Anda di halaman 1dari 5

 Bentuk Pemerintahan Pasca Wafat Rasulullah SAW

 Pemerintahan Abu Bakar

Pemerintahan pada masa setelah Rasulullah SAW wafat disebut dengan masa Khulafa Ar-Rasyidin,
dimana Abu Bakar Ash-Shiddiq diangkat sebagai Khalifah pertama setelah Rasulullah wafat. Abu Bakar
dipilih untuk menggatikan Rasulullah dikarenakan beliaulah sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah
dan beliaulah sahabat pertama yang masuk Islam. Abu Bakar selalu yang terdepan untuk membela
Rasulullah, beliau juga tidak segan menumpahkan segenap jiwa raga dan harta bendanya untuk Islam. Maka
dari itu Abu Bakar adalah orang yang paling pantas pada waktu itu untuk menggantikan Rasulullah sebagai
Khalifah pertama dalam Islam.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar dalam bidang eksekutif, beliau mendelegasikan tugas-tugas
pemerintahan di Madinah dan daerah lainnya. Untuk pemerintahan pusat, beliau menunjuk Ali bin Abi
Thalib, Utsman bin Affan, dan Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris dan Abu Ubaidah sebagai bendaharawan.
Sementara untuk bidang pertahanan dan keamanan, Abu Bakar mengorganisasikan pasukannya untuk
mempertahankan eksistensi keagamaan dan pemerintahan dan menjaga stabilitas di dalam maupun luar
negeri. Kemudian dalam bidang yudikatif atau fungsi kehakiman, Abu Bakar menunjuk Umar bin Khattab
sebagai pelaksananya. Dalam bidang ekonomi juga Abu Bakar mewujudkan keadilan dan kesejahterahan
sosial rakyat dengan mengelola zakat, infaq, dan sedekah yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah, dan
jizyah dari warga non-muslim, sebagai sumber pendapatan dari Baitul Mal.

Dalam kepemimpinan beliau sebagai Khalifah pertama dalam Islam, Abu Bakar selalu menentukan
keputusan dan kebijakannya dengan cara bermusyawarah dengan para sahabat lainnya. Ini merupakan ciri
yang paling menonjol dalam kepemimpinannya, yaitu prinsip kebebasan berpendapat, hal itu sudah terlihat
ketika pidato pertama yang disampaikan beliau ketika dibai’at menjadi khalifah. Beliau berkata “Apabila
aku melaksanakan tugasku dengan baik, bantulah aku, dan jika aku berbuat salah, luruskanlah aku.
Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan kedutaan adalah suatu penkhianatan”. Inilah yang membuat Abu
Bakar menunjukan garis besar politik dan dan kebijaksanaan dalam pemerintahannya.

 Pemerintahan Umar bin Khattab

Pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah adalah keinginan dan usulan dari Abu Bakar
yang di akhir kepemimpinan nya beliau mengalami sakit yang parah dan tahu akan ajal nya yang semakin
dekat. Namun pencalonan Umar sebagai penggantinya bukan hanya sekedar keinginan Abu Bakar,
melainkan diadakan terlebih dahulu musyawarah terbatas bersama sahabat senior seperti Abdul Rahman
bin Auf, Utsman bin Affan, dan Asid bin Hadhir, seorang tokoh Anshar. Selain itu juga hasil dari
musyawarah bersama sahabat senior juga disampaikan kepada kaum muslimin di Masjid Nabawi.

Dalam pemerintahan Umar bin Khattab, sebagian besar kepemimpinannya ditandai oleh
penaklukan-penaklukan untuk melebarkan Islam ke luar negeri Arab. Seperti penaklukan Persia di
Qadisiyah, penaklukan Romawi di Syria dan Damaskus, kemudian penaklukan Mesir di Iskandariyah, Ibu
kota Mesir dan ibu kota kekaisaran Romawi Timur. Dapat dikatakan bahwa pada masa Umar, dua kekuatan
adikuasa dunia pada saat itu, Romawi dan Persia dapat diruntuhkan, dan hal ini sangat berpengaruh kepada
perkembangan sejarah Islam selanjutnya. Semenjak penaklukan Persia dan Romawi, pemerintahan Islam
bertambah wilayah kekuasaannya meliputi Semenanjung Arabia, Palestina, Siria, Irak, dan Mesir.

Kemudian dalam mengelola pemerintahannya, Umar yang dikenal sebagai negarawan,


administrator yang terampil dan pandai, membuat kebijakan dalam mengelola wilayah kekuasaan yang
luas. Beliau menata struktur kekuasaan dan admnistrasi pemerintahan negara Madinah berdasarkan
semangat demokrasi. Untuk menunjang kelancaran administrasi dan operasional tugas-tugas eksekutif,
Umar melengkapinya dengan beberapa jawatan setiap bidangnya, antara lain:

a. Dewan Al-Kharraj (Jawatan Pajak)


b. Dewan Al-Addats (Jawatan Kepolisian)
c. Dewan Al-Nafiat (Jawatan Pekerjaan Umum)
d. Dewan Al-Jund (Jawatan Militer)
e. Dewan Al-Mal (Lembaga Pembendaharaan Negara)

Sebagaimana Rasulullah SAW dan Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab juga sangat condong
menanamkan semangat demokrasi secara intensif di kalangan rakyat, di kalangan para pemuka masyarakat,
dan di kalangan para pejabat atau para administrator pemerintahan. Beliau selalu mengadakan musyawarah
dengan rakyat untuk memecahkan masalah-masalah umum dan kenegaraan yang dihadapi. Beliau tidak
bertindak sewenang-wenang dan memutuskan suatu urusan tanpa mengikutsertakan warga negara, baik
warga negara muslim maupun warga non-muslim. Kemudian dalam hal peradilan, beliau memiliki
pedoman pemikiran mengenai peradilan yang masih berlaku hingga sekarang yaitu terdapat dalam “Naskah
Asas-asas Hukum Acara” yang terdiri dari sepuluh bagian penting, antara lain sebagai berikut:

1. Kekuatan lembaga peradilan


2. Memahami kasus persoalan, baru memutuskannya
3. Samakan pandangan Anda kepada kedua belah pihak dan berlaku adilah
4. Kewajiban pembuktian
5. Lembaga damai
6. Penundaan persidangan
7. Kebanaran dan keadilan adalah masalah universal
8. Kewajiban menggali hukum yang hidup dan melakukan penalaran logis
9. Orang Islam haruslah berlaku adil
10. Larangan bersidang ketika sedang emosional.

Dapat disimpulkan bahwa dalam kepemimpinannya, Umar bin Khattab berhasil memperluas
kekuatan kewilayahan Islam. Selain itu beliau tetap mendengar usulan dari para sahabat lainnya dalam
musyawarah untuk melaksanakan kebijakan yang akan dibuat dengan semangat demokrasi. Kemudian
beliau sangat tegas namun adil dan bijakasana dalam menjatuhkan hukuman di peradilan. Sebagaimana
tugas beliau pada masa Abu Bakar.

 Pemerintahan Utsman bin Affan

Utsman bin Affan dipilih sebagai pengganti Umar bin Khattab melalui dewan formatur yang telah
dibentuk oleh Umar, yang terdiri dari Ali, Utsman, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdurahman bin Auf, Zubair
bin Awwam, dan Talhah bin Ubaidilah. Utsman bin Affan adalah khalifah yang paling lama memerintah
dibandingkan dengan sebelumnya, yaitu 12 tahun (Abu Bakar 2 tahun, Umar 10 tahun memerintah).

Pada masa awal Utsman memerintah, terdapat beberapa pencapaian atau prestasi yang dicapai,
diantaranya adalah perluasan wilayah kekuasaan Islam telah mencapai Asia dan Afrika, seperti daerah
Herat, Kabul, Ghazni, dan Asia Tengah, Armenia, Tunisia, Cyprus, dan bagian yang tersisa dari Persia.
Selain perluasan wilayah kekuasaan, dalam bidang sosial budaya Utsman telah membangun bendungan
besar untuk mencegah banjir dan mengatur pembagian air ke kota. Membangun jalan, jembatan, masjid,
rumah penginapan para tamu dalam berbagai bentuk, serta memperluas Masjid Nabawi di Madinah. Lalu
karya fenomenal pada masa Utsman bin Affan adalah pembukuan mushaf Al Qur’an. Pembukuan tersebut
didasarkan atas alasan dan pertimbangan untuk mengakhiri perbedaan bacaan di kalangan umat Islam.

Pada dasarnya roda pemerintahan Utsman bin Affan tidak berbeda dari para pendahulunya, dalam
pidato pembai’atannya, beliau tegaskan akan meneruskan kebiasaan yang dibuat para pendahulunya.
Pemegang kekuasaan tertinggi berada di tangan khalifah; pemegang dan pelaksana kekuasaan eksekutif.
Pelaksanaan tugas eksekutif di pusat dibantu oleh sekretaris negara, yang mempunyai wewenang untuk
memengaruhi keputusan khalifah, dan sebagai penasihat khalifah. Selain sekretaris negara, Utsman bin
Affan juga dibantu oleh pejabat pajak, pejabat kepolisian, pejabat keuangan atau Baitul Mal, seperti pada
masa pemerintahan Umar. Kemudian untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan di daerah, Utsman bin
Affan mempercayakan kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau provinsi. Setiap Amir atau
gubernur adalah wakil khalifah di daerah untuk melaksanakan tugas administrasi pemerintahan dan
bertanggung jawab kepadanya. Seorang Amir daingkat dan diberhentikan oleh khalifah. Kedudukan
gubernur di samping kepala pemerintahan daerah, juga sebagai pemimpin agama, pemimpin ekspedisi
militer, penetap undang-undang, dan pemutus perkara, yang dibantu oleh katib (sekretaris), pejabat pajak,
pejabat keuangan, dan pejabat kepolisian.

Adapun kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Penasihat atau Majelis Syura, tempat khalifah
mengadakan musyawarah atau konsultasi dengan para sahabat Nabi terkemuka. Majelis ini memberikan
saran, usul, dan nasihat kepada khalifah tentang berbagai masalah yang dihadapi negara. Akan tetapi,
pengambil keputusan terakhir berada di tangan khalifah. Artinya berbagai peraturan dan kebijaksanaan,
diluar ketentuan Al Qur’an dan As Sunnah, dibicarakan didalam majelis itu dan diputuskan oleh khalifah
atas peretujuan anggota majelis.

 Pemerintahan Ali bin Abi Thalib

Masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak stabil
karena adanya pemberontakan dari sekelompok kaum muslimin sendiri. Pemberontakan pertama datang
dari Thalhah dan Zubair diikuti oleh Siti Aisyah. Pemberontakan kedua datang dari Muawiyah, yang
menolak untuk meletakkan jabatan. Pemberontakan tersebut mengakibatkan perang saudara antar kaum
muslimin, seperti Perang Jamal dan Perang shiffin. Dikarenakan banyak pihak yang tidak sepakat dengan
diangkatnya Ali sebagai khalifah. Konflik dan perselisihan yang paling berpengaruh kepada pemerintahan
Ali adalah konflik dengan Muawiyah bin Abu Sofyan.

Konflik yang terjadi antara pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi
Sufyan diakhiri dengan tahkim. Pihak Khalifah Ali mengutus seorang ulama yang terkenal sangat jujur
tetapi tidak baik dalam berpolitik bernama Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan pihak Muawiyah mengutus
seorang yang terkenal sangat cerdik dalam berpolitik yaitu Amr bin Ash. Dalam tahkim tersebut pihak Ali
bin Abi Thalib kalah bersaing dengan pihak Muawiyah, karena Amr bin Ash lebih cakap dibandingkan Abu
Musa Al-Asy’ari. Setelah selesai melakukan tahkim, pihak Ali bin Abi Thalib terpecah menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok yang menerima hasil tahkim tetapi tetap setia terhadap Khalifah Ali, dan
kelompok yang tidak menerima hasil tahkim tetapi kecewa dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib.

Peristiwa tahkim memang menimbulkan banyak perdebatan di kalangan para sahabat, banyak
pengikut Ali bin Abi Thalib yang tidak setuju dan memilih untuk tidak mendukung Khalifah Ali.
Pemerintahan Ali dibuat repot oleh tindakan-tindakan pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Khawarij.
Akhirnya perselisihan antara pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah diselesaikan dengan
pemberian kekuasaan Syria kepada Muawiyah, dan Khalifah Ali tidak melanjutkan penyerangan terhadap
pihak Muawiyah. Hal itu disebut oleh beberapa pihak sebagai kegagalan dari pemerintahan Ali bin Abi
Thalib. Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh banyak pihak, seperti di wilayah Bashrah,
Mesir, dan Persia, telah membuat kekuasaan Ali menjadi lemah, sedangkan Muawiyah bertambah kuat.
Pihak Muawiyah berhasil memanfaatkan penurunan pemerintahan Ali sebagai kekuatan bagi mereka untuk
membangun kekuasaan baru. Semakin banyak pihak-pihak yang tidak mendukung Khalifah Ali untuk
kembali bangkit membangun pemerintahannya. Ditambah semakin berkurangnya pemasukan dari setiap
daerah kekuasaan pemerintahan Ali yang mulai membangkang, telah membuat kekuatan Khalifah Ali sulit
untuk kembali.

 Buku : Supriyadi. Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2008

Anda mungkin juga menyukai

  • Adm Pembangunan
    Adm Pembangunan
    Dokumen4 halaman
    Adm Pembangunan
    Nicka Saputri
    Belum ada peringkat
  • ABSTRAK
    ABSTRAK
    Dokumen1 halaman
    ABSTRAK
    Nicka Saputri
    Belum ada peringkat
  • ABSTRAK
    ABSTRAK
    Dokumen1 halaman
    ABSTRAK
    Nicka Saputri
    Belum ada peringkat
  • Sumberjenis Data
    Sumberjenis Data
    Dokumen2 halaman
    Sumberjenis Data
    Nicka Saputri
    Belum ada peringkat
  • TPP 11
    TPP 11
    Dokumen14 halaman
    TPP 11
    Nicka Saputri
    Belum ada peringkat
  • TPP 11
    TPP 11
    Dokumen14 halaman
    TPP 11
    Nicka Saputri
    Belum ada peringkat
  • Akuntabilitas Publik
    Akuntabilitas Publik
    Dokumen6 halaman
    Akuntabilitas Publik
    Nicka Saputri
    Belum ada peringkat