Anda di halaman 1dari 6

H.

SENJA KELAM ANGGOTA DEWAN


Para anggota DPRD di seluruh tanah air barangkali termasuk para petinggi
pemerintahan di daerah tidak bisa tidur nyenyak. Sejak dijatuhkannya vonis pengadilan
terhadap 43 orang anggota DPRD kota Padang yang terlibat korupsi pertengahan Mei
lalu, pengungkapan kasus korupsi di beberapa daerah terus bermunculan. Perkara korupsi
oleh anggota dewan satu persatu mulai diajukan ke Pengadilan Negeri di daerah. Di
Sumatera, pengungkapan kasus korupsi selain di Padang melebar ke Kota Payakumbuh,
kota Banda Aceh, Palembang dan Bandar Lampung. Di Jawa, pengajuan kasus dimulai di
Kabupaten Garut dan Ciamis. Belakangan, di Kalimantan kasus-kasus korupsi anggota
dewan juga diajukan di Kota Singakawang dan Kabupaten Pontianak. (halaman 51)
Bagi anggota-anggota DPRD yang baru-baru ini dijatuhi vonis hokum oleh
pengadilan, pengalaman ini sangat ironis karena terjadi justru pada saat akhir masa
jabatan mereka. Langit di waktu senja karir politik merekanya rupanya begitu kelam
karena harus mempertanggungjawabkan penyelewangan kekuasaan yang telah mereka
lakukan. Bagi para anggota dewan yang tidak memiliki kemampuan memadai dan harus
tergeser oleh anggota dewan baru masa bhakti 2004-2009, akhir masa jabatan mereka
juga tidak sedap karena masyarakat mereka juga akan mengingat kebanyakan anggota
DPRD hasil Pemilu 1999 sebagai personil legaslatif yang tidak cakap dan banyak korup.
(halaman 52)
Pelajaran penting yang dapat dipetik dari produk legislative daerah hasil pemilu
1999 ialah bahwa mekanisme pemilihan anggota dewan ketika itu belum mampu
mendekatkan anggota legislative dengan warga pemilih mereka. Akibatnya, pola perilaku
politik para anggota legislative sangat jauh dari kehendak masyarakat dan tujuan bahwa
otonomi daerah adalah untuk mensejahterahkan rakyat masih jauh dari harapan.
Kendatipun kontroversi masih terjadi terhadap rencana revisi UU Otonomi Daerah,
kesepakatan mengenai Pilkada langsung dengan mengurangi kewenangan politis DPRD
tampaknya hamir bulat. Entah karena motivasi untuk memperbaiki citra ataukah karena
tekanan publik, sebagian unsur dewan pun sudah menyetujui pilkada langsung. (halaman
52-53)
Proses pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini masih kurang jelas
ujungnya. Pertama, pengalaman menunjukan bahwa proses hukum yang melibatkan para
politisi di Indonesia selalu berliku-liku dan tidak pasti. Ini bukan anggota legislatif saja
yang korup, tetapi anggota eksekutif dan aparat pemerintah yang lainnya. Kedua, di
tengah harapan baru mengenai penanganan kasus korupsi para anggota DPRD, masih
cukup banyak politisi yang memanfaatkan momentum akhir masa jabatannya untuk
mengeruk kepentingan pribadi. Topik yang paling hangat ialah dana purna tugas. Ketiga,
betapapun korupsi para anggota dewan itu terjadi dengan keterlibatan pihak eksekutif.
Bahwa penyalahgunaan dana di daerah sebenarnya adalah karena konspirasi antara
eksekutif dan legislative. (halaman 53-54)
BAGIAN DUA: PEMILU DAN DEMOKRATISASI

A. Pemilu 1999 sebagai Tonggak Demokratisasi


Pemilu yang dijadwalkan tanggal 7 Juni 1999 merupakan salah satu ajang pesta
demokrasi yang sangat penting bagi bangsa Indonesia karena merupakan pemilu multi
partai pertama yang relatif bebas dari tekanan rejim otoritarian seperti selama 32 tahun
dipraktikan oleh orde baru. Sebagian masyarakat tampaknya berharap banyak bahwa
Pemilu 1999 akan dapat membantu memulihkan sendi-sendi ekonomi dan taraf hidup
rakyat pada umumnya yang sangat merosot tajam sebagai akibat krisis ekonomi yang
berkepanjangan yang akhirnya juga berpengaruh pada krisis politik dan krisis sosial
kemasyarakatan. (halaman 59)
Penentuan format pelaksanaan pemilu 1999 sejak awal telah disertai dengan
berbagai macam perdebatan dan kontroversi, baik dari para pengamat atau akademisi,
para politisi, tokoh eksekutif dan legislative, mahasiswa, tokoh LSM, tokoh masyarakat
maupun berbagai kelompok penekan dan kelompok kepentingan. Mengenai sistem
pemilu yang akan digunakan, terdapat perdebatan antara sistem proporsional atau sistem
distrik. Akhirnya, disepakati bahwa sistem yang digunakan tetap menggunakan
proporsional seperti yang telah ditetapkan dengan beberapa macam modifikasi. Dari
partai politik pun, dari 141 partai politik yang terdaftar di Departemen Kehakiman,
ditetapkan oleh P3KPU (Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum)
bahwa hanya 48 partai yang dinyatakan berhak dalam pemilu 1999. (halaman 60)
Dalam pemilu 1999 terdapat berbagai fakta yang membuat bahwa sebagai aktivitas
politik pemilu kali ini berbeda dengan pemilu sebelumnya. Berikut faktor pentingnnya
adalah:
1. Pemilu 1999 diikuti oleh 3 partai politik lama dan 45 partai politik baru. Bagi
sebagian partai politik baru, masa sosialisasi partai sejak dibentuknya partai hingga
dilaksanakan pemungutan suara relatif terbatas sehingga akses terhadap informasi,
kedekatan ideologis, kemampuan membangun infrastruktur maupun intensitas
komunikasi partai dengan massa pemilih akan sangar menentukan kecenderungan
para pemilih yang masuk kategori the swing voters, yang belum siap menentukan
pilihannya.
2. Dari berbagai perkiraan objektif, pemilu 1999 tidak akan menghasilkan sebuah partai
hegemonic seperti pemilu yang sudah ada sebelumnya. Sangat kecil kemungkinan
bahwa sebuah partai politik akan dapat mencapai lebih dari 40 persem suara dari
massa pemilihnya.
3. Perbedaan platform, ideologi dan massa yang diwakili oleh masing-masing partai
yang harus mengadakan koalisi guna membentuk pemerintahan baru akan
menyulitkan dicapainya kompromi di dalam pengambilan keputusan dan kebijakan
publik di dalam birokrasi publik. (halaman 61-62)
Dari uraian di atas, tampak bahwa hasil-hasil pemilu 1999 yang merupakan
peristiwa politik nasional akan sangat besar pengaruhnya bagi perubahan mekanisme
pembuatan kebijakan publik di Indonesia. Walaupun situasi ekonomi Indonesia yang
masih dililit oleh krisis memang untuk sebagai menjadi pemicu dari berbagai
kekacauan yang tampak dari begitu banyaknya insiden kerusuhan sosial di tanah air.
(halaman 62-63)
Namun, yang patut diperhatkan selama pemerintahan transisi presiden BJ Habibie
ialah bahwa situasi ekonomi justru tidak menunjukan keadaan yang lebih buruk.
Tingkat inflansi relatif sudah cukup terkendali sedangkan nilai ekspor, terutama untuk
berbagai komoditas pertanian mengalami peningkatan sekalipun masih kecil. Tingkat
kurs rupiah terhadap dollar cenderung lebih stabil meskipun kerusuhan tetap terjadi
dimana-mana, termasuk adanya bentrok antar masa partai politik menjelang pemilu.
Dengan begitu, dapat ditafsirkan bahwa, kekacauan itu bersifat politik atau sosial,
tetapi tampaknya dari segi ekonomis keadaan yang paling parah sudah terlewati
sehingga sebagian pakar menyebutkan bahwa situasi ekonomi Indonesia sudah
memasuki periode bottoming-out. (halaman 63)
Oleh sebab itu, pemilu 1999 merupakan salah satu tonggak politik yang sangat
penting untuk mendapatkan pemerintahan yang legitimate, yang akan menjamin
bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah memiliki efektivitas yang
tinggi dan mendapat kepercayaan yang lebih besar dari masyarakat luas (halaman 64)
Dalam hal pengaruh konfigurasi politik terhadap pembuatan keputusan di dalam
birokrasi publik, perlu dipahami pendapat Hegel bahwa birokrasi publik dapat
diibaratkan sebagai jembatan antara negara dengan masyarakat madani. Masyarakat
madani merupakan representasi dari pluralitas di dalam masyrakat, termasuk
masyrakat Indonesia yang mewakili berbagai particular interest/kepentingan khusus,
sedangkan negara mewakili general interest/kepentingan umum. Dengan demikin,
posisi birokrasi publik dalam negara demokratis menjadi penting karena akan menjadi
wahana pemerintah untuk menejermahkan berbagai kebijakan publik sesuai dengan
aspirasi masyarakat yang telah tersalur melalui berbagai infrastruktur atau
suprastruktur politik. (halaman 65)
Sementara itu, tuntutan akan demokratisasi yang semakin kuat di Indonesia juga
akan mendorong birokrasi dengan ditempatkannya para pejabat yang mewakili rakyat
dalam bentuk pejabat politik juga semakin besar. Dalam susunan cabinet negara
nanti, pejabat politik ini bisa berupa menteri dan kelompok jabatan politik dari partai-
partai koalisinya. Dengan demikian, dilema yang harus dihadapi birokrasi publik
pasca pemilu 1999 di Indonesia ialah bahwa aparat birokrasi harus cepat tanggap
terhadap semua kepentingan publik yang disalurkan oleh masyarakat dan dikontrol
melalui partai-partai politik yang berkoalisi, dan pada saat yang sama aparat birokrasi
pun harus mampu membuat kebijakan publik secara efektif sesuai dengan tuntutan
perubahan situasi ekonomi, politik dan sosial yang cepat. (halaman 66-67)

B. Peran Birokrasi dalam Pemilu


Salah satu ciri penting yang membedakan antara pemilu Juni 1999 dengan pemilu
sebelumnya pada masa orde baru ialah dijaminnya netralitas pemerintah dan birokrasi
pada proses penyelenggaraan pemilu itu sendiri seperti diperkuat oleh PP No. 5 dan PP
No.12 tahun 1999. Ini menunjukan setidaknya ada itikad baik dari presiden Habibie
untuk menjamin agar pemilu 1999 benar-benar LUBER (Langsung, Umum, Bebas,
Rahasia) dan JURDIL (Jujur dan Adil). (halaman 69)
Langkah yang dilakukan oleh orde baru untuk mempertahankan kekuasannya
dengan meredam kekuatan partai-partai politik yang memiliki massa demikian besar
seperti PNI dan NU adalah dengan memberlakukan konsep politik massa mengambang
dan melakukan kooptasi terhadap banyak asosiasi kepentingan potensial. Melalui
Keputusan Presiden No. 82 Tahun 1971 ditetapkan bahwa tiap anggota Korps Pegawai
Negeri Republik Indonesia (KORPRI) harus taat kepada Pancasila, UUD 1945 dan
pemerintah. Ketaatan kepada pemerintah kemudian diartikan antara lain sebagai ketaatan
untuk memiih partai pemenang pemilu ketika itu, golkar. (halaman 69-70)
Kekhawatiran rakyat terhadap netralitas pemerintah itu sangat beralasan karena
sebagai partai yang menguasai pemerintahan mudah sekali bagi golkar untuk menentukan
hasil pemilu melalui mekanisme money power, ministerial power dan muscle power.
Pada saat pemilu orde baru, golkar dapat menggalang dana yang cukup besar dari
perusahaan-perusahaan pemerintah atau dari aparat birokrasi sehingga ekses politik uang
tidak dapat dihindarkan. Selama masa kampanye misalnya, Departemen Penerangan
dapat memobilisasi dana, media massa dan personil untuk memengaruhi massa pemilih
agar cenderung memilih partai pemerintah. (halaman 70)
Bersama-sama dengan indoktrinasi ajaran monoloyalitas, ekses semacam ini jelas
merupakan salah satu penyimpangan dalam pemilu yang termasuk dalam kategori
ministerial power. Penyimpangan juga dapat terjadi karena penyalahgunaan muscle
power saat orba. Maksudnya adalah penggunaan pengaruh dan kekuasaan para pejabat di
Daerah hingga Bupati, Camat dan Kepala Desa/Lurah untuk membujuk massa pemilih
agar hanya memilih partai golkar. (halaman 70-71)
Netralis politik birokrasi pemerintah akan dapat terjamin tidak hany dengan cara
melepaskan keanggotaan PNS dalam Parpol, namun yang lebih penting adalah
menegakkan sikap dan perilaku PNS agar benar-benar berorientasi pada kepentingan
publik, professional dan bersikap imparsial terhadap parpol dan pemilu. Seperti yang
diungkapkan oleh Surbakti (Jawa Pos, 16-02-1999), jika pemerintah bersama DPR
membuat keputusan politik seperti Undang-Undang, APBN, atau peraturan-peraturan
teknis lainnya, sedangkan pemerintah membuat PP dan Keppres, maka tugas birokrasi
publik adalah:
1. Melaksanakan secara professional keputusan pemerintah dan keputusan yang
dibuat bersama-sama antara pemerintah dan DPR.
2. Menegakkan hokum dan peraturan perundang-undangan terhadap setiap
warga negara tanpa pandang bulu.
3. Memberikan pelayanan publik yang berkualitas kepada warga negara
berdasarkan prinsip imparsialis (ketidakberpihakan).
4. Mengumpulkan dan mengolah informasi sebagai bahan penyusunan masukan
dan rekomendasi perumusan kebijakan kepada pemerintah.(halaman 71-72)

Persoalan penting yang menjadi perdebatan berkenaan dengan netralitas birokrasi


pada pemilu 1999 ialah boleh atau tidaknya para pejabat pemerintah ikut terlibat dalam
kampanye partai politik tertentu. Akhinya, Habibie sebagai presiden akhirnya tidak
mengizinkan para menteri untuk berkampanye tetapi tetap terdapat 5 menteri yang
diperbolehkan berkampanye untuk partainya karena kebetulan menjadi pimpinan pusat
partai. Untuk menjaga netralitas, para pegawai negeri memang harus dilarang untuk
berkampanye bagi partai politik. Di dalam PP No. 12 tahun 1999 memang secara tegas
sudah ditetapkan bahwa seorang pegawai negeri yang aktif di dalam partai politik harus
melepaskan statusnya sebagai pegawai negeri. (halaman 72)

Dari pembentukan penyelenggara pemilihan umum yaitu KPU dengan Keputusan


Presiden Nomor 16 tahun 1999, terlihat kesungguhan untuk menyelenggarakan pemilu
yang jujur dan adil dimana anggota KPU terdiri dari utusan partai politik peserta pemilu
(48 partai politik) dan pemerintah, yang diharapkan dapat bebas dan adil. Dengan adanya
perubahan yang cukup mendasar dalam pemilu 1999 jika dibandingkan dalam pemilu
sebelum-sebelumnya, maka ada berbagai macam isu penting yang harus dicermati pada
pemilu 1999 sebagai pemilu pada masa reformasi. Perbedaan mendasar antara pemilu
1999 dan masa orba adalah tahap persiapan, sistem penyelenggaraan, pemantauan,
hingga sistem pemungutan suara dan penghitungannya. (halaman 73-74)

Anda mungkin juga menyukai

  • Adm Pembangunan
    Adm Pembangunan
    Dokumen4 halaman
    Adm Pembangunan
    Nicka Saputri
    Belum ada peringkat
  • ABSTRAK
    ABSTRAK
    Dokumen1 halaman
    ABSTRAK
    Nicka Saputri
    Belum ada peringkat
  • ABSTRAK
    ABSTRAK
    Dokumen1 halaman
    ABSTRAK
    Nicka Saputri
    Belum ada peringkat
  • Filsafat Politik
    Filsafat Politik
    Dokumen5 halaman
    Filsafat Politik
    Nicka Saputri
    Belum ada peringkat
  • Sumberjenis Data
    Sumberjenis Data
    Dokumen2 halaman
    Sumberjenis Data
    Nicka Saputri
    Belum ada peringkat
  • TPP 11
    TPP 11
    Dokumen14 halaman
    TPP 11
    Nicka Saputri
    Belum ada peringkat
  • TPP 11
    TPP 11
    Dokumen14 halaman
    TPP 11
    Nicka Saputri
    Belum ada peringkat