Anda di halaman 1dari 7

Evolusi Morfotektonik Zona Rembang

BAB I. STRATIGRAFI

Mandala Rembang termasuk dalam cekungan Jawa Timur utara. Secara historis
penggunaan nama-nama satuan stratigrafis pada zona ini semula hanya digunakan secara
terbatas, tak terpublikasikan, pada dilingkungan perusahaan minyak Belanda BPM (Batafsche
Petroleum Maatschapij), yaitu pendahulu perusahaan Shell, yang dulu memegang konsesi daerah
Cepu. Nama-nama formasi secara resmi baru mulai digunakan oleh Van Bemmelen (1949) dan
Stratigraphic Lexicon of Indonesia oleh Marks (1957). Harsono (1983) melakukan perubahan
dari nama-nama tak resmi seperti globigerina marl atau Orbitoiden-Kalk dengan memberikan
nama yang baru, menetapkan lokasi tipe, sesuai dengan Sandi Stratigrafi Indonesia. Penentuan
umur secara teliti dari setiap formasi dengan menggunakan pertolongan fosil foraminifera
plangtonik telah dilakukan oleh Harsono (1983).
Zona rembang dimulai dari ujung barat perbukitan di selatan Demak, memanjang ke arah
timur dan timur laut memasuki wilayah Jawa Timur, memanjang melewati Pulau Madura, terus
ke arah timur hingga ke Pulau Kangean. Arah memanjang perbukitan tersebut mengikuti sumbu-
sumbu lipatan, yang pada umumnya berarah barat-timur. Di beberapa tempat sumbu-sumbu ini
mengikuti pola en echelon yang menandakan adanya sesar geser lateral kiri (left lateral
wrenching faulting).
Bagian utara dari antiklinorium rembang yang mengandung formasi batuan berumur
miosen awal, telah mengalami pengangkatan dan erosi. Suatu kelompok antiklin yang terdapat di
bagian selatan dikenal sebagai zona rembang tengah dan selatan, juga sering disebut sebagai
Cepu Trend. Batuan tertua yang tersingkap di bagian ini berumur miosen akhir, yang
kebanyakan mengandung minyak. Batuan yang berfungsi sebagai reservoar hidrokarbon yang
utama di daerah rembang adalah batupasir ngrayong (miosen tengah) sedangkan penyumbat atau
(seal)nya adalah batulempung wonocolo yang berumur miosen akhir.
Pada zona rembang bagian utara terdapat 2 gunung api pleistosen, yaitu Gunung Muria
dan Lasem. Gunung api yang telah padam ini mempunyai komposisi batuan yang lain apabila
dibandingkan dengan gunung api yang lain. Komposisinya bukan andesit tetapi berupa batuan
beku yang kaya akan leucite (feldspatoid), mirip dengan batuan yang tergolong pada kelompok
gunung api mediteranian suite, seperti yang dijumpai di Atlantika.
Zona Rembang terbentang sejajar dengan zona Kendeng dan dipisahkan oleh depresi
Randublatung, suatu dataran tinggi terdiri dari antiklinorium yang berarah barat-timur sebagai
hasil gejala tektonik Tersier Akhir membentuk perbukitan dengan elevasi yang tidak begitu
tinggi, rata-rata kurang dari 500 m. Beberapa antiklin tersebut merupakan pegunungan antiklin
yang muda dan belum mengalami erosi lanjut dan nampak sebagai punggungan bukit. Zona
Rembang merupakan zona patahan antara paparan karbonat di utara (Laut Jawa) dengan
cekungan yang lebih dalam di selatan (cekungan Kendeng). Litologi penyusunnya campuran
antara karbonat laut dangkal dengan klastika, serta lempung dan napal laut dalam.
Stratigrafi Zona Rembang tersusun atas Formasi Ngimbang, F. Kujung, F. Prupuh, F.
Tuban, F. Tawun, F. Ngrayong, F. Bulu, F. Wonocolo, F. Ledok, F. Mundu, F. Selorejo, dan F.
Lidah.
Formasi Kujung
Tersusun oleh serpih dengan sisipan lempung dan secara setempat berupa batugamping baik
klastik maupun terumbu. Diendapkan pada lingkungan laut dalam sampai dangkal pada kala
Oligosen Akhir sampai Miosen Awal.
Formasi Tuban
Tersusun oleh lapisan batulempung dengan sisipan batugamping. Semakin ke selatan berubah
menjadi fasies serpih dan batulempung (Soejono, 1981, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006).
Diendapkan pada lingkungan neritik sedang-neritik dalam.
Formasi Tawun
Tersusun oleh serpih lanauan dengan sisipan batugamping. Pada bagian atas formasi ini
didominasi oleh batupasir yang terkadang lempungan dan secara setempat terdapat batugamping.
Satuan di bagian atas ini sering disebut sebagai Anggota Ngrayong. Diendapkan pada laut
terbuka agak dalam sampai laut dangkal di bagian atas pada Miosen Tengah (N9-N13) (Rahardjo
& Wiyono, 1993, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006).
Formasi Tawun dimasa lalu disebut sebagai Lower Orbitoiden-Kalk (Lower OK) dan
dimasukkan dalam apa yang disebut Rembang beds (Van Bemmelen, 1949). Selanjutnya
Koesoemadinata (1978) menamakannya sebagai Anggota Tawun dari Formasi Tuban. Pada
tahun 1983, Harsono menaikkan status anggota ini menjadi Formasi (tabel III.1). Menurut
Harsono Formasi Tawun ini tersusun oleh perselingan antara gypsiferous carbonaceous shale
dengan struktur gelembur arus, serta batugamping yang kaya akan foraminifera besar golongan
Orbitoidae seperi Lepidocyclina. Singkapan yang dijumpai merupakan bagian teratas dari
Formasi ini, tersusun oleh batulempung abu-abu kehijauan dengan sisipan batugamping dan
batupasir. Didaerah sekitar desa Ngampel terdapat singkapan dari Formasi ini setebal 30 m.
Perlapisannya mengandung fosil foraminifera plangtonik yang menunjukkan umur N 8 (Akhir
Miosen Awal) berupa kumpulan spesies : Globigerinoides diminutus, Pareorbulina transtoria
dan Globigerinoides sicanus. Sedangkan kandungan foraminifera bentoniknya menunjukkan
bahwa Formasi ini diendapkan pada kondisi laut sangat dangkal pada kondisi penguapan yang
sangat tinggi. Ke arah atas litologi ini ditumpuki oleh batupasir merah hingga merah jambu,
dengan gejala struktur silang siur yang menjadi ciri dari batupasir Ngrayong.
Formasi Ngrayong
Anggota ini juga disebut “Upper Orbitoiden-Kalak” oleh Trooster (1937), Van Bemmelen
(1949) menamakan Upper Rembang beds. Nama batupasir anggota Ngrayong telah
diperkenalkan Brouwer (1957), yang mengajukan tipe local pada desa Ngrayong, Jatirogo,
dimana susunan utamanya batupasir dengan intercalation batubara dan sandy clay.
Harsono (1983), mendeskripsi Ngrayong sebagai anggota formasi Tawun, terdiri dari orbitoid
limestone dan shale dalam bagian bawah dan batupasir dengan intercalation batugamping dan
lignit di bagian atas. Umur dari unit ini Miosen Tengah, pada area N9-N12. Lingkungan
pengendapan dari anggota ini fluvial atau submarine dalam singkapan di sebelah utara (Jatirogo,
Tawun) dan menjadi lingkungan laut pada bagian selatan. Di dekat Ngampel sekuen pasir
endapan laut yang mendangkal ke atas dari shore face ke pantai akan terlihat anggota ini
mungkin berhubungan dengan haitus di atas area mulut laut jawa. Anggota ini merupakan
reservoar utama dari lapangan minyak Cepu, tetapi terlihat adanya shale yang hadir di bagian
selatan dan timur dari lapangan ini. Ketebalan dari unit ini bervarian (lebih dari 300 m).
Formasi Bulu
Semula formasi ini disebut sebagai Platen–Complex oleh Trooster (1937). Tersusun oleh
batugamping pasiran yang keras, berlapis baik, berwarna putih abu-abu, dengan sisipan napal
pasiran. Pada batugampingnya dijumpai banyak foraminifera yang berukuran sangat besar dari
spesies Cycloclypeus (Katacycloclypeus) annulatus berasosiasi dengan fragmen koral dan alga
serta foramnifera kecil. Harsono (1983) menggunakan nama Formasi Bulu sebagai nama Resmi,
dengan memasang lokasi tipe di Sungai Besek, dekat desa Bulu, Kabupaten Rembang. Posisi
stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1.
Pada peta geologi lembar Rembang (1 : 100.000), formasi ini melampar luas terutama di wilayah
antiklonorium Rembang Utara. Satuan ini menebal ke arah barat, mencapai ketebalan hingga 360
m di sungai Larangan. Dibagian timur di sungai Besek dekat desa Bulu ketebalannya hanya 80
meter. Kondisi litologi dan kandungan fosilnya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan
pada laut dangkal, terbuka pada Kala Miosen Tengah – Awal Miosen Akhir (N 13 – N 15).

Formasi Wonocolo
Tersusun dari napal kuning-coklat, mengandung glaukonit, terdapat sisipan kalkarenit dan
batulempung. Menurut Purwati (1987, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006) lingkungan
pengendapan formasi ini adalah neritik dalam hingga bathyal tengah pada Miosen Tengah-
Miosen Atas (N14-N16).
Formasi Wonocolo semula disebut sebagai anggota bawah dari Formasi Globigerina oleh
Trooster (1937). Formasi ini menumpang secara selaras di atas formasi bulu dan ditumpangi oleh
Formasi Ledok. Pada umumnya tersusun oleh napal dan napal lempungan yang tidak berlapis,
kaya akan kandungan foraminifera plangtonik. Pada bagian bawahnya dijumpai sisipan
batugamping pasiran dan batupasir gampingan dengan ketebalan bervariasi antara 5–20 cm.
Urutan ini menunjukkan bahwa selama pengendapannya terjadi kondisi transgresif. Marks
(1957) dan Harsono (1983) menyimpulkan bahwa umur dari formasi ini adalah Miosen Tengah –
Miosen Akhir kisaran umur N 14 – N 16. (lihat tabel III.1).
Singkapan dari Formasi Wonocolo dijumpai mulai dari daerah Sukolilo, barat daya Pati.
Ketebalan dari Formasi ini sangat bervariasi. Ke arah utara formasi ini berubah fasies menjadi
batugamping dari Formasi Paciran. Melimpahnya fauna plangtonik pada batuan penyusun
formasi ini menunjukkan bahwa pengendapannya berlangsung pada laut yang relatif dalam,
wilayah ambang luar hingga batial atas.
Formasi Ledok
Secara selaras di atas Formasi Wonocolo terdapat Formasi Ledok. Trooster (1937) menganggap
satuan ini sebagai anggota dari Formasi Globigerina, namun para peneliti sesudahnya
menganggap berstatus formasi (Marks, 1957; Harsono, 1983). Formasi Ledok secara umum
tersusun oleh batupasir glaukonitan dengan sisipan kalkarenit yang berlapis bagus serta
batulempung yang berumur Miosen Akhir (N 16–N 17). Posisi stratigrafi, umur dan litologinya
dapat dilihat pada tabel III.1.
Ketebalan dari Formasi Ledok ini sangat bervariasi. Pada lokasi tipenya, yaitu daerah antiklin
Ledok, ketebalannya mencapai 230 m. Di daerah sungai Panowan mencapai 160 m, sedangkan di
sungai Cegrok tinggal 50 m. Batupasirnya kaya akan kandungan glaukonit dengan kenampakan
struktur silang siur. Di beberapa tempat batupasir tersebut terutama tersusun oleh hanya oleh test
foraminifera plangtonik dengan sedikit mineral kuarsa. Secara keseluruhan bagian bawah dari
formasi ini cenderung tersusun oleh batuan yang berbutir lebih halus dari bagian atas,
menunjukkan kecendrungan kondisi pengendapan laut yang semakin mendangkal (shallowing-
upward sequence). Ke arah utara, seperti halnya Formasi Wonocolo, Formasi Ledok ini juga
mengalami perubahan fasies menjadi batugamping dari formasi Paciran.
Formasi Mundu
Satuan stratigrafi ini semula disebut sebagai Mundu stage oleh Trosster (1937). Selanjutnya oleh
Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Globigerina Marls. Oleh Marks (1957) satuan ini
diresmikan sebagai Formasi. Formasi ini tersusun oleh napal masif berwarna putih abu-abu, kaya
akan fosil foraminifera plangtonik. Secara stratigrafis Formasi Mundu terletak tidak selaras di
atas formasi ledok, penyebarannya luas, dengan ketebalan 200 m–300 m di daerah antiklin Cepu
area, ke arah selatan menebal menjadi sekitar 700 m. Formasi ini terbentuk antara Miosen Akhir
hingga Pliosen (N 17–N 21), pada lingkungan laut dalam (bathyial).
Formasi Selorejo
Unit ini pembentukannya disebut Selorejo Beds oleh Trooster, 1937, yang telah diklasifikasikan
sebagai anggota dair Formasi Lidah oleh Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978).
Sejak Harsono (1983) tidak melakukan pengamatan ketidakselarasan antara Formasi Lidah dan
Mundu. Dia memasukkan anggota Selorejo dalam Formasi Mundu. Tipe lokalnya dari Desa
Selorejo dekat Cepu dan terdiri lebih keras dan lebih lunak antar lapisan, menyisakan
kebanyakan glaukonit. Dari foraminifera dianggap lingkungan laut dalam.
Satuan batuan ini semula oleh Trooster (1937) disebut sebagai Selorejo beds. Selanjutnya Udin
Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978) menyebutnya sebagai anggota dari Formasi
Lidah. Harsono (1983) menyimpulkan bahwa Selorejo ini merupakan anggota dari Formasi
Mundu. Lokasi tipenya terletak di desa Selorejo dekat kota Cepu. Anggota Selorejo ini tersusun
oleh perselingan antara batugamping keras dan lunak, kaya akan foraminifera palngtonik serta
mineral glaukonit.
Penyebaran dari Anggota Selorejo ini tidak terlalu luas, terutama meliputi daerah sekitar Blora,
sebelah utara Cepu (desa Gadu) dan di selatan Pati. Ketebalannya berkisar antara 0 hingga 100
meter. Berdasarkan kandungan foraminifera palngtonik, umur dari Anggota Selorejo adalah
Pliosen ( N 21).
Formasi Lidah
Formasi ini terdiri atas batulempung kebiruan, napal berlapis dengan sisipan batupasir dengan
lensa-lensa coquina. Dahulu Trooster (1937) menyebutnya sebagai Mergetton, yang terbagi
menjadi dua bagian, yaitu Tambakromo dan Turi–Domas. Harsono (1983) kemudian
meresmikan satuan ini menjadi berstatus formasi, yaitu Formasi Lidah (tabel III.1).
Bagian terbawah dari formasi ini diduga merupakan endapan neritik tengah hingga neritik luar,
yang tercirikan oleh banyaknya fauna plangtonik tetapi masih mengandung foraminifera
bentonik yang mencirikan air relatif dangkal seperti pseudorotalia sp. dan Asterorotalia sp. Ke
arah atas, terjadi urutan yang mendangkal ke atas (shallowing upward sequence), yang dicirikan
oleh lapisan-lapisan yang kaya akan moluska.
I.1.7 Formasi Paciran
Satuan ini semula oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Karren Limestone. Secara umum
penyusunnya terdiri atas batugamping pejal, dengan permukaan singkapan-singkapannya
mengalami erosi membentuk apa yang disebut sebagai karren surface. Harsono (1983) secara
resmi menggunakan nama Paciran dan menempatkannya pada status formasi, dengan lokasi
tipenya berada di daerah bukit piramid di sekitar Paciran, kabupaten Tuban. Formasi ini dijumpai
hanya dibagian utara dari Zona Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat
pada tabel III.1. Umur dari Formasi ini masih memicu terjadinya perbedaan. Harsono (1983)
menempatkannya pada Kala Pliosen–Awal Pleistosen, yang secara lateral setara dengan Formasi
Mundu dan Lidah. Namun di beberapa tempat terdapat bukti umur yang menunjukkan bahwa
Formasi Paciran telah berkembang pada saat pembentukan Formasi Ledok dan Wonocolo.
BAB II STRUKTUR GEOLOGI
Pulau jawa mempunyai dua macam konfigurasi struktur (structural grains) yang berbeda. Di
bagian utara tercirikan oleh kecendrungan mengikuti arah timur-barat. Pola timurlaut–baratdaya
diduga mengikuti konfigurasi basement. Basement-nya sendiri diduga merupakan bagian dari
kerak benua yang berumur Pre Tersier, tersusun oleh mélange, ofiolit dan bagian dari jenis kerak
benua lain. Pola struktur yang berarah timur–barat ini sesuai dengan busur volkanik Tersier yang
juga berarah timur–barat (Hamilton, 1978). Cekungan Jawa Timur, dimana Kendeng dan
Rembang terletak, kemungkinan terletak pada kerak perantara (intermediate crust) dari
kelompok mélange yang berangsur berubah menjadi kerak samudra, yang mungkin terdapat pada
penghujung timur dari cekungan ini.
Pada bagian barat cekungan Jawa Timur nampak adanya kecendrungan arah morfologi dan
struktur timur–barat (gambar IV.1). Hal ini dapat dibandingkan dengan cekungan selatan
(Southern Basin). Daratan tersebut mencakup zona Rembang dan Zona Kendeng serta
kelanjutannya, yang dibagian utara dibatasi oleh tinggian Kujung-Kangean–Madura–Sepanjang
yang terbentuk sebagai akibat sesar geser (wrench related). Ke arah selatan zona ini dibatasi oleh
jalur gunung api kuarter. Cekungan ini kemungkinan terbentuk sejak Eosen hingga akhir
Oligosen oleh suatu tektonik ekstensional, yang kemudian diikuti oleh fase tektonik inverse sejak
awal Miosen hingga Holosen. Pada fase inversi ini dibagian utara dari cekungan ini mengalami
pengangkatan (zona Rembang) sedangkan pada bagian selatannya masih berupa cekungan laut
dalam (zona Kendeng).
Dalam kerangka tektonik regional maka proses pembentukan struktur Tersier di Pulau Jawa
dapat dibagi menjadi 3 periode :
1. Paleogen Extension Rifting
2. Neogen Compressional Wrenching
3. Plio – Pleistocene Compressing Thrust – Folding
Fase ekstensional Paleogene menghasilkan graben / half graben dan sesar-sesar yang
mempunyai arah pemanjangan timur–barat. Selanjutnya pada fase kompresi pada Awal Miosen
terjadi reaktivasi dari sesar ekstensional yang sebelumnya telah ada, yang menunjukkan adanya
kontrol tektonik terhadap pembentukan awal cekungan.
Periode Neogen Compressional Wrenching ditandai oleh pembentukan sesar-sesar geser, yang
terutama terjadi akibat gaya kompresif dari tumbukan lempeng Hindia. Sesar geser yang terjadi
membentuk orientasi tertentu, yang berhubungan dengan kompresi utama. Sebagian besar
pergeseran sesar merupakan reaktivasi dari sesar-sesar normal yang terbentuk pada periode
Paleogen.
Periode Plio – Pleistocene Compressional Thrust – Folding ditandai oleh pembentukan lipatan
yang berlanjut pada pembentukan sesar-sesar naik. Antiklinorium dan thrust belt yang terjadi
memiliki orientasi tertentu yang berhubungan dengan arah kompresi dan kinematika
pembentukannya. Pada zaman Neogen cekungan Jawa Timur bagian utara mengalami rezim
kompresi yang menyebabkan reaktivasi sesar-sesar normal tersebut dan menghasilkan sesar-
sesar naik.
Pada jaman Pre-Tersier lempeng Jawa Timur mengalami penunjaman dibawah lempeng Sunda,
mengkuti arah memanjang zona penunjaman kurang lebih N 600 E, penunjaman ini berakibat
pemendekan lempeng pada arah tegaklurus arah penunjaman. Pada saat itu cekungan Jawa
Timur barangkali masih berupa cekungan muka busur (fore arc basin). Pada Awal Miosen atau
lebih tua, tektonik ekstensi bekerja di zona Rembang. Ekstensi ini kemudian diikuti oleh
serangkaian tegasan kompresif yang menjadi aktif sejak Akhir Miosen hingga Holosen dengan
arah yang bergeser dari arah timur laut. Kompresi ini juga bekerja pada zona Kendeng sejak
Akhir Miosen dan seterusnya. Namun rekaman stratigrafis dari peristiwa ini hanya dapat diamati
pada bagian bawah dari Formasi Kerek. Kompresi ini juga menjadi semakin lemah selama
pembentukan sedimen yang lebih muda.
BAB III. MORFOTEKTONIK
Evolusi Morfotektonik zona rembang berdasarkan data stratigrafi dan struktur geologinya dapat
dibagi menjadi 4 fase:

1. Fase Tektonik pertama yang terjadi selama tersier sampai awal Oligocene yang
mengendapkan formasi Ngimbang dan Kujung yang diendapkan diatas basement yang
berupa mélange dan ofiolit. Formasi Ngimbang yang tersusun oleh batupasir dan
batulanau yang terdapat sisipan batugamping mengindikasikan bahwa pengendapannya
merupakan syn-rift – post rift sehingga terbentuk cekungan laut dangkal. Cekungan ini
mulai stabil pada saat terendapkannya formasi Kujung yang berupa batugamping. Pada
fase ini gaya yang bekerja dominannya adalah gaya ekstensional. Cekungan ini berupa
fore arc basin
2. Fase yang kedua terjadi pada oligocen tengah sampai miosen akhir. Pada waktu ini
penunjaman lempeng hidia ke pulau Jawa yang oblique. Penunjaman yang oblique ini
membentuk struktur lipatan dan sesar yang berarah timur laut – barat daya (pola
meratus). Pada fase ini rembang masih berupa fore arc basin dan telah memasuki fase
sagging – inverse. Pada waktu inilah terendapkan formasi Prupuh, Tawun, Ngrayong,
Bulu, Wonocolo, dan Ledok. Kedudukan muka air laut pada kala ini relative regresi
sehingga menyebabkan pola progadasional yang menyebabkan perebahan facies secara
lateral kearah darat ke arah utara. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan facies dari
batugamping (formasi Prupuh) ke batupasir, batulempung yang kaya mineral Glaukonit
(formasi Ngrayong dan ledok). Batupasir ini kemungkinan diendapkan di lingkungan
delta.
3. Fase yang ketiga terjadi pada Miosen akhir sampai pleistocen awal. Pada fase ini terjadi
transgresi air laut yang menyebabkan kenaikan muka air laut secara relative yang
mengendapkan formasi Mundu, Paciran, Selorejo, dan Lidah. Pada fase ini rembang
masih berupa fore arc basin. Memasuki pengendapan formasi Pacerain dan selorejo
terjadi regresi muka air laut sehingga terjadi perubahan lingkungan pengendapan lagi dari
laut dalam (bathial) ke laut dangkal (neritik tengah).
4. Fase yang keempat terjadi pada Pleistocene akhir – Holosen. Pada fase ini penunjaman
lempeng Hindia sudah tegak lurus dengan pulau jawa sehingga terbentuklah lipatan,
sesar, dan struktur-struktur geologinya lainnya yang berarah timur-barat. Penunjaman ini
juga menyebabkan terjadinya partial melting, sehingga terjadi vulkanisme di sebelah
selatan zona rembang. Sehingga zona rembang berubah menjadi back arc basin. Vulkanis
me ini juga menyebabkan terendapkan batuan batuan gunung api seperti tuff, breksi
andesit, aglomerat. Dan juga terjadi intrusi-intrusi andesit. Peristiwa ini menyebabkan
zona rembang menjadi daerah yang prospek dalam eksplorasi hidrokarbon. Dimana
formasi Ngimbang merupakan source rock yang poetensial. Pematangan source rock ini
disebabkan karena naiknya astenosfer yang diakibatkan penunjaman ini. Daerah back arc
basin lebih potensial terjadi pematangan source rock daripada fore arc basin. Sedangkan
batuan penutup dan reservoir banyak ditemui di formasi Tawun dan Tuban dimana
banyak mengandung batulanau-batulempung sedangkan reservoarnya bayak ditemui pada
formasi Ngrayong, dan Ledok yang mengendapkan batupasir. Reservoir lainnya yang
berupa batugamping juga ditemukan.

http://asrulsmile.blogspot.com/2011/04/evolusi-morfotektonik-zona-rembang.html

Anda mungkin juga menyukai