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi 5
2. Juknis Penggunaan Perangkat Uji Tanah Kering 3
(PUTK)
3. Juknis Teknik Ubinan 4
4. Juknis Cara Tanam Jajar Legowo 4
5. Juknis Budidaya Padi di Lahan Rawa Lebak 34
6. Leaflet Teknologi Budidaya Padi di Lahan Rawa 45
Lebak
7. Leaflet Sistem Pengendalian Tikus dengan Bubu 50
Perangkap
Sebagian besar materi diserahkan ke perwakilan kelompok tani yang ada di Desa
Jukdadak. Dengan adanya materi diseminasi berupa informasi teknologi ini, diharapkan
petani dapat mempelajarinya secara mandiri maupun bersama-sama kelompok.
Jumlah
No. Penerima Varietas Keterangan
(Kg)
1. Salhani (Poktan Suka Makmu) Inpari 30 25 Demplot 2 ha
Inpari 43 25
2. Teguh (Poktan Sumber Makmur) Inpari 30 50 Demplot 3 ha
Inpari 43 25
3. M. Amin (Poktan Jaya Makmur)
4. Junaidi (Potan Suka Makmur)
5. Syukri (Poktan Tunas Harapan)
25 kg Inpari 30 dan 25 kg Inpari 43
6. Yusup (Poktan Usaha Bersama)
Untuk kegiatan sosialisasi VUB
7. Fahruddin (Poktan Unggul Jaya)
8. Zainal (Poktan Harapan Maju)
9. Yanto (Poktan Suka Makmur)
Adanya demplot diharapkan dapat menjadi wahana bagi petani untuk mempelajari
secara langsung mengenai teknologi unggulan yang dihasilkan Balitbangtan. Teknologi
yang dikenalkan pada demplot di antaranya sistem tanam jajar legowo 2:1, penggunaan
VUB adaptif lahan rawa (Inpari 30 dan Inpari 43), pemupukan berdasarkan hasil
pengujian tanah dengan PUTS dan pengendalian OPT berdasarkan prinsip PHT.
Penanaman padi ini dilakukan dengan sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan jarak
tanam 20 x 20-10 cm. Cara tanam ini dilakukan karena mampu meningkatkan produksi
padi melalui peningkatan jumlah populasi (rumpun padi) maupun efek tanaman pinggir.
Keuntungan lain dari cara tanam seperti ini adalah memudahkan petani untuk memelihara
tanam mereka. Hal ini disebabkan karena adanya lorong yang memisahkan barisan
tanaman sehingga memudahkan petani untuk melewati sawah mereka. Penerapan sistem
tanam jajar legowo ini masih menghadapi kendala terutama dalam hal kecepatan waktu
tanam. Hal ini dikarenakan petani sudah terbiasa dengan sistem tanam tegel sehingga
mereka harus membiasakan diri dulu untuk melakukan cara tanam seperti ini.
Penanaman menggunakan bibit yang berumur muda yakni sekitar 21 hari setelah
semai dan meminimalkan jumlah bibit per lubang tanamnya (3-4 bibit per lubang tanam).
Penggunaan bibit yang masih muda dan dengan jumlah sedikit ini memungkinkan
tanaman dapat lebih beradaptasi terhadap lingkungan tanamnya. Lingkungan tanam di
lokasi demplot juga sangat mendukung untuk penggunaan bibit berumur muda ini
dikarenakan populasi keongmas relatif cukup rendah. Beberapa kendala yang dihadapi
saat tanam yakni jumlah tenaga kerja yang sangat terbatas dikarenakan tanam pada saat
bulan ramadhan, petani penanam belum terbiasa menanam sistem jajar legowo sehingga
penanaman relatif sangat lambat.
Tabel 10. Keragaan pertumbuhan tanaman padi umur 6 MST di Desa Jukdadak
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa varietas Inpari 43 memiliki tingkat adaptasi yang
lebih baik dibandingkan varietas Inpari 30. Hal ini terlihat dari pertumbuhan tanaman
yang cukup baik terutama dalam menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak yakni
mencapai 27 anakan. Kemampuan membentuk anakan ini sangat penting dan
berpengaruh besar terhadap produktivitas suatu varietas. Namun demikian, kemampuan
membentuk anakan ini masih perlu dibuktikan dengan kemampuan membentuk anakan
produktif.
Tinggi tanaman belum cukup maksimum untuk kategori varietas di lahan rawa
lebak yang umumnya mempunyai tinggi tanaman yang cukup untuk mengejar laju
naiknya muka air. Beberapa varietas yang dikenalkan ternyata cukup toleran terhadap
tingkat kemasaman tanah di lahan rawa lebak. Permasalahan yang dihadapi adalah
masalah kekurangan air di lokasi demplot yang menyebabkan pertumbuhan kurang
optimal. Kurangnya air disebabkan karena penanaman yang agak terlambat dibandingkan
waktu tanam biasanya sehingga pada saat tanaman tumbuh, debit air di lokasi kegiatan
sudah berkurang. Namun, permasalahan ini masih bisa diatasi dengan pemberian air
menggunakan pompanisasi baik dari sungai maupun sumur bor.
Peserta berjumlah sebanyak 50 orang terdiri dari petani yang berasal dari
perwakilan 10 Poktan yang ada di Desa Jukdadak serta Petugas Lapang yang ada di
Kecamatan Tanjung Lubuk. Sebagai narasumber yakni berasal dari peneliti dan penyuluh
BPTP Sumatera Selatan. Acara dibuka secara langsung oleh Sekretaris Desa Jukdadak
yang menyampaikan terima kasihnya atas pelaksanaan pelatihan yang diselenggarakan
oleh BPTP dan beliau berharap agar kegiatan seperti ini tetap bisa terus dilaksanakan.
yang dapat diperoleh dengan mudah. Bahan dasar MOL berasal dari berbagai sumber
yang mengandung unsur hara mikro, makro, bakteri perombak bahan organik,
perangsang pertumbuhan dan agen pengendali hama/penyakit tanaman. Sehingga, MOL
dapat dimanfaatkan sebagai (a) tambahan nutrisi/hara bagi tanaman, (b)
Decomposer/penghancur bahan organik, (c) Pestisida nabati karena kemampuannya
dalam mengendalikan beberapa macam Organisme Penggangu Tanaman. Keunggulan
dari MOL di antaranya: (a) pembuatan MOL sederhana dan mudah dengan waktu yang
relatif singkat, (b) biaya pembuatan murah, karena menggunakan bahan-bahan yang
kurang dimanfaatkan dan tersedia di sekitar, (c) Pupuk organik yang dihasilkan
mengandung unsur kompleks baik makro maupun mikro serta mengandung mikroba yang
bermanfaat, (d) Ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu, (e) Biota tanah
terlindungi sehingga dapat memperbaiki/mempertahankan kualitas tanah, dan (f)
Meningkatkan kuantitas dan kualitas produk hasil tanaman. Selanjutnya, mengenai PUTR
sangat bermanfaat untuk menentukan dosis pemupukan di lahan rawa secara cepat dan
mudah. Petani dapat dengan mudah menggunakan perangkat ini untuk menentukan dosis
pupuk di lahan mereka.
Kegiatan dilanjutkan dengan praktik menggunakan PUTR dan BWD oleh petani.
Kegiatan pelatihan ditutup dengan praktik pembuatan MOL berbahan baku limbah buah
(pepaya dan pisang) serta memanfaatkan hama keong mas. Peserta sangat antusias
dalam mempraktikkan pembuatan MOL ini dan berharap MOL ini bisa bermanfaat untuk
pertanaman padi mereka.
Tabel 12. Perubahan pengetahuan petani sebelum dan setelah mengikuti kegiatan dem-cara
Persentase perubahan
No. Uraian pengetahuan petani
Sebelum Setelah
Suatu teknologi akan mudah diterima jika teknologi tersebut dianggap mudah
diaplikasikan serta efektif dalam mengatasi permasalahan petani di tingkat lapang. Untuk
itulah, dilakukan pengukuran terhadap tingkat kemudahan dan efektivitas teknologi
setelah dilakukan kegiatan pelatihan melalui dem-cara. Hasil pengukuran persepsi petani
terhadap kemudahan dan efektivitas teknologi disajikan pada Tabel berikut.
Tabel 13. Persepsi petani terhadap kemudahan penggunaan teknologi yang didiseminasikan
Cukup
No. Jenis Teknologi Mudah Sulit
mudah
1 Perangkat Uji Tanah Rawa (PUTR) 42.3 42.3 15.4
2 Penggunaan BWD 58.3 29.2 12.5
3 Pembuatan MOL 69.2 23.1 7.7
Selanjutnya, pada kegiatan dem-cara juga dilakukan penilaian respon petani dalam
menerapkan teknologi yang didemonstrasikan. Respon petani diukur melalui tiga kriteria
yakni manfaat teknologi, ketertarikan terhadap teknologi dan keinginan menerapkan
teknologi. Hasil penilaian terhadap respon petani disajikan pada Tabel 15 berikut.
Tabel 15. Respon petani untuk menerapkan teknologi
Tidak berbeda dengan persepsi petani terhadap teknologi, petani juga merespon positif
terhadap teknologi yang didemonstrasikan. Hal ini tercermin dari penilaian petani pada
beberapa parameter seperti manfaat, ketertarikan dan keinginan menerapkan teknologi.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa >70% petani menilai teknologi PUTR, BWD
Editor: Siti Herlinda et. al.
ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
24
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”
maupun MOL sangat bermanfaat, >80% petani tertarik untuk menerapkan teknologi
tersebut serta >65% petani ingin menerapkan teknologi tersebut di lahan mereka. Melihat
respon positif ini, tentunya teknologi tersebut akan mudah untuk diterima walaupun
secara langsung belum diujicobakan ke lahan petani. Ketertarikan petani akan teknologi
ini sangat erat kaitannya dengan kemudahan dan manfaat dari beberapa teknologi yang
sudah didemonstrasikan. Misalnya saja, penggunaan PUTR dianggap petani mudah dan
efektif untuk diterapkan, dikarenakan petani dapat dengan mudah dan cepat menentukan
sendiri dosis pemupukan padi sawah di lahan mereka tanpa harus melalui pengujian di
laboratorium. Begitu juga dengan penggunaan BWD yang mereka anggap sangat
membantu dalam rangka efisiensi penggunaan pupuk N. Sedangkan MOL dianggap petani
sangat mudah untuk dibuat dan diaplikasikan dengan memanfaatkan bahan yang selama
ini dianggap mereka sebagai limbah. Diseminasi teknologi melalui dem-cara ini
merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk menyebarluaskan teknologi di
tingkat lapang. Pola pikir petani yang akan mencoba jika mereka melihat dan merasakan
sendiri teknologi tentunya akan mudah dikenalkan melalui pelaksanaan dem-cara.
Pelaksanaan pendampingan dan pengawalan akan dinilai berhasil dan efektif jika
secara umum kawasan yang didampingi mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.
Salah satu parameter yang paling mudah untuk menjadi tolok ukur keberhasilan
pendampingan kawasan adalah meningkatnya produksi maupun produktivitas kawasan
yang didampingi. Terkait hal itu dilakukan pengukuran terhadap produksi padi di lokasi
demplot, display maupun wilayah pendampingan secara keseluruhan. Produksi dan
produktivitas padi di lokasi demplot maupun display VUB disajikan pada Tabel berikut.
Tabel 16. Produksi dan produktivitas padi pada demplot dan display VUB Desa Jukdadak
Luas
Produksi Produktivitas Tanggal
No. Nama Petani Varietas Tanam
(t) (t/ha) Panen
(ha)
4 Junaidi (Potan Suka Makmur) Inpari 30 0.5 2.5 5.0 10 Agst 2018
Berdasarkan Tabel, produktivitas padi di lokasi demplot maupun display VUB cukup
beragam yakni 3,0-6,0 t/ha. Secara umum, varietas Inpari 30 relatif menghasilkan
produktivitas yang lebih tinggi bila dibandingkan varietas Inpari 43. Produktivitas padi ini,
masih lebih rendah bila dibandingkan dengan potensi hasil dari masing-masing varietas
yakni Inpari 30 mampu berproduksi hingga 9,6 t/ha (Jamil et al., 2016), sedangkan
varietas Inpari 43 mampu berproduksi 9,02 t/ha (Balitbangtan, 2018).
Produktivitas rata-
Luas Tanam rata (t/ha) %Peningkatan Varietas
No. Nama Poktan
(ha) Produksi Dominan
2017 2018
Rerata 19.1
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, dan I. Las. 2007. Inovasi Teknologi Pengembangan Pertanian Lahan Rawa
Lebak. http://www.balittra.litbang.deptan.go.id/prosiding06/utama-3.pdf. [12
Maret 2014].
Adnyana, M.A., J.S. Munarso, dan D.S. Damardjati. 2004. Ekonomi kualitas beras dan
selera konsumen. Dalam: Kasryno F et al.(eds). Ekomomi Padi dan Beras
Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan
Arsyad, D.M., J. Pitono, Zakiah, Erythrina, C. Syafitri, E.L. Meilina, Rahmawati, A. Yulianti,
dan M. Sujud. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Unit Pengelola Benih Sumber
Tanaman Lingkup Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.
Azwir dan Ridwan. 2009. Peningkatan produktivitas padi sawah dengan perbaikan
teknologi budidaya. Jurnal Akta Agrosia. Vol. 12(2): 212-218.
Azwir, A. Aziz, dan Winardi. 2014. Daya hasil tiga varietas padi unggul baru di enam
kabupaten sentra produksi padi di Sumatera Barat. Dalam Satoto, U. Susanto, I.A.
Rumati, dan B. Kusbiantoro (ed.). Prosiding Seminar Nasional 2013 Buku 1. Hal.
203-209.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian[Balitbangtan]. 2013. Sistem Tanam
Legowo. Balitbangtan. Kementerian Pertanian.
Badan Pusat Statistik. 2014. Berita Resmi Statistik: Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai
(Angka Sementara Tahun 2013). No. 22/03/Th.XVII, 3 Maret 2014.
Badan Pusat Statistik. 2017. Sumatera Selatan dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Propinsi Sumatera Selatan.
Baehaki, S.E. 2009. Strategi pengendalian hama terpadu tanaman padi dalam perspektif
praktek pertanian yang baik (good agricultural practices). Pengembangan Inovasi
Pertanian 2(1): 65-78.
Baehaki, S.E. 1998. Status hama wereng coklat, Nilaparvata lugens Stål. dan
pengendaliannya pada tanaman padi di Indonesia. Seminar PPS Lingkup Setdal
Bimas. Jakarta. 17 September 1998.
Dahono, Y. Zurriyati, S.H. Nasution, dan Jakoni. 2014. Uji adaptasi varietas unggul baru
padi sawah terhadap produksi dan pendapatan petani di Kabupaten Natuna
Provinsi Kepulauan Riau. Dalam Satoto, U. Susanto, I.A. Rumati, B. Kusbiantoro
(ed.). Prosiding Seminar Nasional 2013 Buku 1: 235-241.
Darwis, M., D.I. Saderi, N. Amali, dan Barnuwati. 2013. Pengkajian pemetaan kebutuhan
benih padi unggul dan pengembangan penangkar benih yang efisien di Kalimantan
Selatan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2017. Petunjuk Teknis Pengembangan Kawasan
Tanaman Pangan. Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian. Jakarta.
Direktorat Perbenihan. 2005. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Perbenihan
Tanaman Pangan. Direktoran Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta.
Direktorat Perbenihan. 2014. Sebaran varietas padi di Indonesia tahun 2014. Ditjen
Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, Jakarta.
Djamhari, S. 2009. Peningkatan produksi padi di lahan lebak sebagai alternatif dalam
pengembangan lahan pertanian ke luar pulau Jawa. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia. Vol. 11(1): 64-69.
Fagi, A.M., B. Abdullah, dan S. Kartaatmadja. 2001. Peranan padi Indonesia dalam
pengembangan padi unggul. Prosiding Budaya Padi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Halliday, D.J., and M.E. Trenkel. 1998. IFA World Fertilizer Use Manual. International
Fertilizer Industry Association. Paris.
Hendayana, R. 2014. Strategi pengembangan padi varietas unggul di lahan pasang surut
dan rawa.
Hossain, M., M.L. Bose, and B.A.Z. Mustafi. 2006. Adoption and productivity impact of
modern rice varieties in Bangladesh. The Developing Economies, XLIV-2 (June
2006): 149–66.
Jamil, A., Satoto, P. Sasmita, Y. Baliadi, A. Guswara, dan Suharna. 2016. Deskripsi
Varietas Unggul Baru Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian. Jakarta. 82p.
Las, I. 2003. Peta perkembangan dan pemanfaatan varietas unggul padi. Dokumen, Okt.
2003.
Las, I. 2004. Perkembangan varietas dalam perpadian nasional. Seminar Inovasi
Pertanian Tanaman Pangan. Bogor, Agustus 2004.
Las, I., B. Suprihatno, A.A. Daradjat, Suwarno BA, dan Satoto. 2004. Inovasi teknologi
varietas unggul padi: perkembangan, arah, dan strategi ke depan. Dalam: Kasryno
F, et al.(eds). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Nurhati, I., S. Rhamdaniati, dan N. Zuraida. 2008. Peranan dan dominasi varietas unggul
baru dalam peningkatan produksi padi di Jawa Barat. Buletin Plasma Nutfah
14(1): 8-13.
Pujiharti, Y. 2010. Pengkajian sistem penyediaan (>90%) kebutuhan benih unggul
bermutu padi jagung kedelai yang lebih murah (>20%) secara berkelanjutan
untuk mendukung program strategis peningkatan produksi padi (>10%), jagung
(>20%) dan kedelai (>20%) di wilayah Lampung. Laporan Akhir Tahun Insentif
Riset Terapan.
Pujiharti, Y. dan Rr. Ernawati. 2012. Faktor-faktor penentu distribusi inovasi pengelolaan
tanaman terpadu padi sawah di Lampung. Jurnal Pengkajian dan Pe
Purwanto, D.W. Astuti, dan H. Subagio. 2012. Percepatan adopsi varietas unggul baru
untuk meningkatkan produktivitas padi di Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional
Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura,
Juni 2012. 7 hlm.
Samaullah, M.Y. 2007. Pengembangan varietas unggul dan komersialisasi benih sumber
padi. Apresiasi Hasil Penelitian Padi. 12 hlm.
Sirappa, M.P., A.J. Riewpassa, dan E.D. Waas. 2007. Kajian pemberian pupuk npk pada
beberapa varietas unggul padi sawah di Seram Utara. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Pertanian 10(1): 48-56.
Soehendi, R., dan Syahri. 2012. Kesesuaian varietas unggul baru padi di Sumatera
Selatan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi Buku I.
Medan, 6-7 Juni 2012. Hlm. 304-310.
Sudana, W. 2005. Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi pertanian.
Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 3(2):141-151.
Sudarwati, S., M. Purnamasari, dan T. Munawarah. 2014. Evaluasi preferensi petani
terhadap kualitas hasil beberapa varietas unggul padi sawah di Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur. Dalam Satoto, U. Susanto, I.A. Rumati, B.
Kusbiantoro (ed.). 2014. Prosiding Seminar Nasional 2013 Buku 1. Hlm. 97-109.
Sularno. 2012. Kontribusi varietas unggul baru pada usahatani padi dalam rangka
meningkatkan keuntungan petani. Jurnal SEPA 9(1): 83-89.
Suparman. 2014. Uji adaptasi varietas unggul baru padi sawah di Kabupaten Barito
Timur. Dalam Satoto, U. Susanto, I.A. Rumati, B. Kusbiantoro (ed.). 2014.
Prosiding Seminar Nasional 2013 Buku 1. Hlm. 443-448.
Suparwoto dan Waluyo. 2011. Inovasi teknologi varietas unggul baru (VUB) meningkatkan
produktivitas padi dan pendapatan petani di lahan rawa lebak. Jurnal
Pembangunan Manusia. Vo. 5(1): 49-59 .
Suparwoto, dan Waluyo. 2011. Pertumbuhan dan daya hasil padi varietas Inpara 1,
Inpara 2, dan Ciherang di lahan lebak tengahan Kabupaten Banyuasin Sumatera
Selatan. Dalam Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki, Sudir (ed.). 2014.
Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Hlm. 161-167.
Syahri, dan R.U. Somantri. 2014. Efektivitas paket rekomendasi pemupukan terhadap
produktivitas padi di lahan lebak Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Jurnal Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian 17(3): 211-221.
Thamrin, T., Rudy Soehendi, Y. Hutapea, Muzhar, A. Subendi, Agung Prabowo, IKW Edi,
Y. Suci, Mardianis, Triyandar, Waluyo, Suparwoto, Viktor Siagian, NPS Ratmini,
Dedeh, Budi Raharjo, Imelda, Abdul Kodir. 2010. Laporan Akhir Pendampingan
Program Strategis Deptan SL-PTT Padi Sebanyak 2.526 Unit di Wilayah Sumatera
Selatan dengan Target Peningkatan Produksi >10 %. BPTP Sumatera Selatan,
Palembang (tidak dipublikasikan).
Trisnawati, W., Rubiyo, dan Suharyanto. 2013. Preferensi konsumen terhadap mutu nasi
beberapa galur padi sawah di Jembrana, Bali. BPTP Bali.
Utama, Zulman HarjaZ.H.. 2015. Budidaya Padi pada Lahan marjinal-Kiat Meningkatkan
Produksi PAdi. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Paramita, E., E. Martini , J.M. Roshetko. 2013. Media dan Metode Komunikasi dalam
Penyuluhan Agroforestri : Studi Kasus di Sulawesi Selatan (Kabupaten Bantaeng
dan Bulukumba) dan Sulawesi Tenggara (Kabupaten Konawe dan Kolaka).
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri. Agroforestry Centre (ICRAF), Malang. P.
488-493
Pritandhari, M. dan T. Ratnawuri. 2015. Evaluasi Penggunaan Video Tutorial Sebagai
Media Pembelajaran Semester IV Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas
Muhammadiyah Metro. Promosi. 3(2):11-20
Editor: Siti Herlinda et. al.
ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
30
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”
Waluyo, Suparwoto, dan Sudaryanto. 2008. Fluktuasi genangan air lahan rawa lebak dan
manfaatnya bagi bidang pertanian di ogan komering ilir. Jurnal Hidrosfir
Indonesia. Vo. 3(2): 57-66.
Wasito, M. Sarwani, dan E.E. Ananto. 2010. Persepsi dan adopsi petani terhadap teknologi
pemupukan berimbang pada tanaman padi dengan indeks pertanaman 300.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol. 29(3):157-165.
Widjaja Adhi, D.A. Suriadikarta, M.T. Sutriadi, IGM. Subiksa, dan I.W. Suastika. 2000.
Pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan lahan rawa. Dalam A. Adimihardjo
et al. (eds.). Sumber Daya Lahan Indoensia dan Pengelolaannya. Puslittanak.
Bogor. hal. 127-164.