Anda di halaman 1dari 31

Kajian Teknologi Budidaya Padi Sistem Hazton

di Lahan Rawa Lebak Sumatera Selatan

Study of Hazton Systems on Paddy in Swamp Area, South Sumatera

Syahri1*), Renny Utami Somantri1, Yanto Pandu AP Hutabarat1


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan
Jl. Kol. H. Barlian No. 83 Km. 6 Palembang 30153
*)
Penulis untuk korespondensi: syahrihpt@gmail.com
Sitasi: Syahri, Somantri RU., Hutabarat YPAP. 2019. Kajian Teknologi Budidaya Padi Sistem
Hazton di Lahan Rawa Lebak Sumatera Selatan. In: Herlinda S et al. (Eds.), Prosiding
Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019. pp. 1-6.
Palembang: Unsri Press.

ABSTRAK
Kajian dilaksanakan di lahan petani rawa lebak seluas 3 ha di Desa Gelebak
Dalam, Kec. Rambutan, Kabupaten Banyuasin sejak Januari sampai Desember 2017.
Teknologi budidaya yang dikaji berupa teknologi budidaya sistem Hazton yaitu
menggunakan bibit dalam jumlah banyak. Kajian disusun berdasarkan Rancangan Acak
Kelompok dengan perlakuan merupakan kombinasi antara varietas yang terdiri dari
varietas adapatif rawa lebak: Inpari 30 dan Inpari 33 serta varietas padi rawa: Inpara 2
dan Inpara 4, sedangkan teknologi budidaya meliputi sistem Hazton modifikasi 1/T1
(jumlah bibit 10-20 bibit/lubang tanam), sistem Hazton modifikasi 2/T2 (jumlah bibit 20-
30 bibit/lubang tanam) dan teknologi PTT (T3). Modifikasi Hazton yang diterapkan
terutama dalam hal perbedaan umur dan jumlah bibit. Pengamatan dilakukan terhadap
komponen pertumbuhan dan hasil padi, tingkat serangan hama penyakit serta analisis
usahatani teknologi yang diterapkan. Hasil kajian menunjukkan bahwa teknologi T1
memberikan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibandingkan dengan teknologi
lainnya. Jumlah anakan produktif yang dihasilkan teknologi Hazton T1 dan T2 lebih
tinggi dibanding teknologi PTT, mamun persentase pembentukan anakan produktif lebih
rendah bila dibanding teknologi PTT (<70% dari jumlah anakan yang terbentuk).
Teknologi Hazton berpengaruh terhadap intensitas serangan OPT, dimana intensitas
serangan OPT lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi PTT. Hasil kajian juga
menunjukkan produktivitas padi yang dihasilkan pada berbagai perlakuan relatif lebih
rendah dari target yang diinginkan, dimana secara umum provitas padi hanya mencapai 4
t/ha. Perbedaan provitas antara teknologi PTT dengan teknologi Hazton secara rata-rata
hanya sebesar 0,2 t. Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa teknologi PTT lebih
menguntungkan dibanding dengan sistem Hazton, terlihat dari nilai B/C maupun R/C
lebih besar dibandingkan dengan teknologi Hazton.
Kata kunci: budidaya padi, Hazton, PTT, rawa lebak, Sumatera Selatan.
ABSTRACT
The study was carried out on 3 ha farmer’s field on swamp land in Gelebak Dalam
Village, Rambutan sub-district, district of Banyuasin, from January to December 2017.
The cultivation technology studied is the using of large number of rice seedlings which is
known as Hazton system. The study was arranged on a randomized block design with a
combination of varieties and number of seedlings. Varieties were used is Inpari 30, Inpari
33, Inpara 2 and Inpara 4 which tolerant to swamp area. The cultivation technologies,
whereas, are consisting of Hazton 1/T1 (10-20 seedlings/hole), Hazton 2/T2 (20-30
seedlings/hole) and integrated crop management/PTT (T3). Data were observed is plant

i
growth and yield of rice, pests attach and economic analysys. The results show that the
best plant growth is Hazton T1. The number of productive tillers produced by Hazton T1
and T2 technology is higher than PTT technology, but the percentage of the formation of
productive tillers is lower than PTT technology (<70% tillers were formed). Hazton
technology influences the intensity of pest attacks, where the intensity of pest attacks is
higher than PTT technology. The results of the study also showed that rice productivity
produced in various treatments was relatively lower than the desired target, which in
general rice province only reached 4 t/ha. The difference in average yield between PTT
technology and Hazton is only 0.2 t. The economic analysis indicate that PTT technology
is more profitable than the Hazton system, which is showed on both of B/C and R/C ratio.
Keywords: paddy, Hazton system, integrated crop management, swamp area, South
Sumatera.

Peran Diseminasi Teknologi dalam Meningkatkan Pengetahuan Petani


dan Produksi Padi di Lahan Rawa Lebak Sumatera Selatan

Dissemination Technology to Enhance Farmers Knowledge and Rice


Production in Lowland of South Sumatera

Syahri, Renny Utami Somantri, Tumarlan Thamrin

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan

Jl. Kol. H. Barlian No. 83 Km. 6 Palembang

Email Korespondensi: syahrihpt@gmail.com

Abstrak

Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi padi khususnya


di lahan rawa. Bahkan, di akhir tahun 2018, melalui Kementerian Pertanian
diinisasi Program “Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani (SERASI)”. Namun
disadari bahwa implementasi teknologi di tingkat lapang masih sangat lamban
sehingga perlu pendampingan dan pengawalan secara terus-menerus. Untuk itu,
BPTP Sumatera Selatan berupaya melaksanakan diseminasi teknologi hasil
Balibangtan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan petani khususnya di
lahan rawa lebak. Kegiatan dilaksanakan pada 12 kelompok tani yang berada di
Desa Jukdadak, Kec. Tanjung Lubuk, Kabupaten OKI sejak bulan Mei sampai
Desember 2018. Diseminasi teknologi dilakukan melalui beberapa metode, antara
lain: 1) pembuatan demplot pengelolaan tanaman terpadi padi seluas 5 ha, 2)
sosialisasi VUB padi seluas 2,5 ha, 3) diseminasi teknologi melalui pelatihan
petani, 4) pertemuan kelompok tani, 5) demo-cara teknologi, serta 5)
penyebarluasan materi diseminasi yang dihasilkan oleh Balitbangtan. Teknologi
yang dikenalkan antara lain sistem tanam jajar legowo 2:1, penggunaan VUB
adaptif lahan rawa (Inpari 30 dan Inpari 43), pemupukan berdasarkan hasil
pengujian tanah dengan PUTS dan pengendalian OPT berdasarkan prinsip PHT,

ii
penggunaan bibit umur >21 hari, pembuatan MOL dan penggunaan BWD serta
PUTR. Parameter yang dianalisis di antaranya pertumbuhan dan hasil padi pada
demplot dan display VUB, peningkatan pengetahuan petani, serta peningkatan
produktivitas padi di lokasi kegiatan. Hasil Hasil kegiatan menunjukkan bahwa
produktivitas padi di lokasi demplot dan sosialisasi VUB rata-rata 4,8 t/ha (Inpari
30) dan 4,0 t/ha (Inpari 43). Diseminasi teknologi yang dilakukan terbukti
mampu meningkatan produktivitas padi di lokasi pendampingan yakni mencapai
19,1% dibandingkan tahun 2017 sebelumnya. Selain itu, terjadi peningkatan
pengetahuan petani dalam melaksanakan budidaya padi khususnya di lahan rawa
lebak.

Kata kunci: diseminasi teknologi, pengetahuan petani, produksi padi, rawa lebak,
Sumatera Selatan

iii
iv
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

PENDAHULUAN

Kebutuhan beras sebagai salah satu sumber pangan utama penduduk Indonesia
terus meningkat, karena selain jumlah penduduk yang terus bertambah dengan laju
peningkatan 2% per tahun, juga diakibatkan oleh perubahan pola konsumsi penduduk
dari non beras ke beras (Azwir dan Ridwan, 2009). Salah satu sentra produksi padi
nasional yakni propinsi Sumatera Selatan. Sumatera Selatan menempati urutan terbesar
kelima dalam hal produksi padi di tingkat nasional. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (2017), produksi padi di Sumatera Selatan tahun 2016 yakni sebesar 5.074.613
ton GKG. Produksi padi ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun
sebelumnya yang hanya sebesar 4.247.922 ton GKG atau jika dikonversikan ke dalam
beras yakni sebesar 3.183.812 ton (BPS Propinsi Sumsel, 2017). Jika dihitung konsumsi
per kapita yang hanya sebesar 102 kg dengan jumlah penduduk sebanyak 8.164.242 jiwa
berarti diperlukan beras sebanyak hanya 832.753 ton sehingga masih ada surplus
2.351.059 ton beras di Sumatera Selatan.
Pada tahun 2018, Sumatera Selatan ditargetkan dapat memproduksi padi
sebanyak 4.196.802 ton GKG dengan sasaran luas tanam padi sebesar 1.187.918 ha.
Untuk mencapai target produksi tersebut minimal dihasilkan provitas rata-rata padi
sebesar 3,5 t GKG/ha atau setara dengan sekitar 4,06 t GKP/ha. Angka ini sebenarnya
tidaklah sulit untuk dicapai jika melihat provitas rata-rata di Sumsel tahun 2017 yakni > 4
t/ha. Namun, jika ditelusuri di tingkat lapang, produktivitas padi di tingkat petani masih
belum merata, masih terdapat senjang hasil yang besar antar wilayah. Keberagaman
agroekosistem dengan tingkat teknologi yang berbeda menjadi salah satu penyebab
adanya senjang hasil yang tinggi antarwilayah. Pada agroekosistem irigasi dan tadah
hujan, sangat mudah dijumpai produktivitas padi yag telah mencapai 7 t/ha. Namun,
pada lahan suboptimal seperti lahan lebak, pasang surut dan lahan kering ternyata
produkvitas masih <4 t/ha.

Lahan rawa lebak merupakan salah satu sentra pertanaman padi di Sumatera
Selatan. Berdasarkan data BPS (2017), dari total 774.502 ha lahan yang sudah
digunakan, lahan rawa lebak menjadi yang terluas yakni 285.941 ha (37% dari luas lahan
yang ada). Lahan lebak memiliki tiga tipe, yaitu lebak dangkal dengan tinggi genangan
airnya kurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan, lebak tengahan dengan tinggi
genangan airnya 50-100 cm selama 3-6 bulan, dan lebak dalam dengan tinggi genangan
airnya lebih dari 100 cm selama lebih dari 6 bulan (Widjaya Adhi et al., 2000). Dari total
lahan rawa lebak yang telah diusahakan untuk pertanian, hampir 91% diusahakan untuk
usahatani padi dengan pola tanam satu kali dalam setahun, sedangkan yang diusahakan
dua kali setahun baru sekitar 9% (Sudana, 2005). Selain itu, produktivitas padi lokal di
lahan lebak hanya 3 t GKP/ha (Suparwoto dan Waluyo, 2011).
Menurut Fagi et al. (2001), rendahnya hasil gabah padi sawah sangat erat
kaitannya dengan tingkat kesuburan tanah, pemupukan yang masih di bawah
rekomendasi, ketersediaan dan pengaturan penggunaan air, teknologi dan faktor iklim.
Djamhari (2009) menyatakan selain kendala genangan air dan banjir yang datangnya
tidak menentu dan bila musim kemarau terjadi kekeringan sehingga lahan hanya dapat
diusahakan hanya satu kali dalam setahun, juga tingginya kemasaman dan rendahnya
kesuburan tanah juga menjadi kendala utama pengembangan padi di lahan rawa lebak.
Sedangkan, Achmadi dan Las (2007) menyatakan lahan lebak tiap tahun umumnya
mendapat endapan lumpur dari daerah di atasnya, sehingga walaupun kesuburan
tanahnya tergolong sedang, tetapi keragamannya sangat tinggi antar wilayah atau antar
Editor: Siti Herlinda et. al.
ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar] 5
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

lokasi. Menurut mereka, umumnya nilai N total sedang-tinggi, P-tersedia rendah-sedang,


K-tersedia 10-20 ppm sedang, dan KTK umumnya sedang-tinggi.
Balitbangtan telah menghasilkan beberapa inovasi teknologi untuk meningkatkan
produktivitas tanaman seperti penentuan rekomendasi pemupukan berdasarkan PUTS,
PUTK maupun PUTR, penggunaan varietas unggul baru, sistem tanam jajar legowo yang
semuanya telah tertuang dalam pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT).
Berdasarkan hasil penelitian penerapan PTT pada sawah irigasi Sumsel menunjukkan
terjadi peningkatan produktivitas padi dengan kisaran 42,22 - 86,67% (Thamrin dan
Hutapea, 2010). Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) merupakan suatu usaha untuk
meningkatkan hasil tanaman pangan dan efisiensi masukan produksi dengan
memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara bijak. Tujuan dari sistem ini
adalah untuk meningkatkan produktivitas padi secara berkelanjutan, dan efisiensi
produksi dengan memperhatikan sumber daya yang ada, kemampuan dan kemauan
petani. Oleh karenanya, diperlukan upaya pendampingan dalam rangka menyebarluaskan
teknologi yang telah dihasilkan Balitbangtan khususnya untuk mendukung peningkatan
produksi padi di Sumatera Selatan
METODOLOGI

Kegiatan dilaksanakan di Desa Jukdadak Kecamatan Tanjung Lubuk berdasarkan


Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Kadistan Kabupaten OKI. Adapun bahan yang
digunakan di antaranya a) materi diseminasi berupa leaflet, brosur, buku petunjuk teknis,
b) materi dem-cara teknologi berupa perangkat uji tanah sawah, perangkat uji tanah
rawa, bagan warna daun, dsb., c) bahan pembuatan demplot seperti VUB padi (Inpari 30
dan Inpari 43), pupuk (Urea, TSP, KCl), pestisida.

Adapaun tahapan pelaksanaan kegiatan meliputi:

1) Persiapan
Persiapan kegiatan meliputi penyusunan proposal dan rencana operasional
pelaksanaan kegiatan, pemaparan rencana operasional secara internal serta
menyiapkan aspek teknis untuk implementasi kegiatan di lapangan. Keluaran yang
diharapkan dari tahapan ini yakni tersusunnya proposal dan rencana operasional
pelaksanaan kegiatan yang siap diimplementasikan di tingkat lapang.
2) Koordinasi dan konsultasi dengan dinas/instansi terkait
Koordinasi dilakukan dengan dinas instansi yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan
meliputi Dinas Pertanian Propinsi Sumsel dan Kabupaten Ogan Komering Ilir, serta
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Koordinasi awal dilakukan dalam rangka untuk
memantapkan perencanaan terkait pelaksanaan kegiatan serta menentukan lokasi
sasaran kegiatan. Diharapkan dari kegiatan ini dapat ditetapkan lokasi yang tepat
untuk pelaksanaan kegiatan serta adanya kesiapan semua pihak untuk mendukung
impelentasi kegiatan di tingkat petani.

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar] 6
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

3) Penetapan Calon Petani/Calon Lokasi


Calon lokasi dan calon petani dipilih berdasarkan beberapa kriteria seperti: a)
produktivitas padi di lokasi masih rendah, b) tingkat adopsi teknologi budidaya padi
berbasis mekanisasi masih rendah, c) pengetahuan petani terhadap teknologi
budidaya yang baik masih rendah serta d) petani bersedia menerapkan teknologi
anjuran. Selain itu, calon petani dan calon lokasi juga didasarkan atas saran yang
diberikan oleh dinas/instansi terkait.

4) Identifikasi Kondisi Eksisting Penerapan Teknologi di Tingkat Petani


Identifikasi awal ditujukan untuk mengetahui kondisi awal calon lokasi kegiatan
terutama dalam hal penerapan teknologi budidaya padi yang baik. Metode yang
digunakan yakni melalui kegiatan Rapid Rural Appraisal (RRA) yang bertujuan untuk
mengetahui sejauhmana pemahaman petani dalam menerapkan teknologi anjuran.
Selain itu juga digali informasi mengenai permasalahan dan upaya pemecahan
masalah yang selama ini dilakukan petani dalam hal penerapan teknologi budidaya.
Output yang diperoleh dari kegiatan ini dapat dijadikan umpan balik dalam merakit
teknologi-teknologi unggulan yang dibutuhkan petani untuk meningkatkan
produktivitas tanaman padi.
5) Penyebarluasan Materi Inovasi Teknologi Hasil Balitbangtan

Langkah awal untuk memasyarakatkan teknologi hasil Balitbangtan secara cepat


yakni melalui penyebarluasan materi diseminasi berupa hasil-hasil Litkaji yang telah
dihasilkan oleh Balitbangtan. Materi diseminasi berupa leaflet, brosur maupun buku
petunjuk teknis disebarluaskan ke beberapa kelompok tani. Pada saat awal, dilakukan
pengukuran terhadap pengetahuan mereka terhadap isi dari materi cetakan tersebut
dan pada akhir kegiatan dilakukan pengukuran kembali terhadap tingkat adopsi
mereka terhadap materi yang telah disampaikan tersebut. Output yang diharapkan
yakni informasi mengenai efektivitas diseminasi teknologi melalui penyebarluasan
materi diseminasi.

6) Pelatihan Teknologi Berbasis Kelompok Tani

Sebagai upaya mengenalkan teknologi unggulan hasil Litbang Pertanian, dilakukan


kegiatan diseminasi teknologi berbasis kelompok. Kegiatan diseminasi dilakukan
melalui pelatihan dan pertemuan di tingkat kelompok tani, dimana pada kegiatan ini
akan dilatih beberapa perwakilan kelompok tani ( key farmers) untuk mengikuti
pelatihan mengenai teknologi budidaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman
padi. Materi pelatihan yang akan disampaikan di antaranya mengenai teknologi
budidaya padi anjuran di lahan rawa lebak, dukungan mekanisasi dalam menunjang
peningkatan hasil dan percepatan tanam di lahan rawa lebak, pengenalan komponen
teknologi PTT seperti penggunaan VUB, pemupukan berimbang, pengaturan jarak
tanam, dsb. Metode pelatihan yakni tata muka, ceramah dan diskusi. Melalui
penerapan metode diseminasi berbasis kelompok ini diharapkan arus informasi
mengenai teknologi dapat berlangsung dengan cepat. Hal ini tidak lain karena petani
secara aktif terlibat dalam proses pelatihan serta diharapkan informasi yang
bersumber dari sesama petani dapat lebih mudah dipahami oleh petani lainnya.

7) Diseminasi Teknologi Melalui Dem-Cara

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar] 7
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

Dem-cara merupakan salah satu metode efektif untuk memberikan pemahaman


terkait suatu teknologi. Penyampaian materi di kelas yang relatif membosankan dapat
diperbaiki melalui praktik secara langsung (demo-cara). Pelaksanaan diseminasi
teknologi melalui dem-cara ini juga dilakukan berjenjang ( training of trainer).
Perwakilan kelompok tani dilatih mengenai praktik teknologi budidaya di lahan rawa
lebak dan selanjutnya mereka akan menyampaikan hasil pelatihan tersebut ke
kelompoknya. Materi praktis yang disampaikan pada dem-cara ini di antaranya
penentuan status hara tanah serta rekomendasi pemupukan berdasarkan hasil
pengujian dengan perangkat uji tanah sawah maupun rawa (PUTS/PUTR),
pembuatan MOL, serta aplikasi pestisida secara benar. Parameter yang diukur yakni
sejauhmana keterampilan mereka bertambah dibandingkan dengan sebelum
mengikuti pelatihan dem-cara sehingga dapat diketahui efektivitas diseminasi melalui
dem-cara.

8) Diseminasi Teknologi melalui Pembuatan Demplot Teknologi Budidaya

Pembuatan demplot dimaksudkan untuk mengenalkan teknologi budidaya yang sesuai


untuk diterapkan di lahan rawa lebak sehingga petani dapat dengan mudah untuk
melihat dan meniru teknologi yang diterapkan. Demplot teknologi budidaya
direncanakan akan dilakukan pada beberapa lokasi yang memiliki karakteristik berbeda
seperti lebak dangkal, tengahan dan dalam serta lokasi dengan kriteria provitas yang
masih rendah, dengan luasan sekitar 5 ha. Teknologi yang diuji berupa perbaikan
teknolgi budidaya padi terhadap kondisi eksisting. Adapun teknologi yang diterapkan
pada demplot merupakan teknologi budidaya berdasarkan prinsip pengelolaan
tanaman terpadu, dimana komponen teknologi yang diterapkan di antaranya
penggunaan varietas unggul adaptif lahan rawa lebak dan tahan OPT, penggunaan
bibit berumur muda, penanaman dengan sistem tanam jajar legowo, pemupukan
berdasarkan hasil PUTS/PUTR, dan pengendalian OPT berdasarkan prinsip PHT.
Sebagai pembanding adalah teknologi budidaya yang biasa diterapkan oleh petani.

Rakitan teknologi budidaya secara umum yakni:


Komponen
Uraian
Teknologi

Benih Inpari 30, Inpari 43

Pengolahan tanah Olah tanah sempurna (OTS) dengan cara dibajak

Pemupukan Dosis berdasarkan hasil uji tanah menggunakan PUTS/PUTR

Waktu I (0-1 mst) = 1/3 dosis Urea, semua dosis SP-36, dan ½ dosis
Pemupukan KCl, II (3-4 mst) = 1/3 dosis Urea dan ½ dosis KCl, III (7-8
mst) = 1/3 dosis Urea

Cara pemupukan Dihambur

Jarak Tanam Jajar legowo 2:1

Jumlah 2-3
bibit/lubang

Umur bibit 20-30 hari

Pengendalian OPT Penggunaan pestisida kimia dan biopestisida (berdasarkan PHT)

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar] 8
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

Komponen
Uraian
Teknologi

Panen dan pasca Panen dilakukan saat 90% malai menguning dengan cara
panen potong bawah, gabah dirontok dengan thresher

Adapun prosedur lengkap budidaya yakni sebagai berikut.

a) Varietas. Varietas yang digunakan merupakan varietas yang adaptif lahan rawa serta
mempunyai anakan sedikit, malainya panjang dan lebat, seperti Inpari 30 dan Inpari
43.
b) Benih. Benih yang digunakan yakni benih bersertifikat. Sebelum disemai, benih
dimasukkan ke dalam tempat yang berisi air, volume air 2 kali volume benih,
kemudian diaduk-aduk. Benih yang terapung dipisahkan dengan benih yang
tenggelam. Benih yang tenggelam berarti bernas, baik untuk pesemaian. Sebelum
semai, benih direndam selama 24 jam dan diperam satu malam. Benih padi direndam
dalam larutan fungisida misalnya berbahan aktif tembaga oksida56% dosis 1 g/5 L air
selama 24 jam.
c) Persemaian. Bedengan persemaian dibuat dengan lebar 1,0-1,2 m memanjang atau
sesuai kondisi lahan di pinggir pematang sawah, dengan tinggi bedengan disesuaikan
dengan tinggi muka air pada lahan (untuk menghindari semaian terendam air. Saat
tabur benih, kondisi lahan persemaian macak-macak. Sebagai alternatif jika kondisi air
tinggi, maka persemaian dilakukan dengan modifikasi sistem dapok sehingga
memudahkan saat penanaman.
d) Penyiapan Lahan. Sebelum dilakukan penanaman, lahan terlebih dahulu dibersihkan
dari sisa tanaman/gulma dengan cara disemprot dengan herbisida, selanjutnya
dilakukan pengolahan tanah dengan cara dibajak.
e) Penanaman. Bibit ditanam pada umur 20-30 hari (menyesuaikan dengan kondisi
lahan), bibit yang kurang sehat tidak digunakan. Pencabutan bibit dengan cara ombol
atau banyak, sehingga mengurangi rusaknya akar. Bibit yang telah dicabut kemudian
diikat, untuk memudahkan pengangkutan dan distribusi ke petakan. Bibit ditanam
tegak, leher akar masuk kedalam tanah sekitar 1-3 cm. Digunakan tanam pindah
menggunakan sistem legowo (2:1) dengan jarak (20-40)cm x 25 cm.
f) Pemupukan. Pupuk dasar diberikan pada tanaman berumur 0-5 hari setelah tanam
(HST), berupa pupuk N (Urea), pupuk P (SP36), pupuk K (KCl), atau pupuk majemuk,
sesuai dosis anjuran. Pupuk susulan diberikan pada fase kritis pertumbuhan tanaman
atau pada stadia primordia bunga (15-30 hst). Dosis dan waktu pemberian pupuk
didasarkan pada Tabel rakitan teknologi, pemupukan N diupayakan dilakukan
berdasarkan hasil pembacaan Bagan Warna Daun (BWD) yang dimulai dari 2 minggu
setelah tanam dan diulangi dengan interval pembacaan setiap minggu.
h) Pengendalian OPT. Pengendalikan OPT mengikuti prosedur pengendalian hama
terpadu (PHT) dengan mengutamakan penggunaan biopestisida. Jika intensitas
serangan OPT melampaui ambang ekonomi, maka dilakukan pengendalian dengan
penyemprotan pestisida seperti yang berbahan aktif Cu-oksida, abamektin,
sipermetrin, dsb.
i) Panen. Panen dilakukan saat 90% malai menguning dengan cara potong bawah,
gabah dirontok dengan threserdan selanjutnya dijemur hingga kadar air mencapai
14%.

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar] 9
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

9) Supervisi Teknologi di Tingkat Petani


Supervisi teknologi dilakukan di tingkat kelompok tani yang ada di wilayah
pendampingan. Kegiatan dilakukan dengan melakukan identifikasi teknologi serta
melakukan upaya pemecahan masalah ketika terdapat kendala di tingkat lapang.
10) Pengumpulan dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan meliputi:
No. Data Sumber/Pelaksana Jenis Data
1. Data riwayat serangan OPT di BPTPH Prop. Sumsel, Dinas Sekunder
Sumatera Selatan TPH Kab. Ogan Komering Ilir
2. Data provitas padi di lokasi Dinas Pertanian Kab. Ogan Sekunder
kegiatan Komering Ilir
3. Karakteristik lokasi Monografi Desa, survei awal Sekunder
pendampingan
4. Status hara tanah lokasi Analisis tanah dengan PUTS Primer
pendampingan dan atau analisis di Lab.
Tanah Unsri
5. Data serangan OPT dan VUB PPL, PHP-POPT, Poktan Sekunder
eksisting lokasi pendampingan
6. Komponen pertumbuhan Lokasi pendampingan Primer
tanaman (tinggi tanaman, (teknisi/PPL/petani)
jumlah anakan produktif)
7. Komponen hasil dan hasil padi Lokasi pendampingan Primer
(jumlah malai/rumpun, panjang (teknisi/PPL/petani) dan
malai, butir isi, butir hampa, Laboratorium
bobot 1.000 butir, produktivitas)
8. Jenis dan intensitas serangan PHP/ Teknisi Primer
hama, penyakit serta gulma
9. Data usaha tani PPL/Peneliti Primer
10. Respon petani terhadap Lokasi pendampingan Primer
teknologi anjuran
11. Persepsi petani terhadap Lokasi pendampingan Primer
komponen teknologi yang
diterapkan
12. Perubahan pengetahuan petani Lokasi pendampingan Primer
13. Peningkatan produktivitas padi Lokasi pendampingan Primer
(senjang hasil)
Pengamatan pertumbuhan tanaman akan dilakukan pada sebanyak 10 sampel
acak pada baris diagonal pada yang sudah ditentukan terlebih dahulu untuk setiap petak
percobaan.Pengamatan dilakukan dengan mengikuti prosedur sebagai berikut.

a) Tinggi tanaman (cm), diukur mulai dari pangkal batang di atas permukaan tanah
hingga ujung daun tertinggi, pengukuran dilakukan pada saat tanaman padi
berumur 60 hst.
b) Jumlah anakan produktif (anakan/rumpun), dihitung berdasarkan jumlah anakan
tanaman padi yang menghasilkan malai dan bulir padi, perhitungan dilakukan satu
minggu sebelum panen dengan satuan pengukuran dalam batang.
c) Umur panen (hari) dihitung dari tanaman mulai ditanam sampai tanaman dipanen.

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
10
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

d) Jumlah malai (malai/rumpun), banyaknya malai yang dihasilkan untuk setiap


rumpun tanaman.
e) Panjang malai (cm) diukur dari pangkal leher malai hingga ujung mala
f) Jumlah gabah (bulir), dihitung berdasarkan banyaknya gabah pada setiap malai.
Jumlah gabah ini merupakan rerata jumlah gabah dari tiga malai sampel dari
setiap sampel tanaman yang diambil.
g) Persentase gabah isi (%), dihitung berdasarkan persentase gabah isi pada setiap
malai dari total gabah per malai.
h) Persentase gabah hampa (%), dihitung berdasarkan persentase gabah hampa
pada setiap malai dari total gabah per malai.
i) Bobot 1.000 butir (g), dihitung berat 1.000 butir gabah pada KA 14%. Sebanyak
1.000 butir gabah dari setiap petak percobaan ditimbang dengan timbagan digital,
selanjutnya dicatat berat gabah tersebut.
j) Produktivitas (t/ha), produktivitas tanaman untuk sistem tegel dihitung melalui
ubinan berukuran 2,5 m x 2,5 m (Gomez, 1972), sedangkan untuk legowo
mengikuti prosedur yang dikeluarkan Balitbangtan (2013). Pengambilan sampel
ubinan ini dilakukan pada saat padi memasuki umur panen atau kira-kira 90%
malai pada tanaman telah menguning. Sampel ubinan diambil dengan cara
memotong batang padi dengan air, kemudian dilakukan perontokan dengan cara
manual (digebot). Gabah yang telah dirontok ini kemudian ditimbang berat untuk
mengetahui berat gabah kering panen (GKP). Gabah yang telah dirontok ini
kemudian dijemur di bawah terik matahari dan dicatat kadar airnya hingga
mencapai 14%, lalu dilakukan penimbangan kembali untuk mengetahui berat
kering giling. Data inilah nantinya yang digunakan sebagai konversi hasil untuk
setiap hektar lahan.
k) Tingkat serangan OPT (%)
Jenis OPT yang menyerang terlebih dahulu diidentifikasi untuk selanjutnya dinilai
tingkat serangannya. Pengamatan kerusakan tanaman didasarkan pada jenis OPT
yang menyerang. Pengamatan dilakukan sejak adanya serangan OPT dengan
metode skor berdasarkan persentase luas daun yang terserang (rusak).
Perhitungan serangan OPT mengikuti rumus Mc. Kinney (1923) dalam Kurniawati
dan Hersanti (2009) sebagai berikut:

I
 (n  v)  100%
NZ
Dimana I = intensitas serangan; n = jumlah tanaman yang terserang; N = jumlah
seluruh tanaman; v = nilai skala serangan yang dihasilkan; Z = nilai skala
tertinggi.Nilai skala serangan untuk setiap OPT mnegikuti prosedur yang dikeluarkan BB
Padi (2010) yakni sebagai berikut:
Jenis OPT Skala serangan

Hawar daun bakteri 0 = luas daun terinfeksi 1-5%

3 = luas daun terinfeksi 6-12%

5 = luas daun terinfeksi 13-25%

7 = luas daun terinfeksi 26-50%

9 = luas daun terinfeksi 51-100%

Wereng batang 0 =tidak ada kerusakan


coklat

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
11
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

Jenis OPT Skala serangan

1 =daun pertama kuning sebagian

3 =Daun pertama dan kedua kuning sebagian

5 =tanaman kuning dan kerdil atau 25% jumlah taaman menjadi layu
(mati)

7 = lebih dari separuh tanaman menjadi layu dan tanaman menjadi


kerdil atau mati

9 =semua tanaman mati

Penyakit blas 0 = tidak ada gejala

1 = bercak seujung jarum

2 = gejala bercak lebih besar dari ujung jarum

3 = bercak nekrotik keabu-abuan, berbentuk bundar dan agak


lonjong, panjang 1-2 mm dnegan tepi coklat

4 = Bercak khas blas panjang 1-2 mm luas adun terserang kurang


dari 2%

5 = bercak khas blas luas daun terserang 2-10%

6 = bercak khas blas panjang 1-2 mm luas daun terserang 10-25%

7 = bercak khas blas panjang 1-2 mm luas daun terserang 26-50%

8 = bercak khas blas panjang 1-2 mm luas daun terserang 51-75%

9 = bercak khas blas panjang 1-2 mm luas daun terserang 76-100%

Keterangan: Jenis OPT maupun skala serangan dapat bertambah atau berkurang sesuai jenis OPT
yang menyerang.

Pengamatan tingkat serangan OPT dilakukan dengan prosedur pengamatan tetap,


dimana dari sebanyak 15 sampel tanaman diamati selama kisaran 2 minggu untuk
tingkat serangan OPT-nya. Pengamatan didasarkan pada skor tingkat serangan,
selanjutnya skor tersebut dihitung intensitas serangannya berdasarkan rumus
menghitung intensitas serangan penyakit.

l) Persepsi terhadap Teknologi yang Diterapkan


Selama proses diseminasi teknologi melalui pembuatan demplot, dilakukan
pengukuran persepsi petani maupun petugas lapang terhadap pengaruh teknologi
yang diterapkan terhadap pertumbuhan maupun hasil tanaman. Pengukuran
dilakukan terhadap keunggulan relatif (apakah teknologi introduksi dianggap lebih
baik dari yang pernah ada, dapat diukur dari manfaat ekonomis dan manfaat
teknis); tingkat kesesuaian (apakah teknologi introduksi dianggap konsisten
dengan nilai yang berlaku, dilihat dari kondisi lingkungan, adat istiadat/kebiasaan
dan kebutuhan); tingkat kerumitan (apakah teknologi introduksi dianggap sebagai
sesuatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan dilihat dari sarana dan prasarana
serta penerapan); dapat dicoba (apakah teknologi introduksi dapat diujicoba pada
batas tertentu pada skala kecil); dapat diamati (apakah teknologi introduksi dapat
dilihat orang lain dari sisi produksi, kualitas dan pendapatan).
m) Data Perubahan Pengetahuan Petani
Perubahan perilaku dan pengetahuan petani diukur sebelum dan setelah dilakukan
diseminasi teknologi, baik pada saat diseminasi melalui materi tercetak, diseminasi
Editor: Siti Herlinda et. al.
ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
12
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

melalui pelatihan dan dem-cara secara berjenjang yang berbasis kelompok, serta
diseminasi teknologi dalam bentuk penerapan demplot teknologi budidaya. Selain
itu, juga dilakukan pengukuran terhadap potensi adopsi terhadap teknologi yang
telah didiseminasikan.

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
13
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Kegiatan

Secara umum, Desa Jukdadak terletak di Kecamatan Tanjung Lubuk. Secara


administratif di sebelah utara berbatasan dengan Desa Kelampayan, sebelah selatan
berbatasan dengan Tanjung Beringin, sebelah barat dengan Ulak Balam dan sebelah
timur dengan Talang Tengah. Jarak desa dari ibukota kecamatan 15 km dan jarak dengan
ibukota kabupaten sejauh 35 km. Curah hujan rata-rata 2008-2013 mm per tahun dengan
jumlah hari hujan 7-14 hari setiap bulannya.

Luas wilayah Desa Jukdadak yakni 36.000 ha dengan rincian terdiri dari sawah 870
ha, ladang 375 ha, pemukiman 1.500 ha, perkebunan rakyat 301 ha. Terdapat sebanyak
246 kepala keluarga dengan jumlah penduduk laki-laki 524 jiwa dan perempuan 518 jiwa.
Jumlah KK pemilik penggarap 227, penggarap 100 KK dan buruh tani sebanyak 98 KK. Di
desa ini terdapat sebanyak 2 penggilingan padi dan 3 penggilingan tepung (Monografi
Desa Jukdadak, 2018).

Diseminasi Teknologi Melalui Pelatihan Petani dan Petugas Lapang

Pada hari kamis tanggal 26 April 2018, BPTP Sumatera Selatan melaksanakan
kegiatan Pelatihan Petani dan Petugas Lapang di Desa Jukdadak Kec. Tanjung Lubuk
Kabupaten OKI. Pelatihan ini merupakan bentuk dukungan BPTP dalam rangka
pendampingan pengembangan kawasan tanaman padi di Sumatera Selatan, dimana fokus
pendampingan terutama dilakukan pada agroekosistem rawa lebak yang merupakan
wilayah terbesar pengembangan tanaman padi.

Pelatihan dihadiri oleh sekitar 50 orang peserta yang merupakan perwakilan 12


kelompok tani yang ada di desa ini serta petugas lapang. Materi yang disampaikan yakni
Teknologi Budidaya Padi di Lahan Rawa Lebak yang disampaikan oleh Bpk. Ir. Suparwoto
dan Demonstrasi Penggunaan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) yang disampaikan oleh
Bpk. Pandu APH, SP.

Budidaya padi di lahan rawa lebak sangat terkait dengan kondisi air yang ada di
lahan, sehingga menurut Bpk Suparwoto diperlukan waktu semai yang tepat agar
tanaman tersebut bisa sesuai umurnya ketika dipindah ke lahan. Menurutnya,
penyemaian sebaiknya dilakukan hanya satu kali dan diupayakan dapat dilakukan di
sekitar lahan yang akan ditanami. Selain itu, hal yang cukup penting dalam budidaya padi
di lahan rawa lebak adalah pengaturan jarak tanam melalui penerapan sistem tanam jajar
legowo 2:1, dimana cara tanam ini dapat memberikan kemudahan petani dalam
memelihara tanaman serta diketahui mampu meningkatkan produktivitas padi.
Selanjutnya, hal yang jarang diperhatikan adalah mengenai dosis pemupukan. Oleh
karenanya, pada kesempatan yang sama disampaikan mengenai cara cepat dan mudah
untuk menentukan dosis pemupukan yakni melalui penggunaan PUTS. Petani dan petugas
sangat antusias mengikuti kegiatan demonstrasi penggunaan PUTS yang dipandu oleh

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
14
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

Bpk. Pandu, apalagi setelahnya petani diberi kesempatan untuk mencoba menggunakan
PUTS tersebut.

Gambar 4. Pelaksanaan pelatihan dan dem-cara di Ds. Jukdadak

Sebelum pelatihan, terlebih dahulu dilakukan pengukuran terhadap tingkat pengetahuan


petani terhadap beberapa komponen teknologi budidaya padi. Menurut Daliani dan
Nasriati (___), pengetahuan merupakan tahap awal dari persepsi yang kemudian
mempengaruhi sikap dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan
(keterampilan). Dengan adanya wawasan petani yang baik tentang suatu hal, akan
mendorong terjadinya sikap yang pada gilirannnya mendorong terjadinya perubahan
perilaku. Pengetahuan mencerminkan tingkat kesadaran petani untuk mencari dan
menerima informasi inovasi teknologi. Artinya, pengetahuan yang tinggi dimiliki oleh
petani yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi pula. Kesadaran yang tinggi akan
mendorong petani untuk lebih memberdayakan diri mereka sendiri dengan meningkatkan
pengetahuannya. Salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan petani yakni
melalui pelatihan. Adapun hasil pengukuran tingkat pengetahun petani disajikan pada
Tabel berikut.
Tabel 6. Tingkat pengetahuan petani terhadap komponen teknologi PTT

Tingkat Pengetahuan (%)


Komponen Teknologi
Tahu Tidak Tahu
Penggunaan VUB 100 0
Pemupukan berdasarkan ketersediaan hara dan 100 0
kebutuhan tanaman
Pengaturan jarak tanam 100 0
Penggunaan pupuk hayati/kompos 0 100
Penggunaan bibit muda (<21 hari) 10 90
Penggunaan jumlah bibit 2-3 bibit per lubang 0 100
tanam
Pengendalian OPT berdasarkan PHT 6 94
Panen setelah >90% gabah menguning 100 0
Selanjutnya dilakukan juga pengukuran terhadap efektifitas pelaksanaan pelatihan yang
telah diberikan. Hasil pengukuran efektifitas pelatihan disajikan pada Tabel 7 berikut.
Editor: Siti Herlinda et. al.
ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
15
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

Tabel 7. Perubahan pengetahuan petani setelah mengikuti pelatihan

Tingkat Pengetahuan Petani (%)


Materi Pelatihan
Sebelum Pelatihan Setelah Pelatihan
Pengenalan varietas Inpara 0 100
Pengenalan varietas Inpari 100 100
Penggunaan benih <25 kg/ha 100 100
Perangkat Uji Tanah Sawah 0 100
Pemahaman mengenai penggunaan 0 100
PUTS
Pengetahuan mengenai sistem 100 100
tanam jajar legowo
Penerapan sistem tanam jajar 10 100
legowo
Berdasarkan Tabel 7 di atas, terjadi peningkatan pengetahuan petani terhadap beberapa
materi pelatihan, misalnya pengetahuan petani terhadap penggunaan varietas padi
Inpara, penggunaan PUTS dan penerapan sistem tanam jajar legowo. Banyak faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan petani sebagai bagian dari perilaku penerapan
inovasi. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah faktor dari dalam diri petani seperti
umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian
mengambil resiko, fatalisme, aspirasi dan dogmatis (sistem kepercayaan tertutup) dan
faktor lingkungan seperti kosmopolitan, jarak ke sumber informasi, frekuensi mengikuti
penyuluhan, keadaan prasarana dan sarana dan proses memperoleh sarana produksi.
Perubahan pengetahuan ke arah yang lebih baik tentunya akan berdampak pada
peningkatan kemampuan petani dalam pengelolaan tanamannya.

Penyebarluasan Materi Diseminasi

Dalam rangka mendiseminasikan teknologi yang dihasilkan oleh Balitbangtan,


maka dilakukan penyebarluasan materi publikasi dalam bentuk Buku Saku, Buku Petunjuk
Teknis maupun Leaflet. Materi diseminasi yang didistribusikan ke kelompok tani dan
petugas lapang merupakan materi publikasi yang dihasilkan oleh BPTP Balitbangtan
Sumsel. Penyebarluasan materi diseminasi dalam bentuk materi tercetak merupakan salah
satu upaya untuk mempercepat penyebarluasan informasi ke tingkat petani. Menurut
Pritandhari (2015), pesan atau informasi akan lebih mudah diserap secara tepat oleh
seseorang bila penyampaian informasi dilakukan dalam kondisi dan metode yang menarik
bagi sang penerima pesan. Oleh karenanya, penyampaian materi hanya melalui ceramah
akan lebih efektif jika dibarengi dengan adanya naskah tertulis, sehingga nantinya
sebagai bahan pengingat bagi petani ketika mereka lupa akan materi yang telah
disampaikan. Hal ini sejalan dengan Paramita (2013) yang menyatakan bahwa video serta
poster/leaflet berpotensi sebagai media penyuluhan yang efektif walaupun belum banyak
diterima oleh petani. Adapun materi diseminasi yang didistribusikan adalah sebagai
berikut.
Editor: Siti Herlinda et. al.
ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
16
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

Tabel 8. Distribusi materi publikasi ke kelompok tani Desa Jukdadak

Jumlah
No. Judul Publikasi
penerima (orang)
1. Buku Saku Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi 5
2. Juknis Penggunaan Perangkat Uji Tanah Kering 3
(PUTK)
3. Juknis Teknik Ubinan 4
4. Juknis Cara Tanam Jajar Legowo 4
5. Juknis Budidaya Padi di Lahan Rawa Lebak 34
6. Leaflet Teknologi Budidaya Padi di Lahan Rawa 45
Lebak
7. Leaflet Sistem Pengendalian Tikus dengan Bubu 50
Perangkap
Sebagian besar materi diserahkan ke perwakilan kelompok tani yang ada di Desa
Jukdadak. Dengan adanya materi diseminasi berupa informasi teknologi ini, diharapkan
petani dapat mempelajarinya secara mandiri maupun bersama-sama kelompok.

Selain dalam bentuk materi cetakan, inovasi Balitbangtan juga didiseminasikan


dalam bentuk distribusi alat peraga yakni berupa Bagan Warna Daun (BWD) dan PUTR.
Sebanyak masing-masing 1 buah BWD diberikan kepada 10 kelompok tani yang ada di
Desa Jukdadak, sedangkan PUTR diberikan kepada Ketua Gapoktan yang nantinya akan
dipergunakan untuk membantu penentuan rekomendasi pupuk di lokasi anggota
Poktannya. Penyerahan alat bantu lapang ini diberikan secara langsung melalui Petugas
Lapang yang ada di Desa Jukdadak.

Diseminasi Teknologi melalui Pembuatan Demonstrasi Plot

Untuk mengenalkan teknologi budidaya yang tepat untuk meningkatkan


produktivitas padi di lahan rawa lebak, dilakukan diseminasi teknologi melalui pembuatan
demonstrasi plot (demplot) dan display VUB di Desa Jukdadak. Demplot dilakukan pada
lahan petani seluas 5 ha dan sosialisasi VUB untuk lahan sekitarnya seluas 2,5 ha.
Varietas yang dikenalkan yakni Inpari 30 dan Inpari 43 yang merupakan varietas adaptif
lahan rawa. Adapun rincian distribusi VUB padi di kelompok tani yang ada di Desa
Jukdadak adalah sebagai berikut.

Tabel 9. Distribusi VUB Padi Demplot dan Display di Desa Jukdadak

Jumlah
No. Penerima Varietas Keterangan
(Kg)
1. Salhani (Poktan Suka Makmu) Inpari 30 25 Demplot 2 ha

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
17
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

Inpari 43 25
2. Teguh (Poktan Sumber Makmur) Inpari 30 50 Demplot 3 ha
Inpari 43 25
3. M. Amin (Poktan Jaya Makmur)
4. Junaidi (Potan Suka Makmur)
5. Syukri (Poktan Tunas Harapan)
25 kg Inpari 30 dan 25 kg Inpari 43
6. Yusup (Poktan Usaha Bersama)
Untuk kegiatan sosialisasi VUB
7. Fahruddin (Poktan Unggul Jaya)
8. Zainal (Poktan Harapan Maju)
9. Yanto (Poktan Suka Makmur)
Adanya demplot diharapkan dapat menjadi wahana bagi petani untuk mempelajari
secara langsung mengenai teknologi unggulan yang dihasilkan Balitbangtan. Teknologi
yang dikenalkan pada demplot di antaranya sistem tanam jajar legowo 2:1, penggunaan
VUB adaptif lahan rawa (Inpari 30 dan Inpari 43), pemupukan berdasarkan hasil
pengujian tanah dengan PUTS dan pengendalian OPT berdasarkan prinsip PHT.

Untuk menjamin terlaksananya demplot dengan baik, petani secara bersama-sama


diajak untuk mengawal pelaksanaan demplot. Pelaksanaan penanaman juga secara
langsung dilakukan petani untuk mempelajari sistem tanam jajar legowo 2:1. Penanaman
pada demplot dilakukan pada bulan Mei, dimana agak lebih terlambat dibanding lokasi
sekitarnya.

Penanaman padi dilakukan pada demplot pendampingan kawasan tanaman padi di


Desa Jukdadak pada lahan seluas sekitar 5 ha. Lahan tersebut terbagi menjadi dua lokasi
yakni lahan milik Bpk. Teguh (3 ha) dan sisanya seluas 2 ha milik Bpk. Salhani. Di kedua
lokasi ini ditanami padi varietas Inpari 30 dan Inpari 43.

Penanaman padi ini dilakukan dengan sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan jarak
tanam 20 x 20-10 cm. Cara tanam ini dilakukan karena mampu meningkatkan produksi
padi melalui peningkatan jumlah populasi (rumpun padi) maupun efek tanaman pinggir.
Keuntungan lain dari cara tanam seperti ini adalah memudahkan petani untuk memelihara
tanam mereka. Hal ini disebabkan karena adanya lorong yang memisahkan barisan
tanaman sehingga memudahkan petani untuk melewati sawah mereka. Penerapan sistem
tanam jajar legowo ini masih menghadapi kendala terutama dalam hal kecepatan waktu
tanam. Hal ini dikarenakan petani sudah terbiasa dengan sistem tanam tegel sehingga
mereka harus membiasakan diri dulu untuk melakukan cara tanam seperti ini.

Penanaman menggunakan bibit yang berumur muda yakni sekitar 21 hari setelah
semai dan meminimalkan jumlah bibit per lubang tanamnya (3-4 bibit per lubang tanam).
Penggunaan bibit yang masih muda dan dengan jumlah sedikit ini memungkinkan
tanaman dapat lebih beradaptasi terhadap lingkungan tanamnya. Lingkungan tanam di
lokasi demplot juga sangat mendukung untuk penggunaan bibit berumur muda ini
dikarenakan populasi keongmas relatif cukup rendah. Beberapa kendala yang dihadapi
saat tanam yakni jumlah tenaga kerja yang sangat terbatas dikarenakan tanam pada saat

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
18
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

bulan ramadhan, petani penanam belum terbiasa menanam sistem jajar legowo sehingga
penanaman relatif sangat lambat.

Adapun keragaan pertumbuhan vegetatif (umur 6 MST) di lokasi demplot disajikan


pada Tabel 10 berikut.

Tabel 10. Keragaan pertumbuhan tanaman padi umur 6 MST di Desa Jukdadak

Kooperator Varietas Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan


Teguh Inpari 30 70.4 25.6
Inpari 43 83.2 27.4
Salhani/Amin Inpari 30 57.2 19.8
Inpari 43 60.2 26.1

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
19
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa varietas Inpari 43 memiliki tingkat adaptasi yang
lebih baik dibandingkan varietas Inpari 30. Hal ini terlihat dari pertumbuhan tanaman
yang cukup baik terutama dalam menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak yakni
mencapai 27 anakan. Kemampuan membentuk anakan ini sangat penting dan
berpengaruh besar terhadap produktivitas suatu varietas. Namun demikian, kemampuan
membentuk anakan ini masih perlu dibuktikan dengan kemampuan membentuk anakan
produktif.

Gambar 7. Pertumbuhan tanaman padi umur 6 MST

Tinggi tanaman belum cukup maksimum untuk kategori varietas di lahan rawa
lebak yang umumnya mempunyai tinggi tanaman yang cukup untuk mengejar laju
naiknya muka air. Beberapa varietas yang dikenalkan ternyata cukup toleran terhadap
tingkat kemasaman tanah di lahan rawa lebak. Permasalahan yang dihadapi adalah
masalah kekurangan air di lokasi demplot yang menyebabkan pertumbuhan kurang
optimal. Kurangnya air disebabkan karena penanaman yang agak terlambat dibandingkan
waktu tanam biasanya sehingga pada saat tanaman tumbuh, debit air di lokasi kegiatan
sudah berkurang. Namun, permasalahan ini masih bisa diatasi dengan pemberian air
menggunakan pompanisasi baik dari sungai maupun sumur bor.

Selanjutnya, pada periode generatif dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan


tanaman padi di lokasi demplot. Pengamatan pertumbuhan generatif tanaman dilakukan
untuk mengetahui adaptasi varietas yang dikenalkan pada agroekosistem rawa lebak.
Kondisi lahan yang cukup kering akan berpengaruh terhadap fase generatif tanaman
terutama dalam hal pengisian bulir. Jika dilihat dari beberapa parameter pertumbuhan
seperti tinggi tanaman maupun jumlah anakan produktif, varietas Inpari 30 maupun
Inpari 43 masih cukup baik untuk ditanam di lahan rawa lebak (Tabel 11). Namun, terlihat
proses pengisian malai yang kurang optimal.

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
20
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

Gambar 8. Pertumbuhan periode generatif padi di lokasi demplot

Tabel 11. Pertumbuhan generatif tanaman padi

Panjang Jumlah Jumlah gabah


Tinggi Jumlah
malai gabah isi hampa
Tanaman Anakan
Varietas (cm) Produktif (cm)
Inpari 30 105,2 19,0 24 92 52
Inpari 43 101,8 17,9 22 130 43

Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan generatif tanaman menunjukkan bahwa


varietas Inpari 43 mampu menghasilkan tinggi tanaman yakni 101,8 cm dan anakan
produktif sebanyak 16 anakan, sedangkan varietas Inpari 30 menghasilkan tinggi 110 cm
dan anakan produktif sebanyak 19 anakan. Artinya varietas Inpari 30 lebih adapatif
dibandingkan dengan Inpari 43.

Diseminasi Teknologi Melalui Dem-Cara

Bertempat di Balai Desa Jukdadak, Kec. Tanjung Lubuk, Kabupaten OKI


dilaksanakan diseminasi teknologi dalam bentuk dem-cara. Tujuan kegiatan adalah untuk
menyebarluaskan teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian ke tingkat petani.
Teknologi yang disampaikan pada kegiatan ini di antaranya adalah pembuatan pupuk dan
dekomposer berbahan baku mikroorganisme lokal (MOL), penggunaan perangkat uji
tanah rawa (PUTR) dan penggunaan Bagan Warna Daun (BWD).

Peserta berjumlah sebanyak 50 orang terdiri dari petani yang berasal dari
perwakilan 10 Poktan yang ada di Desa Jukdadak serta Petugas Lapang yang ada di
Kecamatan Tanjung Lubuk. Sebagai narasumber yakni berasal dari peneliti dan penyuluh
BPTP Sumatera Selatan. Acara dibuka secara langsung oleh Sekretaris Desa Jukdadak
yang menyampaikan terima kasihnya atas pelaksanaan pelatihan yang diselenggarakan
oleh BPTP dan beliau berharap agar kegiatan seperti ini tetap bisa terus dilaksanakan.

Materi pertama disampaikan oleh Yuana Juwita, SP mengenai teknologi


pembuatan MOL dan penentuan dosis pupuk menggunakan PUTR. Menurutnya, MOL
adalah Cairan hasil fermentasi yang mengandung mikroorganisme yang dibuat dari
bahan-bahan alami yang mudah diperoleh. Bahan yang bisa dijadikan MOL di antaranya
limbah bua dan sayuran, keong mas, rebung, bonggol pisang dan beberapa bahan lainnya
Editor: Siti Herlinda et. al.
ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
21
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

yang dapat diperoleh dengan mudah. Bahan dasar MOL berasal dari berbagai sumber
yang mengandung unsur hara mikro, makro, bakteri perombak bahan organik,
perangsang pertumbuhan dan agen pengendali hama/penyakit tanaman. Sehingga, MOL
dapat dimanfaatkan sebagai (a) tambahan nutrisi/hara bagi tanaman, (b)
Decomposer/penghancur bahan organik, (c) Pestisida nabati karena kemampuannya
dalam mengendalikan beberapa macam Organisme Penggangu Tanaman. Keunggulan
dari MOL di antaranya: (a) pembuatan MOL sederhana dan mudah dengan waktu yang
relatif singkat, (b) biaya pembuatan murah, karena menggunakan bahan-bahan yang
kurang dimanfaatkan dan tersedia di sekitar, (c) Pupuk organik yang dihasilkan
mengandung unsur kompleks baik makro maupun mikro serta mengandung mikroba yang
bermanfaat, (d) Ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu, (e) Biota tanah
terlindungi sehingga dapat memperbaiki/mempertahankan kualitas tanah, dan (f)
Meningkatkan kuantitas dan kualitas produk hasil tanaman. Selanjutnya, mengenai PUTR
sangat bermanfaat untuk menentukan dosis pemupukan di lahan rawa secara cepat dan
mudah. Petani dapat dengan mudah menggunakan perangkat ini untuk menentukan dosis
pupuk di lahan mereka.

Selanjutnya, materi kedua mengenai penggunaan BWD. BWD berfungsi untuk


membantu petani dalam mengetahui kebutuhan pupuk Urea (Nitrogen) pada tanaman.
Penggunaan BWD dilakukan pada saat pemupukan susulan dengan cara menempelkan
daun tanaman padi yang baru membuka ke bagan warna yang ada pada BWD.
Kebutuhan pupuk susulan yang harus diberikan ke tanaman, disesuaikan dengan skala
yang muncul pada BWD, semakin rendah nilai skalanya berarti semakin besar pupuk Urea
yang harus ditambahkan petani untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Kegiatan dilanjutkan dengan praktik menggunakan PUTR dan BWD oleh petani.
Kegiatan pelatihan ditutup dengan praktik pembuatan MOL berbahan baku limbah buah
(pepaya dan pisang) serta memanfaatkan hama keong mas. Peserta sangat antusias
dalam mempraktikkan pembuatan MOL ini dan berharap MOL ini bisa bermanfaat untuk
pertanaman padi mereka.

Untuk mengetahui perubahan pengetahuan petani mengenai teknologi yang


didemonstrasikan, dilakukan pengukuran melalui pre-test dan post-test terhadap
beberapa parameter. Hasil pengukuran perubahan pengetahuan petani disajikan pada
Tabel 12 berikut.

Tabel 12. Perubahan pengetahuan petani sebelum dan setelah mengikuti kegiatan dem-cara

Persentase perubahan
No. Uraian pengetahuan petani

Sebelum Setelah

1 Pengenalan terhadap pemupukan Tahu 6.3 55.2


berimbang
Cukup tahu 9.4 34.5

Belum tahu 84.4 10.3

2 Tahu 3.2 50.0

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
22
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

Pengetahuan terhadap cara Cukup tahu 6.5 35.7


menentukan dosis pupuk
Belum tahu 90.3 14.3

3 Pengetahuan terhadap PUTR Tahu 3.0 53.3

Cukup tahu 3.0 33.3

Belum tahu 93.9 13.3

4 Pemahaman mengenai cara Sudah tahu 0.0 52.0


menggunakan PUTR
Cukup tahu 0.0 40.0

Belum tahu 100.0 8.0

5 Pengetahuan terhadap tanaman Tidak tahu 64.5 29.6


kekurangan N
Tahu 32.3 70.4

6 Pengetahuan mengenai BWD Tidak tahu 75.9 26.7

Tahu 24.1 73.3

7 Pemahaman terhadap fungsi BWD Tahu 90.9 88.9

Tidak tahu 9.1 11.1

8 Pengetahuan mengenai MOL Tahu 6.3 80.0

Tidak tahu 93.8 20.0

Berdasarkan Tabel 12 di atas, pengetahuan petani meningkat setelah mengikuti pelatihan.


Hal ini terlihat dari beberapa variabel seperti pengetahuan mengenai penggunaan PUTR,
BWD maupun pembuatan MOL yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu. Perubahan
pengetahuan petani ini tentunya akan membantu dalam proses penyerapan dan adopsi
teknologi di tingkat lapang.

Suatu teknologi akan mudah diterima jika teknologi tersebut dianggap mudah
diaplikasikan serta efektif dalam mengatasi permasalahan petani di tingkat lapang. Untuk
itulah, dilakukan pengukuran terhadap tingkat kemudahan dan efektivitas teknologi
setelah dilakukan kegiatan pelatihan melalui dem-cara. Hasil pengukuran persepsi petani
terhadap kemudahan dan efektivitas teknologi disajikan pada Tabel berikut.

Tabel 13. Persepsi petani terhadap kemudahan penggunaan teknologi yang didiseminasikan

Cukup
No. Jenis Teknologi Mudah Sulit
mudah
1 Perangkat Uji Tanah Rawa (PUTR) 42.3 42.3 15.4
2 Penggunaan BWD 58.3 29.2 12.5
3 Pembuatan MOL 69.2 23.1 7.7

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
23
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

Hasil pengukuran terhadap persepsi menunjukkan bahwa beberapa teknologi yang


didemonstrasikan dinilai petani mudah untuk diterapkan, dimana >50% petani menilai
teknologi tersebut mudah untuk diterapkan (Tabel 13). Kemudahan dalam penerapan
teknologi juga didukung dengan keefektifan teknologi jika diterapkan petani. Lebih dari
60% petani menganggap teknologi yang didemonstrasikan akan efektif jika diterapkan
oleh petani (Tabel 14).
Tabel 14. Persepsi petani terhadap efektivitas teknologi yang didiseminasikan

Sangat Cukup Tidak Sama


No. Jenis Teknologi
efektif efektif efektif saja

1 Perangkat Uji Tanah Rawa (PUTR) 69.2 23.1 0.0 7.7

2 Penggunaan BWD 63.0 29.6 3.7 3.7

3 Pembuatan MOL 73.1 23.1 0.0 3.8

Selanjutnya, pada kegiatan dem-cara juga dilakukan penilaian respon petani dalam
menerapkan teknologi yang didemonstrasikan. Respon petani diukur melalui tiga kriteria
yakni manfaat teknologi, ketertarikan terhadap teknologi dan keinginan menerapkan
teknologi. Hasil penilaian terhadap respon petani disajikan pada Tabel 15 berikut.
Tabel 15. Respon petani untuk menerapkan teknologi

No. Persepsi Petani terhadap PUTR BWD MOL


1 Manfaat teknologi
Sangat bermanfaat 81.5 82.1 75.0
Cukup bermanfaat 18.5 17.9 25.0
Kurang bermanfaat 0.0 0.0 0.0
2 Ketertarikan terhadap teknologi
Sangat tertarik 95.7 83.3 88.0
Cukup tertarik 4.3 16.7 12.0
Kurang tertarik 0.0 0.0 0.0
3 Keinginan menerapkan teknologi
Sangat ingin 69.6 88.0 73.9
Cukup ingin 26.1 8.0 21.7
Kurang ingin 4.3 4.0 4.3

Tidak berbeda dengan persepsi petani terhadap teknologi, petani juga merespon positif
terhadap teknologi yang didemonstrasikan. Hal ini tercermin dari penilaian petani pada
beberapa parameter seperti manfaat, ketertarikan dan keinginan menerapkan teknologi.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa >70% petani menilai teknologi PUTR, BWD
Editor: Siti Herlinda et. al.
ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
24
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

maupun MOL sangat bermanfaat, >80% petani tertarik untuk menerapkan teknologi
tersebut serta >65% petani ingin menerapkan teknologi tersebut di lahan mereka. Melihat
respon positif ini, tentunya teknologi tersebut akan mudah untuk diterima walaupun
secara langsung belum diujicobakan ke lahan petani. Ketertarikan petani akan teknologi
ini sangat erat kaitannya dengan kemudahan dan manfaat dari beberapa teknologi yang
sudah didemonstrasikan. Misalnya saja, penggunaan PUTR dianggap petani mudah dan
efektif untuk diterapkan, dikarenakan petani dapat dengan mudah dan cepat menentukan
sendiri dosis pemupukan padi sawah di lahan mereka tanpa harus melalui pengujian di
laboratorium. Begitu juga dengan penggunaan BWD yang mereka anggap sangat
membantu dalam rangka efisiensi penggunaan pupuk N. Sedangkan MOL dianggap petani
sangat mudah untuk dibuat dan diaplikasikan dengan memanfaatkan bahan yang selama
ini dianggap mereka sebagai limbah. Diseminasi teknologi melalui dem-cara ini
merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk menyebarluaskan teknologi di
tingkat lapang. Pola pikir petani yang akan mencoba jika mereka melihat dan merasakan
sendiri teknologi tentunya akan mudah dikenalkan melalui pelaksanaan dem-cara.

Kinerja Pelaksanaan Pendampingan di Tingkat Petani

Pelaksanaan pendampingan dan pengawalan akan dinilai berhasil dan efektif jika
secara umum kawasan yang didampingi mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.
Salah satu parameter yang paling mudah untuk menjadi tolok ukur keberhasilan
pendampingan kawasan adalah meningkatnya produksi maupun produktivitas kawasan
yang didampingi. Terkait hal itu dilakukan pengukuran terhadap produksi padi di lokasi
demplot, display maupun wilayah pendampingan secara keseluruhan. Produksi dan
produktivitas padi di lokasi demplot maupun display VUB disajikan pada Tabel berikut.

Tabel 16. Produksi dan produktivitas padi pada demplot dan display VUB Desa Jukdadak
Luas
Produksi Produktivitas Tanggal
No. Nama Petani Varietas Tanam
(t) (t/ha) Panen
(ha)

1 Salhani (Poktan Suka Makmur) Inpari 30 1 4.5 4.5 29 Agst 2018

Inpari 43 1 5 5.0 27 Agst 2018

2 Teguh (Poktan Sumber Makmur) Inpari 30 1 5 5.0 31 Agst 2018

Inpari 43 2 6 3.0 12 Agst 2018

3 M. Amin (Poktan Jaya Makmur) Inpari 30 0.5 3 6.0 5 Sept 2018

4 Junaidi (Potan Suka Makmur) Inpari 30 0.5 2.5 5.0 10 Agst 2018

5 Syukri (Poktan Tunas Harapan) Inpari 30 0.25 1 4.0 13 Agst 2018

6 Yusup (Poktan Usaha Bersama) Inpari 43 0.25 1 4.0 5 Agst 2018

7 Fahruddin (Poktan Unggul Jaya) Inpari 43 0.25 1 4.0 6 Agst 2018

8 Zainal (Poktan Harapan Maju) Inpari 30 0.25 1 4.0 10 Agst 2018

9 Yanto (Poktan Suka Makmur) Inpari 43 0.25 1 4.0 6 Sept 2018

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
25
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

Berdasarkan Tabel, produktivitas padi di lokasi demplot maupun display VUB cukup
beragam yakni 3,0-6,0 t/ha. Secara umum, varietas Inpari 30 relatif menghasilkan
produktivitas yang lebih tinggi bila dibandingkan varietas Inpari 43. Produktivitas padi ini,
masih lebih rendah bila dibandingkan dengan potensi hasil dari masing-masing varietas
yakni Inpari 30 mampu berproduksi hingga 9,6 t/ha (Jamil et al., 2016), sedangkan
varietas Inpari 43 mampu berproduksi 9,02 t/ha (Balitbangtan, 2018).

Pendampingan teknologi juga berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas


padi di lokasi kegiatan. Terjadi peningkatan produktivitas di beberapa kelompok yang
didampingi dengan kisaran 12,5-20%. Peningkatan produktivitas ini terutama disebabkan
karena adanya pemupukan yang dilakukan kelompok, dimana sebelumnya petani
umumnya tidak menggunakan pupuk.

Tabel 17. Peningkatan produktivitas padi di lokasi pendampingan

Produktivitas rata-
Luas Tanam rata (t/ha) %Peningkatan Varietas
No. Nama Poktan
(ha) Produksi Dominan
2017 2018

1. Jaya Makmur 25 4 4.5 12.5 Melati

2. Suka Makmur 25 4 4.5 12.5 Ciherang

3. Tunas Harapan 25 3.5 4 14.3 IR-42

4. Usaha Bersama 25 3.5 4.3 22.9 IR-42

5. Unggul Jaya 25 4 4.6 15.0 IR-42

6. Harapan Maju 25 4 4.5 12.5 Mekongga

7. Sukamaju 25 3 3.5 16.7 Mekongga

8. Kalang Raya 25 3 3.5 16.7 Mekongga

9. Pantak Raya 25 3 4 33.3 Melati

10. Jaya Bersama 25 3 4 33.3 IR-42

11. Sumber Makmur 25 5 6 20.0 Ciliwung

12. Sumber Makmur II 25 5 6 20.0 Ciliwung

Rerata 19.1

KESIMPULAN DAN SARAN

a) Terlaksana pendampingan, pengawalan dan supervisi teknologi budidaya padi lahan


rawa lebak pada 12 kelompok tani yang ada di Desa Jukdadak Kec. Tanjung Lubuk
OKI. Pendampingan dilakukan melalui beberapa cara yakni diseminasi teknologi
dengan membuat demplot, display VUB, pelatihan petani dan petugas lapang, dem-
cara dan distribusi materi diseminasi.
b) Demplot teknologi dilaksanakan pada lahan seluas 5 ha dan sosialisasi varietas pada
lahan seluas 2,5 ha. Komponen teknologi yang didiseminasikan pada demplot yakni
penggunaan VUB (Inpari 30 dan Inpari 43), cara tanam jajar legowo 2:1, pemupukan
Editor: Siti Herlinda et. al.
ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
26
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

berdasarkan hasil pengujian tanah dengan PUTS. Produktivitas rata-rata varietas


Inpari 30 yakni 4,8 t/ha dan Inpari 43 yakni 4,0 t/ha.
c) Diseminasi teknologi Balitbangtan pada 12 kelompok tani di Desa Jukdadak, dengan
rincian teknologi di antaranya penggunaan PUTS dan PUTR untuk menentukan
rekomendasi pemupukan, penggunaan BWD untuk menentukan dosis Urea, cara
tanam jajar legowo, VUB, pengendalian OPT berdasarkan PHT, pembuatan pupuk
hayati yang berasal dari mikroorganisme lokal (MOL).
d) Tercapainya peningkatan produktivitas padi pada 12 kelompok yang didampingi yakni
mencapai 19,1% dibandingkan tahun 2017.
e) Pengetahuan petani meningkat melalui diseminasi teknologi yang diberikan, dimana
semula petani tidak mengetahui cara menentukan dosis pemupukan yang tepat
menjadi mengetahui penggunaan PUTS/PUTR/BWD setelah adanya pendampingan,
petani mengetahui cara pengaturan populasi tanaman padi dengan sistem tanam jajar
legowo, serta meningkatnya jumlah petani penggunaan VUB hasil Balitbangtan.

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
27
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, dan I. Las. 2007. Inovasi Teknologi Pengembangan Pertanian Lahan Rawa
Lebak. http://www.balittra.litbang.deptan.go.id/prosiding06/utama-3.pdf. [12
Maret 2014].
Adnyana, M.A., J.S. Munarso, dan D.S. Damardjati. 2004. Ekonomi kualitas beras dan
selera konsumen. Dalam: Kasryno F et al.(eds). Ekomomi Padi dan Beras
Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan
Arsyad, D.M., J. Pitono, Zakiah, Erythrina, C. Syafitri, E.L. Meilina, Rahmawati, A. Yulianti,
dan M. Sujud. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Unit Pengelola Benih Sumber
Tanaman Lingkup Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.
Azwir dan Ridwan. 2009. Peningkatan produktivitas padi sawah dengan perbaikan
teknologi budidaya. Jurnal Akta Agrosia. Vol. 12(2): 212-218.
Azwir, A. Aziz, dan Winardi. 2014. Daya hasil tiga varietas padi unggul baru di enam
kabupaten sentra produksi padi di Sumatera Barat. Dalam Satoto, U. Susanto, I.A.
Rumati, dan B. Kusbiantoro (ed.). Prosiding Seminar Nasional 2013 Buku 1. Hal.
203-209.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian[Balitbangtan]. 2013. Sistem Tanam
Legowo. Balitbangtan. Kementerian Pertanian.
Badan Pusat Statistik. 2014. Berita Resmi Statistik: Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai
(Angka Sementara Tahun 2013). No. 22/03/Th.XVII, 3 Maret 2014.
Badan Pusat Statistik. 2017. Sumatera Selatan dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Propinsi Sumatera Selatan.
Baehaki, S.E. 2009. Strategi pengendalian hama terpadu tanaman padi dalam perspektif
praktek pertanian yang baik (good agricultural practices). Pengembangan Inovasi
Pertanian 2(1): 65-78.
Baehaki, S.E. 1998. Status hama wereng coklat, Nilaparvata lugens Stål. dan
pengendaliannya pada tanaman padi di Indonesia. Seminar PPS Lingkup Setdal
Bimas. Jakarta. 17 September 1998.
Dahono, Y. Zurriyati, S.H. Nasution, dan Jakoni. 2014. Uji adaptasi varietas unggul baru
padi sawah terhadap produksi dan pendapatan petani di Kabupaten Natuna
Provinsi Kepulauan Riau. Dalam Satoto, U. Susanto, I.A. Rumati, B. Kusbiantoro
(ed.). Prosiding Seminar Nasional 2013 Buku 1: 235-241.
Darwis, M., D.I. Saderi, N. Amali, dan Barnuwati. 2013. Pengkajian pemetaan kebutuhan
benih padi unggul dan pengembangan penangkar benih yang efisien di Kalimantan
Selatan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2017. Petunjuk Teknis Pengembangan Kawasan
Tanaman Pangan. Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian. Jakarta.
Direktorat Perbenihan. 2005. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Perbenihan
Tanaman Pangan. Direktoran Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta.

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
28
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

Direktorat Perbenihan. 2014. Sebaran varietas padi di Indonesia tahun 2014. Ditjen
Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, Jakarta.
Djamhari, S. 2009. Peningkatan produksi padi di lahan lebak sebagai alternatif dalam
pengembangan lahan pertanian ke luar pulau Jawa. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia. Vol. 11(1): 64-69.
Fagi, A.M., B. Abdullah, dan S. Kartaatmadja. 2001. Peranan padi Indonesia dalam
pengembangan padi unggul. Prosiding Budaya Padi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Halliday, D.J., and M.E. Trenkel. 1998. IFA World Fertilizer Use Manual. International
Fertilizer Industry Association. Paris.
Hendayana, R. 2014. Strategi pengembangan padi varietas unggul di lahan pasang surut
dan rawa.
Hossain, M., M.L. Bose, and B.A.Z. Mustafi. 2006. Adoption and productivity impact of
modern rice varieties in Bangladesh. The Developing Economies, XLIV-2 (June
2006): 149–66.
Jamil, A., Satoto, P. Sasmita, Y. Baliadi, A. Guswara, dan Suharna. 2016. Deskripsi
Varietas Unggul Baru Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian. Jakarta. 82p.
Las, I. 2003. Peta perkembangan dan pemanfaatan varietas unggul padi. Dokumen, Okt.
2003.
Las, I. 2004. Perkembangan varietas dalam perpadian nasional. Seminar Inovasi
Pertanian Tanaman Pangan. Bogor, Agustus 2004.
Las, I., B. Suprihatno, A.A. Daradjat, Suwarno BA, dan Satoto. 2004. Inovasi teknologi
varietas unggul padi: perkembangan, arah, dan strategi ke depan. Dalam: Kasryno
F, et al.(eds). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Nurhati, I., S. Rhamdaniati, dan N. Zuraida. 2008. Peranan dan dominasi varietas unggul
baru dalam peningkatan produksi padi di Jawa Barat. Buletin Plasma Nutfah
14(1): 8-13.
Pujiharti, Y. 2010. Pengkajian sistem penyediaan (>90%) kebutuhan benih unggul
bermutu padi jagung kedelai yang lebih murah (>20%) secara berkelanjutan
untuk mendukung program strategis peningkatan produksi padi (>10%), jagung
(>20%) dan kedelai (>20%) di wilayah Lampung. Laporan Akhir Tahun Insentif
Riset Terapan.
Pujiharti, Y. dan Rr. Ernawati. 2012. Faktor-faktor penentu distribusi inovasi pengelolaan
tanaman terpadu padi sawah di Lampung. Jurnal Pengkajian dan Pe
Purwanto, D.W. Astuti, dan H. Subagio. 2012. Percepatan adopsi varietas unggul baru
untuk meningkatkan produktivitas padi di Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional
Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura,
Juni 2012. 7 hlm.
Samaullah, M.Y. 2007. Pengembangan varietas unggul dan komersialisasi benih sumber
padi. Apresiasi Hasil Penelitian Padi. 12 hlm.

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
29
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

Sirappa, M.P., A.J. Riewpassa, dan E.D. Waas. 2007. Kajian pemberian pupuk npk pada
beberapa varietas unggul padi sawah di Seram Utara. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Pertanian 10(1): 48-56.
Soehendi, R., dan Syahri. 2012. Kesesuaian varietas unggul baru padi di Sumatera
Selatan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi Buku I.
Medan, 6-7 Juni 2012. Hlm. 304-310.
Sudana, W. 2005. Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi pertanian.
Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 3(2):141-151.
Sudarwati, S., M. Purnamasari, dan T. Munawarah. 2014. Evaluasi preferensi petani
terhadap kualitas hasil beberapa varietas unggul padi sawah di Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur. Dalam Satoto, U. Susanto, I.A. Rumati, B.
Kusbiantoro (ed.). 2014. Prosiding Seminar Nasional 2013 Buku 1. Hlm. 97-109.
Sularno. 2012. Kontribusi varietas unggul baru pada usahatani padi dalam rangka
meningkatkan keuntungan petani. Jurnal SEPA 9(1): 83-89.
Suparman. 2014. Uji adaptasi varietas unggul baru padi sawah di Kabupaten Barito
Timur. Dalam Satoto, U. Susanto, I.A. Rumati, B. Kusbiantoro (ed.). 2014.
Prosiding Seminar Nasional 2013 Buku 1. Hlm. 443-448.
Suparwoto dan Waluyo. 2011. Inovasi teknologi varietas unggul baru (VUB) meningkatkan
produktivitas padi dan pendapatan petani di lahan rawa lebak. Jurnal
Pembangunan Manusia. Vo. 5(1): 49-59 .
Suparwoto, dan Waluyo. 2011. Pertumbuhan dan daya hasil padi varietas Inpara 1,
Inpara 2, dan Ciherang di lahan lebak tengahan Kabupaten Banyuasin Sumatera
Selatan. Dalam Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki, Sudir (ed.). 2014.
Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Hlm. 161-167.
Syahri, dan R.U. Somantri. 2014. Efektivitas paket rekomendasi pemupukan terhadap
produktivitas padi di lahan lebak Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Jurnal Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian 17(3): 211-221.
Thamrin, T., Rudy Soehendi, Y. Hutapea, Muzhar, A. Subendi, Agung Prabowo, IKW Edi,
Y. Suci, Mardianis, Triyandar, Waluyo, Suparwoto, Viktor Siagian, NPS Ratmini,
Dedeh, Budi Raharjo, Imelda, Abdul Kodir. 2010. Laporan Akhir Pendampingan
Program Strategis Deptan SL-PTT Padi Sebanyak 2.526 Unit di Wilayah Sumatera
Selatan dengan Target Peningkatan Produksi >10 %. BPTP Sumatera Selatan,
Palembang (tidak dipublikasikan).
Trisnawati, W., Rubiyo, dan Suharyanto. 2013. Preferensi konsumen terhadap mutu nasi
beberapa galur padi sawah di Jembrana, Bali. BPTP Bali.
Utama, Zulman HarjaZ.H.. 2015. Budidaya Padi pada Lahan marjinal-Kiat Meningkatkan
Produksi PAdi. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Paramita, E., E. Martini , J.M. Roshetko. 2013. Media dan Metode Komunikasi dalam
Penyuluhan Agroforestri : Studi Kasus di Sulawesi Selatan (Kabupaten Bantaeng
dan Bulukumba) dan Sulawesi Tenggara (Kabupaten Konawe dan Kolaka).
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri. Agroforestry Centre (ICRAF), Malang. P.
488-493
Pritandhari, M. dan T. Ratnawuri. 2015. Evaluasi Penggunaan Video Tutorial Sebagai
Media Pembelajaran Semester IV Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas
Muhammadiyah Metro. Promosi. 3(2):11-20
Editor: Siti Herlinda et. al.
ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
30
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming yang Berwawasan Lingkungan untuk Kesejahteraan Petani”

Waluyo, Suparwoto, dan Sudaryanto. 2008. Fluktuasi genangan air lahan rawa lebak dan
manfaatnya bagi bidang pertanian di ogan komering ilir. Jurnal Hidrosfir
Indonesia. Vo. 3(2): 57-66.
Wasito, M. Sarwani, dan E.E. Ananto. 2010. Persepsi dan adopsi petani terhadap teknologi
pemupukan berimbang pada tanaman padi dengan indeks pertanaman 300.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol. 29(3):157-165.
Widjaja Adhi, D.A. Suriadikarta, M.T. Sutriadi, IGM. Subiksa, dan I.W. Suastika. 2000.
Pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan lahan rawa. Dalam A. Adimihardjo
et al. (eds.). Sumber Daya Lahan Indoensia dan Pengelolaannya. Puslittanak.
Bogor. hal. 127-164.

Editor: Siti Herlinda et. al.


ISBN:[akan diisi oleh penyelenggara seminar]
31

Anda mungkin juga menyukai