Freeport yang mulai masuk ke Indonesia secara resmi pada masa pemerintahan
Soeharto dengan rezimnya yang bernama Orde Baru, ternyata menimbulkan berbagai masalah
baik sosial, politik, maupun lingkungan. Masalah tersebut ada sejak mulai berdirinya Freeport;
hingga 4,5 dasawarsa lebih—sekarang entah kapan akan usai. Mungkin masalah tersebut akan
usai setelah kontrak karya Freeport habis, atau justru setelah kontrak karya tersebut habis akan
timbul masalah baru yang lebih serius.
Nilai sila kelima dijabarkan bahwa “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
mengandung maksud bahwa setiap penduduk Indonesia berhak mendapatkan penghidupan
yang layak sesuai dengan amanat UUD 1945 dalam setiap lini kehidupan, mengandung arti
bersikap adil terhadap sesama, menghormati dan menghargai hak-hak orang lain. Kemakmuran
yang merata bagi seluruh rakyat. Seluruh kekayaan alam dan isinya dipergunakan bagi
kepentingan bersama menurut potensi masing-masing. Segala usaha diarahkan kepada potensi
rakyat, memupuk perwatakan dan peningkatan kualitas rakyat, sehingga kesejahteraan tercapai
secara merata. Penghidupan disini tidak hanya hak untuk hidup, akan tetapi juga kesetaraan
dalam hal mengenyam pendidikan.”
1
pasan, sedangkan di sisi lain perusahaan Freeport memiliki laba yang sangat besar. Di sinilah
letak ketidakadilan tersebut.
Papua adalah provinsi yang terkenal dengan tidak meratanya pembangunan. Dapat
dilihat dari berbagai kecamatan di kabupaten Mimika—kabupaten tempat beroperasinya
Freeport—misalnya, pembangunan terkonsentrasi hanya di titik-titik atau kecamatan tertentu.
Seiring dengan tidak meratanya pembangunan, mobilitaspun terganggu. Terganggunya
mobilitas penduduk dan keterbatasan akses inilah yang kemudian menyebabkan kualitas hidup
daerah yang satu berbeda dengan kualitas hidup daerah yang lain dalam satu kabupaten.
Ketimpangan kualitas hidup dan kesejahteraan ini mengindikasikan bahwa belum terciptanya
keadilan sosial pada masyarakat Papua.
Freeport sulit untuk masuk ke Indonesia pada masa kepemimpinan Soekarno. Presiden
Soekarno pernah berpesan yang intinya membiarkan kekayaan alam Indonesia tetap ada hingga
putra bangsa sendiri nanti yang mampu mengolahnya. Namun, ketidakstabilan politik dalam
negeri yang kemudian melandasi MPR untuk mengangkat Soeharto sebagai Presiden,
menyebabkan terbukanya pintu bagi investor asing dengan pertimbangan keadaan ekonomi dan
sosial domestik pada saat itu yang sangat memprihatinkan, sehingga investasi dianggap sebagai
2
solusi—Alhasil, Freeport yang telah menunggu selama tujuh tahun, akhirnya dapat masuk ke
Indonesia.
Investasi dari Freeport ini, kemudian mendatangkan pajak dan royalti bagi Indonesia,
yang kemudian digunakan sebagai modal pembangunan. Pembangunan nasional pada era Orde
Baru, awalnya menampilkan gambaran yang sangat atraktif. Mulai dari pertumbuhan ekonomi,
menurunnya inflasi, hingga dalam waktu kurang dari lima belas tahun, Indonesia mampu enyah
dari kategori negara miskin menjadi negara berpenghasilan menengah. Permasalahannya
adalah bahwa pembangunan tersebut bersifat relatif, nilai kebaikan tersebut baik menurut siapa,
kelompok mana yang harus dikorbankan. Kebaikan pada masa kini belum tentu baik pula di
masa yang akan datang.
Sudah banyak keuntungan yang didapatkan oleh Freeport, mulai dari tahun 1973 ia
memeroleh keuntungan US$ 60 dari tembaga yang ditambang di Indonesia, kemudian di tahun
1988 Freeport menemukan timbunan emas tak jauh dari lokasi penambangan semula, yang
memberikan pendapatan terhadap Freeport sebesar US$ 1,8 miliar per tahun. Pada tahun 1991,
Freeport memperpanjang kontraknya selama 30 tahun dengan kemungkinan perpanjangan 20
tahun setelahnya.
Ertsberg sendiri sebagian besar telah musnah, meninggalkan lubang terbuka sedalam
360 m dan lebar 2 km, yang dipenuhi oleh warna hijau, yaitu tembaga yang diresapi air.
Selama kurang lebih 20 tahun, sekitar 32 juta ton tembaga, perak, dan emas telah ditambang
dan menghasilkan pendapatan rata-rata $ 300 juta per tahun untuk Freeport.
3
Freeport dan Keadilan Sosial Masyarakat Papua
Sebagai dasar negara, Pancasila adalah sumber segala hukum nasional. Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang juga memiliki jiwa Pancasila dalam
setiap bagiannya mengamanatkan dalam Pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 bahwa: Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
serta; bumi, air, dan kekayaan alam, yang terkandung di dalamya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.1
Pasal di atas mengindikasikan bahwa segala sumber daya alam yang dimiliki Indonesia
haruslah dipergunakan bagi kemakmuran rakyat, bukan kepentingan pemilik modal saja. Di
dalam pasal tersebut juga sebetulnya terdapat makna bahwa sumber daya alam harus dikuasai
oleh negara dan masyarakat domestik, bukan investor asing. Penambang tradisional Papua
yang sudah ada sebelum kedatangan Freeport kemudian terusir setelah perusahaan tembaga
dan emas terbesar di dunia tersebut memasuki kawasan operasinya dengan mengantongi izin
dari pemerintah. Suku Amungme dan Kamoro yang merupakan penambang tradisional merasa
tanahnya telah diambil oleh orang lain. Ketika mereka ingin meminta kompensasi 1%-pun
Freeport menolak untuk memberikan dengan dalih pemerintah Indonesia tidak
memperbolehkan dalam bentuk uang melainkan dengan fasilitas dan peningkatan kualitas
publik. Di sinilah, benih-benih ketidakadilan bagi masyarakat Papua muncul.
Pancasila, dengan sila kelimanya yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,
menjelaskan bahwa seluruh rakyat Indonesia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan
penghidupan yang layak sesuai amanat UUD 1945. Keadilan yang dimaksudkan adalah
kemakmuran yang merata. Sedangkan, melihat kasus Freeport, kemakmuran hanya terpusat
pada kecamatan tertentu di wilayah Papua.
4
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa konsentrasi penduduk tidak merata. Tidak
meratanya distribusi penduduk tersebut dipengaruhi oleh fasilitas kehidupan, pusat
perekonomian, dan pendidikan yang berkonsentrasi pada titik-titik tertentu saja. Hal ini
mengindikasikan bahwa pembangunan di Papua tidak merata antara satu distrik dengan distrik
yang lain. Ketidakmerataan pembangunan ini juga bertolak belakang dengan prinsip Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Di sisi lain, pengangguran juga masih cukup banyak. Dapat dilihat di tabel berikut:
5
6
Kesimpulan
Saran
Seharusnya, Freeport melalui CSRnya harus dapat berperan lebih bagi kesejahteraan
masyarakat Papua yang merata. Selain itu, menyikapi isu perpanjangan kontrak karya Freeport,
seharusnya pemerintah Indonesia bersikap tegas dalam rangka melindungi integrasi nasonal
bangsa. Apabila kontrak karya Freeport dirasa sudah mendatangkan kerugian yang tidak
sedikit, pemerintah harus bijak mengambil sikap, mengingat emas yang tersisa hanyalah 1.800
ton. Namun, apabila karena alasan tertentu yang memaksa pemerintah untuk menyetujui
perpanjangan kontrak karya Freeport, pemerintah haruslah tegas dalam meminta
pertanggungjawaban Freeport atas kesejahteraan rakyat Papua dan juga lingkungannya.