Oleh :
Dadang Ismanaf (G99132001)
Jihan Azhar K (G99132004)
Candra Aji Setiawan (G99141014)
Pembimbing :
dr. Junardi, Sp.B, FINACS
I. IDENTITAS
Nama : Tn. S
Umur : 78 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Sudah menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Serengan, Jaten, Klego, Boyolali
No. Catatan Medis : 06197711
Tanggal Pemeriksaan : 11 Desember 2014
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dan alloanamnesis pada pada tanggal 11 Desember 2013
Keluhan Utama
Sulit BAK sejak 5 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli bedah RSUD Pandan Arang karena keluhan
tidak bisa buang air besar sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
merasa sulit BAK meskipun pasien sudah mengedan dan dibantu dengan
menekan perut bagian bawahnya. Selain itu pasien merasa ingin BAK
namun air kencing yang keluar terasa tidak lampias, pancaran melemah
terputus-putus. Frekuensi BAK meningkat pada siang hari sebanyak 4 – 5
kali dalam sehari, malam hari kadang terbangun karena terasa ingin
kencing. Keluhan disertai dengan rasa pegal di pinggang. Demam
disangkal. Riwayat BAK disertai darah dan nanah disangkal. Nyeri saat
berkemih dan pipis terasa panas disangkal. Riwayat BAK disertai batu
atau pasir disangkal. BAB tidak ada keluhan.
Pasien kemudian dibawa oleh keluarganya ke RS Busro sehari
setelah keluhan muncul. Pasien kemudian dipasang selang pipis dan
dilanjutkan dengan rawat jalan. Pasien sudah dianjurkan untuk kontrol
kembali ke RS Busro seminggu kemudian, tetapi kemudian keluarga
pasien kemudian membawa pasien ke poli bedah RSUD Pandan Arang
untuk diperiksakan.
Tanda-tanda Vital
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
o TD : 140/80 mmHg
o Nadi : 80 x/menit
o Respirasi : 20 x/menit
o Suhu : 36,5°C
Status Generalis
Kepala : Mesocephal
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Mulut : Tonsil TI – TI tenang, Faring hiperemis (-)
Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak teraba membesar, trakea
terletak ditengah.
Thorak : Bentuk dan Gerak simetris
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Batas-batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I – II murni reguler, murmur (-), Gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus vokal pada hemithoraks kanan dan kiri
simetris
Perkusi : Sonor pada hemithoraks kanan dan kiri
Auskultasi : VBS (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar, Ballotement -/-, nyeri ketok CVA -/-
Perkusi : Timpani diseluruh lapang abdomen
Auskultasi : BU (+) normal
Genitalia
Inspeksi : terpasang kateter urin
Palpasi : nyeri tekan (-)
Ekstremitas
Atas : Edema (-/-), Sianosis (-/-), CRT <2”, akral hangat
Bawah : Edema (-/-), Sianosis (-/-), CRT <2”, akral hangat
Campuran
Pada Pada
Senang antara Tidak Buruk
Senang umumnya umumnya
sekali puas dan bahagia sekali
puas tidak puas
tidak
Seandainya cara buang air
kecil seperti Anda alami
sekarang ini akan terjadi
0 1 2 3 4 5 6
seumur hidup Anda,
bagaimanakah perasaan
Anda?
Skor QOL (Quality of Life) = 4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. USG Abdomen
Hasil
o Ren : kanan kiri ukuran normal, tampak hidronefrosis
o Vesika Urinaria : tak tampak batu maupun kelainan khas
o Prostat : kapsul dan parenkim normal, ukuran 46x47x48mm, 54
gram
Kesan: BPH
V. DIAGNOSIS KERJA
Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
VI. PENATALAKSANAAN
Open prostatectomy
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
ANALISA KASUS
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bila mengalami
pembesaran, organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan
terhambatnya aliran urin keluar buli-buli. Bentuknya sebesar buah kenari dengan
berat normal pada orang dewasa 20 gram. Hiperplasia prostat merupakan kelainan
yang sering ditemukan. Hyperplasia prostat adalah hiperplasia kelenjar periuretral
yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi seperti simpai.
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis Benign Prostate Hyperplasia (BPH),
berdasarkan :
Keluhan utama : Sulit BAK sejak 5 hari SMRS.
Anamnesis : Pasien datang ke poli bedah RSUD Pandan Arang karena
keluhan tidak bisa buang air besar sejak 5 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien merasa sulit BAK meskipun pasien sudah mengedan dan
dibantu dengan menekan perut bagian bawahnya. Selain itu pasien
merasa ingin BAK namun air kencing yang keluar terasa tidak lampias,
pancaran melemah terputus-putus. Frekuensi BAK pada siang hari
sebanyak 4 – 5 kali dalam sehari. Keluhan disertai dengan rasa pegal di
pinggang. Demam disangkal. Riwayat BAK disertai darah dan nanah
disangkal. Nyeri saat berkemih dan pipis terasa panas disangkal.
Riwayat BAK disertai batu atau pasir disangkal. BAB tidak ada
keluhan.
Pemeriksaan Fisik : Tonus sfingter ani kuat, ampula rekti tidak kolaps,
mukosa licin, nyeri tidak ada, prostat teraba membesar, konsistensi
prostat kenyal, tidak ada nodul, tidak ada krepitasi, tidak ada nyeri
tekan, batas atas dapat diraba, tidak berbenjol-benjol, tidak ada nanah
dan darah pada handscoon, feses ada lunak warna coklat.
Skor IPSS : 29
Pemeriksaan penunjang:
o USG: dilakukan untuk mengetahui perkiraan volume (besar)
prostat
Penatalaksanaan pasien BPH dengan IPSS skor 29 merupakan indikasi
untuk melakukan pembedahan. Biasanya dilakukan operasi open prostatectomy.
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi Prostat
Definisi
Hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat
yang asli ke perifer dan menjadi seperti simpai.
Epidemiologi
Pada lelaki usia 50 tahun, angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada
usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut di atas akan
menyebabkan gejala dan tanda klinis.
Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab
terjadinya hyperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa hyperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat
adalah:
a. Teori dihidrotestosteron
Dehidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang
sangat penting pada pertumbuhan sel kelenjar prostat. DHT dihasilkan
dari reaksi perubahan testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5
alfa-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah
terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk
kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis
protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada
BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya
saja pada BPH, aktivitas enzim 5 alfa-reduktase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel prostat
pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih
banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun,
sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara
estrogen : testosteron relative meningkat. Telah diketahui bahwa
estrogen didalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat
terhadap rangsangan hormon androgen , meningkatkan jumlah reseptor
androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun
rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone
menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang
lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
c. Interaksi stroma epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan
pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-
sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-
sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel
stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intraktin dan autokrin,
serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
d. Berkurangnya kematian sel prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah
mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostasis kelenjar
prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang
selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh
sel-sel disekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan
prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat
baru dengan yang mati dalm keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah
sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel
prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan
pertambahan massa prostat.
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktor-
faktor yang menghambat proses apoptosis. Diduga hormone androgen
berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah
dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar
prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat,
sedangkan faktor pertumbuhan TGFβ berperan dalam proses apoptosis.
e. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis,
selalu dibentuk sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel
stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat
ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan
hormone androgen, sehingga jika hormon ini kadarnya menurun
seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis.
Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai
ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang
berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
Patofisologi
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada
leher vesika dan daerah prostat meningkat dan otot destrusor menjadi lebih
tebal. Penonjolan serat destrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi. Mukosa
dapat menerobos keluar di antara serat destrusor. Tonjolan mukosa yang
kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar disebut divertikulum. Fase
penebalan destrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding.
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala
obstruksi terjadi karena destrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat
atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.
Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat
miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung
kemih sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh.
Apabila keadaan berlanjut, destrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin. Sehingga pada akhir miksi masih ditemukan
sisa urin didalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir
miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan
total sehingga pasien tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus
terjadi, pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga
tekanan intravesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih
tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia
paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesico-ureter, hidroureter,
hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila
terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan
sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan
didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis
dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis.
Diagnosis
Gambaran Klinis
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Gejala Obstruksi : penderita harus menunggu keluarnya kemih
pertama, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi
menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi.
Gejala Iritasi : bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit
ditahan dan disuria.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih
bagian bawah, beberapa ahli/organisasi urologi membuat sistem scoring
yang secara subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem
scoring yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah
Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic
Symptom Score).
Perdarahan Inkontinensia
Perdarahan
Infeksi lokal atau Disfungsi ereksi
Sindrom TURP
sistemik
Ejakulasi retrograd
Perforasi
Striktura uretra
Laser prostatektomi
Energy laser mulai dipakai sebagai terapi BPH sejak
tahun 1986, yang dari tahun ke tahun mengalami
penyempurnaan. Terdapat 4 jenis energy yang dipakai, yaitu
Nd:YAG, Holmium: YAG, KTP: YAG, dan diode yang dapat
dipancarkan melalui bare fibre, right angle fibre, atau
interstisial fibre. Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan
mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 100oC
mengalami vaporisasi.
Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian
Laser ternyata lebih sedikit menimbulkan komplikasi, dapat
dikerjakan secara poliklinis, penyembuhan lebih cepat, dan
dengan hasil yang kurang lebih sama. Sayangnya terapi ini
membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya
adalah: tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan
patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak menimbulkan
disuria pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan,
tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi dan peak
flow rate lebih rendah dari pada pasca TURP. Teknik ini
dianjurkan pada pasien yang memakai terapi antikoagulan
dalam jangka waktu lama atau tidak mungkin dilakukan
tindakan TURP karena kesehatannya.
c. Tindakan invasif minimal
Selain tindakan invasif seperti yang telah disebutkan diatas,
saat ini sedang dikembangkan tindakan invasive minimal yang
terutama ditujukan untuk pasien yang mempunyai resiko tinggi
terhadap pembedahan. Tindakan invasive minimal itu diantaranya:
thermoterapi, TUNA, pemasangan stent (prostacath), HIFU dan
dilatasi dengan balon (transurethral balloon dilatation).
Termoterapi atau TUMT (transurethral microwave
thermotheraphy)
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan dengan
gelombang mikro pada frekuensi 915-1296 Mhz yang
dipancarkan melalui antena yang diletakkan di dalam uretra.
Dengan pemanasan yang melebihi 44oC menyebabkan
destruksi jaringan pada zona transisional prostat karena
nekrosis koagulasi. Prosedur ini dapat dikerjakan secara
poliklinis tanpa pemberian pembiusan.
Energy panas yang bersamaan dengan gelombang
mikro dipancarkan melalui kateter yang terpasang didalam
uretra. Besar dan arah pancaran energy diatur melalui sebuah
computer sehingga dapat melunakkan jaringan prostat yang
membuntu uretra. Morbiditasnya relative rendah, dapat
dilakukan tanpa anestesi, dan dapat dijalani oleh pasien yang
kondisinya kurang baik jika menjalani pembedahan. Cara ini
direkomendasikan bagi prostat yang ukurannya kecil.
TUNA (transurethral needle ablation of the prostate)
Teknik ini memakai energy dari frekuensi radio yang
menimbulkan panas sampai mencapai 100oC, sehingga
menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas
kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat
membangkitkan energy pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter
dimasukkan kedalam uretra melalui sistoskopi dengan
pemberian anestesi topical xylocaine sehingga jarum yang
terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat. Pasien
sering kali masih mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang
retensi urin, dan epididimo-orkitis.
Stent
Stent prostat dipasang pada uretra pars prostatica untuk
mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang
intraluminal di antara leher buli-buli dan di sebelah proksimal
verumontanum sehingga urin dapat leluasa melewati lumen
uretra pars prostatica. Stent dapat dipasang secara temporer
atau permanen. Yang temporer dipasang selama 6-36 bulan dan
terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak mengadakan
reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepaskan
kembali secara endoskopi.
Stent yang permanen terbuat dari bahan logam super
alloy, nikel atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini
akan diliputi oleh urotelium sehingga jika suatu saat ingin
dilepas harus membutuhkan anestesi umum atau regional.
Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang
tidak mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan
yang cukup tinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari
insersinya di uretra posterior atau mengalami enkrustasi.
Sayangnya setelah pemasangan kateter ini, pasien masih
merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif, perdarahan
uretra, atau rasa tidak enak di daerah penis.
HIFU (High Intensity Focused Ultrasound)
Energi panas yang ditujukaan untuk menimbulkan
nekrosis pada prostat berasal dari gelombang ultrasonografi
dari transduser piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-
10 MHz. Energi dipancarkan melalui alat yang diletakkan
transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini
memerlukan anestesi umum. Kegagalan terapi mencapai 10%
setiap tahun.
d. Kontrol berkala
Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan
pengobatan perlu control secara teratur untuk mengetahui
perkembangan penyakitnya. Jadwal control tergantung pada
tindakan apa yang sudah dijalaninya. Pasien yang hanya
mendapatkan pengawasan (watchful waiting) dianjurkan control
setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah
terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan
skor IPSS, uroflometri dan residu urine pasca miksi.
Pasien yang mendapatkan terapi penghambat 5α-reduktase
harus dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6 untuk menilai
respon terhadap terapi. Kemudian setiap satu tahun untuk menilai
perubahan gejala miksi. Pasien yang menjalani pengobatan
penghambat 5α-adrenergik harus dinilai respons terhadap
pengobatan setelah 6 minggu dengan melakukan pemeriksaan
IPSS, uroflometri dan residu urin pasca miksi. Kalau terjadi
perbaikan gejala tanpa menunjukkan penyulit yang berarti,
pengobatan dapat diteruskan. Selanjutnya kontrol dilakukan setelah
6 bulan dan kemudian setiap tahun. Pasien setelah menerima
pengobatan secara medikamentosa dan tidak menunjukkan tanda
perbaikan perlu dipikirkan tindakan pembedahan atau terapi
intervensi yang lain.
Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling
lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan
terjadinya penyulit. Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk
mengetahui hasil akhir operasi. Pasien yang mendapatkan terapi
invasif minimal harus menjalani kontrol secara teratur dalam
jangka waktu lama, yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan dan
setiap tahun. Pada pasien yang mendapatkan terapi invasif
minimal, selain dilakukan penilaian terhadap skor miksi, dilakukan
pemeriksaan kultur urin.
DAFTAR PUSTAKA
De Jong W, Sjamsuhidajat R. Buka Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3, Jakarta: EGC 2010.
Hal 156-165.
Mansjoer A, Suprohaita, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3, Jakarta: Media
Aesculapius FKUI 2000. Hal 329-334.
Purnomo B. Dasar-dasar Urologi. Edisi 3, Jakarta:Sagung Seto 2012. Hal 125-
144.
Snell R. Anatomi Klinik. Edisi 6, Jakarta: EGC 2006.