Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Autism Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum

Autisme (GSA) merupakan sekelompok gangguan perkembangan saraf

pusat yang menyebabkan terjadinya abnormalitas dalam berinteraksi

sosial, berkomunikasi, dan berperilaku. Etiologi gangguan autisme

sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, namun diyakini factor

lingkungan, mutasi gen, kerusakan mitokondrial, gangguan regulasi

sitosin, konsentrasi androgen dalam kandungan, dan usia ibu pada saat

hamil memungkinkan terjadinya anak lahir dengan gangguan autisme.

Factor lain yang juga mempengaruhi terjadinya gangguan autisme pada

anak yaitu adanya infeksi, gangguan metabolic, gangguan imun, dan

keracunan (Widyagarini dan Suharsini, 2017). Gejala yang biasa terlihat

pada autisme adalah mereka sangat sensitif terhadap suara, sentuhan, dan

perilaku yang mengganggu penglihatannya.. Kondisi ini dikenal sebagai

gangguan pemrosesan sensoris dimana anak tidak tahan dengan suara

yang keras, tidak suka kegiatannya diganggu, dan tidak suka berkontak

sosial. Untuk itu orang tua perlu melihat dan memantau tumbuh kembang

anak sejak kecil guna mendeteksi dan melakukan penanganan sejak dini

apabila anak dicurigai memiliki gangguan autisme. (Rahayu, 2014).

1
Prevalensi autisme mengalami peningkatan di seluruh dunia

setiap tahunnya. Menurut data Centers for Disease Control and

Prevention (CDC) pada tahun 2012, prevalensi autisme di Amerika

mencapai 1:88, kemudian meningkat pada tahun 2014 sebesar 30%

menjadi 1:68 anak. Berdasarkan data World Health Organization

(WHO), prevalensi autisme di Indonesia mengalami peningkatan dari

1:1000 penduduk menjadi 8:1000 penduduk dan melampaui rata-rata

dunia yaitu sebesar 6:1000 penduduk. Meskipun data terkait jumlah

autisme di Indonesia belum pasti, namun diperkirakan pada tahun 2015

ada lebih dari 12.800 anak menyandang autisme dan 134.000

menyandang spectrum autisme. Dalam wawancaranya Diah Setia selaku

Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementrian Kesehatan menuturkan bahwa

diperkirakan terdapat 112.000 anak penyandang autisme dengan rentan

usia 5-19 tahun (Melisa, 2013).

Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri, jumlah

penyandang autisme terus meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan

meningkatnya jumlah anak penyandang autisme yang didaftarkan oleh

orang tua ke sekolah-sekolah khusus autisme maupun SLB di Provinsi

DIY. Dari data proyeksi penyandang autisme di DIY, dapat dilihat

adanya peningkatan jumlah penyandang autisme yang mencapai kurang

lebih 3-4% tiap tahunnya. Hal ini meningkat sebesar 25 % dalam kurun

waktu 10 tahun.
Dengan meningkatnya jumlah autisme di Indonesia, maka

meningkat pula berbagai masalah kesehatan yang terjadi pada anak-anak

autisme. Salah satu permasalahan kesehatan yang menjadi titik fokus

dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran status karies yang

dilihat dari besarnya indeks karies pada anak autisme. Menurut

(Tulangow et al, 2015 cit Veriza dan Boy, 2018), penyakit gigi dan mulut

yang sering dialami anak autisme adalah karies dan penyakit periodontal.

Meskipun pada dasarnya anak autisme tidak memiliki masalah gigi yang

khas, namun hal ini menjadi perhatian yang sangat penting jika

dibandingkan dengan anak normal. Kebiasaan yang dilakukan anak

autisme terhadap rongga mulutnya yaitu bruxism, menjulurkan lidah,

menggigit bibir, dan melukai gingiva. Factor yang menyebabkan

tingginya karies pada anak autisme yaitu gangguan motorik dan

komunikasi di dukung ketidaknormalan dalam berinterkasi sosial pada

anak autisme yang menghambat proses pembelajaran dan kegiatan dalam

menjaga kesehatan gigi dan mulutnya. Maka dari itu peranan orang tua

terutama ibu sangatlah penting dalam menjaga kesehatan dan kebersihan

anak autisme. (Veriza dan Boy, 2018).

Karies adalah suatu penyakit kronis yang hampir 90% diderita

oleh anak Indonesia. Karies gigi atau gigi berlubang adalah suatu penykit

pada jaringan keras gigi yang merusak lapisan email yang disebabkan

oleh penumpukan plak yang mengandung bakteri. Dalam hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menyatakan bahwa di


Indonesia prevalensi karies sebanyak 72% dengan skor indeks DMF-T

mencapai 4,8 (RISKESDAS, 2007 cit Gayatri dan Mardianto, 2016).

Selain karena factor internal yang menyebabkan terjadinya

gangguan autisme, terdapat factor eksternal yaitu tingkat sosioekonomi.

Tingkat sosioekonomi yang rendah menyebabkan 2 kali penyakit karies

dapat terjadi. (Stachurski et al, 2006 cit Christiono dan Putranto, 2015).

Dalam hal ini kita ketahui bahwa perlunya perhatian khusus terhadap

tingkat kesehatan khususnya kesehatan gigi dan mulut karena hal ini

menjadi unsur yang penting dalam menjaga kesehatan seluruhnya.

Sehingga didapatkan gambaran keparahan karies gigi pada anak autsime.

Anak adalah karunia yang sangat besar dari sang pencipta yang

dititipkan oleh para orang tua diluar sana yang kehadirannya disambut

dengan harapan besar dan penuh suka cita. Namun terkadang sang

pencipta punya kehendak lain untuk para orang tua yang diberikan anak

special seperti anak autisme yang pertumbuhannya tidak sempurna.

Ikhlas dan sabar adalah kunci utama untuk menerima keadaan sang anak

apa adanya, karena sikap menerima ini akan sangat membantu dalam

proses setiap kehidupan sang anak untuk menjadi lebih baik. Hal ini

sudah tertera di dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal Ayat 28 yaitu:

َ‫اعل ُم ۡۤۡوا و‬
ۡ ‫ن ََّو ۙ فِ ۡتنۃَ ا ۡوَل ُدکُمَۡ وَ ا ۡموالُکُمَۡ انَّمَۤۡا‬ َٰ ‫ع ِظ ۡیمَ ا ۡجرَ ِع ۡند َۤۡہ‬
ََّ ‫ّللا ا‬
“ Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai

cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”


Al- Qur’an Surat Al-Anfal Ayat 28

Ditafsirkan oleh al-Jalalain: (Dan ketahuilah bahwa harta kalian dan

anak-anak kalian itu hanyalah sebagai cobaan) untuk kalian yang

menghambat daripada perkara-perkara akhirta (dan sesungguhnya di

sisi Allah lah pahala yang sangat besar) maka janganlah sekali-kali

kalian melewatkan pahala yang besar sehingga kalian mau berbuat

khianat demi untuk mereka. Ayat berikut diturunkan berkenaan dengan

tobatnya Abu Lubabah.)

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut “ Bagaimanakah gambaran status karies gigi pada anak-

anak autisme di SLB yang ada di Provinsi DIY ? ”

C. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai gambaran status karies gigi pada anak autis

sebelumnya sudah pernah dilakukan, yaitu antara lain sebagai berikut:

a. Penelitian yang dilakuan oleh Nonong, Chemiawan, dan Gayatri

(2016) yang berjudul Difference of def-t and DMF-T Index of Autism

Children and Normal Children. Metode penelitian menggunakan

perbandingan analitik dengan desain cross sectional atau potong

lintang. Teknik pengambilan sample menggunakan teknik purposive

sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah 23 anak penyandang

autism dan 23 anak normal dengan rentan usia 7-12 tahun. Penelitian

ini dilaksanakan di Yayasan Our Dream, Yayasan Pelita Hafiz, SLB


Prananda, dan MI Cikapayang Bandung. Hasil penelitian menunjukan

bahwa indeks DMF-T pada anak normal lebih tinggi daripada anak

autis. Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada

index def-t anatara anak utisme dengan anak normal, kecuali untuk

index “e” / eruption yang menunjukkan adanya perbedaan yang

significant yaitu P= 0.002. pada indeks DMF-T antara anak autism

dnegan anak normal didapatkan hasil P= 0.039. Perbedaan penelitian

terletak pada subjek, lokasi penelitian, metode penelitian, serta

instrument penelitian.

b. Penelitian yang dilakukan oleh Tulangow, Pangemanan, dan

Parengkuan (2015), berjudul Gambaran Status Karies Pada Anak

Berkebutuhan Khusus di SLB YPAC Manado. Metode penelitian

menggunakan deskriptif observasional dengan desain cross sectional

atau potong lintang. Metode pengambilan sampel yang digunakan

yaitu total sampling. Populasi pada penelitian ini yaitu anak

berkebutuhan khusus di SLB YPAC Manado dengan jumlah 49 anak.

Terdapat 36 anak yang sesuai kriteria inklusi. Hasil penelitian status

karies gigi menunjukkan bahwa DMF-T pada anak berkebutuhan

khusus memiliki skor DMF-T kategori sedang 4,4 dan dari 36

responden, status karies gigi anak berkebutuhan khusus berada pada

kategori sedang dengan persentase 83,3%.

c. Penelitian yang dilakuan oleh Morales-Chávez (2017) yang berjudul

Oral Health Assesment of a Group of Children with Autism Disorder.


Metode penelitian menggunakan deskriptif observasional dengan

desain cross sectional atau potong lintang. Penelitian ini adalah 96

pasien anak berusia 2-16 tahun dengan diagnosis autis yang diukur

indeks karies DMFT (WHO) dan debris dan kalkulus dengan Oral

Hygiene Index Simplified (OHI-S). Hasil penelitian menunjukan

prevalensi karies pada gigi sulung lebih tinggi dibandingkan gigi

permanen dan memiliki kebersihan gigi dan mulut yang buruk dengan

adanya kalkulus.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran status karies gigi pada anak-anak

autis dengan metode DMF-T dan def-t di beberapa SLB yang ada di

Provinsi DIY.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Masyarakat

Bagi masyarakat diharapkan penelitian ini dapat menjadi

sarana informatif dalam menambah pengetahuan dan wawasan

dalam menggambarkan status karies gigi pada anak autis, serta

meyadarkan betapa pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut

pada anak autis yang memiliki keterbatasan dalam proses

komunikasi dan tingkah laku yang tidak normal.

2. Bagi Pemerintah
Sebagai gambaran dan acuan dalam mengembangkan

berbagai fasilitas kesehatan, perawatan dan penanganan, serta

promosi kesehatan di bidang kedokteran gigi, khususnya pada anak

penyandang autism.

3. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi pengetahuan

tentang status karies gigi pada anak penyandang autisme dan

sebagai kajian untuk mengmebangkan ilmu kedokteran gigi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Autisme

a. Pengertian Autisme

Autism Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum

Autisme (GSA) merupakan bentuk gangguan perkembangan pervasive

pada anak (kelainan pada perkembangan fungsi psikologi), dengan

karakteristik keterlambatan dan penyimpangan dalam kemampuan

komunikasi, interaksi sosial, serta perilaku (Lubis and Suwandi, 2017).

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V

(DSM V, 2013), autisme disebabkan karena terjadinya malfungsi kerja

otak normal sehingga anak dengan autisme memiliki 3 bidang

gangguan yang paling menonjol yaitu:

1) Gangguan dalam berkomunikasi

Anak autisme memiliki keterlambatan dalam perkembangan

bahasa, mereka kesulitan dalam memahami komunikasi verbal di

lingkungan social, sehingga biasanya anak lebih sering diam

bahkan tidak bicara hingga ia dewasa.

2) Gangguan dalam perkembangan interaksi social

Anak autisme memiliki kesulitan dalam membaca perasaan dan

pikiran orang lain di sekitarnya. Sehingga mereka tidak memiliki


minat dalam berinterkasi dengan orang-orang disekitarnya. Namun

beberapa anak memiliki keinginan sosial tapi tidak mampu

menjalin interaksi sosial tanpa dibantu orang lain.

3) Gangguang dalam perilaku berulang/repetitive

Anak autisme memiliki minat yang terbatas serta memiliki perilaku

berulang, dan obsesi terhadap obyek tertentu. Rutin dan ritual

menjadi suatu yang sangat penting dalam aktivitas anak autisme.

Rutinitas membuat anak autisme mampu memprediksi dan

mengelola dunianya, maka ia akan sangat merasa tertekan jika

ritual dan rutinitasnya terganggu.

Leo Kanner seorang psikiater anak dari John Hopkins University

yang menangani sekelompok anak-anak yang mengalami kelainan

social berat, hambatan komunikasi dan masalah perilaku. Anak-anak ini

menunjukkan sifat menarik diri (withdrawal), membisu, dengan

aktivitas repetitive (berulang-ulang) dan stereotipik (klise) serta

senantiasa memalingkan pandangannya dari oranglain. Secara harfiah

autism bersala dari kata autos = diri dan isme = paham/aliran. Autism

berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti “sendiri”, anak autism

seolah-olah hidup didunianya sendiri, mereka menghindari /tidak

merespon terhadap kontak social dan lebih senang menyendiri (YPAC,

2011).

Anak autis termasuk salah satu jenis Anak Berkebutuhan Khusus

(ABK) yang mengalami gangguan neurobiologis dengan adanya


hambatan fungsi syaraf otak yang berhubungan dengan fungsi

komunikasi, motorik sosial dan perhatian. Hambatan yang dialami anak

autis merupakan kombinasi dari beberapa gangguan perkembangan

syaraf otak dan perilaku siswa yang muncul pada tiga tahun pertama

usia anak. Sutadi (2002) menjelaskan bahwa yang dimaksud autistik

adalah gangguan perkembangan neurobiologis berat yang

mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi

(berhubungan dengan orang lain).

b. Gejala Autisme

Manifestasi klinis pada anak autisme terlihat sebelum anak

berumur 3 tahun. Saat anak berusia satu dan dua tahun, perkembangan

anak tampak normal namun seiring berjalannya waktu atau seiring

bertambahnya usia anak, muncul gejala penurunan yang stabil. Anak

tidak mampu melakukan komunikasi non-verbal seperti melakukan

kontak mata dengan lawan bicara, menghabiskan waktu yang lama

untuk bermain sendiri dan susah untuk bersosialisasi dengan

lingkungan sekitar. Apabila kegiatan yang mereka lakukan tidak sesuai

dengan harapan atau diganggu maka mereka akan tantrum atau reaksi

marah yang luar biasa berupa jeritan, menyepak, menggigit, mencakar,

memukul dsb (Lubis and Suwandi, 2017).

Autisme merupakan suatu spektrum disorders atau gangguan

spektrum, yaitu suatu gangguan yang mempunyai rentangan lebar dan

bergradasi mulai dari yang ringan sampai berat. Gejala dapat terjadi
dengan kombinasi yang berbeda-beda dan dapat bergradasi dari sangat

ringan ke sangat berat. Walaupun memiliki gejala yang sama, tetapi

setiap orang dengan autisme dipengaruhi oleh gangguannya tersebut

dengan cara yang berbeda dan dapat berakibat berbeda pula pada

perilakunya.

Ada dua kategori perilaku autisme yaitu perilaku eksesif

(berlebihan) dan perilaku deficit (berkekurangan). Anak autisme

memiliki perilaku yang khas dalam kesehariaannya. Bentuk-bentuk

perilaku yang unik dan sering terlihat pada anak-anak autis yaitu (Sunu,

2012 cit Sianipar et al, 2017):

1) Kurangnya motivasi, anak autis biasanya terlihat menarik diri dari

lingkungan sosial dan sibuk dengan dunianya sendiri, sehingga

beberapa anak autis biasanya tidak memiliki keingintahuan yang

lebih akan lingkungan sekitar dan memperluas ruang lingkup

mereka.

2) Selektif terhadap stimulasi rangsang dari lingkungan sekitarnya,

sehingga seringkali kesulitan menangkap informasi secara

maksimal. Sikap ini sering membuat anak autis menjadi kurang

peka jika ada bahaya di sekelilingnya. Misalnya saat anak tersebut

berada di kolam renang atau di jalan raya.

3) Motivasi untuk stimulasi diri tinggi. Anak autis sering terlihat sibuk

menghabiskan waktunya untuk menstimulasi diri sendiri dengan

banyak cara, seperti menggerak-gerakkan tangan (flapping) dan


jari, tidak responsif, tahan atau berespon aneh terhadap nyeri, dan

sangat in aktif atau hiperaktif.

4) Gangguan interaksi yaitu keengganan seorang anak untuk

berinteraksi dengan anak-anak sebayanya bahkan seringkai merasa

terganggu dengan kehadiran orang lain disekitarnya, tidak dapat

bermain bersama anak lainnya dan lebih senang hidup menyendiri

(Puspita, 2003 cit Suteja 2014).

Gejala-gejala di atas tidak harus ada pada setiap anak autisme, hal

ini tergantung dari berat-ringannya gangguan yang dialami anak.

c. Penyebab Autisme

Autisme disebut juga gangguan yang kompleks karena penyebab

terjadinya yang multifaktorial. Autisme paling banyak diderita oleh

laki-laki dengan prevalensi 3-4 kali lebih besar daripada perempuan.

Factor etiologi umum autisme adalah faktor genetik, factor lingkungan,

gangguan system imun, inflamasi, encephalitis atau sepsis, serta

defisiensi vitamin D (Sari et al, 2017) Widyawati mengemukakan

adanya beberapa teori penyebab autisme pada tahun 1997 antara lain

teori psikososial, teori biologis (genetik), teori imunologi, dan teori

infeksi virus (Suteja, 2014).

Menurut Patricia Rodier, seorang ahli embrio dari Amerika

menyatakan bahwa adanya korelasi antara autisme dan cacat lahir yang

disebabkan oleh thalidomide sehingga terjadinya kerusakan jaringan

otak yang terjadi sebelum dua puluh hari pada saat pembentukan janin.
Peneliti lainnya, Minshew menemukan bahwa bagian otak yang

mengendalikan pusat memori dan emosi menjadi lebih kecil pada anak

autisme.

Hal ini juga diperkuat oleh Handojo (2004: 15) bahwa penyebab

autisme bisa terjadi pada saat kehamilan. Pada tri semester pertama,

faktor pemicu biasanya terdiri dari ; infeksi (toksoplasmosis, rubella,

candida, dsb), keracunan logam berat, zat aditif (MSG, pengawet,

pewarna), maupun obat-obatan lainnnya. Selain itu, tumbuhnya jamur

berlebihan di usus anak sebagai akibat pemakaian antibotika yang

berlebihan, dapat menyebabkan kebocoran usus (leaky-gut syndrome)

dan tidak sempurnanya pencernaan kasein dan gluten (Suteja, 2014).

d. Kriteria Diagnostik

Dalam proses penegakan diagnosis dan perencanaan perawatan

pada anak autism, diperlukan adanya diagnose gangguan autisme. Para

klinisi, sering menggunakan pedoman Diagnosis and Statistical Manual

of Mental (DSM V). Kriteria diagnostic berdasarkan DSM V yaitu:

1) Defisit yang menetap dari komunikasi sosial dan interaksi sosial

yang meliputi berbagai konteks kehidupan anak dan sudah timbul

saat awal perkembangan anak namun seringkali manifestasi gejala

baru tampak jelas bagi orangtua saat perkembangan anak berjalan

lebih lambat dibandingkan dengan anak seusianya.

a) Defisit tersebut dapat berupa kesulitan sampai dengan kegagalan

dalam menjalin komunikasi verbal dan hubungan timbal balik..


b) Berkurangnya sampai dengan kehilangan keinginan untuk

berbagi ketertarikan, emosi, atau afeksi.

c) Kegagalan untuk memulai atau berespon dalam menjalin

interaksi social.

d) Abnormalitas dalam kontak mata dan bahasa tubuh

e) Defisit dalam pemahaman dan penggunaan bahasa tubuh dalam

berkomunikasi kehilangan secara total ekspresi wajah dan

komunikasi non-verbal

f) Kesulitan dalam mengembangkan, menyesuaikan, dan

memahami perilaku dalam berbagai konteks sosial.

2) Terbatasnya perilaku, minat, aktivitas yang berulang-ulang,

a) Adanya pola perilaku, minat atau aktivitas yang terbatas dan

berulang, seperti pola perilaku stereotipik

b) Stereotipik atau perilaku repetitive. Echolalia (mengulang atau

menirukan kata atau pembicaraan orang lain);

c) Perilaku ritualistic seperti minat yang terbatas pada objek mati

atau benda tertentu, preokupasi dengan objek atau benda

tertentu;

d) Hiper- atau hiposensitivitas terhadap rangsang indera tertentu

e) Memiliki minat yang tidak wajar terhadap benda atau kegiatan

tertentu, misalnya terlalu fokus terhadap satu jenis mainan

tertentu sehingga tidak bisa melepaskan diri dari benda tersebut.


f) Gejala-gejala pada umumnya sudah mulai timbul dalam periode

awal. perkembangan (seringkali gejala baru dikenali orangtua

pada saat anak berusia sekitar 2 tahun atau saat perkembangan

yang diharapkan tidak sesuai dengan anak seusianya).

g) Gejala di atas menimbulkan bahaya secara klinis dalam aspek

sosial, pekerjaan atau fungsi sehari-hari anak saat ini.

2. Karies

a. Pengertian Karies

Menurut Kidd dan Bachal (2002), karies gigi adalah penyakit

infeksi yang bergantung pada gula . asam diproduksi sebagai produk

samping metabolism karbohidrat makanan oleh bakteri plak, yang

menyebabkan penurunan pH di permukaan gigi. Sebagai responnya, ion

kalsium dan fosfat mengalami difusi keluar dari email menyebabkan

demineralisasi. Proses ini menjadi terbalik bila pH meningkat kembali.

Oleh karena itu, karies merupakan suatu proses dinamis ditandai oleh

episode demineralisasi dan remineralisasi, komponen mineral menjadi

tidak menyatu, menyebabkan lubang gigi (Mitchell et al, 2015). Karies

gigi adalah penyakit jaringan keras yaitu email, dentin, sementum, yang

disebabkan oleh aktivitas jasad renik dalam suatu karbohidrat yang

dapat diragikan (Kidd dan Bechal, 2002).


b. Etiologi Karies

Beberapa jenis karbohidrat makanan misalnya sukrosa dan

glukosa, dapat diragikan oleh bakteri tertentu dan membentuk asam

sehingga pH plak akan menurun sampai di bawah 5 dalam tempo 3-5

menit. Penurunan pH yang besar ulang-ulang dalam waktu tertentu akan

mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi yang rentan dan proses

karies pun dimulai. Karies gigi bisa terjadi jika keempat factor

terpenuhi yaitu gigi, substrat, mikroorganisme, dan waktu seperti pada

gambar berikut (Kidd dan Bechal, 2002):

Gambar 1.1. Empat lingkaran yang menggambarkan paduan factor


penyebab karies. Karies baru akan timbul jika ada keempat factor
tersebut sebagai simultan.
1) Mikroorganisme

Plak gigi adalah lapisan lengket yang terdiri dari bakteri

yangh menempel pada permukaan gigi. Bakteri yang mula-mula

menghuni pelikel terutama yang berbentuk kokus. Yang paling

banyak adalah streptokokus. Dalam suatu percobaan didapatkan

bahwa bakteri streptococcus mutans serta beberapa strain

laktobasilus dan aktinomiset sangat relevan dalam menimbulkan

karies. Streptococcus mutans dan laktobasilus merupakan kuman

yang kariogenik karena mampu segera membuat asam dari

karbohidrat yang dapat diragikan. Kuman-kuman tersebut tumbuh

subur dalam suasana asam (Kidd dan Bechal, 2002).

2) Peran karbohidrat dalam makanan

Karbohidrat menyediakan substrat untuk pembuatan asam

bagi bakteri dan sintesa polisakarida ekstra sel. Karbohidrat yang

komplek misalnya pati, relative tidak berbahaya karena tidak

dicerna secara sempurna di dalam mulut, sedangkan karbohidrat

dengan berat molekul rendah seperti gula akan segera meresap ke

dalam plak dan di metabolism dengan cepat oleh bakteri. Dengan

demikian makanan dan minuman yang mengandung gula, akan

menurunkan pH plak dan mempercepat proses demineralisasi email

(Kidd dan Bechal, 2002).


3) Kerentanan Permukaan Gigi

Terdapat daerah-daerah pada gigi yang memudahkan plak

untuk menempel dan menyebabkan karies. Daerah-daerah tersebut

yaitu (Kidd dan Bechal, 2002):

a) Pit dan fisur pada permukaan oklusal molar dan premolar.

b) Permukaan halus di daerah aproksimal sedikit di bawah titik

kontak.

c) Permukaan akar yang terbuka, yang merupakan daerah tempat

melekatnya plak pada pasien dengan resesi gingiva karena

penyakit periodontium.

d) Tepi tumpatan terutama yang kurang atau mengemper.

e) Permukaan gigi yang berdekatan dengan gigi tiruan dan

jembatan.

4) Waktu

Adanya kemampuan saliva untuk mendepositkan kembali

mineral selama berlangsungnya proses karies, menandakan bahwa

proses karies tersebut terdiri atas periode perusakan dan perbaikan

yang silih berganti. Oleh karena itu, bila saliva ada di dalam

lingkungan gigi, maka karies tidak menghancurkan gigi dalam

hitungan hari atau minggu, melainkan dalam bulan atau tahun

(Kidd dan Bechal,2002).


c. Indeks Karies (DMF-T dan def-t)

Dalam mempelajari keadaan kesehatan dan penyakit suatu

kelompok masyarakat (populasi), bukan pada individu, maka

diperlukan adanya epidemiologi. Indeks karies DMF-T adalah indeks

untuk menilai status kesehatan gigi dan mulut dalam hal karies gigi

permanen dan def-t untuk gigi sulung.

Menurut WHO 1997 Komponen indeks DMF-T/def-t yaitu

DMF-T, terdiri dari:

D : Decayed

M : Missing due to caries

F : Filled due to caries

Def-t, terdiri dari:

d : decayed

e : extraction due to caries

f : filled due to caries

1) D = Decayed (gigi berlubang)

- Karies aktif yang belum/ masih dilakukan perawatan

- Kerusakan gigi permanen karena karies yang masih dapat ditambal

- Gigi berkaries aktif yang belum/ masih bisa dipertahankan/

dirawat/ ditumpat

2) M = Missing due to caries

- Gigi yang hilang atau telah dicabut karena karies

- Gigi berkaries yang mempunyai indikasi pencabutan


3) F = Filled due to caries

- Gigi berkaries yang telah ditambal dengan baik

4) e = extraction

- Gigi susu berkaries yang terindikasi dicabut karena karies.

Untuk mengetahui angka DMF-T didapat dari penjumlahan angka:

Indeks Karies (DMF-T) = D + M + F

Untuk kriteria komponen def-t sama dengan kriteria komponen def-t

sama dengan kriteria komponen DMF-T, hanya saja digunakan untuk

gigi susu.

WHO memberikan kategori dalam perhitungan DMF-T dan def-t

berupa derajat interval sebagai berikut (WHO, 1997 cit Jaber 2011):

1. Sangat rendah: 0,0 – 1,1

2. Rendah : 1,2 – 2,6

3. Moderat : 2,7 – 4,4

4. Tinggi : 4,5 – 6,5

5. Sangat Tinggi : > 6,6

B. Landasan Teori

Autisme adalah kelompok gangguan perkembangan pervasive yang

ditandai dengan gangguan dalam berinteraksi social, komunikasi, serta

perilaku berulang. Penderita autism mengalami kondisi yang disebut

gangguan pemrosesan sensoris dimana anak autism sangat sensitive

terhadap suara, sentuhan, dan penglihatan, sehingga menyebabkan adanya


hambatan anak dalam proses interaksi social terhadapa lingkungan

sekitarnya. Hal ini lah yang menjadi hambatan bagi anak dalam proses

menjaga dan merawat kesehatannya sendiri. Kesehatan gigi dan mulut

merupakan hal yang penting bagi kesehatan tubuh seluruhnya.

Menurut (Kidd dan Bechal, 2002) karies merupakan suatu penyakit

jaringan keras gigi, yaitu email, dentin, dan sementum, yang disebabkan

oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat yang dapat

diragikan. Tandanya adalah adanya demineralisasi jaringan keras gigi yang

kemudian diikuti oleh kerusakan bahan organiknya.

C. Kerangka Konsep

Autisme

Gangguan dalam berinteraksi,


berkomunikasi, dan berperilaku

Terdapat masalah dalam


rongga mulutnya (Karies)

Prevalensi Pengalaman karies


Karies gigi tinggi

Indeks Indeks
DMF-T def-t
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif observational dengan rancangan cross sectional (potong lintang)

yaitu penelitian untuk mempelajari faktor-faktor resiko dengan efek

penyakit dan status kesehatan tertentu, dilakukan dalam sekali observasi

dan pengumpulan data pada suatu waktu dan juga tidak diikuti dalam

kurun waktu tertentu (Riyanto, 2010).

B. Tempat dan Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan di beberapa SLB di DIY yang

terdapat anak autism. Waktu penelitian akan dilaksanakan pada bulan Juli-

September 2019.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah murid penyandang autisme

yang masih aktif tercatat di beberapa Sekolah Luar Biasa (SLB) yang ada

di Provinsi DIY.

1. Kriteria Inklusi

a. Anak penyandang autism

b. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan

c. Bersedia ikut serta dalam penelitian (kooperatif)

d. Orang tua/wali bersedia mengisi informed consent


2. Kriteria Eksklusi

a. Memakai alat ortodonti dan prostesa

b. Penderita epilepsi

c. Anak tidak bersedia ikut serta dalam penelitian / tidak kooperatif

Pemilihan sampel menggunakan teknik purposive sampling , yaitu

teknik pengambilan sampel dengan tidak berdasarkan random, daerah atau

strata, melainkan berdasarkan atas adanya pertimbangan yang berfokus

pada tujuan tertentu. Jumlah subjek penelitian sama dengan populasi yang

tersedia (accessible population) yaitu jumlah populasi secara kuantitatif

yang memiliki karakteristik yang telah ditetapkan dalam populasi.

Pengukuran sampel menggunakan rumus sebagai berikut:


Z (1 − ) 2 2
n= 2
d2
Keterangan:

N = besar sampel minimum

Z(1-/2) = Nilai sebaran normal baku

σ = Nilai varian populasi

d = Besar penyimpangan (absolut)

(Lameshow, 1990 dalam Riyanto, 2010)

Sampel pada penelitian ini minimal sebanyak 35 anak autisme. Untuk


mencegah terjadinya dropout sampel ditambah 10% dengan perhitungan
(35 + (10% x 35)) = 38,5, maka kita bulatkan menjadi 40 sampel anak
autisme.
NO SLB YANG DITELITI JUMLAH SAMPEL
1. SLB Negeri 1 Gunung Kidul 9 anak Autisme

2. SLB Samara Bunda 9 anak Autisme

3. SLB Dharma Rena Ring Putra II 7 anak Autisme

4. SLB Tegar Harapan 6 anak Autisme

5. SLB Negeri Sleman 4 anak Autisme

6. SLB Negeri Kulonprogo 3 anak Autisme

7. SLB Muhammadiyah 2 anak Autisme

Tabel 1. Jumlah Sampel Penelitian di DIY

D. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

a. Anak ASD

2. Variabel terikat

a. Indeks karies gigi (DMF-T dan def-t)

3. Variabel terkendali:

a. Siswa SLB di Provinsi DIY

b. Kondisi psikologis anak tidak kooperatif

c. Metode pengukuran dengan index DMF-T dan def-t

4. Variabel tak terkendali:

a. Penyakit sistemik

b. Pola makan/diet

c. Mengkonsumsi obat anti kejang (phenytoin), faktor stress

(psikologi),
d. Kebiasan buruk/oral habit,

e. Psikologis anak tidak kooperatif

E. Definisi Operasional

1. Autisme adalah kelompok gangguan perkembangan pervasive yang

ditandai dengan gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi, serta

perilaku berulang atau repetitive (Widyagarini dan Suharsini, 2017).

2. Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi, yaitu email,

dentin, dan sementum, yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad

renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan (Kidd dan Bechal,

1991).

3. Indeks karies DMF-T adalah indeks untuk menilai status kesehatan

gigi dan mulut dalam hal karies gigi permanen dan def-t untuk gigi

sulung. Menurut WHO (1997) dalam perhitungan DMF-T dan def-t

berupa derajat interval yaitu : Sangat rendah, Rendah, Moderat, Tinggi,

Sangat Tinggi,

F. Instrumen Penelitian

Instrument penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Alat:

a. Alat diagnostik set

1) Sonde digunakan untuk mengukur kedalaman karies gigi

2) Kaca mulut untuk melihat kondisi sekitar rongga mulut

3) Bengkok untuk menaruh peralatan selama digunakan


4) Pinset untuk mengambil bahan yang akan digunakan agar tetap

steril.

b. Alat bantu anak ASD yang kurang kooperatif

1) Handuk untuk membersihkan air liur anak autism

2) Selimut besar untuk menahan anak autism jika anak tidak

kooperatif

c. Bahan

1) Masker dan handscoon sebagai alat pelindung diri

2) Alkohol untuk menyeterilkan alat dan daerah rongga mulut

3) Kapas untuk membersihkan daerah sekitar rongga mulut

d. Lembar Penelitian

1) Formulir informed consent sebagai lembar persetujuan subjek

untuk dilakukan penelitian gambaran kebersihan gigi dan

mulut.

2) Formulir penilaian skor Indeks DMF-T sebagai lembar untuk

mencatat hasil pemeriksaan indeks karies.

G. Jalannya Penelitian

Penelitian ini direncanakan dengan mengikuti tahap-tahap sebagai berikut:

1. Tahap persiapan

Penelitian ini disusun dengan mengikuti tahapan sebagai berikut:

a. Mengurus surat ijin penelitian ke SLB yang akan dilakukan

penelitian.
b. Melaksanakan pelatihan atau persamaan persepsi antar peneliti

yang akan melaksanakan penelitian.

c. Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan saat

penelitian.

2. Tahap pelaksanaan

a. Melakukan pendekatan psikologis (tell show do) kepada anak ASD

yang akan dilakukan penelitian dengan memberikan penjelasan

singkat dan meminta kesediaannya untuk menjadi sampel yang

dibantu oleh guru pendamping.

b. Melakukan persetujuan tindakan medis (informed consent) kepada

orang tua atau guru pendamping.

c. Melakukan pengumpulan data identitas sampel berupa nama,

umur, dan jenis kelamin.

d. Melakukan pemeriksaan indeks karies.

e. Melakukan pengumpulan data hasil pemeriksaan kondisi

kebersihan gigi dan mulut dengan indeks DMF-T dan def-t.

f. Melakukan editing data atau collecting data.

g. Melakukan pengolahan data dan analisis data.

H. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan data

Hasil data gambaran status karies didapatkan dari pengamatan

langsung pada anak autisme yang dinilai menggunakan indeks DMF-T

dan def-t. Indeks DMF-T dan def-t dilihat dari Jumlah gigi yg
termasuk komponen D + jumlah gigi yg termasuk komponen M +

jumlah gigi yg termasuk komponen F = jumlah total DMF, yang

kemudian diolah dan dihitung presentasenya dengan status karies,

yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.

2. Analisis data

Analisis data untuk mengetahui besar angka prevalensi gambaran

status karies pada anak autisme. Selanjutnya hasil data dimasukan ke

dalam tabel data kuantitatif berskala rasio dan diuji normalitas data

menggunakan uji Shapiro Wilk. Data dianalisa dengan menggunakan

program Statistic Package for the Sosial Sciences (SPSS).

I. Etika penelitian

Sebelum penelitian dilakukan, subjek penelitian dijelaskan maksud

dan tujuan penelitian secara singkat dan penelitian bersifat observasi

sehingga tidak dilakukan intervensi terhadap responden. Hasil data yang

diperoleh dikumpulkan dan akan dijaga kerahasiaannya sehingga bukti

kesediaan responden mengikuti penelitian. Maka orang tua atau guru

pendamping diminta untuk mendatangani persetujuan tindakan medis yang

telah disiapkan sebelumnya.


J. Alur Penelitian

Surat Ijin Penelitian

Inform Consent

Mengumpulkan Subjek Penelitian, sebanyak 40 anak

Dropout (10%)

Jumlah Sampel (Eligibility), n = 39

Pemeriksaan

Pencatatan Hasil Data

Pengolahan dan Analisis Data


DAFTAR PUSTAKA

Widyagarini, A dan Margaretha Suharsini, M. 2017. Dental Care For Children


with Autism Spectrum Disorder. Jakarta. 50(3): 160-165.

Rahayu, Sri Muji. 2014. Deteksi dan Intervensi Dini Pada Anak Autis, Edisi 1
Juni 2014. Jurnal Pendidikan Anak. Volume 3.

Mulyadi, K. & Sutadi, R. (2014). Autism is curable. Jakarta: Elex Media


Komputindo

Notoadmodjo, S. 2014. Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.

Christiono, S dan Putranto, R Rama. 2015. Caries Status Early Chilhood


Caries in Indonesian Children With Special Needs: Study In SDLB Central
Java. Volume 2, Nomor 2, Desember 2015.

Rekha, C. Vishnu, P. Arangannal, dan H. Shahed. 2012. Oral Health Status of


Children With Autistic Disorder in Chennai. Department of Pediatric
Dentistry, Sree Balaji Dental College &Hospital, Chennai, India.

Richa, Yashoda R, Puranik MP. Oral health status and parental perception of
child oral health related quality-of-life of children with autism in Bangalore,
India. J Indian Soc Pedod Prev Dent 2014;32:135-9. Diakses melalui :
http://www.jisppd.com/text.asp?2014/32/2/135/130967

Jaber, MA. Dental caries experience, oral health status and treatment needs of
dental patients with autism. J Appl Oral Sci 2011; 19(3):212-7.

Lubis, Fauziah dan JF Suwandi. Paparan Prenatal Valproat dan Autism spectrum
Disorder (ASD) pada Anak. Volume 5, Nomor 3 (2016).

American Psychiatric Association (APA) (2013). DSM-V Diagnostic and


Statistical Manual of Mental Disorders. 5th Edition. American Psychiatric
Association, Washington, DC

YPAC 2011. Buku Pedoman Penanganan dan Pendidikan Autisme

Sianipar, Jojor J, M.Tanzil Furqon, Putra Pandu Adikara. Identifikasi Diagnosis


Gangguan Autisme Pada Anak Menggunakan Metode Modified K-Nearest
Neighbor (MKNN). Volume 1:825-831, Nomor 9, Juni 2017.

Suteja, Jaja. Bentuk dan Metode Terapi Terhadap Anak Autisme Akibat Bentukan
Perilaku Sosial. Jurnal Edueksos. Volume 3, Nomor 1, Januari-Juni 2014.
Melisa, F. 2013. 112.000 Anak Indonesia Diperkirakan Menyandang Autis.
Diakses dari. Republika.co.id :
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/09/mkz2un-112000-
anakindonesia-diperkirakanmenyandang-autisme

Sari, A, Mohamad Amin, Betty Lukiati. Penyebab Gangguan Autis Melalui Jalur
Neuroinflamasi: Cause of Autism Disorders through Pa th Neuroinflamasi.
Bioeksperimen. Volume 3, Nomor 2, September 2017. ISSN 2460-1365.

Mitchell, L, David A. Mitchell, Lorna McCaul. 2015. Kedokteran Gigi Klinik


Edisi 5. Jakarta : EGC

Kidd, E.A.M, Sally Joyston Bechal. 2002. Dasar-Dasar Karies Penyakit dan
Penanggulangannya. Cetakan 2. Jakarta: EGC.

Riyanto, 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Nuha


Medika.

Veriza, E, Hendry Boy. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut pada
Anak Autisme. Falatehan Health Journal, 5(2) (2018) 55-60.

Anda mungkin juga menyukai